Dari Islam Liberal Menuju Post-Tradisionalisme Islam
Zuhairi Misrawi
Koordinator Kajian dan Penelitian LAKPESDAM NU
Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo-Mesir
Wacana Islam liberal merupakan perangkat penting dalam menggerakkan pemikiran keislaman di tanah air. Kehadiran tokoh-tokoh muslim liberal -- yang disinyalir Greg Barton (1999) dalam The Emergence of Neo-Modernism; A Progressive, Liberal Movement of Islamic Thought in Indonesia -- seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Ahmad Wahib, dan Djohan Efendi merupakan cikal-bakal Islam liberal, sebagaimana dapat diidentifikasi dalam tulisan-tulisan mereka sejak tahun 1970-an. Tokoh-tokoh tersebut telah mengakselerasikan munculnya komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan; suatu keyakinan akan pentingnya kontekstualisasi ijtihad; suatu penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme dalam agama-agama serta pemisahan agama dari partai politik dan posisi non-sektarian negara. (1999:xxi)
Wacana Islam liberal telah mengantarkan pemikiran keislaman pada fungsi utamanya sebagai elan rasionalisasi dan kontekstualisasi pemahaman keagamaan dalam grand design demokratisasi. Setidaknya Islam liberal telah mempertegas kebutuhan primer untuk merambah jalan baru Islam yang damai, elegan, dan membangun. Charles Kurzman (1998) dalam Liberal Islam a Sourcebook mengutarakan agenda utama Islam liberal, antara lain, perlawanan terhadap teokrasi, demokrasi, hak perempuan, hak non-muslim, kebebasan berpikir, dan progresivitas. Islam liberal mempunyai konsern besar untuk menciptakan tradisi baru yang akan memperkuat pilar-pilar demokrasi, yang meniscayakan adanya kehendak untuk melihat positif terhadap perubahan dan keperbedaan. Di sinilah Islam liberal merupakan dentuman intelektualisme Islam di Indonesia.
Hanya saja yang menjadi pertanyaan, tatkala Islam liberal belum memberikan suatu perubahan yang signifikan pada tataran praksis. Apa yang mengemuka dalam pemandangan pemikiran Islam, justru kecenderungan "pemurtadan" dalam domain sosial-politik. Misalnya, pembakaran buku kiri, bughot, konflik horizontal antarormas dan lain-lain. Secara eksplisit, "kegagalan" kampiun Islam liberal kian terlihat, terutama dalam mengembalikan kemelut politik, ekonomi, dan sosial-budaya dalam keadaan normal. Salah seorang aktor Islam liberal, Gus Dur -- panggilan Abdurrahman Wahid -- setelah menegara dianggap banyak kalangan telah memberikan saham bagi terfragmentasinya gagasan besar, seperti demokrasi, pluralisme dan civil society, menjadi komunalisme dan retaknya hubungan kebangsaan, sehingga dalam perjalanan selanjutnya, yang terancam tidak hanya Islam politik, akan tetapi disintegrasi bangsa. Karenanya Islam liberal sebagai sebuah gagasan kembali digugat, sejauhmana konsistensi dan objektivikasinya dalam melakukan pemberdayaan dan perubahan pada tataran praksis? Hassan Hanafi (1999), tokoh ''Kiri Islam'' asal Mesir, menegaskan bahwa Islam tidak hanya sekadar nalar dan epistemologi, akan tetapi revolusi dan transformasi yang akan mengakar dan menciptakan perubahan yang esensial.
Post-Tradisionalisme Islam; Sebuah Tawaran
Paradigma Islam liberal secara esensial menjanjikan banyak hal, terutama gagasan liberasi yang ditimba dari pemikiran-pemikiran keagamaan progresif. Dalam bukunya yang cemerlang, Kurzman mencoba mengangkat beberapa kampiun liberalis Arab yang punya gawe untuk memproduk pikiran-pikiran alternatif, seperti Said 'Asymawi, Ahmad Khalafullah, Abid al-Jabiry, hingga Yusuf al-Qardlawi. Ini sebuah penelusuran luar biasa, yaitu meletakkan Yusuf al-Qardlawi sebagai pemikir Islam liberal, sejajar dengan Ali Abdurraziq, Arkoun dan lain-lain, yang selama ini dicap sebagai fundamentalis. Al-Qardlawi mempunyai konsep tegas dalam pembaruan fikih yang selama beberapa kurun waktu mengalami kebuntuan.
Lebih jauh lagi, yang menarik dari pemikiran Arab modern bukan hanya pada aras progresivitasnya, namun kecenderungan baru untuk menjadikan pemahaman keislaman sebagai elan kritisisme, dekonstruksi, dan rekonstruksi. Secara metodologis, kalangan liberalis Arab tidak hanya memfokuskan kajiannya pada syari'ah ansich, akan tetapi mencoba melakukan akulturasi dengan pemikiran Barat, seperti Michel Foucalt, Derrida.
Hal tersebut tercermin dalam megaproyek pemikiran Arab, antara lain: "Trilogi Nalar Arab" ala Abid al-Jabiri, "Kritik Nalar Arab" ala Muhammad Arkoun, "Konsepsi Teks" ala Nahr Hamid Abu-Zayd, "Dekonstruksi Teks dan Kebenaran" ala Ali Harb. Maka dari itu, gemuruh pemikiran Arab modern tidak hanya sekadar liberasi saja, akan tetapi "mendekonstruksi tradisi" dalam rangka "merekonstruksi tradisi baru" yang senafas dengan tuntutan zaman. Mereka tidak hanya memfokuskan kajiannya pada al-Quran dan Hadis, akan tetapi membedah tradisi klasik secara dekonstruktif dan rekonstruktif, misalnya ilmu kalam, tafsir, bahkan dekonstruksi wacana al-Quran yang diposisikan sebagai "teks" sejajar dengan teks-teks yang lain. Di sinilah mereka mencoba menyingkap teks dari segi linguistik dan sosio-kultur, struktur problematika, dan alat-alat produksi epistemologi. Dengan demikian, kecenderungan yang mengemuka yaitu Post Tradisionalisme Islam.
Abid al-Jabiri, salah satu sayap Post-Tradisionalisme Islam asal Maroko melihat tiga metodologi mendasar dalam mengkaji tradisi. Pertama, metode strukturalis, yaitu mengkaji tradisi berangkat dari teks-teks dalam kapasitasnya sebagai sistem dan sejauhmana perubahan-perubahan terjadi di dalamnya dalam rangka melihat sisi konsistensi dan inkonsistensi sebuah teks dalam mengungkapkan pemikiran. Di sini tak jarang teks merupakan objek kritikan yang empuk, dikarenakan teks kadangkala inkonsisten dan manipulatif. Kedua, analisa historis, yaitu menguji validitas metodologi struktural dan mengakaitkannya dengan latar belakang sejarah dan ruang lingkup budaya dan politik, sehingga dengan cara tersebut dapat mendorong kita untuk mengetahui apa saja yang mungkin diungkapkan sebuah teks, apa yang tidak dikatakan dan apa saja yang dikatakan namun didiamkannya. Ketiga, kritik ideologi, yaitu mengungkap fungsi ideologis, termasuk fungsi sosial-politik dalam rangka memahami kontekstualitas teks tersebut. (Abid al-Jabiry, LKiS 2000; 19-23)
Secara ringkas, sebenarnya ada dua hal yang ditekankan Abid al-Jabiri dalam studi tradisi yaitu objektivitas dan rasionalitas. Objektivitas, yaitu adanya pemisahan antara subjek pengkaji dan objek kajian, yang ini berarti dekonstruksi. Sedangkan rasionalitas, yaitu adanya hubungan antara objek dengan subjek yang mengindikasikan rekonstruksi. Maka dari itu, Post-Tradisionalisme Islam ala al-Jabiri secara esensial menginginkan pembacaan yang holistik terhadap tradisi sebelum melakukan rekonstruksi. Hal ini berlaku dalam mengkaji tradisi filsafat dan pemikiran Islam.
Berbeda dengan Abid al-Jabiri, Muhammad Arkoun, sayap Post-Tradisionalis Islam asal Aljazair mencoba menyoroti aspek lain dari tradisi, yaitu al-Quran sebagai sumber orisinilatas Islam. Tokoh ini getol melakukan kritik wacana al-Quran yang belum dilakukan para intelektual sebelumnya, baik orientalis maupun kalangan muslim. Ada tiga model bacaan yang ditawarkan Arkoun. Pertama, bacaan sosio-antropologis. Bacaan ini mencoba memahami al-Quran dalam kapasitasnya sebagai kumpulan ucapan dan ungkapan yang keluar dari lisan sebelum akhirnya dikodifikasi dalam sebuah Kitab yang sekarang dijadikan rujukan.
Mandegnya studi al-Quran, menurut Arkoun, tatkala al-Quran ditelaah setelah menjadi "kitab", sedangkan aspek-aspek pembentukan al-Quran tersebut kerapkali ditanggalkan. Maka dari itu, Arkoun menawarkan studi atropologis dan sosiologis untuk menyingkap esensi teks.
Kedua, bacaan linguistik-semiotik, hermeneutik dan kesastraan yaitu mencoba membedakan antara meaning (al-ma'na), intension (al-maqshad), dan significance (al-dalalah). Dalam bacaan semiotik, Arkoun sebenarnya mengembangkan teori yang menjalar di Eropa antara tahun 1960-1980, yang diprakarsai Algirdas Julien Greimas.
Dalam percaturan pemikiran Arab, pendekatan serupa digunakan Nashr Hamid Abu-Zayd yang dengan menjadikan al-Quran sebagai teks linguistik. Nashr mengimani analisa linguistik sebagai pilihan tepat untuk memahami konsep teks, dikarenakan teks tersebut terbentuk selama lebih dari 20 tahun. Sedangkan dalam kritik sastra digelar oleh Ahmad Khalafullah dalam al-Fann al-Qashashi fi al-Qur'an al-Karim.
Ketiga, bacaan teologis yaitu bacaan yang meniscayakan pembongkaran terhadap dogma-dogma eksklusif dan tafsir ortodoks. Hal ini sebagai counter terhadap pembacaan kalangan orientalis yang cenderung menukil ortodoksi Islam Sunni ke dalam bahasa Eropa, sebab yang terjebak dalam pendekatan tersebut bukan hanya kalangan Islam, seperti al-Tabari, al-Razi, akan tetapi kalangan orientalis melakukan hal yang sama.
Maka dari itu, pendekatan orientalis pun tidak bisa serta-merta dijadikan rujukan dalam studi al-Quran. Yang diimpikan Arkoun, yaitu bacaan liberalis yang meniscayakan lompatan dalam pelbagai perspektif, sehingga menemukan esensi kemanusiaan, baik Muslim maupun non-Muslim, sebagaimana yang pernah dilakukan Ibnu 'Arabi, al-Ma'arri dan al-Tawhidi. (al-Fikr al-Ushuli wa Istihalat al-Ta'shil; Nahwa Tarikhin Akhar li al-Fikr al-Islamy, 1999)
Post-Tradisionalisme Islam merupakan tawaran bagi pemikiran Islam di Indonesia yang tidak hanya menyoroti narasi besar, seperti demokrasi, pluralisme dan HAM, akan tetapi mencoba mencurigai teks-teks keagamaan yang ademokratis. Di sinilah, tatkala Islam liberal menekankan aspek "moralitas pemikiran liberal" seperti perlunya ijtihad dan perlawanan terhadap negara, akan tetapi Post-Tradisionalisme Islam langsung menyentuh teks yang selama ini menjadi "penguasa" atau kadangkala "dikuasai". Karena tak jarang "teks" telah membujuk masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan destruktif yang mengganggu tatanan demokrasi.
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment