iqro: Membedah Agama Secara Rasional Sebuah Pemenuhan bagi Manusia Modern
Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang menerima dengan pasti (taken for granted) kepercayaan pada sesuatu yang maha. Dan, itu bersifat nonfisik serta berada di luar dirinya. Keyakinan pada sesuatu yang serba lebih dibanding dirinya, menyebabkan setiap manusia sepanjang hidupnya mencari satu kepercayaan yang hakiki.
Pengingkaran terhadap prinsip kepercayaan ini, akan membuat manusia kehilangan orientasi hidupnya. Terlepas dari beragam proses pencarian hakikat yang maha, baik secara perorangan maupun bersama atau melalui proses dialektika intelektual atau warisan, melahirkan sebuah lembaga yang saat ini kita sebut dengan aliran kepercayaan atau agama. Karena itu, agama diyakini manusia, sebagai alat untuk mencapai tujuan awalnya. Yakni, menemukan kepercayaan yang hakiki.
Tidak salah, jika hidup tanpa agama ibarat kapal tanpa nakhoda. Tidak jelas arah dan tujuannya, mudah terombang-ambing oleh ombak, dan akhirnya karam.
Manusia, siapa pun dia, membutuhkan kehadiran agama sebagai pegangan, penuntun, dan pegangan hidup yang mengarahkannya kepada tujuan mulia. Manusia yang tidak memiliki tujuan hidup secara pasti akan senantiasa dilandasi kecemasaan dan kegamangan. Oleh sebab itu, memeluk sebuah agama adalah keniscayaan bagi siapa pun yang mengaku sebagai manusia.
Agama, apa pun bentuknya, telah berada dan menghiasi perjalanan peradaban manusia sejak manusia itu ada. Jadi, usia agama sama tuanya dengan usia kehadiran manusia di muka bumi ini.
Dalam proses kehadiran agama yang berlanjut dengan kategorisasi agama, antara langit (samawi) dan bumi (ardhi), misalnya, kita harus objektif memandangnya. Tidak adil bila melihat satu agama dalam perspektif agama yang berbeda. Pandangan itu akan melahirkan bias sekaligus kehilangan objektivitasnya.
Oleh sebab itu, biarkan agama memandang dirinya sendiri, tidak boleh agama satu menjustifikasi agama lain. Karena, beragamnya agama yang hadir sepanjang sejarah manusia, maka kajian realitas dan dinamika kehidupan manusia (sosiologi), bersifat relijius.
Seluruh masyarakat yang masuk ke wilayah kajian sosiologi mempunyai bentuk agama tertentu. Sebagian sosiolog, atas dasar realitas ini, menemukan bahwa agama selalu terlibat dalam masyarakat, betapa pun beragamnya bentuk keadaan yang berlaku di dalamnya.
Akhirnya, mereka menyimpulkam bahwa agama tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Mayoritas sosiolog tidak menerima pernyataan bahwa agama merupakan sekumpulan 'fenomena-fenomena yang jelas' pada masyarakat, yang ditimbulkan oleh sebab tertentu yang tidak diketahui.
Pada sisi lain, agama juga hilang pada masyarakat karena sesuatu yang dapat dieliminasi. Kelompok ini menganggap agama sebagai sebuah fenomena yang pada masa lampau senantiasa bersama masyarakat dan akan berlanjut demikian pada masa mendatang.
Objek utama yang ingin dihadirkan di sini adalah, apakah agama-agama, secara umum, dimunculkan oleh suasana dan keadaan yang mengatur manusia dan masyarakat sedemikian rupa hingga 'agama' tidak pernah boleh dipertimbangkan, selamanya dan dalam segala keadaan terpisah dari masyarakat manusia?
Tidak diragukan lagi, manakala asumsi-asumsi yang berdasarkan pemikiran ternyata benar dalam praktiknya, maka kajian kita tentang agama dan nilainya akan berubah. Dalam kasus seperti itu 'agama' akan menjadi sebuah fenomena palsu yang mempunyai bentuk yang benar-benar 'takhayul'. Takhayul adalah sesuatu yang manusia yakini di bawah pengaruh keadaan dan faktor tertentu dan menjadi setia padanya tanpa kenyakinan ini mengungkapkan realitas dan fakta apa pun.
Meskipun agama-agama berbeda secara total satu dengan lainnya, agama-agama tersebut bersifat sama dalam satu prinsip, dan itu merupakan semacam keyakinan dan kepercayaan pada sesuatu yang nonmateri atau metafisika. Di sinilah nama 'Tuhan' muncul sebagai prinsip paling sentral dalam pembahasan agama.
Perbedaan agama secara kelembagaan formal, kemudian menciptakan pula nama Tuhan yang beragama. Dalam konteks sosiologis, penamaan Tuhan tergantung pada persepsi atau konsep pembawa, penemu, atau perintis agama tersebut.
Padahal, dalam tataran filosofis, konsep Tuhan adalah sama. Ia yang maha segalanya. Terlepas dari personifikasi Tuhan dalam bentuk berbeda tergantung pada kepercayaan yang dianutnya. Bahkan, dalam konsep, kuantitas Tuhan, sebenarnya tidak ada yang terbilang. Semuanya, tunggal.
Pada proses selanjutnya, manusia pernah atau kerap menemukan konsep kepercayaan, agama, dan Tuhan yang diyakininya tidak sesuai dengan keinginan atau pengetahuan yang dimilikinya. Proses pencarian yang terus-menerus berdialektika dengan situasi yang melingkupinya, menyebabkan ada perpindahan kenyakinan, agama, dan Tuhan. Pemberontakan jiwa dan pergulatan intelektual dalam satu waktu, misalnya, acap kali menjadi faktor penyebab manusia beralih pada agama dan Tuhan yang diyakininya lebih baik. Kondisi ini bisa terus berubah seiring dengan pengalaman keagamaan yang dimilikinya. Tentu saja, faktor X atau 'petunjuk dari Sang Metafisik' menjadi sesuatu yang menentukan putaran hidup, pun agamanya.
Lalu, bagaimana asal-muasal sebuah agama terbentuk? Agama apa yang harus dipeluk untuk tercapainya tujuan hidup mulia? Bagaimana seharusnya manusia beragama? Apakah agama yang ada menjadi jawaban paling rasional bagi para pencari agama di zaman modern ini? Pertanyaan-pertanyaan di seputar asal-usul, kehadiran, dan nilai agama inilah yang ingin dikupas secara kritis oleh Muhammad Husaini Behesyti dalam karya terbarunya Scientific Survey Islamic Ideology yang diterjemahkan secara akurat oleh Abdullah Ali dengan Mencari Hakikat Agama; Panduan rasional bagi manusia modern.
(Dudi Sabil Iskandar/R-3)
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment