Mencari Jalan ke Surga
Oleh Sulastomo
DALAM sebuah cerita sufi dikatakan, di antara dua juta calon jemaah haji, hanya dua orang yang memperoleh "haji mabrur". Satu dari dua orang itu justru seorang calon jemaah haji yang tidak sempat tiba di Tanah Suci. Siapa itu?
Ia adalah seorang calon jemaah yang telah lama menyiapkan perjalanan hajinya. Ia menabung dan saat ia merasa bekalnya cukup, ia berangkat ke Tanah Suci memenuhi panggilan Tuhan. Tetapi, di tengah perjalanan, ia bertemu seorang janda, dengan tujuh anak, sebagian masih kecil, pakaiannya compang-camping, badannya kurus, menangis memilukan karena kelaparan. Ia tertegun dan terharu. Ia berpikir, apa yang dapat ia lakukan?
Di tengah perenungannya, ia memutuskan harus menolong keluarga janda itu. Ia sadar, jika bekalnya diberikan untuk menolong keluarga itu, ia akan batal menunaikan ibadah haji. Tidak mengapa, kata hatinya. Ia berikan bekalnya untuk menolong keluarga janda itu dan ia pun menunda hajinya, kembali ke kampung, menabung kembali dengan harapan suatu saat dapat menunaikan ibadah haji. Calon jemaah haji itulah yang dalam cerita sufi dikatakan sebagai salah satu jemaah, dari dua jemaah yang memperoleh haji mabrur, yang dipercaya pahalanya adalah surga. Sebuah tamsil, pahala yang diterima calon jemaah haji sepadan dengan "haji mabrur", yaitu surga.
SEBENARNYA banyak cerita dalam Islam atau tamsil betapa jalan ke surga tidak mengenal "jalan tol". Perjalanan ke surga itu, dalam Islam, harus ditempuh melalui perjalanan di dunia yang kadang sulit, penuh pengorbanan, sarat dengan kemanusiaan. "Siapa, wahai Nabi, ahli surga itu?" kata seorang jemaah di sebuah masjid sambil menunjuk seorang jemaah lain. "Apakah ia yang selalu berlama-lama di masjid, berzikir panjang dan menggunakan sebagian besar waktunya di masjid?" "Bagaimana keluarganya?" tanya Nabi. Ternyata keluarganya terabaikan. "Ia bukan ahli surga," kata Nabi.
Prinsip seperti itu pasti ada pada agama lain. Sebab, agama lain itu datangnya juga dari Tuhan Yang Maha Esa. Ibaratnya, setiap umat beragama wajib menolong saudaranya, apa pun agamanya. Di dalam Islam dikatakan, Islam adalah rahmat bagi seluruh umat manusia. Sementara umat Kristiani percaya, jalan keselamatan tidak hanya melalui gereja. Ibaratnya, banyak jalan ke Roma.
Cerita seperti itu mungkin besar manfaatnya untuk direnungkan kembali saat kita sedang menyongsong Lebaran, ketika kita hendak menjadi suci kembali. Dalam Islam, kepedulian terhadap lingkungan, kemanusiaan, memperoleh nilai tinggi.
Di pihak lain, dua aspek ibadah, hablum minannas, yang terkait hubungan kita dengan sesama manusia, menempati tempat tinggi dalam perjalanan ke surga. Ini tidak berarti mengecilkan aspek yang lain, yaitu hablum minallah, hubungan dengan Tuhan, Allah SWT. Keduanya harus ditempuh sebaik-baiknya.
CERITA itu sengaja diungkapkan agar kita peduli terhadap lingkungan, di mana kemiskinan kian meluas. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara lain. Benar, banyak negara kian maju dan semakin kaya, tetapi kemiskinan tidak menurun, bahkan meningkat. Laporan Bank Dunia menyatakan, banyak negara, termasuk di Amerika dan di Eropa, meningkat pertumbuhan ekonominya dalam kurun waktu 1975-1995. Namun, jumlah proporsi penduduk miskin meningkat.
Ironinya, semua itu terjadi ketika kita mempersoalkan konsep welfare state, tulis Dalmer D Hoskin, seorang pakar sistem jaminan sosial dalam buku Social Security at the Dawn or the 21st Century (2001). Di AS (misalnya), justru kian banyak orang yang tidak tercakup dalam program asuransi kesehatan, yang sekarang dilaporkan mencapai sekitar 40 juta orang karena tak mampu membayar premi asuransi kesehatan. Sebagian akan masuk program medicaid (bagi yang tak mampu), dan sebagian, bagi kelompok manula (di atas 65 tahun) masuk program medicare. Beban pemerintah federal dan negara bagian, dengan demikian, kian berat karena biaya per kapita untuk kesehatan di AS sudah mencapai 4.000 dollar AS/kapita/tahun. Apa artinya?
KEMISKINAN tidak hanya jadi masalah perorangan. Kemiskinan sudah jadi sistemik, terkait dengan sistem ekonomi masyarakat, sistem ekonomi sebuah negara bahkan sistem ekonomi dunia. Kemiskinan tidak hanya dapat diatasi dengan "kebaikan" orang per orang, semacam charity, sebagaimana dulu, ketika kemiskinan belum menggejala sebagai sebuah fenomena di masyarakat dunia.
Namun, kemiskinan harus diatasi melalui pembangunan sistem ekonomi berkeadilan, reaktualisasi pengamalan sosial keagamaan, sehingga agama dapat memberi makna besar bagi kemanusiaan. Bagi sebagian besar, kemiskinan menjadi tanggung jawab pengambil kebijakan di sebuah negara dan tokoh dunia yang menentukan kebijakan perekonomian internasional. Sebagian kecil, di kalangan umat Islam, menjadi tanggung jawab pemimpin umat, bagaimana zakat, infak, sedekah (ZIS) dan kegiatan ibadah lain (misalnya ibadah haji) juga dapat memberi makna untuk memberantas kemiskinan.
Jika benar upaya pemberantasan kemiskinan merupakan ibadah, sebagai upaya mencari jalan ke surga, pengambil kebijakan di sebuah negara wajib memberikan prioritas kebijakan ekonomi yang kondusif bagi masyarakat miskin. Demikian juga pengelolaan ZIS dan dana keagamaan lainnya harus diupayakan memberi manfaat yang besar dalam konteks pemberantasan kemiskinan.
SELAMA ini kenyataan menunjukkan, sistem ekonomi pasar, sebagai bagian kapitalisme, telah berdampak kian lebarnya jurang kaya-miskin, sebagaimana dikutip dari laporan Bank Dunia. Penyebabnya, karena "kompetisi" yang terjadi tidak seimbang. Kecenderungan manusia, sebagaimana dinyatakan Adam Smith, adalah untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Tanpa upaya menumbuhkan tanggung jawab sosial masyarakat, yang terjadi adalah sebuah eksploitasi dari yang kuat terhadap yang lemah. Karena itu, harus dicegah terjadinya kecenderungan itu. Namun, upaya mencegah terjadinya eksploitasi seperti itu tak boleh mengabaikan pasar, yang secara tradisional telah menjadi ciri hubungan kegiatan perdagangan antarmanusia sejak dulu.
"Intervensi" yang dilakukan harus ramah pasar sehingga tidak menjadi arus balik yang membunuh kreativitas, dorongan untuk berprestasi perorangan, sehingga jalannya perekonomian menjadi lamban. Pikiran seperti ini, antara lain dalam bentuk "ekonomi pasar sosial terbuka", yang secara panjang lebar telah disampaikan Gerakan Jalan Lurus, dalam manifes perekonomian dan kesejahteraannya. Yang belum tersentuh adalah pengelolaan dana-dana keagamaan, baik dalam bentuk ZIS maupun dana haji.
Alangkah lebih bermanfaat jika kita mampu berkoordinasi dalam pengelolaan dana ZIS sehingga dana itu dapat menjadi potensi ekonomi yang besar. Jika koordinasi terselenggara dengan baik, menerapkan prinsip jemaah/bilangan banyak, insya Allah akan lebih dapat memberi manfaat dan meningkatkan kepercayaan publik. Sebab, dana ZIS (pada prinsipnya) adalah dana publik.
Selain akan lebih efektif arah pemanfaatannya, juga mengurangi tumpang tindihnya pemanfaatan sehingga dana ZIS akan bermanfaat lebih besar pada penerimanya dalam konteks pengentasan masyarakat dari kemiskinan, tidak semata charity. Demikian juga dana haji, yang mencapai triliunan rupiah, jika dikelola seperti tabungan haji di Malaysia, meski dengan beberapa modifikasi, akan memberi peluang kemanfaatan ekonomi yang lebih besar. Mewujudkan kesempatan seperti itu, di era globalisasi, justru kian mendesak karena menumbuhkan kemampuan domestik untuk mandiri merupakan prasyarat untuk dapat bersaing di era globalisasi.
DEMIKIANLAH, di saat kita melaksanakan ibadah puasa, semoga kita tidak hanya memperoleh lapar dan dahaga. Harapan untuk menjadi suci kembali di saat Lebaran nanti semoga disertai tekad untuk mengentaskan saudara kita dari kemiskinan. Itulah jihad di masa sekarang. Jihad untuk memerangi kemiskinan. Namun, kemiskinan tidak mungkin dipecahkan seperti dulu, secara perorangan, bersifat semata- mata charity.
Zaman menuntut, memerangi kemiskinan terkait dengan kebijakan ekonomi dan kesejahteraan suatu negara serta kebijakan pengelolaan dana keagamaan, misalnya ZIS dan dana haji. Sebab, pengentasan masyarakat dari kemiskinan di zaman sekarang hanya dapat diatasi melalui pendekatan sistem, sistem ekonomi dan kesejahteraan, disertai sifat amanah para penyelenggara negara dan pemimpinnya.
Dapatkah itu diibaratkan sebagai jalan ke surga bagi penyelenggara negara, penentu kebijakan, dan para pemimpin lainnya di zaman sekarang?
Sulastomo Koordinator Gerakan Jalan Lurus
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment