Tuesday, March 31, 2009

Islam Liberal di Indonesia

Islam Liberal di Indonesia : Nuansa Baru bagi Islam Yang Demokratis

oleh : Hanvitra


Islam Liberal di Indonesia merupakan nuansa baru bagi Islam yang berubah, Kondisi diperkuat oleh kenyataan yang ada bahwa Islam di Indonesia saat ini dipenuhi oleh berbagai penafsiran yang sangat beragam yang mungkin menimbulkan polemik satu sama lainnya. Bisa dikatakan Indonesia merupakan salah-satu tempat yang subur bagi perkembangan Islam yang dinamis karena di
sinilah tumbuh dan berkembangnya berbagai aliran baru dan lama yang demikian beragam dengan berbagai polemik, dari NU, Muhammadiyyah, berbagai macamaliran yang dipengaruhi oleh Ikhwanul Muslimin dari Mesir, Laskar Jihad yang sangat dipengaruhi oleh Teologi Ahlus Sunnah Wal Jamaah. KISDI, Partai Keadilan, Hizbut Tahrir, Jamaah Tabligh, Ahmadiyyah, Thariqot Naqsabandiyyah, Qusyairiyyah, Pesantren Syahid Hidayatullah, Mathlaul Anwar, Al-Irsyad, Al-Wasliyyah, sampai berbagai aliran yang ada di berbagai daerah di Indonesia, bahkan sampai HMI dan PMII. Hal ini sangat menggembirakan
karena di negara yang justru bukan negara Islam-lah secara formal, yang justru mengembangkan sebuah sistem demokrasi yang "agak" meniru model demokrasi a la Barat. Islam berkembang sangat pesat secara pemikiran maupun sebagai sebuah gerakan sosial dan gerakan kultural, bahkan gerakan politik. Bank-bank syariah mendapat tempat di hati negara dan masyarakat, ekonomi Islam mulai mendapat perhatian dan muncul ghiroh keagamaan.

Hal ini justru sangat kontras dengan Malaysia yang justru negara Islam. Islam di Malaysia adalah Islam yang berkembang atas kontruksi Negara (State). Pemerintah Malaysia yang notabene mencantumkan Islam sebagai dasar negara namun di satu sisi justru mengekang kebebasan ber-Islam atau mengembangkan pemikiran Islam, dengan sistem pemerintahan yang otoriter.
Kasus-kasus di Negara Bagian Selangor yang menerapkan syariat Islam dan namun dihalang-halangi oleh Pemerintah Malaysia sangat menimbulkan pertanyaan bagi pemerintahan Mahathir. Model demokrasi a la UMNO yang cenderung totaliter terbukti mengembangkan sebuah sistem totalitarian tersendiri, yang intinya kemudian adalah adanya sebuah mazhab tertentu yang
didukung dan menjadi mazhab resmi negara. Hal yang sama juga terjadi di beberapa negara Islam lainnya yang mencantumkan Islam sebagai agama formal seperti Saudi Arabia misalnya, tegas-tegas walaupun tidak tercantum dalam UUD-nya bahwa mereka menganut Wahhabiyyah -salah-satu Mazhab Sunni yang paling keras sebagai mazhab negara, dan Sudan. Mesir yang mengembangkan sebuah model demokrasi Arab yang menggabungkan model demokrasi -nasionalisme Arab-Islam dan ke-Mesir-an telah tampak mengembangkan pluralisme aliran. Walau Islam di Mesir berada dalam cengkeraman pemerintahan
demokrasi-populistik plus otoriter Mohammad Husni Mubarak cenderung sangat akomodatif terhadap berbagai aliran Islam yang ada dari Islam Liberal, Tharikat, sampai Ikhwanul Muslimin yang pernah mengantarkan Jamal Abdul Nasir sebagai presiden Mesir. Namun ironisnya, Jamal Abdul Nasir-lah yang pertama kali mengumandangkan penangkapan terhadap aktivis-aktivis Ikhwanul Muslimin, sekaligus berupaya memberangus Ikhwanul Muslimin.

Sayyid Quth salah-satu mursyid Ikhwanul Muslimin meninggal sebagai syahid dalam penjara Jamal Abdul Nasir. Puncaknya adalah pembunuhan Anwar Sadat oleh anggota Ikhwanul Muslimin yang berada dalam lingkaran Angkatan Bersenjata Mesir tahun 1980 dalam sebuah parade militer. Pembunuhan tersebut sangat spektakuler, sampai mengalahkan pembunuhan John F. Kennedy , karena dilakukan tepat di depan orang banyak dalam sebuah parade militer dan dilakukan dalam sebuah upacara resmi kenegaraan. Ironisnya hal ini dilakukan justru ketika Anwar Sadat berusaha mengakomodasi kelompok Islam dengan
mencantumkan Islam sebagai agama resmi negara dalam Undang-undang dan mencantumkan "syariat Islam sebagai salah-satu sumber hukum nasional" dan membolehkan berdirinya bank-bank Islam di Mesir, serta membebaskan aktivis-aktivis Ikhwanul Muslimin yang ditahan. Namun di sisi lain Anwar Sadat dianggap sebagai "agen zionis" karena menandatangi perjanjian Camp
David tahun 1979 bersama Presiden AS Nick Carter dan Perdana Menteri Israel. Perjanjian Camp David dengan tegas dan gamblang menyatakan penyerahan dataran tinggi Golan yang selama ini dikuasai oleh Mesir kepada Israel. Halini sangat memalukan bagi Mesir, ini menandakan jatuhnya martabat bangsa Arab, setelah kalahnya mereka dalam perang enam hari atau perang Yom Kippur (dalam bahasa Israel) tahun 1967. Pada peperangan ini Mesir dibantu oleh Suriah dan beberapa negara Arab lainnya seperti Arab Saudi dan Yordania. Kondisi ini menimbulkan kegeraman bagi aktivis Ikhwanul Muslimin.

Namun demikian sampai saat ini Mesir tetap dikenal sebagai salah-satu negara dimana pluralisme aliran politik berkembang dengan cukup pesat, dari Ikhwanul Muslimin yang kemudian terpecah menjadi 73 golongan antara lain kelompok Takfir wa Hijrah yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya, misalnya menculik para turis-turis asing untuk
meminta tebusan sampai kadang membunuhnya, sampai kelompok yang paling moderat yang masuk ke parlemen. Kelompok yang terakhir menggunakan cara-cara kompromistis dan bergaul dalam negara termasuk dengan kelompok nasional-arab-sekuler-sosialis.

Mursyid Ikhwanul Muslimin yang terakhir Musthafa Mashur dan salah-satu ulama fatwa terkemuka Yusuf Qordhowi termasuk dalam kelompok moderat ini. Mereka cenderung menggunakan jalan tengah untuk menyelesaikan sesuatu. Yusuf Qordhowi oleh Jaringan Islam Liberal (JIL) bahkan dimasukkan dalam katagori tokoh Islam Liberal karena pandangannya yang moderat dan menjauhi radikalisme. Pada awalnya ketika didirikan pada tahun 1940-an oleh mursyid IM pertama Hasan Al-Banna (Sang Pembangun), IM tidak bertujuan politis tapi lebih kepada sosial keagamaan. Tujuan awal organisasi ini adalah menghidupkan kembali khazanah-khazanah Islam lama dan metode-metode Islam yang diterapkan oleh Nabi Muhammad. IM sangat menekankan pada ibadah-ibadah mahdhoh dan ibadah sosial dan kekuatan jamaah serta kegiatan-kegiatan sosial
seperti kesehatan dan dakwah. Dakwah sebagai salah-satu ajaran utama merupakan salah-satu cara untuk mencapai masyarakat Islam yang dicita-citakan. Oleh karena gerakan ini lebih cocok dimasukkan sebagai social movement ketimbang gerakan intelektual atau gerakan pemikiran yang sering kali didefinisikan sebagai gerakan neo-revivalis. Neo-Revival artinya
penghidupan kembaliBukan berarti di dalam IM sendiri tidak ada kaum intelektual, kebanyakan kaum intelektual IM berbasiskan ilmu-ilmu pengetahuan alam ketimbang ilmu-ilmu sosial. Dengan demikian dilihat dari visinya IM dapat disebut sebagai gerakan Islam Neo-Revivalis (Azyumardi Azra, 1994). IM sebenarnya juga mengembangkan kebebasan berfikir para
anggotanya dalam konteks keilmuwan dan organisasi masing tapi bukan konteks agama/aqidah. Yusuf Qordhowi salah-seorang aktivis IM bahkan dikenal moderat bahkan \'agak\' apresiatif terhadap ide-de Barat, seperti demokrasi, multipartai, hak asasi manusia dan kemajuan teknologi. Jadi bisa dikatakan sebenarnya IM pun bisa dikatakan liberal.

Walaupun bukan secara resmi menyatakan diri sebagai negara Islam, Mesir tetap menghormati otoritas agama yang diwakili oleh para ulama Al-Azhar, salah-satu universitas Islam tertua di dunia, selain Universitas Qoirawan di Maroko yang berumur sekitar 900 tahun. Pluralisme aliran di Mesir diakibatkan perkembang pemikiran yang begitu dahsyat sekaligus merupakan respons terhadap modernisasi. Ada beberapa tokoh Islam yang dimasukkan dalam tokoh Islam Liberal versi Islamlib.com adalah Hasan Hanafi, Nash Hamid Abu Zaid, Mohammad Abid Al-Jabiri salah tokoh pemikir Islam yang menggagas Post
Tradisionalisme Islam.

Akar-akar Kemunculan Islam Liberal

Bagaimana kita melacak akar-akar kemunculan Islam Liberal ? Pertama kita bisa melihat pada gerakan modernisme atau reformasi Islam di Mesir pada akhir abad 19 dan awal abad 20-an oleh tokoh-tokoh pemikir Islam yang menyerukan pada Renaissance dan kebangkitan Islam dalam bentuk yang lebih modern seperti Jamaluddin Al-Afghani (1839-97), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Rasyid Ridha (1865-1935) di Mesir ; bahkan Sayyid Ahmad Khan (1817-98), dan Sayyed Amir Ali (l.1849) di Anak Benua Indonesia. (Azra, 1999). Gerakan ini mengacu pada kemajuan akal pikiran untuk memutuskan
perkara-perkara agama. Abduh dalam jurnalnya yang terkenal mengatakan perlunya dibukanya kembali pintu-pintu ijtihad untuk menerobos kebekuan. Mesir pada awal abad ke-20 berada dalam cengkeraman Inggris.

Sedangkan di Indonesia gerakan modernisme Islam dimulai dari Ranah Minangkabau oleh tokoh-tokoh seperti Syekh Muhammad Jamil Jambek (1860-1947), dan Haji Abdul Karim Amrullah (1870-1945); dan di Singapura melalui putra Minangkabau, Syekh Thahir Jalaluddin (1869-1957), mendorong pembentukan dan pengembangan organisasi-organisasi dan lembaga pendidikan modern. Gerakan modernisme Islam ini mencapai puncaknya dengan pembentukan organisasi Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan pada 1912 di Yogyakarta. KH. Ahmad Dahlan sendiri adalah murid dari Syekh Muhammad Jamil Jambek di Bukittinggi. Pada masa itu di Minangkabau muncul pertentangan antara kaum Tuo yang cenderung konservatif dan menekankan pada pendekatan tasawuf dan kaum Mudo, yang mengutamakan pada pendekatan yang lebih modern dan menekankan penggunaan akal yang sedikit banyak Mu\'tazilah. Penamaan kata "modern" sebenarnya merujuk pada "kondisi kekinian" dimana pada waktu itu "modernisme Eropa" juga dimulai dengan gerakan Renaissance atau gerakan pencerahan akal budi. Akal dan kebebasan manusia untuk memilih lebih diutamakan daripada kerangka-kerangka dogmatis yang diterapkan Gereja Katholik sebagai otoritas tunggal. Gereja Katholik sendiri lalu menggunakan idiom "Fidens Quarens Intelectum" yang berarti "Tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal," sebuah ucapan yang sebenarnya sudah dikenal oleh kaum Muslimin jauh sebelum Katholik menggunakan istilah itu. Hal ini sudah dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah dalam berbagai hadis.

Bahkan para ulama sendiri mempunyai sebuah diktum "Agama adalah nalar dan tidak ada agama bagi orang yang bernalar" (ad-Din huwa al-aql la dinan liman la aql lahu". Modernisme Islam menuju kepada sebuah pencerahan akal budi (nalar) bahwa manusia dalah makhluk ciptaan-Nya yang diberi kebebasan di dunia ini untuk memilih jalannya masing-masing. Selain itu modernisme Islam menekankan pada penguasaan ilmu pengetahuan modern yang selama berabad-abad telah berkembang dari zaman Yunani Kuno, masa keemasan Islam, hingga peradaban Renaissance. Oleh karena itu kaum modernis Islam tidak ragu-ragu untuk menyerap pelbagai pengetahuan dari mana saja ia berasal. Kemudian untuk itu, pihak modernis melakukan semacam pembaharuan dalam agama dalam berbagai aspek, dari pendidikan, politik, doktrin-doktrin agama, dan ekonomi.

Kaum modernis-lah yang pertama kali mempopulerkan istilah "ekonomi Islam", atau "sistem pendidikan Islam", hal ini sebelumnya tidak pernah dikenal dalam dunia Islam. Hal pertama yang direformasi adalah sistem pendidikan. Modernis menilai sistem pendidikan yang ideal harus berorientasi ke depan dan duniawi dan tidak semata-mata bernilai ukhrowi. Ini berbeda dengan kaum
Tradisionalis yang menilai bahwa pendidikan merupakan sarana untuk mencapai Tuhan melalui penekanan pada aspek-aspek esoteris (tasawuf), akhlaq, dan spiritual yang harus dicapai melalui riyadhoh-riyadhoh ruhiyyah dan ilmiah yang sangat berat. Seorang santri harus mau hidup miskin dan sederhana dan seolah-olah tidak menginginkan dunia, hingga kadang menyiksa diri sendiri. Mereka tidak boleh hidup mapan. Kondisi masih dapat kita lihat di beberapa pesantren di desa-desa di berbagai wilayah di Indonesia. Dalam khazanah dunia tasawuf, dunia adalah sesuatu yang buruk, bahkan dalam sebuah hadis dikatakan dunia tidak lebih baik dari bangkai binatang. Oleh karena itu tidak heran bahwa kalangan tradisionalis justru sangat menolak hal-hal yang
berbau duniawi, termasuk ekonomi, politik, budaya, dan juga Barat.

Kaum modernis berpandangan lain, dunia adalah sarana untuk mencapai ridhlo Tuhan. Islam merupakan sebuah a way of life yang memuat berbagai aturan dalam berbagai aspek. Bahkan untuk tafsir Al-Qur\'an pun kalangan modernis tidak ragu-ragu menggunakan alat analisa ilmu pengetahuan modern baik itu ilmu-ilmu alam (fisika, kimia, biologi, kedokteran) maupun
ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, maupun ilmu politik modern. Kalangan modernis menerima demokrasi sebagai bentuk yang paralel dengan musyawarah. Kalangan modernis juga menerima bentuk negara-bangsa (nation-state) sebagai suatu bentuk perkembangan sejarah, bahkan menilai dalam Islam tidak ada suatu bentuk yang khusus tentang bentuk kenegaraan.(lihat Syafi\'I Ma\'arif, Sistem Ketatanegaraan Islam).

Bahkan Nurcholish Madjid dalam surat-suratnya kepada Muhammad Roem mengatakan "Tidak ada Negara Islam". Nurcholish Madjid bahkan sistem khilafah yang dibangun pada masa pasca Rasul merupakan suatu bentuk ijtihad dari kalangan para sahabat dan ijtihad itu sangat tergantung pada situasi dan kondisi pada masa demikian, maupun proses sejarah yang berlangsung.
Gerakan "pembaharuan" (tajdid, renewal) di dalam Islam secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya, baik secara individual maupun kelompok pada kurun dan situasi tertentu, untuk mengadakan perubahan di dalam persepsi dan praktek keislaman yang telah mapan(established) kepada pemahaman dan pengamalan "baru". Pembaharuan pada lazimnya bertitik tolak pada asumsi dan
pandangan -yang jelas dipengaruhi oleh situasi dan lingkungan sosial -bahwa Islam sebagai realitas sosial pada lingkungan tertentu tersebut tidak sesuai atau bahkan menyimpang sebagai Islam yang sebenarnya, Islam yang sesuai dengan cita ideal -terlepas dari bagaimanapun berbedanya persepsi tentang "Islam ideal" tersebut, sesuai dengan cara pandang, pendekatan, latar belakang sosial kultural dan keagamaan individu yang bersangkutan.(Azyumardi Azra, 1999).

Lain dengan kaum Tradisionalis. Pada awalnya justru kaum Tradisionalis tidak mengakui sistem negara bangsa (nation-state). Kaum Tradisionalis mulanya hanya mengakui bentuk negara Islam (ad-daulah al-Islamiyyah) sebagai satu-satunya bentuk negara sesuai kaidah fiqih yang digariskan oleh Imam 4 mazhab, maupun kaum fuqoha terdahulu seperti Al-Farabi dalam kitab Al-Madinatu Fadhilah (Kota Utama) maupun Imam Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkam As-Sulthoniyyah. Tradisionalisme Islam
berorientasi pada masa lampau ketimbang masa kekinian. Mereka lari ke masa para fuqoha hingga ke masa tabi\'at tabi\'in, tabi\'in, sahabat, dan Rasul.

Sebenarnya tradisionalisme ini juga menimpa sebagian dari golongan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Beberapa kelompok pecahan IM ada yang tidak mau menggunakan mobil atau kendaraan motor dan memakai senapan, mereka tinggal di gua-gua dan menggunakan panah dan tombak serta naik unta kemana-mana. Namun harus diingat tipologi gerakan tradisionalis di tiap negara berbeda sesuai dengan negara. Kaum tradisional di Maroko, Sudah, dan Aljazair berbeda satu sama lain.

Kaum tradisionalis sering kali dinisbahkan kepada Nadhlatul Ulama (NU) sebagai sebuah organisasi tradisionalis terbesar di Indonesia, tapi sebenarnya banyak sekali kelompok-kelompok tradisional yang tersebar di seluruh daerah di Indonesia. Dan mereka dipengaruhi dengan budaya lokal. Seperti misalnya Tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat, Tharekat Naqsyabandiyah di Jawa Barat, dan sebagainya. Hal ini membuat keragaman tersendiri bagi Islam di Indonesia. Ketika Indonesia merdeka, kalangan ulama NU memberi gelar waliyyul bi al-dhoruri as-syaukah, atau pemimpin negara dalam keadaan darurat kepada Sukarno, karena para

Islam Liberal dari Charles Kurzman sampai Nurcholish Madjid

Dari perkembangan modernisme inilah Islam Liberal kemudian berkembang menjadi sebuah pandangan Islam kontemporer. Kebanyakan mengetahui bahwa Islam Liberal direproduksi dari buku Liberal Islam karya Charles Kuzman. Hati-hati ini bisa menimbulkan distorsi yang sangat manipulatif.

Islam Liberal adalah sebuah gerakan dan pandangan Islam yang mendukung demokratisasi, kesetaraan gender, pembelaan terhadap hak-hak perempuan, dan mendukung pluralisme. Kesadaran tentang Islam Liberal ditandai dengan empat ciri : (1) kritis, (2) memberi dan mendatangkan energi, (3) menciptakan, (4) "menyembuhkan". (Syamsurrizal Panggabean, Makalah, ISAI, 2001). Kesadaran Islam Liberal bertugas menolak kesadaran dominan dalam budaya keagamaan, yakni kesadaran yang direproduksi oleh kelas-kelas tertentu dalam masyarakat untuk mempertahankan hegemoni budaya tertentu yang diklaim merupakan bentuk yang ideal. Tugas Islam Liberal lainnya adalah mencakup kapasitas menciptakan, yaitu kemampuan untuk
mengidentifikasi masalah, isu, dan keprihatinan umat manusia. Dan terlibat aktif menemukan jawaban-jawaban atas persoalan kemanusiaan lainnya. "Tuhan" sebagai sebuah konsep, harus dibebaskan dari tradisi keagamaan yang statis dan terkooptasi diperlukan suapaya Tuhan dan agamanya dapat kembali menuju sumber energi yang memungkinkan umat bergerak maju menuju zaman dan situasi yang lebih baik.

Pemahaman "liberal" kita kontekstualisasikan sebagai "humanisasi transenden" atau kebebasan untuk berkreativitas yang dijiwai nilai-nilai ke-Tuhan-an yang lebih luas dalam lintas ideologi, kepercayaan, agama, dan suku. Bukan dalam artian liberalisme sebagai sebuah ideologi yang mengagungkan kebebasan an sich seperti yang ditakutkan oleh beberapa kelompok Islam lainnya.

Intinya Tuhan harus dibebaskan dari lanskap pertarungan ekonomi dan politik yang ingin menjinakkan "Tuhan" dan Agama kepada kehendak pemegang kekuasaan. Menjadi liberal berarti menjadi kreatif, aktif mencari solusi dan sesuatu yang baru dan mungkin "aneh" atau kadang "lucu" namun baik untuk kemanusiaan.

Pemahaman ini didasari bahwa selama berabad-abad umat Islam dikuasai oleh rezim-rezim despotik yang menggunakan kekuasaan agama untuk melaksanakan kekuasaannya, seperti lazimnya Rezim Umayyah, Abasiyyah, Fathimiah, bahkan Utsmaniyyah. Dinasti-dinasti tidak ragu-ragu untuk menghukum kelompok-kelompok lain yang tidak sesuai dengan aspirasi
kelompoknya. Islam Liberal menghendaki adanya kebebasan bagi tiap individu untuk mengembangkan kemampuan nalarnya. Islam Liberal menghendaki Islam yang lebih majemuk dan mampu bergaul dengan kelompok-kelompok lainnya di luar
Islam. Ini sangat penting mengingatkan maraknya isu-isu hangat yang menimpa umat Islam semacam terorisme yang dinisbahkan pada kelompok-kelompok Islam, ketidakadilan dunia, ketimpangan pendapatan antara negara kaya dan miskin,
dan kasus Palestina, Moro, Bosnia, dan sebagainya.

Umat Islam harus berani bertarung dalam wacana intelektual dan berhadap dengan teori-teori Barat yang sekular dan cenderung meniadakan faktor agama. Hal ini sebenarnya sudah lama disinggung oleh Hasan Hanafi dengan mengeluarkan bukunya "Oksidentalisme", sebuah studi tentang Barat, karenanya kebanyakan saat ini justru studi tentang Timur atau Orientalisme
yang lebih marak.

Dekonstruksi Keberagamaan

Islam memandang Al-Qur\'an sebagai sesuatu yang dapat ditafsirkan dengan luas dan sangat kritis. Islam Liberal sangat membolehkan siapa saja menafsirkan Al-Qur\'an sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. "Liberasi" menjadi kata kunci dalam memahami agama sesuai dengan konteks politik, ekonomi, dan sebagainya. Jadi menurut paradigma Islam Liberal, Nalar-lah yang sangat diperlukan untuk memahami Al-Qur\'an maupun al-Hadist. Nalar dan Alam merupakan wahyu Tuhan kepada manusia untuk dipelajari dan dipahami. Individu-individu muslim harus terlibat aktif dalam membaca ayat-ayat alam dan memanfaatkannya bagi kemanusiaan yang lebih luas. Bahkan kalau perlu diciptakan tafsir Al-Qur\'an yang lebih menggunakan akal ketimbang pemahaman teks atau mungkin Al-Hadist. Pendapat ini senada dengan pendapat Nasr Hamid Abu Zaid bahwa Al-Qur\'an adalah kalam Tuhan yang diturunkan dengan bahasa manusia sesuai kondisi masyarakat pada masa Nabi. Nashr Hamid Abu Zaid
mengatakan bahwa nalar Arab sangat digunakan untuk memahami Al-Qur\'an. Teks-teks klasik atau interpretasi ulama terdahulu sangat nalar Arab, sehingga Al-Qur\'an harus dipahami tidak dengan nalar Arab melainkan nalar-nalar lain, misalnya nalar Eropa, nalar Indonesia, nalar Jepang, atau mungkin nalar Amerika. Sehingga Islam dan syariah bisa dibumikan tidak
mengawang-ngawang dan hanya bisa diterapkan di Arab.

Islam Liberal menolak ortodhoksi. Bisa dikatakan orang-orang Islam Liberal agak menolal istilah sistem politik Islam, sistem ekonomi Islam, karena cenderung bertendensi pada perebitan lanskap ekonomi dan politik. Yang ada adalah Islamic ethics (etika Islam atau akhlaq Islam) yang sangat bernuanasa tasawuf. Istilah sistem justru bernuansa kekuasaan yang akhirnya berujung
pada despotisme dan tiranisme.

Semua itu menurut aktivis Islam Liberal merupakan sesuatu yang profan (duniawi), sedangkan agama adalah sesuatu yang sangat ukhrowi.

Peta Islam Liberal di Indonesia

Peta Islam Liberal ini menyangkut kelompok-kelompok mana saja yang termasuk dalam Islam Liberal maupun kelompok lainnya. Islam Liberal dalam sebuah majalah terbitan Ibukota dilawankan dengan Islam Literal yakni Islam yang sangat tekstual dalam memahami teks-teks Al-Qur\'an dan Al-Hadis.

Islam Liberal di Indonesia dapat dikelompokkan dalam beberapa organisasi maupun jaringan. Paralel dengan Islam Liberal adalah jaringan Post tradisionalisme yang dibentuk oleh anak-anak muda NU. Post Tradisionalisme pada intinya menginginkan adanya perombakan para paradigma fiqh Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang cenderung ortodoks. Beberapa paradigma fiqh yang
dinilai cenderung terlalu menghambat adalah syarat-syarat mujtahid yang harus menguasai beberapa ilmu. Sebenarnya paradigma Post Tradisionalisme adalah kembali kepada penggunaan nalar dalam menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh dan doktrin-doktrin lama. Paralel dengan gerakan Islam Liberal dan Post Tradisionalisme Islam adalah gerakan Ikhwah atau. Gerakan ini sebenarnya
hanya berupa gerakan dakwah bukan gerakan pemikiran. Namun berbeda dengan gerakan Islam Liberal dan Post Tradisionalisme Islam, gerakan ini cenderung \'agak\' tekstual dan menginginkan sebuah masyarakat Islam yang ketat walaupun
tidak seketat Salafy Laskar Jihad. Gerakan Tarbiyyah akan sangat mungkin bertabrakan dengan Post Tradisionalisme Islam karena dua perspektif yang sangat berbeda. Anak-anak Post Tra adalah anak-anak yang sudah paham akar-akar agama. Kebanyakan dari mereka berasal dari pesantren. Namun entah kenapa setelah berkenalan dengan teori-teori Barat di IAIN mereka cenderung melakukan dekonstruksi.

HMI : Islam Liberal ?

Ada sementara sinyalemen bahwa HMI termasuk dalam Islam Liberal dalam pemahaman keagamaan. Saya tegaskan HMI sama sekali bukan Islam Liberal melainkan ia hanyalah bertindak sebagai sebuah organisasi belaka. Di sisi lain HMI banyak sekali menampung berbagai pemikiran dari Post Tra, Islam Liberal, Ikhwah, dan bahkan Salafy. Ia hanya sebuah bentuk, yang menampung berbagai isi. Walau demikian sering kali beberapa organisasi dinisbahkan dengan sebuah aliran-aliran tertentu.

Penulis adalah mantan Ketua bidang Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Depok dan pernah jadi Ketua Departemen Penerbitan dan Jurnalistik Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Depok. Pernah menulis di beberapa surat kabar

No comments: