Tuesday, March 31, 2009

DISKURSUS PEMBAHARUAN FIKH DI MESIR

DISKURSUS PEMBAHARUAN FIKH DI MESIR
(Dari Kritik Formalisme Teks Menuju Pendekatan Materialisme Konteks)
Oleh: Tolak Imam Mutra'*

1. Fâtihah
Mengangkat kembali wacana pembaharuan fikh di Mesir tentu sangat menarik dibandingkan dengan kajian-kajian lain yang bertaburan di negeri (Islam) lainnya). Ini disebabkan oleh proses transformasi intelektual yang ada di negeri Piramid ini selalu hidup dan serta didukung oleh setting dan tradisi masyarakat yang selalu berubah dan berkembang, selain gesekan-gesekannya yang cukup alot. Oleh sebabnya beberapa kontruksi baru pemikiran Islam tampil mewarnai wacana pemikiran keislaman – dan hampir mempengaruhi seluruh belahan dunia Islam. Dari proses lahirnya teologi pembebasan alias Islam Kiri-nya Dr. Hassan Hanafi pada awal dekade 80-an, sebagai magnum opus pemikiran yang kontroversial di zamannya, disusul dengan kritik hermeneutik al Quran yang dilakukan oleh Dr. Nasr Hâmid Abu Zayd pada periode awal 90-an, yang tak kalah gemparnya dengan gagasan sebelumnya. Terus di-ending-i dengan satu kontruksi baru gagasan Fikh yang dikaji dengan serius dan intens oleh dr. Jamâl al Bannâ dan Dr. Yusuf al Qardlôwi sejak awal 90-an sampai sekarang. Belum lagi jika kita meruntut kesejarahan dinamika reformasi (baca: rasionalisasi) Islam dibawah sang arsitektur Jamâluddîen al Afghâni dan Syaikh Muhammad Abduh. Dari sekelumit catatan ini dirasa cukup representatif untuk menyatakan bahwa para cendikiawan Mesir lah yang selalu mendengungkan suara rekonstruksi dan dekontsruksi terhadap beberapa tradisi pemikiran Islam klasik maupun kontemporer.

Sementara kajian rekonstruksi fikh yang juga ramai diperbincangkan di negeri kita Indonesia – sudah sejak lama proyek ini dilakukan, namun karena fikh sebagai fragmentasi dominan dalam tradisi pemikiran Islam klasik – malah ia adalah ilmu pertama yang mempunyai dasar-dasar yang mantap ketimbang ilmu-ilmu Islam lainnya – untuk tidak menyebut termapankan, semisal, Ilmu Kalam (teologi), Ilmu filsafat dan Ilmu Tafsir. Karena Fikh menurut keyakinan dan pikiran matang kita adalah selama ini merupakan cath word dibalik gencarnya isu-isu al audah ilâ al Qurân, tathbîq al syarî'ah al islâmiyah atau lebih simpelnya untuk menyatakan apakah syari'at (Islam) di persada dunia ini tegak atau bengkoknya, secara kasat mata harsu melihat fikh sebagai satu landasan utamanya syari'at. Sehingga mau tidak mau khazanah Fikh klasik harus ditarik ulurkan ketengah pelbagai problem yang dihadapi oleh segenap umat Islam. Selanjutnya ide rekonstruksi termasuk dekonstruski fikh menjadi buah bibir, sebagai satu upaya mencari kinerja generik fikh dalam ruang gerak kehidupan kontemporer.

Tulisan sederhana ini akan berusaha menampilkan secercah ulasan dibalik isu rekonstruksi fikh khususnya pasca 90-an dengan tidak melupakan beberapa gejala yang mendongkrak trend pembaharuan fikh di Mesir, yang sudah ada sebelumnya. Bagi kami pada periode inilah wacana pembaharuan fikh mulai membuka haluan dan orientasinya ke depan. Satu khazanah ilmu yang menurut Jamal al Banna sebagai ilmu yang paling berpengaruh besar akan kejumudan stagnasi umat Islam saat ini.


2. Meluruskan Definisi Akidah, Syari'ah, dan Fikh: Satu Pengantar Analisa

Islam sebagai satu ajaran keagamaan yang di dalamnya banyak terkandung dimensi kemanusiaan adalah risâlah hadlôriyah (pesan peradaban) terakhir yang dititipkan Allah kepada Nabi Muhammad saw, untuk diajarkan sekaligus dikejawantahkan oleh pemeluknya. Atau simplifikasi lebih tepatnya adalah sebagaimana yang diistilahkan oleh Dr. Muhammad Imarah, bahwa al Islâm ilâhiyu al Mashdar insâniyu al maudlû' (Islam adalah agama yang bersumber dari Tuhan namun berobjekkan manusia). Wacana global tentang Islam dengan pemahaman seperti ini telah menjadi pemikiran sekaligus praktek kehidupan masyarakat Madinah yang langsung dibawahi oleh Nabi. Dimana pada masa ini Islam sebagai ajaran Tuhan tidak terlalu banyak dipikirkan – karena faktor dan alasan kedekatan dan mungkin kharisma Nabi yang begitu tinggi di hadapan para sahabat. Namun demikian realitas ini lalu berbalik sedikit demi sedikit sepeninggalnya Rasulullah. Sehingga muncul perdebatan pertama tentang masalah politik, yang diikuti dengan berkecambahnya masalah sosial dan budaya di tengah masyarakat yang multiras dan kepentingan. Itu artinya bahwa pada periode pertama, hampir tidak ada wacana pemikiran yang begitu mendalam tentang persoalan selain agama. Walau postulat diatas belum ada, untuk menarik Islam ke ruang lain, semisal persoalan akidah, karena pada fase itu al Quran di genggam ditangan mereka serta diresapi sebagai satu keyakinan iman yang kuat. Ini jelas dengan pernyataan Nabi sendiri bahwa sesungguhnya sebaik-baiknya abad Islam, ya fase Nabi itu.

Lain halnya ketika Islam mau tidak mau secara alamiah berhadapan dengan pluralitas masyarakat dan keyakinan agamanya. Dan Islam tidak lagi harus menjadi sesuatu yang statis dan stagnan. Maka muncullah ide-ide keislaman setelah ia berbenturan dengan keanyataan-kenyataan baru yang ada. Analisa pertama yang muncul adalah apakah Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad itu sepenuhnya anjuran dan perintah yang mesti kita patuhi, dalam pengertian bahwa Islam hanya mengurungi ajarannya kepada persoalan ibadah mahdloh untuk alasan mempertebal iman dan keyakinan ? Ataukah secara seksama kita harus bisa menyatakan bahwa ajaran yang dibawa Nabi justru malah lebih mengedepankan masalah-masalah sosialnya ?

Selanjutnya para ulama' berbeda pendapat dalam mendefinisikan makna 'akidah dan syari'ah dari masa ke masa. Semisal Abu Hanifah yang menyebut akidah dengan al fikh al akbar dan syari'ah beliau sebut dengan al fikh al asghar termasuk di dalamnya persoalan-persoalan fikh. Sampai sekarang pendefinisian tepat dan tegas (syâmil wa jâmi'), masih terus dilakukan, sampai Mahmud Syaltut mantan syaikh al Azhar itu menemukan rambu dan jalan yang terang tentang definisi 'akidah dan syari'ah tadi. Sebagaimana beliau istilahkan dengan al Islam 'akîdah wa syarî'ah dan sebagai buku yang memberikan makna defrensial dari makna yang ada sebelumnya.

Memang Syaltut bukan orang yang pertama yang memberikan makna yang begitu tepat tentang 'akidah dan syari'ah – sebelumnya sudah ada ulama semisal Ibnu Qayyim al Jauziyah dan al Jurjani serta yang lainnya. Kendatipun Syaltut lah yang berhasil memetakan kerja dan fungsi baik 'akidah maupun syari'ah. Dimana 'akidah adalah merupakan hubungan vertikal manusia dengan Tuhan yang menyangkut keimanan dan keikhlasannya dalam beribadah dan tak ada sangkut pautnya dengan hubungan manusia.

Banyak nash-nash yang kuat untuk mendukung 'akidah dalam makna keyakinan-keyakinan tentang hari akhir, pahala dan dosa serta persoalan yang diistilahkan oleh teologi Islam dengan al sam'iyyât (sesuatu yang harus diyakini walau hanya berita dan pendengaran). Sementara syari'ah adalah pranata nilai yang multimdimensional yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan (sebagai tujuan akhirnya), manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Dalam perpektif ini makna syari'ah tentu lebih mempunyai gerak eksternal dan berorientasi lebih kepada masalah-masalah kemasyarakatan, sementara akidah sebagai lebih mendenotasikan dirinya terhadap persoalan-persoalan individual dan privasional.

Dengan demikian defrensiasi fungsi antara syari'ah dan akidah, dengan sendirinya telah membentuk satu pemahaman yang utuh general tentang Islam, sebagaimana yang disinggung diatas. Dengan kata lain 'akidah sebagai dasar kuat bangunan syari'ah yang utuh, keduanya tidak bisa dipisahkan sebagai symbiosa mutualistis yang saling memperkokoh, walau secara fungsional keduanya berbeda. Berdasarkan perbedaan cakupan dan tujuan keduanya, maka lahan dan lapangannya pun berbeda. Akidah berasaskuatkan nilai-nilai dasar Islam yang mujma' 'alaihi ( telah disepakati oleh jumhur ulama') yang diadopsi dari teks-teks qath'ie ( pasti tanpa ada gugatan apapun) dan langsung diterangkan oleh al Quran dan Hadist-hadist shahih yang secara khusus berbicara tentang masalah yang berkenaan dengan penguatan akidah keyakinan dan keakhiratan. Seperti hari akhir, surga dan neraka, pahala dan dosa.

Singkatnya hal-hal metafisik menjadi cakupan dasar akidah, untuk mengokohkan syari'ah sebagai cabangnya dan agar tidak terlalu melenceng. Sementara syari'ah yang konotasinya adalah persoalan keduniaan, maka sudah barang tentu ia akan banyak bersandar kepada akal dan lebih mengutamakan kemaslahatan bersama. Tak kalah pentingnya bahwa syari'ah lebih mementingkan persamaaan, keadilan yang termanifestasikan dalam sebuah undang-undang yang semestinya disusun oleh negara berdasarkan kesepakatan-kesepakatan. Penjelasan Ibnu Qayyim al Jauziyah dalam masalah syari'ah ini jelas bahwa asas dan bangunan dasarnya satu usaha untuk sedapat mungkin menghilangkan belenggu-belenggu kesengsaraan juga sebaliknya mencari celah-celah-celah kemaslahatan dan keadilan.

Bila demikian maka postulat awal tentang pengertian Islam sebagai agama yang berdasarkan keyakinan – untuk kemudian disebut sebagai ajaran langit (ta'lim samawi-rabbani) dan Islam sebagai rambu dan piranti kehidupan – untuk kemudian ia disebut sebagai agama kemanusiaan yang menjunjung tinggi demokrasi, HAM (Hak Asasi Manusia) serta anti terhadap otoritanisme penguasa. Itulah mungkin salah satu ajaran yang membedakan Islam dengan ajaran lainnya.
Untuk melihat korelasi erat antara 'akidah dan syari'ah, dalam al Quran sendiri secara tidak langsung atau langsung telah banyak ditemukan persinggungan antara akidah yang menggunakan kata amanû sementara syari'ah dengan kata wa 'amilû al shâlihâti. Dan sangat jarang al Quran menyatakan iman kecuali diikuti dengan kata 'amal.

Sungguh salah kaprah bila ada sebagian orang yang masih ngotot memaksakan kehendaknya untuk mengkotakkan syari'ah kepada persoalan-persoalan ubudiyah dan keyakinan terhadap alam metafisis, sementara sisi keduanya – atau persoalan keduniaannya (materialnya) ditepikan dari pembahasan yang tak kunjung selesai itu.

Oleh karena itu teks-teks yang bernuansakan syari'ah bukanlah teks yang mempunyai harga mati tanpa ada gugahan dan bantahan kritis. Tapi sebaliknya justru pendekatan kontekstualitas terhadap teks tersebut hidup dan berjalan berkelindan bersama kemaslahatan-kemaslahatan ciptaan rasionalitas akal manusia. Disini fungsi teks sebagai roh sementara badan dan jasad yang mengejawantahkan teks-teks adalah realitas riil yang dihadapi, tanpa saling mencurigai. Artinya untuk meng-elanvital-kan teks apapun (baik al Quran dan al Sunnah, serta gagasan hukum/fikh klasik) diperlukan satu proses bacaan dan interpretasi lewat pentradisian ijtihad bagi yang mampu melakukannya. Ini bukan berarti untuk mengurangi kesucian (qadasah) teks tersebut tapi lebih dari itu semua, untuk mengangkat nilai-nilai suci manusiawi, yang terkandung dalam teks-teks yang suci. Maka dalam membaca teks harus kita pahami terlebih dahulu apakah teks yang akan kita baca adalah teks syar'i yang berhubungan erat dengan persoalan dunia manusia, serta teks aqa'idi yang bersentuhan dengan permasalahan akhirat manusia. Bila tidak tentu akan melahirkan kesalahan-kesalahan antytesa yang kita ambil, lebih-lebih hujatan masal umat Islam terhadap pembaca akan berakibat fatal bagi keastuan dan persatuan umat itu sendiri. Inilah yang sering terjadi di tengah masyarakat (Mesir) sehingga mengapa mereka begitu anti terhadap tradisi pemikiran rasional tanpa arah. Justru mereka kadang-kadang salah meletakkan teks-teks pada kursi sebagaimana layaknya. Bahkan mereka terkadang membaurkan teks-teks syar'i dengan teks aka'idi sehingga mereka terpaksa harus rela menerima kekurang siapan masyarakatnya. Persoalan sensitif ini tentu harus kita waspadai agar tidak terjadi berlarut-larut seperti yang terjadi di masa lampau, dimana ada kecurigaan yang mendalam antara satu kelompok terhadap kelompok yang lain.

Dengan kata lain bahwa dalam terminologi, akidah – lebih dikenal dengan istilah al tsawâbit (yang pasti dan statis sifatnya), sementara syari'ah dan fikh masuk dalam katagori almutaghayirât (sesuau yang sewaktu bisa berubah dan berkembang). Persoalan akidah dan keyakinan ditempatkan pada pada porsinya yang tetap, sementara syari'ah dan juga fikh ditempatkan pada wacana dan realitas yang terus bergerak sesuai dengan kondisi dan situasinya.

Maka Jamal al Banna menegaskan bahwa kerancuan fungsi masing-masing, baik akidah yang diklaim syari'ah juga sebaliknya – sebagai prahara gangguan bagi tujuan-tujuan dasar bagi keduanya (maqâshid 'ammah). Akibat yang selanjutnya muncul adalah membanjirnya masalah akidah ke dalam masalah syari'ah menjadi satu khazanah fikih, yang penuh dengan muatan-muatan ritualitas keagamaan – sebagaimana warisan fikh yang sedang kita kritisi itu.

Dalam jangka kurang lebih 20-an belakang persoalan ini semakin dipertajam dan dianalisa untuk sampai kepada satu titik temu-sepakat, bahwa fungsi syari'ah dan akidah harus dipisahkan secara konsepsional, walau syari'ah secara praktikal sebagai cabang dalam konsepsi dasarnya tunduk dibawah kekuatan akidah sebagai dasarnya. Bila persoalan keterkaitan ini diluruskan tampaknya persoalan-persoalan mendesak akan dapat teratasi dengan baik dan sempurna, sesuai dengan apa yang kita harapkan.

Selanjutnya bagaimana dengan fikih yang selama ini kita pahami sebagai elemen atau mungkin bagian dasar dari syari'ah Islam. Fikh yang berasal dari kata faqaha yang berarti memahami, dan menelaah, adalah bagian yang tak terpisahkan dari tradisi Islam klasik yang terus langgeng hingga kini. Tetapi fikh dalam dinamika selanjutnya lebih dokonotasikan kepada pemahaman-pemahaman interpretatif terhadap al Quran dan al Hadis, untuk merumuskan hukum Islam, baik yang berbentuk 'ibâdah atau mu'âmalah. Disayangkan fikh menjadi bagian dari khazanah yang di puja secara berlebihan – selanjutnya mengeluarkan fikh dari makna dasarnya pemahaman yang bebas dan sah-sah saja. Oleh karena penyelewengan makna sebagaimana yang dinyatakan al Qardlowi, arti fiqh harus dirubah dan dikeluarkan dari pengertiannya yang asli, bahwa fikh adalah ilmu yang membahas tentang pengambilan hukum dari nash-nash global yang dilakukan oleh para fuqahâ'. Al Qardlowi lebih sepakat untuk memaknai fiqh dengan pemahaman global tentang segala sesuatu yang terjadi ditengah kita sebagai bahan renungan dan kajian. Al Qardlowi lebih setuju dengan mengartikannya dengan pemahaman yang bebas sesuai dengan terminolgi al Quran itu sendiri. Pemahaman ini diberangkatkan dari beberapa terminolgi qur'ani semisal, yafqahûn, yatadabbarûn, ya'qilûn serta beberapa terminolgi lain yang merujuk kepada makna yang sama yaitu memahami.

Sama dengan Jamaluddien Athiyah, Yusuf al Qardowi serta Jamal al Banna berupaya untuk membawa fikh keluar dari makna dasarnya yang sudah dikenal secara umum di seluruh lapisan masyarakat awam. Karena fikh menurut Athiyah dalam perspektif al Quran atau al Hadist adalah menyangkut, masalah akhlaq (etika) mu'amalat (pergaulan) disamping berarti ibadah atau akidah.

Permasalahan inilah yang banyak disorot oleh beberapa ulama' fikh di Mesir belakangan, termasuk baik oleh Majlis a'la li al Syu'ûn al Islâmiyah, serta IIIT (International Institute of Islamic Though). Upaya ini dilakukan untuk tidak semata-mata mendendangkan nyanyian lama yang sudah usang dan tidak sesuai dengan konteks kekinian. Bahkan Yusuf al Qardlowi selalu menekankan bahwa fikh, harus selalu disandarkan kepada pemahaman-pemahaman atas dasar kaidah-kaidah fikh yang rasional dan real. Jadi terminologi fikh yang berada dibawah naungan syari'ah tetap mendukung upaya futuristik memahami teks-teks lama atas dasar perimbangan dan equilibrium kenyataan-kenyataan yang ada.


3. Polarisasi Fikh Pasca 90-an; Inklusif dan Multilinear

Melihat arkeologi wacana pembaharuan fikh di Mesir khususnya pasca 90-an – merupakan putaran sejarah singkat dinamika yang menarik perhatian. Pada masa sepuluh tahun ini fikh (di Mesir) banyak mengalami polarisasi – untuk tidak menyatakan bipolarisasi – karena banyak aliran pemahaman yang sempat mewarnai pergumulan dinamika tersebut. Walaupun akhirnya terpulang kepada bipolarisasi yang disebabkan semakin terbukanya lahan dan wahana pembaharuan yang ada. Disini ada beberapa kelompok yang hadir dalam arena rekosntruksi fikh.

Kelompok Pertama: kelompok tekstualis atau transkriptualis. Kelompok ini adalah kelompok yang memandang dan meletakkan fikh pada garis status quo dan mapan. Secara garis besar problem yang mereka hadapi adalah bagaimana mempraktekkan khazanah fikh klasik, serta menolak beberapa hasil jerih olah-pikir para cemdikiawan kontemporer yang telah merumuskan (ijtihad) untuk membawa fikh kepada tataran wacana bebas dan terbuka. Sementara mereka sendiri kebingungan untuk menjawab beberapa persoalan dimana fikh punya andil besar di dalamnya. Keinginan untuk memuja teks-teks (khususnya yang syar'i) mendarah daging dalam benak pikiran mereka. Kelompok inilah yang masuk dalam katagori yang diistilahkan fikh dengan al muqallid yang suka menjiplak, meniru dan kurang kreatif lebih-lebih tertutup dan fanatis.

Simplifikasi yang cukup jelas adalah ketika masalah non madzhab dicoba diangkat kepermukaan, mereka serta merta menolak ide anti madzhab, khususnya madzhab yang empat (syafi'i, Maliki, Hambali, dan Hanafi). Alasan mereka simpel bahwa kita – menurut kelompok ini – belum mampu untuk melakukan ijtihad sebrilian otak mereka, dan kalaupun bisa kita tidak akan bisa mengantongi hasil yang maksimal. Sementara di Mesir persoalan bermadzhab sudah menjadi kebebasan dan hak individu. Memang ada pertentangan prinsipil pada kelompok ini. Di satu sisi mereka ingin seperti generasi pertama Islam (Nabi dan sahabat) tapi anehnya mereka kurang terbuka mata hati dan kepalanya terhadap kenyataan-kenyataan yang ada. Padahal di zaman Nabi keterbukaan cukup dipegang, termasuk oleh para sahabatnya sendiri. Banyak tokoh yang berbaris dalam kelompok ini, semisal Syaikh Mutawalli al Sya'rawi (almarhum), Athiyah Saqar, Yahya Isma'eil dan sederet nama lainnya.

Kelompok kedua: kelompok moderat alias penengah. Kelompok yang selalu berusaha untuk melakukan pendekatan-pendekatan yang bijaksana khususnya dalam masalah fikh. Landasan dan pijakan kelompok moderat ini jelas – untuk dinyatakan sebagai kelompok representatif yang hadir tepat pada waktunya. Mereka menyebut dirinya sebagai umatan wasathan, atau almutawassithûn sebagaimana disinyalir al Quran. Malah kelompok inilah yang bersuara lantang menyuarakan ide-ide rekonstruksi wacana fikh, sejak lebih sepuluh tahunan silam. Dari persoalan lama yang terbarukan, semisal pembebasan madzhab (allâmadzhabiyah), masalah halal-haramnya lagu, dan kasus khitan (yang juga pernah marak di Mesir), kasus kloning, masalah transmisi (pemindahan) sebagian organ tubuh dari sakit kepada yang sehat, sampai kepada masalah bayi tabung. Banyak kasus kontemporer yang dilerai-tengahi oleh jajaran garda depan kelompok ini. Sehingga elastisitas dan kesupelan ajaran Islam nampak terbuka, bebas dan tidak kaku berhadapan dengan persoalan-persoalan modernitas.

Mereka tidak semata-mata mengillustrasikan persoalan dengan teks, tapi di saat yang sama mereka mengangkat rasionalitas sebagai penyeimbang teks. Malah dalam banyak kesempatan mereka mencoba mengetengahkan beberapa solusi alternatif kejumudan fikh, sehingga mereka pun harus mencoba melepaskan sekat-sekat untuk sampai kepada tujuan mereka. Banyak pemikir yang terkelompokkan dalam bagian ini, semisal Dr. Yûsuf al Qardlowi – yang banyak melemparkan gagasan-gagasan baru fikh. Dari fiqh al wâqi', fikh al muwâzanât, sampai kepada fikh al awlawiyât. Juga Dr. Salîm al Awwâ, salah seorang yang turut angkat suara dalam wacana rekosntruksi fikh ini. Termasuk dalam juga Dr. Muhammad Imârah, Dr. Ra'fat 'Usmân dan beberapa nama lainnya.

Kelompok ketiga: adalah kelompok ekstrim kiri – satu istilah yang digunakan untuk menyebutkan identifikasi kelompok yang terlalu mengagungkan akal dan rasionalitas, sebagaimana sudah dikenal umum – seperti yang diistilahkan Hassan Hanafi dengan al yasâr al islâmi - sebenarnya mereka secara prinsip hampir sama dengan kelompok kedua, namun kelompok ini tidak terlalu menghiraukan formalisme teks-teks klasik yang sudah usang. Karena kesesuaian masa dan setting-nya sudah terputus. Malah mereka berani menggugat al Hadist yang kurang masuk akal (malah ada yang mengingkari hadist nabi), karena banyak pertimabangan-pertimbangan yang harus dilihat dalam Hadist. Dari persoalan sanad (kesinambungan perawi hadist), matn (subtansi Hadist) serta proses sejarah yang membentuk Hadist serta kebohongan-kebohongan yang banyak ditemukan dalam beberapa Hadist.

Yang sangat mengesankan dari kelompok ini bahwa mereka dengan serius melihat kenyataan bahwa betapa fikh lah yang menyebabkan kemunduran umat Islam. Karena selama kurang lebih seribu tahun lamanya kita dicekoki dengan paham-paham yang justru merunyamkan masalah. Selebihnya merekapun melakukan dekonstruksi besar-besaran terhadap wacana fikh, khususnya yang menyangkut sumber-sumber ajaran (mashâdir al tasyrî' al islâmiy). Dimana selama ini kita mengenal ada empat dasar pokok ajaran Islam yang diproduk oleh para aimmatu al madzâhib. Al Quran, al Sunnah, Ijmâ' dan Qiyâs, serta beberapa sumber yang masih diikhtilafkan, seperti al istihsân, al mashâlih al mursalah, al istish-hâb dan saddu al dzarâ'i'. Semuanya terakumulasi dalam satu mega proyek rekontruksi fikh yang dilalui oleh Jamal al Banna dalam tiga jilid buku nahwa fiqh jadid. Satu lompatan jauh kedepan yang dilakukan kelompok ini.
Namun demikian sebagaimana yang disinggung diatas tadi untuk merambah jalan diskursus fikh yang ada di Mesir - lebih tepatnya bila mempresentasikan dua kelompok diatas, antara yang moderat yang esktrim. Sehingga jangkauan ke depan fikh bisa dilihat secara substansial atau wadl'u al niqath 'ala al ahruf, dari pada mendiskusikan aksesorialisasi fikh model kelompok pertama. Dan disini bisa kita cari titik lemah dan titik lebih, antara kedua kubu. Kendatipun pada akhirnya ada garis paralel isi – walau terkadang formatnya berbeda antara keduanya dalam membenahi kekurangan yang ada dalam fikh.


D. Rekonstruksi - Dekonstruki Fikh: Tuntutan dan Kebutuhan

Seperti biasanya satu upaya rekontruksi apapun bentuk dan namanya tidaklah lahir dari kealpaan. Tapi ia lahir bersama tuntutan dan kebutuhan zaman dan realitas yang terus mengontaminasi sebuah munculnya kontsruksi yang akan diperbaharui. Maka harus sejak dini diyakini bahwa proses rekontruksi-dekontruksi sebuah pemikiran, terlebih khusus fikh selalu berakumulasi bersama alam nyata yang terus berkembang. Dengan demikian melihat kepada proses ini, rekonstruksi fikh lahir karena adanya tuntutan sekaligus karena adanya kebutuhan untuk melakukannya. Bukan semata-mata untuk memperuncing masalah-masalah lama dalam tradisi Islam klasik – ulama' fiqih alias fuqaha' ikut campur dalam kekuasaan, sehingga fikh bercampur baur dengan kepentingan penguasa. Jadi memang ada tuntutan luar yang mengajak ulama' fikh untuk memberangus tradisi taklid buta tanpa dasar. Dan juga ada kebutuhan dan kepentingan internal yang ada dalam diri umat Islam untuk berani dan terbuka berbicara dengan bahasa dan lidah mereka sendiri – sebagaimana yang diistilahkan oleh Dr. Alwi Shihab.

Antara tuntutan dan kebutuhan ibarat dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan. Tuntutan adalah wujud material-eksternal yang secara langsung tampak. Oleh karena itu fikh dituntut melihat unsur yang ada di luar dirinya sendiri, untuk selanjutnya melakukan otokritik terhadap dirinya. Sedangkan kebutuhan adalah wujud formal-internal fikh itu sendiri yang secara langsung tampak dalam berbagai kajian-kajian dan seminar yang terus digalang, demi menyalaraskan antara tuntutan dan kebutuhan diatas. Wujud material adanya tuntutan fikh adalah adanya perubahan-perubahan yang terjadi di dalam semua sektor kehidupan riil, dari persoalan budaya, politik, ekonomi yang didukung oleh pesatnya arus globalisasi, yang membawa kita seakan-akan masuk dalam dunia aneh nan fantastik tapi nyata. Pada proses selanjutnya kebutuhan kita untuk secara seksama berintrospeksi ke dalam bahwa ternyata kita harus bangun dan bangkit menyongsong hari esok yang lebih mapan. Dalam hal ini fikh bertanggung jawab penuh atas jalannya proyeksi Islam kaffah, walau tidak secara keseluruhan dipegang oleh fikh. Al Qardlowie meresahkan persoalan modernitas ini seraya menjadi halangan fikh alias syari'at untuk dipraktekkan. Namun optimisme harus ada dan tumbuh untuk menjawab semua itu, bila kita mau kembali kepada sumber dasar Islam yang murni, dengan pemahaman yang terbuka dan inklusif.

Kini fikh berhadapan vis a vis dengan dua hal diatas, tuntutan dan kebutuhan dimana fikh tidak mungkin hengkang-lari dari dua persoalan tersebut. Tuntutan untuk tetap menyesuaikan dengan ruang dan waktunya, pada saat yang bersamaan fikh (ulama') lazim terus mencoba untuk keluar dari kungkungan erat tali teks yang sangat formal. Di sisi lainnya fikh butuh untuk direparasi di sana sini sambil bertanya, apakah fikh itu cocok dengan format dan materi lamanya, tanpa melewati jalan bacaan ulang dan interpretasi yang kongruen antara teks-teks fikh dan kenyataan-kenyataannya ? Singkat kata fikh untuk mengeksiskan kinerjanya dalam dunia nyata harus supel dan tidak kasak kusuk.

Namun demikian banyak benturan yang ditemukan ketika mereka sepakat untuk memformat ulang fikh, baik itu yang berbentuk metodologi - pendekatan (manhaji) atau yang berbentuk materi (maudlu'i) fikh itu sendiri. Dr. Jamaluddien Athiyah memberikan kerangka dasar sebagai upaya untuk memformalasi fikh dari dua sisi ini. Pertama: bahwa yang menyangkut dengan persoalan metodologis fikh harus dibangun dari dalam tradisi Islam yang selama ini ada. Artinya fikh tidak usah menggunakan pendekatan-pendekatan lain di luar Islam, semisal teori semeutika (alsiniyah), dekonstruksi (tafkikiyah) atau teori kesejarah (tarikhiyah). Kedua: yang berkenaan dengan materi inti fikh, dimana fikh harus dilihat secara objektif dan dinamis. Nampaknya yang paling mendesak untuk dari dua gagasan ini adalah terletak pada yang kedua, bahwa kita membutuhkan memperbaiki materi yang sudah terbakukan.

Yang paling urgen untuk diangkat pada dataran proses rekonstruksi atau dekonstruski diatas dan pada saat yang sama, adalah adanya satu kepedulian yang sangat tinggi untuk tetap kembali membuka tertutupnya kran ijtihad – karena ghalq al ijtihad tidak mempunyai satu dasarpun yang ada dalam al Quran dan al Sunnah, yang merujuk kepada arti penutupan pintu ijtihad sebagai klaim yang berkembang selama ini – ini bisa ketemukan dalam berbagai kalangan intelektual tual dari berbagai spesialisasi dan kelasnya, yang terus menepukkan tangan menuju ijtihad yang fair dan objektif. Tujuan intinya adalah bagaimana Islam (syari'ah) bisa berjalan berdampingan dan berkelindan dengan tuntutan modernitas yang sangat mendesak.

I. Ijtihad: Memilih Pendekatan Tektualitas atau Realitas
Mayoritas pemikir Islam (moderat/dan sebagian yang ekstrim kiri) telah menyatukan barisan melapangkan jalan menuju terbukanya pintu ijtihad khususnya dalam fikh. Walau tak sedikit yang menentang karena beberapa alasan yang kurang jelas. Diantara alasan-alasan penting yang masih hangat dibicarakan dalam kerangka ijtihad ini adalah; Pertama tentang prasyarat yang harus dipenuhi oleh sebagian mujtahid, apakah masih akan menggunakan standart-standart yang lama ? Yang rasa-rasanya sulit dipenuhi bagi mereka yang ingin sekali masuk dalam kelompok pembaharuan fikh lewat ijtihad ini. Kedua : perdebatan sengit tentang tuntutan dekonstruktif terhadap mashadir al tasyri' al islamiy yang hampir seribu tahun lamanya dibekukan. Ketiga: adanya satu tuntutan untuk menyajikan fikh dengan berbagai formatnya yang menjanjikan, seperti akumulasi fiqh taysir yang diformat al Qardlowi menjadi tiga bagian pokok fikh kontemporer, yang mengkristal dalam fiqh al muwazanat, fiqh al awlawiyat, fiqh al taysir serta pelbagai usaha untuk memperbaiki fikh dari dalam.
Untuk yang pertama mungkin yang paling mendesak, karena menyangkut siapa yang akan masuk dalam kelompok mereka yang memenuhi syarat dan kapasitasnya untuk memperbaiki substansi fikh. Boleh kita curiga dibalik prasyarat yang diletakkan oleh para ulama' fikh tentang permasalahan ini. Karena dari delapan yang digariskan oleh mereka tentu sangat sulit untuk dipenuhi.

Persyaratan-persyaratan itu adalah :
(1-2) Menguasai Ayat dan ahadist al ahkam (ayat dan hadist yang menyangkut persoalan kategoris hukum yang lima), (3) Naskh dan mansukh, (4) Pengusaan tata cara ijma', (5) Mengetahui wujuh (bentuk-bentuk) al qiyas termasuk didalamnya 'ilal al ahkam, cara menafsirkan, nilai mashlahah, (6) Menguasai bahasa Arab (nahw dan sharf), (7) Menguasai ilmu Ushul Fiqh, (8) mengetahui maqashid al syari'ah - sampai sekarang masih tetap dipertahankan tanpa pengurangan satupun. Sebagaimana yang masih dipegang erat oleh Dr. Wahbah Zuhaili serta mayoritas ulama' al Azhar yang beraliran kanan, dan tetap menjadi bahan atau materi utama fikh (mata kuliyah) di semua fakultasnya. Secara prinsipil delapan prasyarat seperti yang ada diatas telah mengundang perhelatan yang cukup lama dan tetap dipertahankan oleh kaum tradisinalis ekstrim kanan, untuk memperkuat posisi mereka sebagai orang yang paling berhak dan paling mampu untuk melakukan interpretasi teks. Sementara kaum reformis dan rekonstruktis tetap berupaya sekuat tenaga mempermudah pintu ijtihad dengan mengurangi prasyarat diatas.

Seperti Dr. Salim Awwa yang secara makro mensyaratkan dua hal penting. Pertama: mengetahui dengan jelas nash-nash al Quran dan al Hadist sebagai teks dasar hukum, Kedua: mengenali realitas dan keadaan yang dihadapi sebagai realitas dan konteks empiriknya. Karena menurutnya ijtihad bebas dilakukan siapa saja, supaya tidak ada monopoli. Lebih radikal dan kerasnya Jamal al Banna seorang penggagas mega proyek fikh baru (fiqh jadîd) – ia bukan hanya mengajak merekosntruksi fikh klasik – tapi lebih dari itu mengobarak-abrik infrastruktur fikh yang seakan-akan termapankan selama kurun waktu yang cukup lama, yang masih terus didebatkusirkan oleh para ulama'. Dengan mengutip Syaikh Muhammad Saad Jalal bahwa hanya ada tiga syarat bagi seorang mujtahid dalam fikh. Yaitu (1) Ilmu Jiwa (2) Ilmu tentang yang berkenaan dengan ijtihad (3) dan Ilmu Ekonomi. Artinya ada pemetaan tugas antara seorang faqih dan seorang ekonom dan ahli jiwa. Seorang mujtahid dalam pandangan ini lebih menekankan perlunya spesialisasi. Mengingat perbedaan antara kebutuhan fikh klasik yang banyak mencekoki masalah ibadah ritual, sementara fikh saat ini lebih dituntut untuk mengentas persoalan ekonomi, semisal riba dan asuransi, investasi, perbankan. Atau persoalan medis, bolehkah kita mencangkok tubuh (transmisi tubuh), untuk menyelamatkan orang sakit, sementara jika ada orang yang memberikan salah satu anggota tubuhnya ia kemungkinan – menurut tinjaun medis akan sembuh. Persoalan yang dicoba diangkat untuk mempermudah proses ijtihad adalah pendekatan teks lewat konteks. Konteks sebagai dasar dan teks sebagai cabangnya, seperti piramida terbalik dari yang selama ini dipakai, dimana teks digunakan untuk mendekatkan dengan konteks. Biarpun ada sebagian yang secara subtansial mendukung paradigma ini, tapi secara prinsipil kurang sepakat untuk menciptakan nuansa fikh seperti yang ada di atas.

Walau masih tetap berdebat tentang persoalan ini, dan masing-masing tetap bersikeras dengan pandangan ideologisnya yang berbeda. Yang jelas proporsi dan letak masalah sebenarnya adalah pada sejauhmana kemampuan personal dan kredebilitas intelektual serta spesialisasi masing-masing. Maka disini ijthad yang perlu dibangun adalah institusi yang secara resmi mengatasnamakan sebagai instansi pengambilan hukum, yang secara keanggotaan melibatkan para pakar yang tentu punya andil dan kepentingan di dalamnya. Sehingga akar masalah dan solusinya cepat ditemu jalan keluarnya. Bila tidak demikian, fatwa dan bentuk hukum apapun sulit rasanya untuk disosialisasikan, diaktualisasikan di tengah masyarakat.

II. Kritik Atas Mashadir al Tasyri' al Islamiy: Mengedepankan Sisi Rasionalitas
Sementara yang kedua tentang mashadir altasyri' al islamiy (sumber-sumber dasar syai'ah Islam) - sejauh yang kita amati selama ini belum ada tembusan yang diusahakan oleh para teoritisi fikh – tidak saja di dunia Islam dimana semangat keislamannya moderat dan lebih kompromistis, dan dunia Islam yang sudah berkenalan lama dengan sistem dan peraturan konvensional Barat pun belum bisa meletakkan pada porsi yang sebenarnya. Kendatipun persoalan perombakan terus berjalan sesuai dengan waktu dan tuntutannya – seperti perspektif yang telah digambarkan diatas. Bahkan yang ditemukan adalah pembakuan dan pembekuan dasar-dasar syari'at yang apabila kita – memilih untuk memisahkan dataran cakupan akidah dan syari'ah tentu harus ada perubahan paradigmatik kritis terhadap sumber-sumber tadi, setelah mengalami proses kesejarahan yang cukup lama.

Oleh karena itu sangat menarik perhatian bila persoalan semacam ini diangkat dalam satu wacana reformasi Islam saat ini – serta dalam wahana dan situasi umat yang terbelakang dan ditunggangi oleh beratnya kungkungan khazanah mereka sendiri. Dan sebagaimana di-mafhumi bersama tentang dasar-dasar hukum Islam dan sudah diijma' oleh para fuqaha' selama ini. Yang pasti ada empat sandaran dasar pokok ajaran (hukum) Islam, yang harus menjadi bahan rujukan dan blueprint dalam pengambilan sebuah ketentuan hukum tentang satu masalah – tidak saja tentang masalah lama yang terbarukan, tapi juga persoalan modern.

Pertama: Al Quran sebagai basic need sebuah pengambilan hukum apapun dalam segenap masalah fikh. Kedua: adalah al Sunnah al nabawiyah sebagai keterangan pelengkap dan suplementer dari al Quran. Ketiga: Qiyas sebagai tradisi yang telah dipraktekkan oleh para sahabat dalam proses pengambilan hukum. Keempat: Ijma' adalah kesepakatan bulat para mujtahid di setiap masa dimana hukum diambil dan sisepakati. Tentu untuk yang terakhir ini masuk di dalamnya semua ijma' yang sudah ada dalam khazanah fikh klasik. Tentu disana masih banyak sumber-sumber hukum lain yang masih di-ikhtilafkan oleh para ulama' fikh. Seperti istihsan (satu cara yang mengesampingkan masalah-masalah yang kurang bersesuaian dengan kaidah dasar umum), istishlah ( pegambilan hukum dengan mempertimbangkan nilai dasar tujuan syari'at) atau lebih dekat kepada kaidah dar'ul maqasid muqaddam 'ala jalb al mashalih. Selain itu ada al 'urf (satu proses pengambilan hukum dengan menghormati budaya lokal, al 'amal bi syar'i man qablana (hukum yang tidak ada dalam hukum Islam), al amal bi madzhab al shahabi (mengambil hukum yang telah diambil para sahabat), sadd al dzara'i' (menhindari mafsadah dengan menempuh satu cara yang lebih ringan), dan al istishhab (mengambil dan membuang hukum yang sudah ada, sesuai dengan perubahan yang ada.

Namun demikian dari apa yang telah diuraikan singkat dalam pranata dasar fikh sebagaimana kita pahami dan kita pakai selama ini, secara langsung atau tidak telah memciptakan suasana yang penuh kegamangan dalam pengambilan hukum, oleh karena faktor sandaran paradigmatik dan mendasar yang tidak dielaborasi. Pada proses selanjutnya mengantarkan fikh kepada sakralitas jjtihad lama, serta para fuqaha' itu sendiri. Disini lalu muncul pernyataan-pernyataan yang mereka gembar-gemborkan untuk menyerang fikh yang telah mengkristal itu. Dengan melegitimasi bahwa sebenarnya para ulama, terdahulu tidak pernah menyuruh kita mengikuti madzhab dan pikirannya. Seperti pernyataan mayoritas ulama' fikh yang berbunyi " ra'yi shawabun yahtamil al khatha' wa ra'yu ghairi khatha'un yahtamil al shahawab". Tapi perlu dilihat secara harfiah pernyataan mereka, bahwa mereka tetap mendahulukan pendapatnya atas pendapat orang lain. Yang jelas untuk menjual dagangan rekonstruksi – sebelum ada dekonstruksi adalah dengan slogan-slogan bermakna seperti diatas. Masih banyak slogan yang sering dipakai secara umum untuk masuk ke proses perombakan dan perubahan yang diperlukan. Tak kalah pentingnya adalah penggunaan kaidah yang berbunyi "taghayyur al fatwa bi tghayyur al zaman". Persoalannya kemudian adalah mampukah proses dekonstruksi ini menembus tembok kuat pemikiran lama tentang persoalan mashadir al tasy'ri' ini?

Melihat rigidnya persoalan diatas, membawa Jamal al Banna kepada satu usaha dekonstruksi paradigma ini menjadi satu agenda besar fikh kontemporer ( fikh jadid) yang dikarangnya. Jamal al Banna bukanlah orang pertama yang berusaha untuk mencairkan batu es empat sandaran hukum Islam seperti yang sedikit diuraikan diatas. Namun kelebihan al Banna ketika mencoba berani mengangkat suaranya untuk menampilkan dalam sebuah kajian utuh, ketimbang kajian yang ada sebelumnya, yang berputar di dunia isu dan klaim, tanpa ada gagasan yang jitu. Secara substansial dan formalnya atau kuantitasnya tidak terlalu berbeda dengan yang sudah ada, tapi jalan kompromistis yang diambil al Banna itu yang justru menarik. Disamping itu para pemerhati fikh kontemporer, semisal al Qardlowi dan Salim al Awwa belum pernah mengangkatnya seberani al Banna.

Dalam buku ketiga Nahw fiqh jadid mencatat bahwa ada empat dasar pokok ajaran Islam ( ushul al syari'ah). Pertama: akal, kedua; pranata nilai yang ada dalam al Quran, ketiga; al Sunnah, keempat; al 'Urf (kultur atau tradisi). Untuk persoalan pertama dengan mengutip salah seorang penyair ternama Abul Ala' al Ma'ri al Banna memulai bahasannya
" mengapa semua orang merasa seang untuk menjadi seorang pemimpin
yang suka berbicara di hadapan orang tuli"
"sungguh bijak bagi mereka yang tahu bahw pemimpin mereka adalah akal mereka sendiri"
yang menunjukkan mereka di terangnya pagi dan petangnya malam"

Al Banna dalam meletakkan akal dan daya nalar rasional ini pada unsur pertama dasar ajaran Islam, karena dua alasan pokok. Pertama bahwa akal merupakan kunci pertama untuk memahami al Quran secara linguistik dan sosiologis, serta historis, apalagi dalam al Quran sendiri banyak kata yang mengandung makna yang berdeda yang satu dengan yang lainnya. Secara kesejarahan para ulama' khususnya ahli sastra, pada dasarnya telah melangkah ke arah pehamaman rasional untuk mencari nilai i'jaz yang ada di dalamnya. Berdasarkan pertimbangan ini menurut al Banna al Quran tidak mengenal istilah naskh atau mansukh sebagaimana yang ditulis oleh para ahli tafsir. Al Quran merupakan kesatuan yang sulit dipisahkan. Untuk menguatkan pendapatnya ia pun merujuk kepada perintah-ajuran al Quran tentang perlunya akal dalam memahami gejala alamiah, selain menggunakan hadist-hadist. Kedua; karena para ahli fikh klasik salah menempatkan akal dalam memecahkan persoalan-persoalan yang ada khususnya fikh. Artinya mereka lebih suka menggunakan logika atau filsafat Aristoteles – katakalanlah untuk membuktikan adanya tuhan, padahal dalam hal ini nampaknya bagi akal terlalu mudah untuk membuktikannya. Selanjutnya berakibat fatal, ketika akal tidak bisa difungsikan secara maksimal dalam menafsirkan ayat-ayat tentang syar'iah dan menjadikan nash-nash sebagai dasarnya.

Mendekati persoalan fikh sebagai mainstream pokok syari'ah – menurut pemahaman yang diterangkan diatas – dengan memposisikan akal secara proporsional. Sehingga rasionalitas dan kesesuaiannya dengan piranti realitas menjadi syarat mutlak pemberdayaan fikh saat ini. Sekaligus langkah progresif ke depan yang meletakkan al Quran bagian dari teks yang mesti dipikirkan dan diletakkan sebagaimana teks lainnya.

Kedua; pranata nilai al Quran. Sebagai mukjizat terakhir al Quran telah dijamin secara subtansi dan nilainya oleh Allah swt. Letak kemukjizatannya ia mampu menyesuaikan dirinya sesuai dengan zaman dan waktunya, kendatipun demikian ia tetap membuka diri terhadap semua perubahan. Ini bisa kita perhatikan dari beberapa ayat yang merujuk kepada berartinya sebuah masa depan yang diketengahkan al Quran, sebagai pergumulan panjangn sejarah manusia. Ibarat al Quran sebagai "benih" yang sulit ditebak isi dan maknanya, sampai datang sebuah masa yang bisa berapreseasi dengan al Quran. Sebabnya ia tidak turun untuk satu zaman dan satu umat, tapi ia datang untuk kepentingan semua manusia.

Selanjutnya Jamal al Banna menjelaskan " Salah satu kelebihan al Quran adalah bahwa ia bukan semata memuat ayat tentang hukum, bukan pula kitab sejarah, ilmu pengatahuan atau geografi sekalipun. Tapi ia hanya sekedar isyarat dan kunci dasar yang merujuk kepada semua itu. Mengapa al Quran tidak menekankan isinya kepada persoalan hukum yang menyeramkan. Ada dua alasan, pertama: karena ayat al Quran yang membicarakan tentang hukum hanya sekitar dua ratus ayat, bagi mereka yang berusaha untuk meminimalisir kuantitas ayat tersebut, dan lima ratus ayat bagi mereka yang condong melebih-lebihkan. Dan hukuman yang jelas-jelas berat hanya ada lima ayat. Kedua: kalau kita melihat dengan jeli ayat-ayat yang mengetengahkan persoalan itu, hadir dalam teksnya yang cukup umum, dan tidak terinci secara mendetail.

Dari saking sedikitnya ayat yang membahas tentang itu, maka ia harus bisa diinterpretasi dengan bebas, demi mencari satu nilai dasar. Nilai dasar itulah yang al Banna sebut dengan proses realisasi teks-teks, sesuai dengan konteksnya. Semakin bisa menyelami nilai-nilai itu, justru semakin memperbaiki kondisi masyarakat, dan karena nilai-nilai itulah yang sesuai dengan jiwa Islam yang benar. Dengan tetap konsisten terhadap pendapat sebelumnya, ketika al Banna membedakan fungsi akidah sebagai satu nilai benar absolut, dan syari'ah sebagai presentasi nilai keadilan.

Ketiga; sedangkan landasan ketiga ajaran Islam adalah al Sunnah. Seperti biasanya – landasar ini seharusnya adalah ijma'. Tapi bagi al Banna tidaklah demikian, ijma' di deposisikan sama sekali dari unsur dasar tasyri' islami – seperti yang dipahami selama ini. Karena ijma' tidaklah mempunyai dalil yang kuat untuk dijadikan sandaran, tapi ia lebih dekat kepada tradisi atau al 'urf – sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam al Juwaini. Lebih radikal lagi Ibnu Taymiyah yang mengatakan bahwa tidak ada satu masalahpun yang diijma' oleh ulama' kecuali, Rasul sendiri telah memberikan keterangan hukum yang pasti.

Banyak orang yang salah memahami makna al Sunnah, sehingga kemudian kesalahan pemaknaan ini, telah menimbulkan kesan yang cukup berlebihan terhadp rasulullah itu sendiri. Sehingga menafikan unsur-unsur kesejarahan, kemanusiaan dan penyampaian risalah. Sebab inilah yang kemudian menyeret kepada pengertian "membesarkan" makna uswah * - dalam pengertiannya yang juga berlebihan. Maka dari sisi ini al Banna secara detail membahasnya dalam buku al sunnah wa dauruha fi fiqh al jadid. Oleh karena pemetaan makna sunnah ini akan semakin membantu terbukanya nalar rasio umat Islam. Maka ada tiga makna pokok yang dikandung dalam pengertian sunnah. Pertama: al sunnah al hayatiyah (sunnah yang menyangkut kehidupan antara manusia), rasulullah dalam perspektif ini diletakkan seperti biasanya manusia, yang mempunyai keluarga (baca; kawin), yang berperan sebagai seorang bapak dan suami yang patut diteladani. Kedua; al sunnah al 'ibadiyah (sunnah yang menyangkut ritualitas). Artinya nabi sebagai orang yang rajin beribadah untuk mendekatkan dirinya kepada Allah swt. Ketiga; al sunnah al siyasiyah. Nabi sebagai pemimpin negara (Madinah) yang mempunyai sikap dan pemikiran politik yang cerdas dan brilian. Namun demikian para sahabat tidak melihat nabi dengan multimakna sunnah, sebagaimana yang ada tadi, sehingga menganggap bahwa semua yang diucapkan, dikerjakan dan dipikirkan rasul adalah bagian integral dari ajaran Islam. Pada perjalanan selanjutnya para sahabat dengan penuh yakin menghafal dan menuliskan hadist-hadist yang disabdakan rasulullah, tanpa melihat kepada tiga dimensi rasul, sebagi basyar, muballigh, dan qaid. Padahal sejak pertama beliau sudah melarang para sahabatnya untuk tidak menulis hadist – yang khusus bertujuan menerangkan al Quran.

Maka ketika rasulullah menjadi perpanjangan tangan al Quran yang praktis, khususnya dalam konteks nabi sebagai basyar (sunnah hayatiyah) dan qaid (sunnah siyasiyah) – bukan sebagai muballigh (sunnah 'ibadiyah) – nabi mempunyai ijtihad yang sesuai dengan kapasitasnya sebagai nabi dan juga sebagai manusia. Salah satu contohnya adalah ketika nabi bersabda "Jika seandainya Fatimah anak Muhammad mencuri niscaya akan saya potong tangannya. Ijtihad ini nyatanya bagi Umar bin Khattab tidak perlu karena bertolak belakang dengan 'illah sebuah hukum. Dan Umar dengan berani tidak memotong tangan pencuri karena kelaparan. Dalam konteks semacam ini tradisi ikhtilaf sangat perlu sebagai upaya mencari nilai mashlahah, karena perbedaan waktu dan tempatnya.
Keempat; adalah al 'urf – satu tradisi yang ada di satu tempat atau daerah tertentu. Al Jurjani mengartikan sesuatu yang telah diterima oleh akal dan meresap dalam jiwa manusia. Sinonim terminologis al 'urf , adalah al 'adah, sebagaimana yang disimpulkan dalam satu kaidah ushul fiqh yang berbunyi "al 'adah muhakkamah" (suatu tradisi adalah sesuatu yang harus diterima dengan bijak). Kaidah ini telah populer digunakan oleh ulama' fikh dan dijadikan sandaran hukum, tapi mereka tak sampai kepada kesimpulan bahwa al 'urf adalah bagian penting dalam tegaknya sebuah hukum. Al Quran mengungkapkannya dengan "khudz al 'afw wa'mur bi al 'urf wa a'ridl 'an al jahilin". Makna al 'urf dalam ayat diatas adalah "kebaikan". Dan ternyata ulama' fikh terdahulu telah sepakat dengan statemen "al tsabit bi al 'urf tsabit bi dalil syar'i.

III. Fiqh Taysir : Mencari Format Fikh Modern dan Mudah
Dari beberapa ulasan di depan kiranya banyak hal yang perlu ditekankan dalam rekontsruksi fikh saat ini – setelah disinggung di depan tentang perlunya kontekstualisasi nash-nash al Quran dan al Sunnah, dengan mempertimbangkan maslahat dan maqshad serta tujuan dasar sebuah syari'ah sebagaimana keterangan diatas tadi. Sekaligus urgennya rasionalisasi sebagai salah satu pendekatan materialisme konteks kita sekarang. Hanya tinggal satu tuntutan bagi kita untuk mengejawantahkan realitas-rasionalitas fikh dalam bentuk konkrit-praktis. Fiqh taysir gagasan pertama yang dilemparkan Yusuf al Qardlowi, tentang modus fikh kontemporer yang aplied perlu diangkat di sini.

Fikh taysir memang baru terkenal sejak pertengahan 90-an, ketika al Qardlowi menulis tentang nahw fiqh muyassar yang kemudian menjadi marak dibahas oleh para ahli fikh belakangan. Secara etimologis makna taysir atau muyassar adalah mudah dan kemudahan. Namun yang dimaksudkan al Qardlowi dalam tesis ini, bukanlah bagaimana mempermudah kerja dan kinerja fikh, tapi melapangkan jalan bagi fikh untuk tetap eksis sejalan dengan tuntutannya, lebih dari itu bahwa Fikh taysir adalah merupakan karakteristik fikh itu sendiri, sebagaimana yang dijelaskan dalam banyak ayat al Quran dan al hadist. Ada dua hal pokok yang diagendakan oleh Fikh taysir ini, pertama; mempermudah pemahaman fikh – sehingga tidak tampak jelimet dan sulit. Karena kita sudah hidup di era komputerisasi – dan manusia selalu sibuk dengan kehidupan mereka masing. Tentu dalam kondisi semacam ini fikh tidak usah dipelajari dalam buku turast yang tebal dan makan waktu lama. Kedua; mempermudah hukum fikh, sebagai upaya fikh untuk lebih aplicabel.

Perlu diperhatikan apakah Fikh taysir akan lebih ditekankan kepada yang kedua atau yang pertama. Menurut hemat kami penekanan kepada yang kedua lebih penting dari yang pertama. Sebab penekanan kepada yang kedua itulah yang menyangkut isi dan kandungan fikh yang akan kita aplikasikan. Dari pembahasan Fikh taysir al Qardlowi lebih menekankan kepada yang kedua, sebab pada perspektif kedua ini, fikh kelihatan mudah untuk dipaktekkan. Karena itu pula ada beberapa alasan mengapa harus ditekankan kepada bagian kedua yaitu, mempermudah hukum fikh. Kendatipun ada delapan alasan untuk memperkuat Fikh taysir ini, namun hanya diambil empat alasan pokok yang dikemukakannya.

Pertama; bahwa fikh sungguh memperhatikan apa yang diistilahkan dalam tradisi fikh dengan rukhshah (despensasi), ia lebih dekat kepada subjekatifitas dan dan kemampuan individu. Maka dalam Fikh taysir tidak ada yang namanya pemaksaan-pemaksaan hukum. Sebagaimana sabda rasulullah "Sesungguhnya Allah lebih menyukai hamba yang melaksanakan sesuatu dengan mudah (rukhshah), sebagaimana ia pun cinta bila hamba melakukan sesuai dengan keinginannya ('azimah). Kedua; memperhatikan kondisi dan situasi sebuah hukum, sesuai dengan kadar dan kebutuhannya. Ketiga; membebaskan diri dari kekangan tali fanatisme madzhab. Ini bukan berarti meninggalkan khazanah fikh yang kaya itu, atau malah melecehkan pendapat aimmatu al madzhib. Kebebasan madzhab ini lebih ditekankan kepada ittiba' bukan taklid, dimana semua orang bisa meniru siapapun, asalkan tahu dasarnya dan sesuai dengan keinginan dirinya. Keempat; memperhatikan mashlahah dan tujuan dasar syari'ah. Sebab itulah suatu fatwa harus selalu mengikuti keadaan yang ada.

Dari Fikh taysir ini lalu kemudian dikembangkan membagi tiga frame lain sebagai folluw up, selain sebagai pemetaan, juga sebagai komparasi tingkatan konsep fikh modern yang diproyeksikan. Pertama; fiq al waqi', kedua; fiqh al muwazanat, ketiga; fiqh al awlawiyat. Ketiga bagian ini menjadi satu bagian pokok yang integral dalam Fikh taysir ini.

Fiqh al waqi' atau fiqh realitas adalah merupakan jalan untuk memahami teks hukum (fikh) yang khusus atas dasar tujuan dan mashlahahnya. Maka oleh karena itu fikh realitas harus melihat kepada kenyataan-kenyataan yang berkembang, dan tidak semata melihat kepada sumber-sumber literal kuno. Sehingga unsur-unsur positif dan negativenya bisa ditimbang-timbang. Kini fikh realitas menjadi kebutuhan yang sangat mendesak, oleh semakin ruwet dan kompleksnya masalah yang dihadapi masyarakat Islam. Fikh yang realistis fleksibel dan mudah merupakan jawaban dan solusinya. Fikh realitas ini barangkali dekat kepada Fikh taysir sebagaimana yang diterangkan diatas, dimana memperhatikan al 'urf dan keadaannya berbeda. Dalam pendekatan model ini al Qardlowi menggunakan postulat taghayyur al fatwa bi tghayyur al zaman, serta kaidah al 'adah muhakkmah, atau bina'u al ahkam ala al 'urf.

Sementara fiqh al muwazanat adalah fikh yang secara spesifik melakukan perimbangan komparatif antara mashlahah (nilai manfaat) dan mafsadah (nilai bahaya). Sebagaimana ulama' fikh telah membahasnya yang dikenal dalam tradisi mereka adalah al ta'arudl wa al tarjih (pertentangan dalil dan pengambilan dalil yang terkuat). Apa yang menjadi unsur dominan dalam fiqh al muwazanat ini. Pertama; perimbangan antara satu mashlahah dengan mashlahah yang lain. Dari segi jangka waktu (insidentil atau lama) sampai kepada pengaruh bila mengambil satu diatara keduanya. Seperti yang dilakukan nabi Muhammad dalam perjanjian Hudaibiyah, dimana orang kafir menyangka hanya untuk kepentingan umat Islam, nayatanya tidak demikian. Jadi lebih mementingkan kebersamaan. Kedua; perimbangan antara mafsadah yang satu dengan yang lain. Disini banyak kaidah yang digunakan dalam al Asybah wa al Nadzair, seperti Idza ta'aradlot mafsadatni ru'iya a'dzamuhuma dlorara bi irtikab akhaffihima, (jika ada dua bahaya yang mungkin ditimbulkan harus maka harus dikesampingkan bahaya yang lebih besar dengan melihat bahaya yang lebih kecil). Atau al dloraru yuzalu bi qadr al imkan. Ketiga; adalah perimbangan antara mashlahah dan mafsadah. Ini tentu jelas bila kita tahu kaidah dar'u al mafsadah harus lebih dikedapankan dari jalb al mashlahah.

Dan yang terakhir adalah fiqh al awlawiyat (fikh prioritas). Secara subtansif tak jauh berbeda dengan fiqh al muwazanat, yang selalu meletakkan sesuatu pada tempat dan porsinya masing-masing. Tentang apa yang harus didahulukan dan apa yang harus dinomerduakan. Dengan begitu sesuatu yang kecil tidak dianggap besar, dan yang besar tidak terlalu diremehkan. Secara khsusus al al Qardlowi tentang persoalan ini dalam bukunya fiqh al awlawiyat. Seperti prioritas nilai kualitas dari kuantitas, mendahulukan pemahaman dari hafalan, mengedepankan isi daripada symbol dan beberapa bahasan menarik lainnya.


D. Khatimah

Dari bahasan singkat tentang wacana fikh di Mesir ini, tentu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dengan serius dalam mengkaji persoalan fikh. Pertama; bahwa pendekatan yang lebih bijak dan arif dalam persoalan ke kinian membutuhkan ekstra kerja untuk sampai kepada hasil ijma' (sepakat) yang bulat supaya diterima semua kalangan, minimal penduduk domestik sebuah negara, sampai kampung sekalipun sehingga fikh tidak menjadi alat pemerintah dan penguasa.

Kedua; perlunya isntansi khusus yang membidani persoalan fikh, sehingga tidak terkesan monopoli ahli fikh. Tapi agar lebih terkesan akomodatif dan objektif bila melibatkan para ahli di bidangnya (dalam memutuskan satu perkara) dan ini sangat urgen dalam disrkursus fikh selanjutnya. Dimana pengaruhnya sangat besar dan tidak ada yang merasa dirugikan.

Ketiga; betapa perlunya saling menerima dan memberi, take and give dalam melestarikan fikh. Ini tentu persoalan yang paling berat dalam rekonstruksi fikh mulai dilendingkan ke permukaan. Karena fanatisme madzhab masih ada, juga mempertahankan pendapat sendiri dengan tidak mengindahkan kritik pun masih dimiliki oleh para ahli, bukan saja kaum fuqaha', tapi juga para teolog. Sehingga tradisi ikhtilaf – sebagaimana yang digambarkan Mun'im Sirri sebagai pisau yang apabila kita menggunakannya dengan baik, akan mendapatkan hasil yang baik pula, pun sebaliknya bila kita menggunakan pisau itu untuk menggunting dalam lipatan, niscaya perpecahanlah yang terjadi. Hadits ikhtilafu ummati rahmatun yang telah menjadi bagian dalam tradisi klasik yang selalu harmonis, perlu kita bumikan saat ini. wallahu a'lam bi al shawab

No comments: