Tuesday, March 31, 2009

TELAAH KRITIS ATAS TEOLOGI MU'TAZILAH

TELAAH KRITIS ATAS TEOLOGI MU'TAZILAH (1/2)
oleh Masdar F. Mas'udi

Dengan mengatakan innama 'l-a'malu bi 'l-niyyat (amal
ditentukan niyatnya), maka sesungguhnya Nabi Muhammad saw
sedang berteori bagaimana suatu amal, harus dikritik atau,
dalam bahasa manajemennya, dievaluasi. Niat, seperti
diketahui, adalah kesadaran tentang tujuan suatu amal
dilakukan. Dan amal berdimensi ganda, pertama yang bersifat
ke dalam dan personal, dan kedua yang bersifat keluar dan
sosial. Tujuan amal yang bersifat "kedalam" landasannya
adalah "iman," sedang tujuan yang bersifat "ke luar"
landasannya adalah "realitas kehidupan."

Syahdan, kritik amal atas dasar niat yang bersifat kedalam
sama sekali bukan urusan kita. Itu adalah urusan Tuhan dan
pribadi yang bersangkutan, dan waktunya, menurut agama,
bukan di sini, di dunia ini, tapi di sana, di alam akhirat
nanti. Yang ada pada wewenang kita, sebagai makhluk sosial,
adalah kritik atau evaluasi amal dari sudut niat (tujuan)nya
yang bersifat "keluar," yaitu mengapa dan dalam konteks
sosial yang bagaimana suatu amal telah dilakukan. Dalam
hubungan ini innama 'l-a'malu bi 'l-niyyat akan berarti,
amal itu diikat dan ditentukan oleh konteksnya, oleh
realitas kehidupan yang mendorong kehadirannya. Tak ada
suatu amal yang muncul begitu saja lepas dari kaitan sebab
akibat yang melingkupinya. Dan hanya dalam kaitan sebab
akibat itulah suatu amal bisa dinilai, dikritik atau
dievaluasi. Dengan menerima dasar penilaian atau kritik yang
demikian ini, maka bisa dikemukakan beberapa acuan sebagai
berikut.

Pertama, bobot dan relevansi suatu amal (dalam hal ini amal
pemikiran) pada dasarnya adalah relatif dan bisa berubah,
justru lantaran konteks yang melahirkannya adalah juga
bersifat relatif dan berubah. Kedua, bobot dan relevansi
suatu amal pemikiran pertama-tama tidak ditentukan penilaian
benar tidaknya dari sudut doktrin, melainkan lebih pada
kenyataan sejauh mana ia mengena pada realitas yang
diresponsnya. Ketiga, karena setiap amal adalah respons
terhadap realitas yang didefinisikannya. Maka bobot dan
relevansinya juga tergantung pada sejauh mana definisi atas
realitas itu memiliki ketepatan. Semakin tepat definisi
realitas yang ditangkap, semakin tinggi pula bobot dan
relevansi pemikiran yang diresponinya.

Sementara itu, realitas yang menjadi pijakan amal pemikiran,
dapat kita kelompokkan dalam dua katagori, yaitu realitas
teoritik dan realitas empirik. Yang pertama adalah realitas
yang terdapat dalam dunia ide yang dipikirkan. Sedang yang
kedua adalah realitas yang ada dalam dunia kenyataan yang
dirasakan. Memang, keduanya tak harus selalu terpisah; yang
satu terhadap yang lain bisa saling pengaruh mempengaruhi.
Tapi yang saya maksudkan adalah, sebagian amal pemikiran
benar-benar lahir dengan titik tolak keprihatinan pada
realitas teoritis (baru kemudian, jika dirasa perlu,
bergerak ke realitas empiris), sedang sebagian amal
pemikiran yang lain, titik tolaknya adalah keprihatinan
terhadap realitas empiris (baru kemudian realitas yang
bersifat teoritis).

Pemikiran kategori pertama, karena titik tolak
keprihatinannya pada realitas abstrak dan umumnya terbatas
hanya pada concern kalangan tertentu, maka dampak sosialnya
pun cenderung abstrak dan terbatas pada kalangan tertentu
saja. Sebaliknya, pemikiran yang lahir dari keprihatinan
pada realitas riil yang dirasakan orang banyak, dengan
sendirinya, juga akan cenderung pada hal-hal yang konkrit
yang bisa mengena pada kepentingan orang banyak.
Demikianlah, pemikiran katagori pertama, akan cenderung
bercorak elitis, sedang yang kedua akan bercorak populis.

PEMIKIRAN TEOLOGI MU'TAZILAH

Fakta sejarah, bahwa pemikiran-pemikiran keagamaan (fiqh
atau teologi) sebagai amal yang ditawarkan para pemikir
Muslim sejak abad pertengahan adalah lahir dari suatu pola
keprihatinan yang serupa, yaitu bagaimana ajaran agama bisa
dipahami umat secara benar. (Suatu pemikiran yang jelas
berangkat dari keprihatinan teoritik). Seperti selalu
diulang-ulang para sejarawan, bahwa pada paroh kedua abad
pertama Hijriah, telah terjadi dua perkembangan yang sangat
signifikan dalam sejarah umat Islam. Pertama, kenyataan
bahwa di kalangan umat terjadi konflik internal yang boleh
jadi tidak pernah diinginkan oleh mereka sendiri, dimana
satu kelompok bukan saja telah mengutuk kelompok yang lain,
tapi telah saling membunuh. Perkembangan yang tragis ini
yang terjadi dua kali, dikenal dengan sebutan fitnah kubra,
"cobaan besar." Perkembangan kedua adalah masuknya bangsa
Parsi dan sekitarnya kedalam Islam berikut pemikiran dan
keyakinan-keyakinan lamanya yang sudah terbentuk kuat dalam
benak masing-masing.

Dengan kedua perkembangan itulah muncul
pertanyaan-pertanyaan teologis. Bagaimana hukumnya orang
Islam yang melakukan dosa besar (seperti membunuh sesama
Muslim tanpa hak). Siapakah yang sesungguhnya
bertanggungjawab atas tindakan manusia: dirinyakah, atau
kekuatan-kekuatan itu, dan dalam kontrol siapakah ia.
Menurut ajaran Islam, ada dua jenis balasan sejati di
akhirat nanti, yaitu balasan sorga dan balasan neraka.
Berkaitan dengan tanggungjawab perbuatan manusia tadi,
faktor apakah yang memastikan orang memperoleh penyelamatan
Tuhan dengan masuk sorga, apakah faktor itu adalah "amal
perbuatannya" ataukah "rahmat Tuhan" semata yang diberikan
kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Pertanyaan ini
muncul -besar kemungkinan karena menurut doktrin Kristiani
yang ketika itu juga sudah dibawa masuk dalam lingkungan
umat Islam- "penyelamatan Tuhan" itu tak ada sangkut pautnya
dengan amal perbuatan manusia, tapi semata-mata atas dasar
"rahmat" yang disediakan melalui pintu tunggalnya: Yesus.

Syahdan, dari keprihatinan atas pertanyaan-pertanyaan inilah
para pemikir Islam ketika itu merasa ditantang merumuskan
jawabannya yang benar sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang
shahih. Karuan saja, karena ajaran-ajaran Islam itu pun
harus diolah terlebih dahulu melalui subyektifitas
masing-masing pemikir, maka jawaban pun hadir dalam corak
dan pendekatan yang demikian berbeda-beda. Masing-masing
jawaban tumbuh sebagai aliran pemikiran yang berdiri
sendiri. Tersebutlah, di kemudian hari nama-nama: Khawarij,
Murjiah, Mu'tazilah, Qadariyah, Jabariyah, Asy'ariyah,
Maturidiya, Khasywiyah dan sebagainya. Yang menarik adalah
bahwa masing-masing aliran ini, karena merasa berpedoman
pada pegangan mutlak yang ada di tangan, mengaku sebagai
satu-satunya yang benar, yang lainnya adalah salah.

Berbicara tentang awal mula sejarah Muitazilah, orang akan
selalu merujuk pada episoda diskusi Hasan al-Bashri (w. 110
H/ 728 M), seorang ulama terkemuka pada zamannya, dengan
para muridnya diseputar tema Muslim yes, Muslim no yang baru
pada taraf pembentukan diri, sangat menekankan perlunya
seseorang dapat memperjelas (diperjelas) kedudukannya apakah
termasuk orang dalam (in group, minna) atau termasuk orang
luar (out group, minhum). Maka terhadap pertanyaan yang
terlontar dalam diskusi Hasan tadi, yang berkembang saat itu
adalah jawaban-jawaban berikut. Pertama, dengan melakukan
dosa besar, seorang Muslim telah terpental dari kelompok
(komunitas) alias menjadi "kafir" dan karena itu -sesuai
dengan hukum riddah- halal ditumpahkan darahnya. Jawaban ini
diajukan kelompok yang terkenal dengan sebutan Khawarij.
Jawaban kedua mengatakan bahwa Muslim yang melakukan dosa
besar masih tetap tergolong Muslim, dan bagaimana dengan
dosa yang dilakukannya itu terserah Tuhan di hari akhirat
nanti. Jawaban inilah yang agaknya dicondongi mayoritas umat
Islam yang disebut sebagai kelompok Murji'ah (artinya:
menangguhkan).

Saya kira, Hasan Basri selaku pemimpin dan tokoh yang merasa
harus menjaga keutuhan umat berada dalam arus kecenderungan
umum ini, yaitu bahwa identitas seseorang apakah ada "di
dalam" (minna) atau "di luar" (minhum) harus benar-benar
jelas. Itulah sebabnya ketika Washil melontarkan pendapatnya
yang melawan arus tadi, dengan nada menyesal Hasan
berkomentar: Ia telah keluar dari kita. I'tazala'anna!. Kata
i'tazala (hengkang) yang jadi sebutan Mu'tazilah (yang
hengkang dari arus umum) itu pun kemudian ditempelkan kepada
Washil bin Atha dan segenap pengikutnya.

Tapi kalau pertanyaan tentang "status pendosa besar" ini
banyak diselimuti latar belakang politis, maka pertanyaan
tentang "kebebasan manusia," terasa lebih bersifat murni
teologis. Dan sebenarnya pada kisaran inilah Mu'tazilah
benar-benar tumbuh sebagai aliran teologi yang tersendiri
diantara aliran-aliran teologi yang lain. Berbeda dengan
aliran teologi lainnya, Mu'tazilah secara tegas mengatakan
bahwa "manusia sepenuhnya memiliki kebebasannya sendiri
bertindak." Baginya, hanya dengan prinsip kebebasan inilah,
manusia secara moral dapat dituntut pertanggungjawaban di
kemudian hari. Prinsip "janji dan ancaman" (al-wa'du wa 'l
wa'id) yang akan dilaksanakan di hari kemudian tak bisa
dipahami tanpa adanya prinsip "kebebasan" tadi. Dan
sebaliknya, prinsip kebebasan juga hanya akan berarti kalau
ada "janji dan ancaman" yang setimpal di hari kemudian.

No comments: