>Jumat, 18 Januari 2002
Inklusivisme dalam Bingkai Agama Humaniter
Oleh Syamsul Arifin
MEMASUKI tahun 2002, umat beragama di Tanah Air agaknya bisa menaruh harapan terhadap masa depan hubungan antarumat beragama. Harapan itu muncul setelah ada "Deklarasi Malino untuk Poso" yang ditandatangani 20 Desember 2001. Deklarasi berisi sepuluh pernyataan perdamaian antara kelompok Muslim dan Kristen yang pernah bertikai di Poso sejak tiga tahun lalu. Deklarasi ini tampaknya memberi harapan karena semua pihak berikhtiar untuk menyosialisasikannya, disusul aksi-aksi nyata seperti penyerahan senjata secara sukarela dari kedua kelompok yang bertikai, mempercepat terwujudnya perdamaian di Poso (Kompas, 9/1/2002).
Adalah wajar bila kita menaruh harapan besar terhadap masa depan hubungan antarumat beragama di Indonesia, mengingat konflik sosial yang terjadi beruntun di berbagai pelosok Tanah Air beberapa waktu silam, antara lain, disebabkan masalah perbedaan agama. Jika dibandingkan dengan variabel lain yang juga menjadi pemicu konflik, variabel keagamaan ini memiliki suatu krusialitas tersendiri, sehingga cara penanganannya pun berbeda dengan variabel lain.
Agama adalah kehidupan eksistensial manusia menempati posisi ruang terdalam (inner space) manusia yang mudah mendorong munculnya getaran emosi. Dalam wujud perilaku keagamaan yang konkret, getaran ini bisa berpengaruh positif dan negatif. Yang positif, agama, tak diragukan lagi, menjadi sumber motivatif munculnya aktivitas yang tidak saja memiliki makna bagi manusia secara personal seperti saat manusia melakukan aktivitas ritual, tetapi juga memiliki nilai dan implikasi sejarah begitu mendalam.
Sedemikian kuatnya peran dan pengaruh agama, sehingga hampir semua peradaban besar yang pernah tumbuh di muka Bumi, kata Komaruddin Hidayat (2001), semula dimotivasi oleh keyakinan agama. Bukti nyata pengaruh keagamaan ini, di sisi lain, makin menumbuhkan keyakinan terhadap kebenaran teologis dan historis terhadap agama yang dipeluknya. Karena itu bisa dimaklumi jika agama-agama besar di muka ini tetap eksis karena antara lain berkat adanya jejak-jejak monomental dalam bentuk peradaban suatu komunitas agama tertentu.
Namun begitu, perlu disadari adanya implikasi negatif terhadap klaim keabadian historisitas agama, yaitu munculnya kebanggaan primordialistik di satu pihak. Di pihak lain, menegasikan atau setidaknya meragukan terhadap agama beserta implikasi historisnya yang sebenarnya mendapatkan klaim sejenis dari pemeluknya.
Konflik keagamaan di Tanah Air seperti di Ambon dan Poso, jelas tidak bisa dilepaskan dari unsur truth claim, meski tetap harus dicari keterkaitannya dengan variabel-variabel lain di luar agama. Dengan penjelasan ini saya sebenarnya ingin mengungkap suatu fakta serius, sebenarnya konflik sosial antara kelompok-kelompok agama juga berakar pada dunia keberagamaan masyarakat kita, meski kadang-kadang kita berusaha menutupinya karena ingin menghindar terhadap pemberian citra negatif terhadap agama. Padahal, ketika agama masuk dan berkembang dalam wilayah historisitas manusia, sulit dihindari adanya distorsi dan paradoks terhadap pesan perenial agama.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Penyebabnya terletak pada cara pandang manusia terhadap agama. Karena itu, upaya untuk meretas konflik sosial antara kelompok agama akan sia-sia jika tidak disertai upaya sistematis dalam mengubah cara pandang agama. Dari sudut pandang ini kita khawatir, konflik seperti di Poso bisa diredam tetapi hanya sementara waktu, jika cara pandang masyarakat terhadap agama tidak diubah. Penanganan konflik seperti ini membutuhkan waktu amat lama karena memang tidak mudah mengubah cara pandang lama yang telanjur diyakini memiliki kebenaran absolut.
***
PERUBAHAN cara pandang pada intinya mengubah apa yang oleh Ninian Smart (1992) disebut dengan cara pandang ekskluvisme-absolut. Cara pandang seperti ini memiliki watak hegemonik karena beranggapan, kebenaran absolut hanya ada dalam tradisi agama sendiri, sedangkan agama lain dianggap tidak benar.
Mengapa masyarakat beragama bisa sampai pada pemahaman demikian? Pertama-tama bisa ditelusuri ide yang absolut dan yang suci sebagai aspek universal dan sentral pada semua agama di dunia ini. Beragama pada dasarnya dimulai dari kepercayaan (belief) dan keyakinan (faith) terhadap apa yang oleh para pemeluknya dipandang sebagai Realitas Yang Suci dan Absolut, yang juga diyakini sebagai sumber ontologis agama, sehingga dengan begitu agama mudah diterima sebagai kebenaran absolut.
Begitu sentralnya ide yang absolut dan suci ini, rasanya sulit sekali diterima masyarakat beragama jika misalnya muncul gagasan beragama tanpa Tuhan (religion without God) seperti ditulis Rumadi Tuhan, Agama dan Kita (Kompas, 19/10/2001), atau bertuhan tanpa agama seperti dikembangkan Karen Amstrong penulis buku, The History of God, yang amat terkenal itu. Karen Amstrong sendiri, seperti ditulis Tempo (30/12/ 2001) mengakui, ia seorang freelance monoteis, yang berarti percaya pada Tuhan tetapi tak memeluk agama apa pun.
Pada tataran perilaku keberagamaan, bisa dijumpai individu yang mengembang model keberagamaan di luar mainstream keberagamaan mayoritas. Tetapi, sekali lagi, hal itu di luar tradisi keberagamaan yang sudah konvensional. Karena itu, ide tentang yang absolut dan yang suci diterima sebagai sesuatu yang niscaya ada dalam semua agama. Permasalahan muncul ketika ide yang absolut dan suci itu mengalami pewacanaan dan objektivasi seperti dalam bentuk sistem pemahaman teologis yang kemudian diterima secara taken for granted oleh masing-masing pemeluk agama. Sampai di sini kita mungkin belum menemukan persoalan serius. Bukankah setiap agama menghajatkan pada suatu bentuk intelektualisme keagamaan, sehingga pemeluk agama dapat memahami ide yang absolut dan suci secara lebih mudah. Sebatas dalam fungsi demikian, tentu saja kita dapat memahaminya.
Namun, bagaimana dengan kemungkinan bentuk pewacanaan itu terjatuh pada pemutlakan terhadap apa yang dipercaya sebagai Tuhan, sementara di pihak lain, ide dan kepercayaan orang lain dianggap tidak legitimate? Dalam sejarah ide dan kepercayaan manusia pada Tuhan, kecenderungan semacam ini sudah berlangsung lama. Setidaknya ini bisa dibuktikan dari kajian tasawuf klasik Ibn al-Arabi (560-638 H/1165-1240 M) yang pernah mengritik keras segala bentuk pemutlakan apa yang ia sebut dengan Tuhan kepercayaam (ilah al-'aqidah). Padahal, Tuhan kepercayaan menurut Ibn al-Arabi sekadar gambaran atau bentuk Tuhan; atau pemikiran, konsep, ide atau gagasan tentang Tuhan yang diciptakan oleh manusia atau taqlid-nya.
Dalam wilayah sosiologis, pemutlakan dan truth claim terhadap Tuhan kepercayaan, telah menutup ruang dialog terhadap kelompok agama lain, sehingga yang lebih mengemuka dalam hubungan antaragama adalah perbedaan dan pertentangan. Selain itu, dengan terobsesinya manusia pada Tuhan kepercayaan, ide-ide tentang kemanusiaan agama menjadi terabaikan. Padahal, misi diturunkan agama ke muka Bumi justru untuk kebaikan kemanusiaan universal. Kata Fulton J. Sheen, seperti dikutip Rumadi (Kompas, 19/10/2001): Religion centres not about God but man. It is man first, not God.
Dari beberapa konflik sosial antarumat beragama kita menangkap kesan kuat, dimensi kemanusiaan agama ini nyata-nyata mengalami pembusukan karena pada masing-masing kelompok agama yang terlibat konflik sosial saling mengatasnamakan pada Tuhan kepercayaannya. Dengan mengatasnamakan pada Tuhan kepercayaannya manusia bisa saling membunuh.
Tentu saja akan berbeda jika ide kemanusiaan agama juga memperoleh perhatian penting. Sebab, meski pada masing-masing agama terdapat keanekaragaman dalam membahasakan Tuhan kepercayaan itu, sejauh menyangkut pesan perenial tentang kemanusiaan, semua agama disatukan dalam visi kemanusiaan yang sama bahwa manusia merupakan makhluk suci yang harus dilindungi keberadaannya. Seharusnya pada aras kemanusiaan inilah, energi intelektual dan sosial umat beragama dikerahkan. Dengan begitu, selain agama akan terus menemukan signifikansi dalam realitas sejarah manusia, juga kita dapat mengembangkan sikap inklusif sebagai ganti sikap eksklusif-absolut.
Hanya dengan bingkai agama humaniter-agama yang menekankan pada dimensi kemanusiaan-inilah, alih-alih sekadar mengembangkan kerukunan, bahkan, kerja sama antarumat beragama sekali pun bisa dengan mudah dilakukan. Sebab, pada dasarnya apa yang menjadi komitmen agama dalam bidang kemanusiaan, menurut Ignas Kleden (Prisma, Juni 1978), juga menjadi komitmen manusia secara universal, sebelum dan tanpa dia diperanggotakan pada suatu agama tertentu.
* Syamsul Arifin, Kepala Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) pada Lembaga Penelitian (Lemlit) Universitas Muhammadiyah Malang.
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment