Iktikaf Sarana Pembebasan Manusia dari Jebakan Materialisme
Anjuran Nabi saw untuk memperbanyak iktikaf di akhir bulan Ramadan, diakui agak berat sebab mayoritas umat Islam di Indonesia sudah terkontaminasi oleh beragam kepentingan menjelang Lebaran. Mulai persiapan mudik, belanja, dan merayakan Idulfitri yang berbau materialistik.----teaser
MATERIALISME adalah pilar utama modernisasi. Semua aktivitas, kreativitas, dan inovasi berawal dan berujung pada pemenuhan kebutuhan yang bersifat material.
Begitu juga cara yang ditempuh untuk memenuhi kebutuhan manusia semuanya serbatergantung pada aspek material. Di zaman modern seakan-akan tidak ada tempat bagi dimensi lain kecuali aspek fisik-material. Padahal, manusia akan disebut manusia jika ia memiliki dua dimensi, fisik dan psikis; jasmani dan rohani; material dan spiritual.
Akibat dari pemenuhan yang pincang tadi karena serbamateri, maka ketimpangan pun muncul dalam berbagai aspek kehidupan manusia modern. Salah satunya tumbuh penyakit sangat mendasar dan sekarang sedang menggejala. Yakni, krisis spiritual atau kehampaan spiritual.
Tidak aneh, jika dunia Barat yang merupakan tempat modernisasi berasal, dan berkembang kemudian mencari penawar dari penyakit spiritual ini.
Dari sini maka muncullah istilah turning to the east (menengok ke Timur). Satu keinginan untuk mencari pemenuhan yang sempurna selain aspek materialisme.
Menanggapi adanya pengaruh modernisasi yang bertumpu pada materialisme ini, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Kautsar Azhari Noer, menjelaskan kehampaan spiritualitas yang terjadi pada dunia modern akibat dari pendewaan terhadap sains dan teknologi.
Orang-orang modern beranggapan sains dan teknologi bisa memberikan segala-galanya apa yang dibutuhkan manusia atau mampu memecahkan masalah yang dihadapi manusia. Namun, anggapan itu pada kenyataannya salah. Bahwa, tidak semua kebutuhan manusia bisa dilayani oleh sains dan teknologi.
Kesadaran akan dunia spiritualitas di dunia Barat, misalnya, sudah tumbuh sekitar setengah abad yang lalu. Mereka menyadari kekeliruan terhadap pandangan yang sangat materialistik-mekanitik itu.
Tidak mengherankan kalau sekarang menjamur berbagai cara untuk mendapatkan benang spiritualitas yang hilang itu. "Ambil contoh praktik yoga, meditasi, khalwat, dan kontemplasi yang rata-rata dimiliki oleh Dunia Timur, mulai diadopsi oleh Barat," jelas Kautsar.
Berbagai penyakit yang timbul akibat modernisasi seperti stres, depresi, frustrasi, dan alienasi, dalam pandangan Kautsar, adalah bukti kegagalan modernisasi memberikan semua kebutuhan manusia. Bahwa dimensi esoteris manusia harus tetap diperhatikan, sebab kegagalan modernisme adalah kegagalan memahami manusia seutuhnya.
Dalam pandangan Kautsar, bagi umat Islam bulan Ramadan adalah momentum yang tepat untuk mengisi spiritualitas lewat aktivitas iktikaf. Berdoa, berzikir, dan bermunajat di masjid adalah salah satu cara untuk mengatasi kehampaan dimensi spiritualitas itu.
"Iktikaf harus dipahami secara integral. Maksudnya, iktikaf adalah salah satu bagian ibadah di bulan suci. Jadi, tujuannya tetap menciptakan orang-orang bertakwa sebagaimana tujuan akhir puasa di bulan Ramadan," ujar Kautsar.
Yang perlu diingat, lanjutnya, iktikaf tidak berhenti hanya pada upacara ritualistik yang tidak memiliki dampak sosial. Justru sebaliknya, dengan iktikaf peranan vital dan kinerja umat Islam selama dan pascapuasa meningkat, sehingga menimbulkan kegairahan hidup. Implikasinya adalah kaum muslimin bisa memperkuat pribadinya dan memandang urusan sosial sebagai pengamalan dari agama yang dipeluknya, papar Kautsar.
Hanya saja, anjuran Nabi saw untuk memperbanyak iktikaf di akhir bulan Ramadan, diakui agak berat sebab mayoritas umat Islam sudah terkontaminasi oleh beragam kepentingan menjelang Lebaran. Mulai persiapan mudik, belanja, dan merayakan Idulfitri yang berbau materialistik.
Iktikaf produktif
Mengomentari hal yang sama itu, Ketua Jurusan Jurnalistik Institut Agama Islam (IAIN) Sunan Gunung Djati Bandung Dindin Sholahuddin memandang iktikaf secara inklusif dan universal. Bahwa, cara pemenuhan kehampaan spiritual tidak hanya milik Islam, tetapi juga dimiliki oleh semua agama. Karena setiap agama memiliki syariat berbeda untuk mengisi spiritualitas penganutnya, maka secara otomatis berlainan pula cara melakukannya.
"Tradisi iktikaf sesungguhnya milik semua agama. Masing-masing memiliki cara pemenuhan spiritual pemeluknya. Yang berbeda dalam Islam adalah ketika beriktikaf tidak berhadapan atau bersama dengan benda material. Sebab, tujuan iktikaf dalam Islam adalah membangkitkan semangat untuk mengubah masyarakat yang diawali oleh kebersihan diri," jelas Dindin.
Dalam perspektif Islam, lanjut master dari Australia National University Australia ini, iktikaf adalah cara untuk mengambil jarak, meneropong secara jernih, dan memandang realitas secara objektif seraya mencari jalan keluar yang objektif untuk mengatasi ketimpangan sosial yang terjadi di sekelilingnya.
Aktivitas khalwat Nabi Muhammad saw di Gua Hira sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul, dalam kacamata Dindin, adalah contoh iktikaf yang mengandung makna sangat mendalam dan menghasilkan strategi mengubah keadaan. Artinya, Nabi telah memberi contoh bagaimana seharusnya umat Islam melakukan iktikaf produktif.
"Tidak disangsikan bahwa kontemplasi produktif (iktikaf produktif) Nabi berhasil mengubah tata sosial bangsa Arab saat itu. Terlepas dari bantuan Allah swt, Nabi berhasil menumpas diskriminasi, memorak-porandakan ketidakadilan budaya, dan melawan disequibilirium ekonomi. Sehingga, terwujud tatanan sosial yang beradab dalam waktu yang sangat singkat, 22 tahun," tegas Dindin.(Dud/P-6).
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment