Hubungan Agama dan Negara
Ratno Lukito
INDONESIA memasuki masa kritis", demikian ungkapan berbagai kalangan menanggapi gegap gempitanya pro-kontra perubahan UUD 1945. Dua kelompok besar antara yang menginginkan perubahan secara radikal terhadap konstitusi dan kelompok yang cenderung pada pemertahanan political status quo sama-sama berdiri berhadapan.
Ide dasar amandemen UUD 1945 sebenarnya bukan hal kontroversial. Sejak awal bergulirnya gerakan reformasi kepentingan untuk merubah dasar konstitusi negara sejatinya sudah muncul menjadi kesadaran umum. Hanya saja dalam langkahnya kini, ketidaksepakatan tampak menggejala pada sejauh mana ide perubahan itu hendak diaplikasikan.
Bagi kelompok pertama, perubahan konstitusi dimaknai sebagai langkah strategis untuk mengkaji lagi secara mendasar sistem ketatanegaraan Indonesia. Perubahan dengan demikian tidak hanya bermakna sekadar improvisasi tambal sulam beberapa pasal UUD. Perubahan secara total terhadap struktur dan sifat konstitusi lama dipandang sebagai hal yang wajar demi perbaikan yang menyeluruh dari tatanan kebangsaan kita. Karena itu kelompok ini tidak mengenal istilah pasal-pasal sakral yang untouchable terhadap perubahan.
Berbeda dengan kelompok kedua, memahami amandemen sebagai langkah improvement terhadap bangunan konstitusi kita yang dirasakan perlu perbaikan. Karena sekadar perbaikan maka nomenklatur konstitusi lama harus tetap dijaga keutuhannya. Beberapa pasal yang sudah mapan tidak perlu diutak-atik lagi. Kelompok ini memandang perubahan yang habis-habisan terhadap UUD 1945 justru sebagai langkah abusement terhadap filsafat ketatanegaraan kita. Itu bukan langkah reformasi tetapi deformasi. Maka dari sinilah muncul istilah pasal sakral dan nonsakral.
Imbas dari polarisasi ini muncul beberapa pasal yang masih kontroversial. Di antaranya perdebatan mengenai perubahan Pasal 29 UUD 1945. Untuk sementara, MPR masih pada keputusannya tidak akan melakukan perubahan pasal agama ini (Kompas, 5/3). Posisi ini diambil berdasarkan pendapat mayoritas fraksi yang menyetujui untuk dipertahankannya Pasal 29 sebagaimana adanya. Hanya fraksi PPP dan PBB yang ngotot untuk mengubah pasal ini dengan memasukkan unsur Piagam Jakarta di dalamnya. (Kompas, 22/3) Namun, ini tidak berarti ide perubahan sudah ditutup.
Tentang agama dan negara
Problematika hubungan agama dan negara di Tanah Air sebenarnya sudah setua Indonesia sendiri. Sejak perdebatan konstituante di awal persiapan kemerdekaan, masalah ini meruncing dan tidak terselesaikan. Perdebatan berkisar tentang bentuk negara yang hendak diciptakan. Apakah teokratis atau sekuler. Dua sisi ekstrem yang sulit dipertemukan. Akhirnya, jalan tengah yang paling baik ditempuh. Yaitu negara yang nonteokratis tetapi agama dilihat sebagai satuan denominasi dalam masyarakat yang diakui dan dipelihara oleh negara. Negara Pancasila itulah sebutannya!
Masalahnya kemudian, bagaimana (how) dan sejauh mana (to what extent) negara mengurusi masalah agama. Di sini kita melihat, sejatinya perdebatan tentang perubahan Pasal 29 UUD 1945 merupakan lanjutan dari perdebatan tentang hubungan agama dan negara yang dikesampingkan pemecahannya. Karena itu, ide perubahan pasal ini harus kita lihat sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah konstitusi yang sekian lama tertunda. Dan ini dapat kita lakukan hanya bila masalah hubungan antara keduanya didekati dengan kepala dingin dan menyentuh core problem-nya.
Paling tidak ada dua masalah yang harus dipecahkan dalam hal ini.
Pertama, bagaimana dalam aplikasinya bentuk pengakuan negara terhadap agama. Apakah pengakuan itu harus direfleksikan dengan penyebutan secara eksplisit label dari subsistem agama tertentu yang diakui eksistensinya di Indonesia? Berkembangnya kontroversi Piagam Jakarta bermula dari pertanyaan ini. Penyebutan secara eksplisit tentang kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya tidak hanya problematik karena merangsang kecemburuan dari denominasi agama lain.
Pelabelan ini juga memunculkan kontroversi pada masalah hubungan antar-agama-agama yang diakui keberadaannya di Tanah Air. Penyebutan salah satu agama seolah menjadi preseden dari negara atas kelebihan satu agama dari agama yang lainnya. Dan ini tentu saja absurd.
Kedua, melanjutkan yang pertama, yaitu sejauh mana pengakuan negara atas agama-agama itu seharusnya. Apakah pengakuan itu harus diikuti pengurusan (administrasi) oleh negara sampai pada hal-hal yang amat detil dari aplikasi teologi masing-masing agama, atau hanya pada sphere generalnya saja. Jawaban terhadap pertanyaan ini jauh lebih rumit, karena berbicara perilaku negara, tidak dapat dipisahkan dari dasar filosofi politik yang dianut.
Pada negara-negara sekuler murni (seperti Amerika dan Eropa Barat umumnya), institusi negara cukup mengakui keberadaan agama tertentu tetapi pelaksanaan ajaran agama bukan urusan negara (state). Bahkan label-label agama dilarang untuk ditampilkan dalam sphere negara. Artinya urusan realisasi ajaran agama bukan menjadi wilayah negara tetapi dikembalikan kepada masing-masing pemeluknya.
Politik jalan tengah yang dianut Indonesia sejak awal menuntut agar administrasi agama diletakkan dalam state institution. Embrio dari langkah politik ini bermula pada kebijakan penjajah Jepang yang mendirikan Kantor Urusan Agama yang lalu berkembang pada masa kemerdekaan menjadi Departemen Agama. Persoalannya kini, sejauh mana pelayanan terhadap agama mampu dilakukan oleh institusi negara.
Sejauh ini terkesan, negara sebetulnya kewalahan "melayani" keinginan dan kebutuhan semua agama yang dianut masyarakat. Sehingga negara cenderung hanya mengurusi agama-agama besar, sementara agama-agama yang tidak begitu banyak pemeluknya tidak begitu diperhatikan. Kesan ini beralasan karena politik negara selama ini hanya mengakui lima agama yang hidup di Indonesia. Sehingga denominasi agama-agama kecil dalam masyarakat luput dari perhatian pemerintah. Dengan kata lain ada inequality dalam perilaku negara terhadap agama.
Reorientasi agama dan negara
Melihat kenyataan itu, maka saat ini adalah momen tepat untuk mengkaji ulang tatanan hubungan agama-negara di Indonesia. Ini tentu tidak bisa hanya diartikan sekadar improvisasi tambal sulam dengan mengulangi perdebatan lama yang tak pernah selesai. Hubungan antara keduanya harus dilihat dalam nuansa baru yang lebih sehat dan realistis. Untuk itu dikemukakan beberapa poin pemikiran.
Pertama, label agama apa pun tidak perlu dimunculkan secara spesifik dalam konstitusi. Bagi konstitusi cukup menggunakan istilah "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai amanat kepada institusi negara untuk mengakui keberadaan semua denominasi agama yang ada di Tanah Air. Tidak hanya terbatas lima agama besar yang diakui selama ini.
Kedua, sebagai refleksi dari perlindungan negara terhadap hak azasi manusia (HAM) dalam beragama maka institusi negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan memelihara kehidupan beragama setiap penduduk sesuai agama masing-masing. Dengan perangkat undang-undang, negara berhak menjaga harmonitas hubungan antara masing-masing pemeluk agama maupun antarumat beragama. Perangkat aturan dalam hal ini tidak cukup sebatas peraturan menteri tetapi perlu dalam bentuk peraturan perundang-undangan untuk menegaskan kekuatan hukumnya.
Ketiga, negara tidak perlu campur tangan dalam skala mikro pelaksanaan ajaran agama masing-masing pemeluknya. Pengaturan administrasi oleh negara dalam, hanya diperlukan saat aplikasi ibadah itu melibatkan warga masyarakat secara nasional misalnya ibadah haji ke tanah suci bagi orang Islam.
Keempat, aturan-aturan hukum personal maupun interpersonal yang didasarkan ajaran agama menjadi kewajiban negara untuk memeliharanya. Tetapi pelaksanaannya diserahkan kepada pemerintah daerah disesuaikan kebutuhan masing-masing anggota masyarakatnya. Dengan demikian problem pelaksanaan Syariat Islam misalnya cukup diserahkan pemecahannya kepada pemerintah dan masyarakat daerah dimana ide itu muncul. Ide hukum agama yang muncul dilihat sebagai kebutuhan hukum dari masyarakat pemeluknya. Karena itu pemecahannya harus dikembalikan kepada masyarakat agama itu sendiri.
Mengikuti teori para ahli, tentu tidak semua poin itu perlu dimasukkan dalam konstitusi negara. Karena sifat dari konstitusi itu sendiri hanya mencakup aturan asasi dan general. Pengaturannya yang rinci dapat diatur dalam undang-undang yang menjadi pendukung konstitusi itu. Karena itu, keputusan untuk tetap mempertahankan rumusan Pasal 29 UUD 1945 sudah merupakan langkah strategis. Hanya saja aturan perundang-undangan di bawahnya yang musti dirumuskan dengan lebih baik lagi.
* Ratno Lukito Mahasiswa doktoral Faculty of Law, McGill University, Montreal, Canada
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment