Islam dan Sosial-Demokrasi
oleh: Jamil Wasti Syed
Pada mulanya, Islam dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap tatanan hidup masyarakat yang sudah ada. Baik bangsa Arab maupun non-Arab. Kekaisaran Romawi Timur dan Persia secara perlahan mengalami kemunduran. Karena, sistem perbudakan yang mereka anut ditantang oleh Islam.
M.N. Roy, seorang penganut Marxis, dalam bukunya, Historical Role of Islam (Peran Sejarah Islam), mengenalkan revolusi Islam dan perannya dalam sejarah. Begitu juga dengan H.G. Wells. Ia menerima konsep egalitarianisme Islam dan kekuatan sipil. Ia menulis, "... Islam menekankan persamaan pada setiap manusia tanpa membedakan asal dan golongan. Dan penerapan ukhuwah Islam merupakan kekuatan terbesar dalam sejarah dunia saat ini."
Malangnya, agama yang sangat demokratis dan egaliter ini sering disalah-artikan. Malah dianggap sebagai agama konservatif, yang mendukung status quo masyarakat feodal.
Sistem politik Islam pada masa awal didasarkan pada aspirasi rakyat. Seperti yang dikatakan Abu Bakar ketika ia dilantik menjadi khalifah pertama, "Saudara-saudara, aku telah terpilih menjadi pemimpin (khalifah) kalian. Aku akan mematuhi hukum yang kalian miliki dan aku tak punya hak untuk menentukan hukum yang baru. Aku memerlukan saran dan bantuan kalian. Jika aku berlaku benar, dukunglah. Jika melakukan kesalahan, tegurlah."
Islam adalah agama aktif dalam mewujudkan dunia yang lebih baik. Sebaliknya, menjadi lawan bagi sistem yang lain. Islam menentang ateisme dan materialisme. Menolak konsep pertapaan yang melihat kesalehan sebagai sikap pasif dan berdiam diri, serta meninggalkan hubungan kemanusiaan lainnya.
Islamlah yang pertama kali membentuk negara kesejahteraan sosial dengan menyediakan subsidi bagi yang telah pensiun dan bagi anak-anak dari mereka lahir sampai mereka bisa bekerja mencukupi diri.
Negara akan memberikan santunan bagi masyarakat yang kurang mampu. Tak ada sistem kelas, tak ada tingkatan sosial. Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah, wanita diberikan perlindungan hukum untuk menjaga harta kekayaan seperti halnya kaum pria.
Negara adalah milik rakyat dan berhak menguasai tanah, hutan, dan perkebunan. Yang kaya dikenai pajak dan digunakan untuk kaum yang papa. Islam lebih dulu membentuk negara sosial-demokratik, jauh sebelum negara-negara Eropa membuatnya.
Islam bertujuan menghapus perbudakan dan pengeksploitasian manusia oleh manusia serta menghilangkan sikap rasialis dan chauvinisme nasional.
Sistem politik ekonomi Islam didasarkan pada musyawarah dan kesepakatan demi kepentingan orang banyak. Masyarakat diperbolehkan menanyakan berbagai hal kepada khalifah dan para gubernur setiap mereka bertemu ketika melaksanakan haji di Mekah.
Sebelum Rousseau mengeluarkan konsep kontrak sosialnya, Islam telah mengajarkan hubungan antara khalifah dan rakyatnya, yang ditunjukkan dengan pemberian baiat (pengakuan) antara kalifah dan rakyat.
Karena Islam adalah bentuk negara kesejahteraan yang sesungguhnya, maka negara bertanggung jawab terhadap para yatim-piatu, janda-janda, serta anak-anak dan kaum yang tak mampu, bahkan juga atas orang-orang yang terlilit utang. Membebaskan budak adalah tindakan untuk menebus dosa seseorang. Di bawah sistem ekonomi Islam, barang-barang yang biasa digunakan manusia dan makhluk lainnya, seperti garam, air, dan rumput, tidak dikenai pajak.
Negara yang menentukan harga dan barang-barang keperluan masyarakat agar tidak terjadi penimbunan keuntungan pada segelintir orang serta tak terjadi penipuan, misalnya jumlah timbangan barang atau penjual barang yang telah kadaluarsa.
Islam menolak pergantian kekuasaan berdasarkan keturunan. Khalifah Umar menolak menominasikan putranya sebagai pengganti. Bahkan anaknya dikeluarkan dari badan pengganti khalifah. Secara sosial, Islam menciptakan tatanan masyarakat tanpa kelas dan tingkatan. Prinsip ekonomi dibentuk berdasarkan kebutuhan masyarakat Muslim secara keseluruhan.
Ketika menduduki Irak, beberapa sahabat Rasulullah meminta Khalifah Umar untuk membagikan tanah yang dikuasai kepada para mujahid seperti rampasan perang. Namun Khalifah menolak cara tersebut, sambil menjelaskan bahwa generasi Muslim yang akan datang juga memiliki hak atas tanah tersebut, dan menetapkan bahwa tanah dikuasai oleh negara dan akan diberikan kepada mereka yang mengolahnya dan menyuburkannya.
Kebijakan ini berkaitan dengan Hadis Rasul: "Semua tanah adalah milik Tuhan. Barang siapa yang merusak tanah, maka ia hanya memperoleh sedikit; dan barang siapa yang menyuburkan dan mengolahnya, maka baginyalah tanah itu."
Sebuah contoh yang sangat menakjubkan dalam Islam dengan berbagai perbedaan sosialnya, ditunjukkan oleh perilaku utusan muslimin ketika menghadap di pengadilan Persia: Muadh ibn Jabal. Ketika diminta duduk di karpet yang mewah, ia menolaknya sambil berkata, "Saya tidak mau duduk di atas karpet yang dibuat oleh keringat orang miskin."
Dia lebih memilih duduk di tanah yang tak beralas. Dan ketika dikatakan hanya budak yang duduk di tanah, dia menjawab, "Siapakah yang lebih budak selain menjadi budak Tuhan?" Ketika karpet tersebut dihadiahkan untuk dibawa pulang, Khalifah Umar menyuruh orang memotongnya. Tindakan Umar ini merupakan indikasi dari ketidaksenangannya terhadap karpet yang dianggap sebagai lambang kemewahan dan kemegahan.
Penulis adalah intelektual asal Pakistan. Ia menulis banyak artikel tentang ekonomi Islam. Tulisan ini diambil dari majalah Ummat, No. 4 Thn. IV/3 Agustus 1998 dan pernah dimuat dalam harian berbahasa Inggeris yang terbit di Pakistan, Dawn, edisi 3 Juli 1998.
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment