>Sabtu, 8 Desember 2001
Etika Kemanusiaan bagi Pemberlakuan Syariat
Oleh Abdul Munir Mulkhan
BULAN suci Ramadhan dalam krisis nasional yang belum teratasi dan serangan Amerika atas Afganistan yang melengserkan kekuasaan Taliban, bisa memicu isu politik tuntutan pemberlakuan syariat Islam, yang terus muncul sepanjang sejarah nasional, makin mengeras. Sulitnya, syariat sebagai tafsir ulama atas Al Quran dan Sunnah yang tersusun dalam ilmu syariat atau fikih sering dipandang identik syariat sebagai keseluruhan ajaran Allah dari wahyu-Nya yang tunggal.
Di sinilah perlunya dipahami, wahyu Tuhan bukan hanya termaktub dalam Al Quran, tetapi meliputi hukum alam (sunnatullah), baik fisik, tumbuhan, hewan, maupun manusia. Inilah Syariat, yang oleh para ahli ditulis dengan huruf "S" kapital, yang harus dibedakan dari syariat ("s" kecil) sebagai tafsir atas sebagian Syariat itu.
Syariat historis itu, hanya sebagian dari konstruksi tafsir yang tersusun dalam ilmu-ilmu yang selama ini disebut dan dikenal sebagai ilmu-ilmu keislaman atau Islamic Studies, meliputi ilmu; syariah, kalam (tauhid), akhlak, dan tasauf. Tafsir atas Syariat sebagai keseluruhan wahyu Allah berupa Al Quran dan sunnatullah, mencakup ilmu kealaman; fisika, biologi, kimia, elektro, ilmu sosial; sosiologi, antropologi, ekonomi, politik, dan ilmu humaniora; filsafat, seni, budaya, selain teknologi. Secara keseluruhan tafsir atas Syariat ini meliputi cabang-cabang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Syariat historis yang merupakan sebagian ilmu keislaman itulah yang selama ini disosialisasikan melalui pendidikan, dakwah, dan khotbah-khotbah, yang dituntut keberlakuannya secara konstitusional. Ironinya, syariat pada taraf inilah yang diyakini umumnya pemeluk Islam sebagai keseluruhan dari ajaran Allah yang sakral, mutlak, sempurna; dan diyakini mampu menyelesaikan semua masalah yang dihadapi manusia, seperti yang dijanjikan Tuhan.
Kurang disadari, sisi syariat historis itu sejak disusun sekitar 1.000 tahun lalu telah menimbulkan beda pendapat yang tidak jarang saling bertentangan. Dukungan umat terhadap tiap pendapat itu lalu melahirkan aliran, di antaranya yang paling populer dikenal dengan mazab empat (madzhibul arba'ah), yaitu; Hanafi, Hanbali, Maliki, dan Syafi'i.
Kelahiran dua organisasi Islam terbesar di Tanah Air, NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah dengan paham keagamaan berbeda, termasuk dalam aturan syariat, berkait dengan madzhab itu.
Oleh karena itu, pemberlakuan syariat yang didasari pemahaman dan keyakinan itu, terus mengundang perdebatan di antara elite Muslim sendiri. Hal ini berkait dengan persoalan mengenai syariat versi mazab mana, dan masalah banyaknya jalan serta tafsir yang bisa dijadikan media penerapan ajaran Islam dalam kehidupan sosial-politik dan kenegaraan, tidak hanya didasari ilmu-ilmu keislaman seperti yang selama ini ada.
Selain rendahnya dukungan umat pemeluk Islam, tidak seluruh elite partai dan gerakan Islam mendukung tuntutan pemberlakuan syariat historis itu. Partai-partai yang menempatkan berlakunya syariat Islam sebagai tujuan perjuangan pun belum pernah memperoleh dukungan mayoritas pemilih di sepanjang pemilu di negeri ini; meski sekitar 90 persen penduduk adalah pemeluk Islam.
***
MUNCUL kemudian berbagai gagasan baru mengenai bagaimana menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan nasional yang didasari tujuan substansial syariat historis dan Syariat sebagai wahyu Tuhan. Sebagian generasi baru elite Muslim dan gerakan Islam, terutama dari lapisan intelektual, memandang pemberlakuan syariat historis bisa dilakukan melalui pengembangan sistem sosial-politik, perundang-undangan dan hukum publik yang menjamin praktik ekonomi, sosial-politik, dan pemerintahan yang bersih dan berkeadilan bagi kepentingan rakyat banyak dengan cara-cara yang lebih demokratis.
Proses penyusunan itu dilakukan melalui debat publik dengan melibatkan dukungan mayoritas rakyat. Tujuannya ialah bagaimana membebaskan warga negara dan manusia di dunia dari kemiskinan, kebodohan, kesengsaraan, dan penindasan, serta perlakuan tidak adil.
Tuntutan pemberlakuan syariat historis adalah hak setiap warga dari sebuah negara; seperti hak orang untuk setuju atau menolak, sesuai keyakinan dan pandangan hidup masing-masing. Pendukung pemberlakuan syariat historis penting memahami sikap dan pandangan lain terhadap tuntutan itu.
Perolehan suara partai-partai Islam atau partai berbasis Islam dalam setiap pemilu merupakan data penting untuk memahami dukungan masyarakat atas pemberlakuan syariat itu. Demikian pula dukungan anggota DPR/MPR seperti terlihat dari amandemen UUD 1945 dalam Sidang Tahunan MPR, khusus tuntutan memasukkan kembali tujuh kata yang terkenal dari Piagam Jakarta ke Pasal 29 UUD 1945.
Dukungan mayoritas anggota BPUPKI atas penghapusan tujuh kata Piagam Jakarta dari Pasal 29 UUD 1945, harus diterima sebagai fakta.
Pendukung syariat historis bisa saja berargumen, sikap mayo-ritas anggota BPUPKI tidak murni, karena campur tangan Pemerintah Jepang saat itu. Demikian pula dengan fakta perolehan suara partai-partai Islam dalam Pemilu 1955 dan sesudahnya. Di sini penting ditanyakan, untuk siapa syariat historis itu diberlakukan?
Keraguan mayoritas pemeluk Islam atas fungsi syariat historis dalam memenuhi kepentingan hidup praktis, lebih didasari pengalaman otentik kelompok terbesar pemeluk Islam itu. Selama ini, gerakan dan partai Islam tampaknya kurang memihak dan tidak secara serius memperjuangkan kepentingan mayoritas rakyat yang memeluk Islam.
Argumen klasik yang selalu dikemukakan ialah karena mayoritas rakyat cenderung kurang atau tidak menaati berbagai aturan syariat historis yang sering diberi label sebagai kaum abangan. Sementara kemiskinan dan berbagai kesulitan hidup yang dihadapi, merupakan faktor "pemaksa" rakyat dan umat kebanyakan itu melanggar berbagai aturan syariat historis.
Berbagai fakta sosial, ekonomi, dan politik dari mayoritas rakyat kebanyakan itu, sudah semestinya mendorong elite aktivis Islam mengembangkan gagasan baru syariat historis yang lebih fungsional bagi kepentingan rakyat banyak dan bagi sistem pemerintahan yang mampu menjamin kesejahteraan warganya. Proses ini bisa ditempuh dengan mendengar suara rakyat melalui sistem pemilu atau cara lain yang lebih dialogis dan demokratis.
Sayang, proses politik seperti itu cenderung ditolak dengan argumen, "hukum Tuhan tidak bisa didialogkan dan divoting" guna mencari konsensus nasional. Bagi pandangan seperti ini, hanya ada sebuah pilihan ialah memberlakukan syariat sebagai keputusan elite yang dikenal dengan ahlul halli wal aqdi atas nama representasi mayoritas penduduk yang Muslim.
***
DILEMA-dilema pemberlakuan syariat historis itu, bisa dijernihkan bila berbagai pihak menyadari kembali substansi pewahyuan ajaran Tuhan dan syariat yang historis. Para ulama pada umumnya sepakat, tujuan syariat historis itu bersumber dari makna ajaran Islam, "...apa yang disyari'atkan Allah dengan perantaraan Nabi-nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat" (al diinu huwa maa syari'ahu allahu 'alaa lisaani anbiyaaihi min al awaamiri wa al nawaahi wa al irsyaadaati lishaalahi al 'ibaadi dunyaahum wa ukhraahum).
Sesuai pemaknaan seperti itu, syariat historis atau Syariat sebagai keseluruhan wahyu Tuhan, bisa saja ditafsir secara dinamis dan dialektik untuk disusun dalam beragam teori dan sistem yang terbuka untuk dikritik dan disusun (ditafsir) ulang sepanjang makna itu. Karena itu, tafsir-tafsir seperti itu bisa jadi sesuai dengan beragam teori dan sistem iptek yang telah ada, dan bisa disusun ke dalam beragam konstitusi dan perundang-undangan tanpa keharusan diberi label-label Islam atau syariat.
Oleh karena itu, Islam harus dipahami sebagai agama universal bagi kemanusiaan dalam kehidupan sosial yang terus berubah dan berkembang. Islam diwahyukan Tuhan bukan bagi kepentingan Tuhan sendiri atau hanya bagi kepentingan umat yang menyatakan memeluk Islam, tetapi penebaran rahmat-Nya bagi seluruh umat manusia dan semesta kehidupan.
Untuk itu perlu disadari, tidak ada jaminan yang bisa dijadikan argumen bahwa hanya susunan aturan syariat historis yang selama ini ada yang secara niscaya sesuai maksud dan tujuan ketika Tuhan mewahyukan agama dan Syariat-Nya.
Selanjutnya, perdebatan di antara elite Muslim tentang pemberlakuan syariat bisa dijernihkan dengan memahami beberapa persoalan. Pertama, keharusan untuk membedakan antara Syariat sebagai keseluruhan ajaran Islam yang diwahyukan Allah dengan syariat historis. Kedua, tiadanya keharusan pemberlakuan syariat yang historis ke dalam sistem konstitusi dan perundang-undangan. Ketiga, hak bagi seluruh rakyat yang menyatakan memeluk Islam untuk mewakili diri sendiri dalam memilih konstitusi dan perundang-undangan yang akan mengatur hidupnya sebagai warga negara.
Tanpa penjernihan itu, tuntutan pemberlakuan syariat historis akan selalu mengundang perdebatan sengit di antara elite aktivis Islam dan warga umumnya. Setiap beda pendapat cenderung membelah para pihak ke dalam belahan ekstrem hitam putih, islami-sekuler, atau daarul islam-daarul kuffar, yang tidak produktif.
Fakta rendahnya dukungan terhadap tuntutan pemberlakuan syariat hampir selalu dipandang sebagai konspirasi kekuatan anti-Islam. Dalam hubungan inilah, tesis seorang ulama terkemuka dari Sudan yang pernah tinggal di Amerika, Abdullah Ahmed An-Na'im, penting dicerna kembali. Ulama ini menyatakan: selama umat Islam tetap setia pada kerangka kerja syari'ah historis, mereka tidak akan pernah benar-benar mencapai tingkat keharusan pembaharuan yang mendesak supaya hukum publik Islam itu bisa berfungsi sekarang.
Kesediaan elite aktivis Islam memahami kembali maksud kemanusiaan dari syariat historis dan Syariat sebagai keseluruhan wahyu Tuhan, bisa mendorong lahirnya gagasan segar tentang sistem dan teori iptek meliputi keseluruhan bidang kehidupan umat manusia. Dari sini dimungkinkan munculnya ide-ide baru yang bisa melampui sistem dan teori peradaban modern yang telah usang.
Semangat dan etika kemanusiaan dari syariat historis dan Syariat sebagai keseluruhan wahyu Tuhan bisa dijadikan landasan pengembangan peradaban baru yang menawarkan solusi konflik peradaban global yang memproduk ketidakadilan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), kemiskinan, kesenjangan sosial dan ekonomi, serta kerusakan lingkungan. Semuanya terpulang pada umat Islam sendiri, aktivis Islam, ulama dan pemikir yang menempatkan kesejahteraan umat manusia dan kedamaian dunia sebagai ideologi.
* Abdul Munir Mulkhan, dosen IAIN Sunan Kalijaga, pemerhati masalah sosial keagamaan, tinggal di Yogyakarta.
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment