KONFLIK IDEOLOGI
Oleh : Dr. Darsono P, SE, SF, MA, MM.
Ideologi sebagai keyakinan yang diperjuangkan,
penganutnya rela berkorban demi perjuangan
ideologinya. Oleh sebab itu ideologi tidak pernah mati
sepanjang sejarah perkembangan masyarakat. Di dunia
dewasa ini hanya ada dua idologi yaitu kapitalisme dan
sosialisme. Dua ideologi itu konflik antagonis
sepanjang masa. Dengan konflik itu melahirkan kemajuan
ilmu sosial yang makin berkembang maju dan melahirkan
berbagai paradigma baru.
Kapitalisme
Kapitalisme adalah suatu ideologi yang mengagungkan
kapital milik perorangan atau milik sekelompok kecil
masyarakat sebagai alat penggerak kesejahteraan
manusia. Kepemilikan kapital perorangan atau
kepemilikan kapital oleh sekelompok kecil masyarakat
adalah dewa di atas segala dewa, artinya semua yang
ada di dunia ini harus dijadikan kapital perorangan
atau kelompok kecil orang untuk memperoleh keuntungan
melalui sistem kerja upahan, di mana kaum pekerja
(buruh) sebagai produsen diperas, ditindas, dan
dihisap oleh kaum kapitalis.
Bapak ideologi kapitalisme adalah Adam Smith dengan
teorinya The Wealth of Nations yaitu kemakmuran
bangsa-bansa akan tercapai melalui ekonomi persaingan
bebas, artinya ekonomi yang bebas dari campur tangan
negara. Kemudian Ideologi kapitalisme diperbaharui dan
dikembangkan oleh Keynes dengan teorinya Campur
Tangan Negara dalam Ekonomi khususnya dalam
menciptakan kesempatan kerja, menetapkan tingkat suku
bunga, tabungan, dan investasi, W.W. Rostow dengan
teorinya The Five Stage Scheme, Harrod-Domar dengan
teorinya Tabungan dan Investasi, Mc Clelland dengan
teorinya The Need for Achievement, Reagan dan Tacher
dengan teorinya Neo-Liberalisme atau Globalisasi Pasar
Bebas atau teori Kedalualatan Pasar Bebas. Pelaksanaan
teori-teori tersebut di atas didukung oleh IMF
(international Monetary Fund), World Bank, dan para
konglomerat internasional.
Sosialisme
Sosialisme ialah suatu ideologi yang mengagungkan
kapital milik bersama seluruh masyarakat atau milik
negara sebagai alat penggerak kesejahteraan manusia.
Kepemilikan bersama kapital atau kepemilikan kapital
oleh negara adalah dewa di atas segala dewa, artinya
semua yang ada di dunia ini harus dijadikan kapital
bersama seluruh masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraan melalui sistem kerja sama, hasilnya
untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama, dan distribusi
hasil kerja berdasar prestasi kerja yang telah
diberikan.
Ideologi sosialisme hakikatnya adalah menelanjangi
keserakahan kapitalisme. Bapak ideologi sosialisme
adalah Karl Marx dengan teorinya Materialisme
Dialektika dan Materialisme Historis, dan Das Kapital.
Kemudian ideologi sosialisme dikembangkan oleh
Althusser dengan teorinya Strukturalisme, Antonio
Gramsci dengan teorinya Hegemoni, Samir Amin dan Adre
Gunder Frank dengan teorinya Ketergantungan, Max
Hokreimer, Hebert Marcuse, Theodor W. Adorno dengan
teori Kritisnya yang ingin membebaskan manusia dari
belenggu penindasan dan penghisapan, tetapi anti
dogmatisme yang artinya Marxisme tidak boleh dijadikan
dogma (keyakinan membuta).
Post Modernisme dan Post Marxisme
Kedua ideologi ini lahir karena kontradiksi antara
kapitalisme dan sosialisme yang makin menajam. Mereka
mencari jalan keluar, pemikir kapitalis mencari jalan
keluar berupa Post Modernisme sedangkan pemikir
sosialis mencari jalan keluar berupa Post Marxisme.
Kedua ideologi ini hakikatnya adalah revisionisme,
mengaburkan paham kapitalisme dan sosialisme.
Post Modernisme
Post Modernisme ialah ideologi tentang hak untuk
berbeda (The Right of Different) yang menolak
penyelamatan manusia dari penghisapan manusia atas
manusia yang dikumandangkan oleh ideologi sosialisme,
dan menolak hegemoni dan dominasi kapital terhadap
kehidupan manusia. Hakikatnya post modernisme menolak
ideologi kanan (kapitalisme) dan ideologi kiri
(sosialisme). Menurut George Ritzer (jurnal The
American Sosilogist No 10, 1975 yang dikutip oleh
Widodo Dwi Putro, Kompas, 23 September 2002), konfik
kanan-kiri yang menang adalah kanan (kapitalisme)
karena kapitalisme mempunyai kekuatan kapital dan
kekuasaan politik. Kemenangan kapitalisme atas
sosialisme dewasa ini (akhir abad 20) dikukuhkan oleh
tesis Francis Fukuyama dalam The End of History and
The Last Man, yang menjelaskan bahwa evolusi terakhir
ideologi manusia adalah demokrasi liberal karena
diterima diseluruh dunia dan menerima kapitalisme
sebagai cara produksi yang paling efektif, produktif,
dan efisien. Selanjutnya Fukuyama menjelaskan bahwa
dewasa ini kekuasaan tertinggi manusia adalah
Konsumerisme karena ideologi inilah yang paling
otoriter pada kehidupan manusia, dan ideologi ini
disebut The Late Capitalisme (kapitalisme akhir).
Kesadaran manusia tidak lagi dipersatukan oleh
ideologi kapitalisme dan sosialisme tetapi oleh
konsumerisme dan daya tarik gaya hidup; manusia tidak
peduli pada ideologi kapitalisme dan sosialisme tetapi
tertarik pada gaya hidup.
Post Marxisme
Post Marxisme adalah ideologi kaum intelektual bekas
kaum Marxist yang ingin memperbaiki nasib rakyat
jelata melalui program pembangunan yang dilaksanakan
oleh pemerintahan bourjuis. Post-Marxisme berlawanan
dengan Marxisme yaitu ideologi kaum buruh yang ingin
memperbaiki nasibnya melalui suatu revolusi sosial.
Dua ideologi itu memiliki sejarah yang berbeda.
Ideologi Marxisme, lahir dari kesadaran kaum buruh
untuk mengubah nasibnya dari penindasan dan
penghisapan kaum kapitalis melalui revolusi sosial.
Marxisme merupakan sejata idiil kaum buruh, dan buruh
menjadi senjata materiil Marxisme. Di atas kemenangan
revolusi sosial itu didirikan pemerintahan Demokrasi
Rakyat kemudian berkembang menjadi Diktatur
Proletariat yang mempunyai tugas utama memperbaiki
nasib kaum buruh dan kaum miskin lainnya. Sedangkan
ideologi Post-Marxisme, lahir dari bekas kaum Marxist
yang mengkritik beberapa point teori Marx antara lain
teori revolusi dan teori Negara Diktatur Proletariat.
Di samping itu post marxisme lahir dari kekosongan
posisi sosial pada saat perjuangan kelas pekerja (kaum
kiri) mengalami kemunduran, dan lahir dari pengaruh
kaum Neo-Liberalisme dengan tesis globalisme, di mana
kesejahteraan sosial harus diatur oleh ?Kedaulatan
Pasar Bebas?. Dalam tesis globalisme, kapital, ilmu,
teknologi, dan tenaga ahli adalah bebas mengarungi
samudera dan bebas menjelajah ke pelosok penjuru dunia
untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.
Analisis
Konflik ideologi antara kapitalisme dan sosialisme
merupakan keharusan sejarah. Karena kapitalisme ingin
mempertahankan pemilikan perorangan atas alat-alat
produksi dan ingin mempertahankan penghisapan manusia
atas manusia melalui sistem kerja upahan di mana
besarnya upah ditentukan oleh pemilik kapital.
Sedangkan sosialisme ingin membebaskan manusia dari
belenggu rantai penghisapan manusia atas manusia dan
bangsa atas bangsa melalui revolusi di mana alat-alat
produksi harus menjadi milik bersama seluruh
masyarakat, digunakan bersama, dan hasilnya untuk
memenuhi kepentingan hidup bersama di bawah pengaturan
negara.
Dalam kapitalisme, negara adalah pelayan kaum
kapitalis. Negara harus membuat undang-undang untuk
melindungi kepemilikikan kapital kaum kapitalis. Di
samping itu negara harus melaksanakan kebijakan
politik yang melindungi dan menguntungkan kaum
kapitalis. Sedangkan sosialisme, negara adalah pelayan
rakyat. Negara harus membuat undang-undang untuk
melindungi kepemilikan bersama seluruh masyarakat atas
alat-alat produksi. Di samping itu negara harus
melaksanakan kebijakan politik yang melindungi dan
menguntungkan kaum pekerja (buruh).
Tentang lahirnya paham baru post modernisme dan post
marxisme yang dewasa ini sedang diminati oleh banyak
pemikir, itu hakikatnya adalah revisionisme yang akan
mengaburkan kesrakahan kapitalisme dan tesis revolusi
sosial menuju sosialisme. Post modernisme dan post
marxisme hanya ?kembang pemikiran? yang sedang mekar
tanpa didasari oleh kekuatan basis (sistem ekonomi).
Oleh sebab itu kembang pemikiran tersebut akan segera
layu dan berguguran.
Seperti tulisan Fukuyama, yang menjelaskan bahwa
kapitalisme akhir adalah hegemoninya dan dominasinya
konsumerisme, ia hanya melihat permukaan gejala sosial
saja, ia tidak melihat hakikat dari gejala sosial
tersebut. Demikian juga tentang post Marxisme,
paradigma itu hanya sebagai ?hiburan kaum intelektual
kiri? saja yang tidak sabar menunggu datangnya
revolusi sosial. Oleh sebab itu dengan lahirnya post
marxisme, bukan berarti Marxisme sudah mati. Post
Marxisme itu hanya aliran segelintir pemikir kiri yang
menyimpang dari Marxisme dan dapat dipastikan tidak
akan didengar oleh kaum pekerja (buruh), apalagi
dijadikan senjata morilnya. Kaum pekerja (buruh) di
mana pun selama masih ada kapitalisme tetap akan
menggunakan Marxisme sebagai senjata morilnya (senjata
perjuangannya).
Post modernisme hakikatnya adalah paradigma ?pemikir
bingung?, karena landasan berpikirnya adalah pikiran
itu sendiri, bukan kondisi riil kehidupan sosial. Oleh
sebab itu paradigma post modernisme dapat dipastikan
cenderung ke idealisme (pikiran yang melahirkan
kondisi obyektif, bukan kondisi obyektif yang
melahirkan pikiran). Baik post marxisme maupun post
modernisme hanya sebagai buah pikiran berdasar
pikiran, bukan buah pikiran berdasar kondisi obyektif
kehidupan sosial, akhirnya keduanya akan ditelan dan
hilang oleh sejarah perkembangan masyarakat, karena
hakikatnya sejarah adalah sejarah konflik kepentingan
kehidupan riil (kehidupan ekonomi) antara golongan
penguasa dengan golongan yang dikuasai, kemudian
berkembang menjadi konflik ideologi.
Jakarta, 23 September 2002.
Dr. Darsono P, SE, SF, MA, MM.
Wednesday, April 1, 2009
Membangun Nalar
Membangun Nalar yang Tak Retak
Adi Armin
Di manakah kenistaan peruntungan/ Jiwa yang damba jadi pemenang/ Ketulusan hati adalah keabadian/ Kejujuran insan yang tidak lazim/ Awalnya adalah keyakinan/ Inspirasi gairah/ Dewi jualah yang menjulurkan lambaian.
KUTIPAN puisi du Bellay ini sarat dengan renungan kuat pemikiran platonisme. Muatan itu bukan saja karena du Bellay mengusung panji-panji kaum neoplatonian dalam kelompok tujuh bintang (La Pleiade), kelompok yang merangkum tujuh sastrawan besar di zaman Raja Henri II (1519-1559), dan yang lainnya adalah Ronsard, Remy Belleau, Jodelle, Baif, Pontus, Peletier du Mans, namun lebih-lebih sedimen poetik du Bellay sendiri bersumber dari pengalaman batin dan nalar asli yang berorientasi sublim dan suci. Proses kreatifnya bersentuhan dengan metafisika yang justru disangsikan sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran, khususnya pada zaman surplusisme dewasa ini. La Pleiade, pengujung Abad Pertengahan, sengaja mengaktualkan kembali konstelasi sastra Yunani klasik yang berfokus pada tujuh sastrawan terkemuka masa Ptoleme Philadelphe, di antaranya Lycophrone, Homere dan Dionysiades sebagai bukti penegasan semangat renaissance yang mereka miliki, yaitu kembalinya kejayaan pemikiran Yunani dan keunggulan teknik konstruksi bangsa Romawi.
SEBAGAIMANA diketahui, Plato telah mengembangkan pemikiran umum yang membedakan pengetahuan opini yang mengandalkan penampilan realitas (doxa) dengan pengetahuan yang mengandalkan kebajikan moral, kedalaman dan keabadian (epistème). Pada perkembangannya, pemisahan kedua pengetahuan tersebut memberikan indikasi kuat bahwa penelitian rasional yang merupakan kelanjutan penelitian penampilan realitas (doxa) telah memihak pada "perangkat keras" atau kekakuan obyek formal pengetahuan yang kemudian memiliki akses bergelombang pada politik dan kekuasaan, sementara pengetahuan yang mengandalkan kebajikan moral, kedalaman dan keabadian tidak demikian.
Syair bening Las! Ou est maintenant yang mengabadikan ruang-ruang kedalaman dan keabadian sejajar dengan tawaran mistisisme puisi Corespondeences dari Charles Baudelaire, yang walaupun berada jauh di luar pengaruh Yunani klasik, berhasil mengoleksi metafora dan simbol-simbol memukau lewat kesatupaduan indera sebagai modalitas penalaran. Kita simak: Alam laksana kuil dengan tiang-tiang hidup/ Melepaskan suara galau/ Manusia lewat di sana melalui hutan simbol/ Menyapa dengan pandangan hangat/ Laksana gema di kejauhan yang bersahutan/ Luas bagai kelam dan cahaya/ Wewangian laksana harum bayi/
Pengaktifan total modalitas pengamatan secara simultan yang disajikan Baudelaire dapat dimaknai suatu kemungkinan pengaktifan seluruh fakultas penalaran manusia dalam menyapa realitas fenomenal yang memiliki harmoni satu sama lain. Manusia sebagai makhluk hidup yang secara "tragis" terlempar ke bumi dibekali perangkat sidik untuk memudahkan dirinya beradaptasi dengan beragam rupa tantangan natural. Bahkan, bukan hanya mampu beradaptasi, dengan kemampuan indera rohani dan jasmani, manusia sering kali memenangkan pertarungan itu berkat sukses kultural yang semakin sophisticated, yang dimilikinya, jauh melibas hadangan alam. Mercusuar pencakar langit tahan gempa didirikan, samudera ditembus, angkasa luar diacak, jarak dibonsai, waktu dikonstruksi.
Namun, penalaran jasmani tidak selalu menang dalam observasi realitas. Semakin maksimal penalaran jasmani bekerja, disadari semakin ada bagian realitas yang mengelak, dan menyingkir dari observasi. Selalu ada bagian realitas yang tidak habis diverifikasi. Semakin horizon didekati, semakin mundur menyingkir horizon tersebut. Alih-alih realitas, bahkan Aku-nya manusia yang menalar pun ikut-ikutan mengelak dan tergelincir keluar dari penalaran, seru JWM Verhaar. Lihat bagaimana sibuknya fenomenologi Husserl mencari syarat-syarat transendental bagi ego dalam kerangka transendental intersubyektif. Atau, usaha Merleau-Ponty untuk menyenangkan dirinya sendiri bahwa tubuh cukup utuh pada dirinya untuk mengarah pada Dunia Hidup (lebenswelt), sehingga transendensi tidak perlu dilakukan, padahal saat mendefinisikan manusia, Ponty terjebak dalam istilahnya sendiri, yaitu manusia adalah le corps dan le sujet di mana salah satunya pasti mengelak. Bahkan, Aku-nya Wittgenstein, satu-satunya struktur yang tidak masuk dalam struktur logis. Aku-nya manusia menjadi batas dunia, suatu tindakan mengelak yang gamblang. Puncak pernyataan penalaran yang mengelak dapat ditemukan dalam rumusan pertanyaan gaya Ryle, yang bertanya: bagaimana aku mengetahui bahwa aku mengetahui sesuatu, bagaimana aku menyadari bahwa aku menyadari sesuatu. Sebuah tindakan penalaran yang mengelak yang tidak habis-habisnya.
Dari dadaran realitas dan penalaran yang memiliki kelaziman mengelak ini, masih sanggupkah dinyatakan bahwa realitas dan penalaran sepenuhnya hak manusia dan tidak ada pihak lain lebih berhak. Tidakkah ingin dikatakan bahwa realitas dan Aku menalar yang selalu mengelak tersebut terjadi karena keduanya semu belaka, sehingga harus terus-menerus dipelajari dan dikupas kemasan yang melingkupinya, sementara yang sungguh-sungguh nyata dan tidak akan pernah mengelak ada di alam nomena yang gaib. Penalaran ruang luar berwujud dalam pikiran yang beroperasi secara lahir, sedangkan penalaran ruang dalam berwujud akal budi yang bersifat batin. Keduanya sebagai "sarana" hidup manusia mustahil bertentangan, apalagi saling menegasi. Ini sesuai dengan pengertian nalar, yaitu berupa pertimbangan baik-buruk secara akal budi atau aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir, suatu jangkauan pikir atau kekuatan pikir.
Dari pengertian tersebut, kita tentu menyangkal pernyataan bahwa makna nalar atau penalaran hanya terbatas pada proses berpikir yang bertitik tolak dari pengamatan indera yang mengandalkan observasi pengalaman. Tentu akan dibantah pihak-pihak yang mempropagandakan hasil penalaran hanya berkisar proses penyimpulan yang dibangun dari proposisi anteseden dan premis sesuai teks-teks logika. Sama halnya keberatan akan diajukan pada anggapan penalaran hanya terdiri dari induksi, deduksi, abduksi, sebagai hal niscaya secara kategoris.
Nalar lincah dan supel dalam Menolak Nalar Murni, Mencegah Hidup Tanpa Nalar oleh Bagus Takwin ("Bentara", Kompas, 4/7/2003) ataupun nalar yang memuisi dalam Tanah Tak Berjejak Para Penyair, Donny Gahral Adian ("Bentara", Kompas, 2/5/2003), saya kira hanya persoalan operasional teknis penalaran dan bukan hakikat penalaran, sama halnya penekanan dan pertentangan yang timbul dalam berbagai isme. Penalaran yang memuisi adalah manifestasi penyiasatan terhadap realitas yang mengelak tadi. Tidakkah Nietzsche menyatakan bahwa realitas yang tersisa pastilah "puisi".
Penalaran utuh tidak menghasilkan benturan, sebab proses penalaran adalah proses menyeluruh kesadaran manusia yang melibatkan pikir dan akal budi. Polarisasi pemikiran dalam tataran praksis terjadi karena realitas dilihat secara fragmentatif, dari sisi subyek, obyek atau dari sisi keduanya secara berbalasan. Kekhawatiran Bagus Takwin bahwa nalar asli tidak sanggup mengatasi pluralisme dan heterogenitas persoalan adalah kekhawatiran berlebihan. Dalam operasionalisi, nalar asli dapat saja menumpang pada berbagai isme yang ada, tetapi tidak menumpang untuk selamanya, dalam arti, sadar diri dan kritis pada dasar mana ia berpijak, dan saat mana ia harus berpindah demi keselarasan dan keseimbangan. Nalar lincah dan supel yang dibarengi ketundukan dan kepatuhan. Ungkapan penolakan terhadap nalar asli justru mengingkari sifat-sifat lincah, supel, patuh dan tunduk dari nalar sendiri, sebab ia terjerumus dalam lubang yang digalinya sendiri, tidak toleran, sok kuasa yang justru dibenci mazhab-mazhab pemikiran operasional sekarang, semacam neopragmatisme hermeunetik, dan dekonstruksi.
Pemujaan Husain terhadap nalar asli seperti Parmenides, Zeno, Pythagoras, Plato seperti dituduhkan bukan hal yang disesalkan, sebab Husain tentu saja memiliki pengalaman tersendiri sebelum menjatuhkan pilihan. Sesuatu yang dialami (kata dialami, harus digarisbawahi) akan memberikan kesadaran sekaligus pengetahuan untuk kemudian memilih mana yang sesuai. Toh, pemikiran-pemikiran itu sebetulnya terletak di masa depan. Secara ontologis masa depan adalah masa-masa yang telah manusia lalui, yaitu saat usia alam semesta baru terbentuk, sehingga manusia yang hidup sezaman dengan kebaruan alam semesta itulah yang baru. Manusia yang hidup di milenium ketiga berada pada alam semesta yang sudah uzur dan habis tereksploitasi, karenanya tidak dapat disebutkan dunia masa depan. Masa depan telah direngkuh habis kaum yang hidup sebelum kita, sedangkan masa belakang adalah masa anak cucu kita hidup kelak. Dalam penjelasan inilah, konsepsi ikut, pengikut dan penerus terhadap orang-orang suci, misalnya kepada Sidharta Gautama, Gandi, Confusius dapat diterima. Kebaruan yang ditemukan dan akan ditemukan tidak lain adalah kebaruan semu semata yang akan dikalahkan oleh penemuan setelahnya. Pandangan dimensi waktu demikian dianut ilmuwan dan filsuf besar, semacam JJ Roussseau.
Kita tidak perlu kecil hati dengan cap mitis yang dikenakan Bagus Takwin pada pemikiran demikian, karena pemikiran mitis di mana manusia dalam keadaan terlingkup dan tidak sanggup keluar mengambil jarak pengamatan berlangsung sepanjang masa. Bayangkan seberapa kuat manusia sanggup mengambil jarak terhadap informasi di era mediamorfosis (Kompas, 28/5/2003) Di tengah banjir deras informasi, kita kelabakan menyeleksi yang baik dan yang tidak baik, sebab keterbatasan waktu dan ketidaksabaran melolahnya, sehingga, situasi mitis secara sadar atau tidak ternyata bagian dari kita.
Keutuhan nalar, mungkinkah?
Operasi nalar yang tidak terpecah, di samping pemikiran para "Nabi" di atas, sebetulnya dapat ditemukan dalam alur pemikiran Descartes, bapak Rasionalisme, khususnya yang termuat dalam karya berjudul Meditations. Karya ini dapat disebut masterpiece dan menduduki tempat terhormat dibanding karya-karyanya yang lain.
Meditations pertama kali ditulis dalam bahasa Latin, tahun 1641, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh Le duc de Luynes beberapa waktu kemudian. Menurut Descartes, tujuan pembuatan karya ini adalah ikhtiar pencarian kebenaran abadi sama seperti pustaka-pustaka lain dari Descartes, semisal Les Principes. Namun, pengembaraan penelusuran misteri kebenaran dalam Meditations diteruskan pada level lebih tinggi, yaitu tataran metafisika yang menyuguhkan kedalaman. Dalam upaya penyusunan kerangka dan isi Meditations, Descartes bertutur: "Dalam filsafat, seseorang tidak akan melakukan sesuatu yang lebih berguna lagi, kecuali mencari satu kali, dengan tekun, terus-menerus, hal yang terbaik, tersolid, yang akan mengantarnya pada Aturan Jelas dan Tepat, yang akan melingkupi segenap manusia dalam hubungannnya dengan alam semesta."
Semangat Descartes terbukti dalam kaitan dengan proses kreatif Meditations. Pada sebuah diskusi seru, tepatnya November 1627, Descartes pernah berjanji kepada Cardinal Berulle, yang menantangnya melakukan reformasi filsafat. Baru empat belas tahun kemudian tantangan itu terjawab dengan munculnya Meditations. Kita telusuri sejenak sketsa penalaran Descartes dalam Meditations untuk sampai pada skema fisik dan metafisik penalaran Cartesien yang seutuhnya.
Dari ragu menuju keraguan. Seharusnya ditegaskan bahwa keraguan Descartes bukan keraguan yang dapat diasimilasi dengan keraguan skeptis dan pesimis, melainkan usaha metodis pencarian kepastian, termasuk hal tetap dan ajeg dalam ilmu pengetahuan. Jenis ragu pertama adalah keraguan terhadap gagasan-gagasan, keyakinan yang diterima dogmatis, serta prasangka-prasangka penuh kontradiksi dan paradoks. Terhadap ini, Descartes memperlawankannya dengan keraguan metodis. Oposisi yang sama berlaku juga terhadap pernyataan yang didukung argumen kabur, ilusif dan penuh khayalan yang dikhawatirkan dapat menimbulkan keragu-raguan. Lebih dari itu, setumpuk argumen yang bersumber dari bakat genetik dan inteligensia cerdas yang dapat menyungkup kebenaran-kebenaran matematik dianggap dapat memancing keraguan, yang di dalam Meditation diistilahkan sebagai keraguan hiperbolik.
Keraguan adalah tindakan penalaran (cogito). Descartes berkeyakinan bahwa pikiran lebih mudah diketahui ketimbang kompleksitas kerja aspek fisiologis tubuh manusia. Pikiran lebih mudah dikenal ketimbang benda material serta jiwa psikis. Sementara pikiran dan penalaran hanya dapat berfungsi secara maksimal dengan hadirnya keraguan. Keraguan adalah suatu kepastian penalaran. Tindakan menalar secara utuh adalah keadaan yang menunjukkan kehadiran pikiran dan nonpikiran, seperti halnya tindakan yang memakai sarana-sarana fisik. Menalar adalah situasi yang berkaitan dengan momen waktu.
Keberadaan Tuhan merupakan bukti ontologis format Cartesian. Bagian ini sangat menarik dan mengandung perdebatan karena menyangkut studi logis yang dapat diterima rasio soal pandangan yang dapat dipercaya untuk menjawab pertanyaan: dalam hal dan sumber apa ide berhubungan dengan realitas? Sejak Abad Pertengahan sampai sekarang persoalan ini merupakan lahan sangat subur yang menuai kritik dalam perjalanan sejarah filsafat, karena setelahnya menandakan patahan lebar terhadap periodisasi pemikiran, misalnya Kant dengan model empat kategori imperatifnya memaklumatkan metafisika tidak secuil pun memberi ide dalam pengetahuan realitas. Untuk menyiasati masalah, Descartes menukar substansi realitas material dengan keberadaan "suatu keluasan" yang bertumpu pada sumbu gerak kesempurnaan yang bertingkat secara hierarkis. Maka, saat pertimbangan mengenai realitas dilakukan harus diartikan sebagai pertimbangan langsung terhadap nilai yang bersifat mobil secara gradual. Pernyataan "saya berpikir" tidak dapat diartikan sebagai berpikir obyek lazim, tetapi pertama-tama harus ditujukan untuk memastikan isi (content). Isi yang tidak terperangkap pada keraguan dan hanya berhubungan dengan dirinya sendiri yang berakhir pada puncak yang disebut "idée innée", (ide bawaan yang tidak didahului pengalaman), yaitu, kecuali berupa ide sempurna yang dapat ada. Dari sini Descartes memastikan kehadiran kesempurnaan yang lain, yaitu bukti ontologis kehadiran Tuhan sebagai esensi dalam eksistensinya, di mana dengan hasil perenungan, nalar asli atau ide bawaan seirama dengan denyut alam semesta.
Cogito, Ergo Sum adalah proses penalaran tanpa obyek normal (intransitif). Pola berpikir demikian berbeda dengan pola berpikir sementara kalangan dalam model-model ilmu pengetahuan. Model berpikir ilmu pengetahuan selalu memiliki obyek, bersifat transitif, dan tidak mencakup realitas yang mengelak. Nalar Descartes adalah nalar di mana subyek sekaligus menjadi obyek. Prinsip-prinsip induksi dan deduksi bekerja secara simultan, emanasi dan remanasi yang berbalasan. Para pengkritik Descartes telah menuduhnya melakukan pemisahan yang tidak dapat diatasi atas dua substansi, yaitu: jiwa dan materi yang kemudian dijembatani oleh fenomenologi Husserl, namun hakikatnya tuduhan tersebut tidak seluruhnya benar.
Pada tatanan metafisik, Descartes mengakhiri usahanya di ujung idealisme yang sangat jelas. Definisi "Cogito, ergo sum" bukan hanya berkenaan dengan dunia luar, melainkan juga berkaitan dengan kehadiran Tuhan yang menyatakan sebab pertama dari dua substansi, yaitu: benda dan jiwa, nalar. Ia setuju dengan tradisi mistik Plato dan mentransformasi kenangannya pada teori ide asal. Pernyataannya tentang kehadiran Tuhan didirikan di atas argumen ontologis yang menggunakan kategori Abad Pertengahan mengenai konsep kesempurnaan dan keutamaan yang belakangan diungkap oleh Kant. Namun, jika Kant antimetafisika, sebaliknya bagi Descartes. Metafisika baginya adalah tempat di mana ilmu pengetahuan bersandar. Secara bersamaan, ia memberikan tempat bagi akar ke-Ilahian dan pengetahuan, yang pada gilirannya, menjadikan unsur fisik sebagai perluasannya. Dengan demikian, tidak ada pelompatan nalar dalam pemikiran Descartes, sebab pemisahan substansial antara jiwa dan tubuh justru menghasilkan tiga macam pengetahuan, yaitu pengetahuan pikiran, pengetahuan benda, dan pengetahuan tentang penyatuan keduanya. Akhirnya, pada tataran metafisika, jejaknya berhenti pada tiga postulat dasar, yaitu prioritas jiwa di atas materi. ketiadaan dunia luar yang tidak dapat dipersepsi, agnostisisme dan relativisme, yaitu keserbamungkinan teori dan metode dalam pendekatan terhadap realitas yang merupakan bukti eksistensi sesuatu yang diragukan.
Bukti lain ontologi Tuhan melalui kehadiran waktu. Cogito hanya berlangsung sesaat dalam dimensi waktu, berapa detik, menit, semestinya ada penyebab yang bukan hanya mencipta, tetapi juga menjaga ciptaannya di luar tebasan waktu. Descartes menunjuk harmoni hukum-hukum universal alam semesta sebagai bukti. Berkat bukti-bukti kosmologis itu, keteraturan alam mengantar penalaran pikiran pada Pencipta keteraturan itu sendiri.
Pengetahuan keberadaan Tuhan memungkinkan pengetahuan tentang jiwa. Teori benda telah cukup memadai, sementara penghayatan dan keinginan untuk bebas menyadarkan kita tentang tingkat pengetahuan. Kebebasan yang benar yang lepas dari sewenang-wenang akan mendukung kejelasan yang sempurna dalam benda, sebagai manifestasi determinasi sempurna keinginan. Penjelasan mengenai ide sesuatu dan bukan sesuatu an sich mulai dari prinsip-prinsip sederhana dari mana ilmu pengetahuan tercipta. Sementara itu, ide sesuatu tidak dinilai berada dalam sesuatu itu, tidak ditunjukkan dalam eksistensinya, melainkan dalam jiwa yang terdiri dari ide-ide yang jelas dan sederhana, misalnya, gerakan, figura, dan prinsip-prinsip geometri.
Nalar manusia yang menyejarah
Corak pemikiran di belahan dunia berkembang disebut secara sinis sebagai "katak di bawah tempurung", (François Dortier, 2000), sebab pemikirannya tidak mandiri, malu-malu, kerdil, tidak percaya diri, condong mengadopsi pemikiran luar tanpa kritik. Pemikiran ahistoris yang lepas dari warna dan corak kehidupan sosial masyarakat, sementara pemikiran yang diadopsi meloncat loncat tergantung ketersediaan informasi.
Dalam kepustakaan epistemologi dicitrakan betapa besar peran pengalaman, memori, kesaksian, curiosity dalam menyumbang penalaran untuk pembentukan pengetahuan. Pada setiap pertemuan, Donny dan Bagus Takwin, mungkin mengisyaratkan mewakili sayap kaum Nietzschien yang menebar pesimisme terhadap keyakinan tradisional dan gelisah laksana filsuf sinis Yunani, Diogène, yang membawa obor menyala di bawah terik matahari kota, di tengah kerumunan orang, sambil menyeru: "Saya mencari Manusia", padahal, kenyataannya di sekitar kita tidak sedramatis itu. Nihilisme Nietzschien, misalnya, tanpa jauh-jauh dapat ditemukan tingkat personifikasinya pada medan laga Kurusetra dalam kisah Mahabaratha. Kisah yang melumpuhkan segala jenis nilai normatif yang diakui dan disanjung tata kehidupan manusia sehari-hari.
Dalam kisah agung tersebut dimuat paradoksi, ironi yang diramu secara destruksi masif, sehingga dibutuhkan pembangunan bumi baru, tatanan dan keteraturan baru ala Nietzsche. Tubuh Bhisma terbaring di atas kasur panah murid kesayangannya, Arjuna, demi membela Hastinapura yang justru diperintah keluarganya yang despotik dan nepotis. Sang cendekia sejati Yama Widura mengingkari sumpah sejatinya atas nama pengabdian kepada Destarasta.
Panglima Karna protes pada penetapan Dewa, menyangkal keimanannya pada Langit, karena nasibnya, terlahir akibat keisengan Dewa Surya, dihanyutkan demi kehormatan ibundanya yang dikenalinya justru saat pagelaran perang dahsyat mulai. Ia harus memerangi adik-adiknya, Pandawa, demi kesetiakawanan kepada tokoh jahat Duryudana. Karna membangkang pada Langit yang dianggapnya tidak adil. Bukankah itu pemutarbalikan norma yang dirontokkan Nietzsche, menantang Hari Pembalasan, dosa dan kiamat, sehingga ia berujar urgensi pencarian iman dan keyakinan baru. Siapa Kresna yang memanjangkan tak henti-henti selendang Drupadi agar tidak terbuka auratnya? Yang menjadi duta perdamaian ke Hastinapura? Yang menjadi kusir kereta perang Arjuna, sehingga ia menang terhadap Karna? Yang merancang pembunuhan Bhisma? Yang membantu Bima mematahkan paha Duryudana dalam duel maut? Bukankah ia tokoh "Manusia Super" dalam filsafat Nietzsche.
Saat kita tidak mampu mengambil jarak dari kungkungan arus pemikiran luar, sekali lagi saat itu mistisisme kembali mengungkung kita. Model penalaran (paradigma, metodologi) negeri kita akan semakin layu, jika tidak berpijak pada realitasnya, yaitu bangsa plural yang berkeyakinan sejak masa nenek moyangnya. Kematian pemikiran akan terjadi jika ahli pikirnya lupa memijak tanahnya, alpa menjunjung langitnya demi menuju misi universalnya, dan ilmuwan sosial tidak sanggup melahirkan kontekstualisasi gagasannya serta ulama tidak sanggup bertanggung jawab atas agamanya.
Konsepsi pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya yang pernah menjadi jargon pembangunan di masa Orba urgen dikaji lagi, diperdalam dan diperluas, sebab motif kemanusiaan universal dapat menjadi modal utama untuk mengatasi pluralisme di antara kita. Kita adalah saudara, manusia sama yang terlempar tanpa diberi hak memilih ke muka bumi, terlepas dari berbagai keberagaman kita. Jika sumber-sumber kebaikan dan kebijaksanaan formal, seperti agama dan kepercayaan, termasuk ideologi belum lagi ampuh melaksanakan terapi bagi multi krisis umat manusia, maka yang harus didiagnosa menurut hemat saya adalah mengoreksi kembali asumsi-asumsi dasar dalam beragama dan berkeyakinan serta berideologi.
Di luar itu, untuk menjadikan esok yang penuh semangat, hasrat dalam kedamaian, mari menalar hal-hal yang "enteng-enteng" saja dan merefleksi syair-syair cinta, kasih sayang, niscaya kebahagiaan yang didasari keutuhan manusia akan membangkitkan gairah hidup yang kuat seribu tahun lagi.
Kita simak sepenggal puisi cinta dari Donny: Ada bulan yang ramah/ Dan bintang yang manis/ Saat cinta melintas diri/ Semua begitu Indah/ Pintu-pintu hati menjadi terbuka/ Seperti hendak membuka tabir kasih/ Menuju kebahagiaan yang abadi/ Yang sebelumnya tak pernah terungkap.
Juga puisi jernih dan syahdu dari Bagus Takwin: Sempat kuintip maghrib/ lewat jendela yang belum sempat/ kututup/ Pepohonan diam/ dan sepi bertebaran di selanya/ Hujan lamat-lamat turun/ mengusap bumi yang sudah/ pulang?/ ?Ya, aku lihat bumi sebagai anak/ alam yang patuh/ Gelap lembut menyelimutinya/ Alam bernyanyi dalam koor/ ribuan serangga?/ ?Perlahan bumi memejam mata/ dingin merambat, merata/ semua gemuruh lenyap/ semua getar senyap/ Lalu yang tinggal hanya kelam dan aku/ dalam takjub kami termangu.
Adi Armin Magister Filsafat, Dosen Filsafat pada Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Makassar
Adi Armin
Di manakah kenistaan peruntungan/ Jiwa yang damba jadi pemenang/ Ketulusan hati adalah keabadian/ Kejujuran insan yang tidak lazim/ Awalnya adalah keyakinan/ Inspirasi gairah/ Dewi jualah yang menjulurkan lambaian.
KUTIPAN puisi du Bellay ini sarat dengan renungan kuat pemikiran platonisme. Muatan itu bukan saja karena du Bellay mengusung panji-panji kaum neoplatonian dalam kelompok tujuh bintang (La Pleiade), kelompok yang merangkum tujuh sastrawan besar di zaman Raja Henri II (1519-1559), dan yang lainnya adalah Ronsard, Remy Belleau, Jodelle, Baif, Pontus, Peletier du Mans, namun lebih-lebih sedimen poetik du Bellay sendiri bersumber dari pengalaman batin dan nalar asli yang berorientasi sublim dan suci. Proses kreatifnya bersentuhan dengan metafisika yang justru disangsikan sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran, khususnya pada zaman surplusisme dewasa ini. La Pleiade, pengujung Abad Pertengahan, sengaja mengaktualkan kembali konstelasi sastra Yunani klasik yang berfokus pada tujuh sastrawan terkemuka masa Ptoleme Philadelphe, di antaranya Lycophrone, Homere dan Dionysiades sebagai bukti penegasan semangat renaissance yang mereka miliki, yaitu kembalinya kejayaan pemikiran Yunani dan keunggulan teknik konstruksi bangsa Romawi.
SEBAGAIMANA diketahui, Plato telah mengembangkan pemikiran umum yang membedakan pengetahuan opini yang mengandalkan penampilan realitas (doxa) dengan pengetahuan yang mengandalkan kebajikan moral, kedalaman dan keabadian (epistème). Pada perkembangannya, pemisahan kedua pengetahuan tersebut memberikan indikasi kuat bahwa penelitian rasional yang merupakan kelanjutan penelitian penampilan realitas (doxa) telah memihak pada "perangkat keras" atau kekakuan obyek formal pengetahuan yang kemudian memiliki akses bergelombang pada politik dan kekuasaan, sementara pengetahuan yang mengandalkan kebajikan moral, kedalaman dan keabadian tidak demikian.
Syair bening Las! Ou est maintenant yang mengabadikan ruang-ruang kedalaman dan keabadian sejajar dengan tawaran mistisisme puisi Corespondeences dari Charles Baudelaire, yang walaupun berada jauh di luar pengaruh Yunani klasik, berhasil mengoleksi metafora dan simbol-simbol memukau lewat kesatupaduan indera sebagai modalitas penalaran. Kita simak: Alam laksana kuil dengan tiang-tiang hidup/ Melepaskan suara galau/ Manusia lewat di sana melalui hutan simbol/ Menyapa dengan pandangan hangat/ Laksana gema di kejauhan yang bersahutan/ Luas bagai kelam dan cahaya/ Wewangian laksana harum bayi/
Pengaktifan total modalitas pengamatan secara simultan yang disajikan Baudelaire dapat dimaknai suatu kemungkinan pengaktifan seluruh fakultas penalaran manusia dalam menyapa realitas fenomenal yang memiliki harmoni satu sama lain. Manusia sebagai makhluk hidup yang secara "tragis" terlempar ke bumi dibekali perangkat sidik untuk memudahkan dirinya beradaptasi dengan beragam rupa tantangan natural. Bahkan, bukan hanya mampu beradaptasi, dengan kemampuan indera rohani dan jasmani, manusia sering kali memenangkan pertarungan itu berkat sukses kultural yang semakin sophisticated, yang dimilikinya, jauh melibas hadangan alam. Mercusuar pencakar langit tahan gempa didirikan, samudera ditembus, angkasa luar diacak, jarak dibonsai, waktu dikonstruksi.
Namun, penalaran jasmani tidak selalu menang dalam observasi realitas. Semakin maksimal penalaran jasmani bekerja, disadari semakin ada bagian realitas yang mengelak, dan menyingkir dari observasi. Selalu ada bagian realitas yang tidak habis diverifikasi. Semakin horizon didekati, semakin mundur menyingkir horizon tersebut. Alih-alih realitas, bahkan Aku-nya manusia yang menalar pun ikut-ikutan mengelak dan tergelincir keluar dari penalaran, seru JWM Verhaar. Lihat bagaimana sibuknya fenomenologi Husserl mencari syarat-syarat transendental bagi ego dalam kerangka transendental intersubyektif. Atau, usaha Merleau-Ponty untuk menyenangkan dirinya sendiri bahwa tubuh cukup utuh pada dirinya untuk mengarah pada Dunia Hidup (lebenswelt), sehingga transendensi tidak perlu dilakukan, padahal saat mendefinisikan manusia, Ponty terjebak dalam istilahnya sendiri, yaitu manusia adalah le corps dan le sujet di mana salah satunya pasti mengelak. Bahkan, Aku-nya Wittgenstein, satu-satunya struktur yang tidak masuk dalam struktur logis. Aku-nya manusia menjadi batas dunia, suatu tindakan mengelak yang gamblang. Puncak pernyataan penalaran yang mengelak dapat ditemukan dalam rumusan pertanyaan gaya Ryle, yang bertanya: bagaimana aku mengetahui bahwa aku mengetahui sesuatu, bagaimana aku menyadari bahwa aku menyadari sesuatu. Sebuah tindakan penalaran yang mengelak yang tidak habis-habisnya.
Dari dadaran realitas dan penalaran yang memiliki kelaziman mengelak ini, masih sanggupkah dinyatakan bahwa realitas dan penalaran sepenuhnya hak manusia dan tidak ada pihak lain lebih berhak. Tidakkah ingin dikatakan bahwa realitas dan Aku menalar yang selalu mengelak tersebut terjadi karena keduanya semu belaka, sehingga harus terus-menerus dipelajari dan dikupas kemasan yang melingkupinya, sementara yang sungguh-sungguh nyata dan tidak akan pernah mengelak ada di alam nomena yang gaib. Penalaran ruang luar berwujud dalam pikiran yang beroperasi secara lahir, sedangkan penalaran ruang dalam berwujud akal budi yang bersifat batin. Keduanya sebagai "sarana" hidup manusia mustahil bertentangan, apalagi saling menegasi. Ini sesuai dengan pengertian nalar, yaitu berupa pertimbangan baik-buruk secara akal budi atau aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir, suatu jangkauan pikir atau kekuatan pikir.
Dari pengertian tersebut, kita tentu menyangkal pernyataan bahwa makna nalar atau penalaran hanya terbatas pada proses berpikir yang bertitik tolak dari pengamatan indera yang mengandalkan observasi pengalaman. Tentu akan dibantah pihak-pihak yang mempropagandakan hasil penalaran hanya berkisar proses penyimpulan yang dibangun dari proposisi anteseden dan premis sesuai teks-teks logika. Sama halnya keberatan akan diajukan pada anggapan penalaran hanya terdiri dari induksi, deduksi, abduksi, sebagai hal niscaya secara kategoris.
Nalar lincah dan supel dalam Menolak Nalar Murni, Mencegah Hidup Tanpa Nalar oleh Bagus Takwin ("Bentara", Kompas, 4/7/2003) ataupun nalar yang memuisi dalam Tanah Tak Berjejak Para Penyair, Donny Gahral Adian ("Bentara", Kompas, 2/5/2003), saya kira hanya persoalan operasional teknis penalaran dan bukan hakikat penalaran, sama halnya penekanan dan pertentangan yang timbul dalam berbagai isme. Penalaran yang memuisi adalah manifestasi penyiasatan terhadap realitas yang mengelak tadi. Tidakkah Nietzsche menyatakan bahwa realitas yang tersisa pastilah "puisi".
Penalaran utuh tidak menghasilkan benturan, sebab proses penalaran adalah proses menyeluruh kesadaran manusia yang melibatkan pikir dan akal budi. Polarisasi pemikiran dalam tataran praksis terjadi karena realitas dilihat secara fragmentatif, dari sisi subyek, obyek atau dari sisi keduanya secara berbalasan. Kekhawatiran Bagus Takwin bahwa nalar asli tidak sanggup mengatasi pluralisme dan heterogenitas persoalan adalah kekhawatiran berlebihan. Dalam operasionalisi, nalar asli dapat saja menumpang pada berbagai isme yang ada, tetapi tidak menumpang untuk selamanya, dalam arti, sadar diri dan kritis pada dasar mana ia berpijak, dan saat mana ia harus berpindah demi keselarasan dan keseimbangan. Nalar lincah dan supel yang dibarengi ketundukan dan kepatuhan. Ungkapan penolakan terhadap nalar asli justru mengingkari sifat-sifat lincah, supel, patuh dan tunduk dari nalar sendiri, sebab ia terjerumus dalam lubang yang digalinya sendiri, tidak toleran, sok kuasa yang justru dibenci mazhab-mazhab pemikiran operasional sekarang, semacam neopragmatisme hermeunetik, dan dekonstruksi.
Pemujaan Husain terhadap nalar asli seperti Parmenides, Zeno, Pythagoras, Plato seperti dituduhkan bukan hal yang disesalkan, sebab Husain tentu saja memiliki pengalaman tersendiri sebelum menjatuhkan pilihan. Sesuatu yang dialami (kata dialami, harus digarisbawahi) akan memberikan kesadaran sekaligus pengetahuan untuk kemudian memilih mana yang sesuai. Toh, pemikiran-pemikiran itu sebetulnya terletak di masa depan. Secara ontologis masa depan adalah masa-masa yang telah manusia lalui, yaitu saat usia alam semesta baru terbentuk, sehingga manusia yang hidup sezaman dengan kebaruan alam semesta itulah yang baru. Manusia yang hidup di milenium ketiga berada pada alam semesta yang sudah uzur dan habis tereksploitasi, karenanya tidak dapat disebutkan dunia masa depan. Masa depan telah direngkuh habis kaum yang hidup sebelum kita, sedangkan masa belakang adalah masa anak cucu kita hidup kelak. Dalam penjelasan inilah, konsepsi ikut, pengikut dan penerus terhadap orang-orang suci, misalnya kepada Sidharta Gautama, Gandi, Confusius dapat diterima. Kebaruan yang ditemukan dan akan ditemukan tidak lain adalah kebaruan semu semata yang akan dikalahkan oleh penemuan setelahnya. Pandangan dimensi waktu demikian dianut ilmuwan dan filsuf besar, semacam JJ Roussseau.
Kita tidak perlu kecil hati dengan cap mitis yang dikenakan Bagus Takwin pada pemikiran demikian, karena pemikiran mitis di mana manusia dalam keadaan terlingkup dan tidak sanggup keluar mengambil jarak pengamatan berlangsung sepanjang masa. Bayangkan seberapa kuat manusia sanggup mengambil jarak terhadap informasi di era mediamorfosis (Kompas, 28/5/2003) Di tengah banjir deras informasi, kita kelabakan menyeleksi yang baik dan yang tidak baik, sebab keterbatasan waktu dan ketidaksabaran melolahnya, sehingga, situasi mitis secara sadar atau tidak ternyata bagian dari kita.
Keutuhan nalar, mungkinkah?
Operasi nalar yang tidak terpecah, di samping pemikiran para "Nabi" di atas, sebetulnya dapat ditemukan dalam alur pemikiran Descartes, bapak Rasionalisme, khususnya yang termuat dalam karya berjudul Meditations. Karya ini dapat disebut masterpiece dan menduduki tempat terhormat dibanding karya-karyanya yang lain.
Meditations pertama kali ditulis dalam bahasa Latin, tahun 1641, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh Le duc de Luynes beberapa waktu kemudian. Menurut Descartes, tujuan pembuatan karya ini adalah ikhtiar pencarian kebenaran abadi sama seperti pustaka-pustaka lain dari Descartes, semisal Les Principes. Namun, pengembaraan penelusuran misteri kebenaran dalam Meditations diteruskan pada level lebih tinggi, yaitu tataran metafisika yang menyuguhkan kedalaman. Dalam upaya penyusunan kerangka dan isi Meditations, Descartes bertutur: "Dalam filsafat, seseorang tidak akan melakukan sesuatu yang lebih berguna lagi, kecuali mencari satu kali, dengan tekun, terus-menerus, hal yang terbaik, tersolid, yang akan mengantarnya pada Aturan Jelas dan Tepat, yang akan melingkupi segenap manusia dalam hubungannnya dengan alam semesta."
Semangat Descartes terbukti dalam kaitan dengan proses kreatif Meditations. Pada sebuah diskusi seru, tepatnya November 1627, Descartes pernah berjanji kepada Cardinal Berulle, yang menantangnya melakukan reformasi filsafat. Baru empat belas tahun kemudian tantangan itu terjawab dengan munculnya Meditations. Kita telusuri sejenak sketsa penalaran Descartes dalam Meditations untuk sampai pada skema fisik dan metafisik penalaran Cartesien yang seutuhnya.
Dari ragu menuju keraguan. Seharusnya ditegaskan bahwa keraguan Descartes bukan keraguan yang dapat diasimilasi dengan keraguan skeptis dan pesimis, melainkan usaha metodis pencarian kepastian, termasuk hal tetap dan ajeg dalam ilmu pengetahuan. Jenis ragu pertama adalah keraguan terhadap gagasan-gagasan, keyakinan yang diterima dogmatis, serta prasangka-prasangka penuh kontradiksi dan paradoks. Terhadap ini, Descartes memperlawankannya dengan keraguan metodis. Oposisi yang sama berlaku juga terhadap pernyataan yang didukung argumen kabur, ilusif dan penuh khayalan yang dikhawatirkan dapat menimbulkan keragu-raguan. Lebih dari itu, setumpuk argumen yang bersumber dari bakat genetik dan inteligensia cerdas yang dapat menyungkup kebenaran-kebenaran matematik dianggap dapat memancing keraguan, yang di dalam Meditation diistilahkan sebagai keraguan hiperbolik.
Keraguan adalah tindakan penalaran (cogito). Descartes berkeyakinan bahwa pikiran lebih mudah diketahui ketimbang kompleksitas kerja aspek fisiologis tubuh manusia. Pikiran lebih mudah dikenal ketimbang benda material serta jiwa psikis. Sementara pikiran dan penalaran hanya dapat berfungsi secara maksimal dengan hadirnya keraguan. Keraguan adalah suatu kepastian penalaran. Tindakan menalar secara utuh adalah keadaan yang menunjukkan kehadiran pikiran dan nonpikiran, seperti halnya tindakan yang memakai sarana-sarana fisik. Menalar adalah situasi yang berkaitan dengan momen waktu.
Keberadaan Tuhan merupakan bukti ontologis format Cartesian. Bagian ini sangat menarik dan mengandung perdebatan karena menyangkut studi logis yang dapat diterima rasio soal pandangan yang dapat dipercaya untuk menjawab pertanyaan: dalam hal dan sumber apa ide berhubungan dengan realitas? Sejak Abad Pertengahan sampai sekarang persoalan ini merupakan lahan sangat subur yang menuai kritik dalam perjalanan sejarah filsafat, karena setelahnya menandakan patahan lebar terhadap periodisasi pemikiran, misalnya Kant dengan model empat kategori imperatifnya memaklumatkan metafisika tidak secuil pun memberi ide dalam pengetahuan realitas. Untuk menyiasati masalah, Descartes menukar substansi realitas material dengan keberadaan "suatu keluasan" yang bertumpu pada sumbu gerak kesempurnaan yang bertingkat secara hierarkis. Maka, saat pertimbangan mengenai realitas dilakukan harus diartikan sebagai pertimbangan langsung terhadap nilai yang bersifat mobil secara gradual. Pernyataan "saya berpikir" tidak dapat diartikan sebagai berpikir obyek lazim, tetapi pertama-tama harus ditujukan untuk memastikan isi (content). Isi yang tidak terperangkap pada keraguan dan hanya berhubungan dengan dirinya sendiri yang berakhir pada puncak yang disebut "idée innée", (ide bawaan yang tidak didahului pengalaman), yaitu, kecuali berupa ide sempurna yang dapat ada. Dari sini Descartes memastikan kehadiran kesempurnaan yang lain, yaitu bukti ontologis kehadiran Tuhan sebagai esensi dalam eksistensinya, di mana dengan hasil perenungan, nalar asli atau ide bawaan seirama dengan denyut alam semesta.
Cogito, Ergo Sum adalah proses penalaran tanpa obyek normal (intransitif). Pola berpikir demikian berbeda dengan pola berpikir sementara kalangan dalam model-model ilmu pengetahuan. Model berpikir ilmu pengetahuan selalu memiliki obyek, bersifat transitif, dan tidak mencakup realitas yang mengelak. Nalar Descartes adalah nalar di mana subyek sekaligus menjadi obyek. Prinsip-prinsip induksi dan deduksi bekerja secara simultan, emanasi dan remanasi yang berbalasan. Para pengkritik Descartes telah menuduhnya melakukan pemisahan yang tidak dapat diatasi atas dua substansi, yaitu: jiwa dan materi yang kemudian dijembatani oleh fenomenologi Husserl, namun hakikatnya tuduhan tersebut tidak seluruhnya benar.
Pada tatanan metafisik, Descartes mengakhiri usahanya di ujung idealisme yang sangat jelas. Definisi "Cogito, ergo sum" bukan hanya berkenaan dengan dunia luar, melainkan juga berkaitan dengan kehadiran Tuhan yang menyatakan sebab pertama dari dua substansi, yaitu: benda dan jiwa, nalar. Ia setuju dengan tradisi mistik Plato dan mentransformasi kenangannya pada teori ide asal. Pernyataannya tentang kehadiran Tuhan didirikan di atas argumen ontologis yang menggunakan kategori Abad Pertengahan mengenai konsep kesempurnaan dan keutamaan yang belakangan diungkap oleh Kant. Namun, jika Kant antimetafisika, sebaliknya bagi Descartes. Metafisika baginya adalah tempat di mana ilmu pengetahuan bersandar. Secara bersamaan, ia memberikan tempat bagi akar ke-Ilahian dan pengetahuan, yang pada gilirannya, menjadikan unsur fisik sebagai perluasannya. Dengan demikian, tidak ada pelompatan nalar dalam pemikiran Descartes, sebab pemisahan substansial antara jiwa dan tubuh justru menghasilkan tiga macam pengetahuan, yaitu pengetahuan pikiran, pengetahuan benda, dan pengetahuan tentang penyatuan keduanya. Akhirnya, pada tataran metafisika, jejaknya berhenti pada tiga postulat dasar, yaitu prioritas jiwa di atas materi. ketiadaan dunia luar yang tidak dapat dipersepsi, agnostisisme dan relativisme, yaitu keserbamungkinan teori dan metode dalam pendekatan terhadap realitas yang merupakan bukti eksistensi sesuatu yang diragukan.
Bukti lain ontologi Tuhan melalui kehadiran waktu. Cogito hanya berlangsung sesaat dalam dimensi waktu, berapa detik, menit, semestinya ada penyebab yang bukan hanya mencipta, tetapi juga menjaga ciptaannya di luar tebasan waktu. Descartes menunjuk harmoni hukum-hukum universal alam semesta sebagai bukti. Berkat bukti-bukti kosmologis itu, keteraturan alam mengantar penalaran pikiran pada Pencipta keteraturan itu sendiri.
Pengetahuan keberadaan Tuhan memungkinkan pengetahuan tentang jiwa. Teori benda telah cukup memadai, sementara penghayatan dan keinginan untuk bebas menyadarkan kita tentang tingkat pengetahuan. Kebebasan yang benar yang lepas dari sewenang-wenang akan mendukung kejelasan yang sempurna dalam benda, sebagai manifestasi determinasi sempurna keinginan. Penjelasan mengenai ide sesuatu dan bukan sesuatu an sich mulai dari prinsip-prinsip sederhana dari mana ilmu pengetahuan tercipta. Sementara itu, ide sesuatu tidak dinilai berada dalam sesuatu itu, tidak ditunjukkan dalam eksistensinya, melainkan dalam jiwa yang terdiri dari ide-ide yang jelas dan sederhana, misalnya, gerakan, figura, dan prinsip-prinsip geometri.
Nalar manusia yang menyejarah
Corak pemikiran di belahan dunia berkembang disebut secara sinis sebagai "katak di bawah tempurung", (François Dortier, 2000), sebab pemikirannya tidak mandiri, malu-malu, kerdil, tidak percaya diri, condong mengadopsi pemikiran luar tanpa kritik. Pemikiran ahistoris yang lepas dari warna dan corak kehidupan sosial masyarakat, sementara pemikiran yang diadopsi meloncat loncat tergantung ketersediaan informasi.
Dalam kepustakaan epistemologi dicitrakan betapa besar peran pengalaman, memori, kesaksian, curiosity dalam menyumbang penalaran untuk pembentukan pengetahuan. Pada setiap pertemuan, Donny dan Bagus Takwin, mungkin mengisyaratkan mewakili sayap kaum Nietzschien yang menebar pesimisme terhadap keyakinan tradisional dan gelisah laksana filsuf sinis Yunani, Diogène, yang membawa obor menyala di bawah terik matahari kota, di tengah kerumunan orang, sambil menyeru: "Saya mencari Manusia", padahal, kenyataannya di sekitar kita tidak sedramatis itu. Nihilisme Nietzschien, misalnya, tanpa jauh-jauh dapat ditemukan tingkat personifikasinya pada medan laga Kurusetra dalam kisah Mahabaratha. Kisah yang melumpuhkan segala jenis nilai normatif yang diakui dan disanjung tata kehidupan manusia sehari-hari.
Dalam kisah agung tersebut dimuat paradoksi, ironi yang diramu secara destruksi masif, sehingga dibutuhkan pembangunan bumi baru, tatanan dan keteraturan baru ala Nietzsche. Tubuh Bhisma terbaring di atas kasur panah murid kesayangannya, Arjuna, demi membela Hastinapura yang justru diperintah keluarganya yang despotik dan nepotis. Sang cendekia sejati Yama Widura mengingkari sumpah sejatinya atas nama pengabdian kepada Destarasta.
Panglima Karna protes pada penetapan Dewa, menyangkal keimanannya pada Langit, karena nasibnya, terlahir akibat keisengan Dewa Surya, dihanyutkan demi kehormatan ibundanya yang dikenalinya justru saat pagelaran perang dahsyat mulai. Ia harus memerangi adik-adiknya, Pandawa, demi kesetiakawanan kepada tokoh jahat Duryudana. Karna membangkang pada Langit yang dianggapnya tidak adil. Bukankah itu pemutarbalikan norma yang dirontokkan Nietzsche, menantang Hari Pembalasan, dosa dan kiamat, sehingga ia berujar urgensi pencarian iman dan keyakinan baru. Siapa Kresna yang memanjangkan tak henti-henti selendang Drupadi agar tidak terbuka auratnya? Yang menjadi duta perdamaian ke Hastinapura? Yang menjadi kusir kereta perang Arjuna, sehingga ia menang terhadap Karna? Yang merancang pembunuhan Bhisma? Yang membantu Bima mematahkan paha Duryudana dalam duel maut? Bukankah ia tokoh "Manusia Super" dalam filsafat Nietzsche.
Saat kita tidak mampu mengambil jarak dari kungkungan arus pemikiran luar, sekali lagi saat itu mistisisme kembali mengungkung kita. Model penalaran (paradigma, metodologi) negeri kita akan semakin layu, jika tidak berpijak pada realitasnya, yaitu bangsa plural yang berkeyakinan sejak masa nenek moyangnya. Kematian pemikiran akan terjadi jika ahli pikirnya lupa memijak tanahnya, alpa menjunjung langitnya demi menuju misi universalnya, dan ilmuwan sosial tidak sanggup melahirkan kontekstualisasi gagasannya serta ulama tidak sanggup bertanggung jawab atas agamanya.
Konsepsi pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya yang pernah menjadi jargon pembangunan di masa Orba urgen dikaji lagi, diperdalam dan diperluas, sebab motif kemanusiaan universal dapat menjadi modal utama untuk mengatasi pluralisme di antara kita. Kita adalah saudara, manusia sama yang terlempar tanpa diberi hak memilih ke muka bumi, terlepas dari berbagai keberagaman kita. Jika sumber-sumber kebaikan dan kebijaksanaan formal, seperti agama dan kepercayaan, termasuk ideologi belum lagi ampuh melaksanakan terapi bagi multi krisis umat manusia, maka yang harus didiagnosa menurut hemat saya adalah mengoreksi kembali asumsi-asumsi dasar dalam beragama dan berkeyakinan serta berideologi.
Di luar itu, untuk menjadikan esok yang penuh semangat, hasrat dalam kedamaian, mari menalar hal-hal yang "enteng-enteng" saja dan merefleksi syair-syair cinta, kasih sayang, niscaya kebahagiaan yang didasari keutuhan manusia akan membangkitkan gairah hidup yang kuat seribu tahun lagi.
Kita simak sepenggal puisi cinta dari Donny: Ada bulan yang ramah/ Dan bintang yang manis/ Saat cinta melintas diri/ Semua begitu Indah/ Pintu-pintu hati menjadi terbuka/ Seperti hendak membuka tabir kasih/ Menuju kebahagiaan yang abadi/ Yang sebelumnya tak pernah terungkap.
Juga puisi jernih dan syahdu dari Bagus Takwin: Sempat kuintip maghrib/ lewat jendela yang belum sempat/ kututup/ Pepohonan diam/ dan sepi bertebaran di selanya/ Hujan lamat-lamat turun/ mengusap bumi yang sudah/ pulang?/ ?Ya, aku lihat bumi sebagai anak/ alam yang patuh/ Gelap lembut menyelimutinya/ Alam bernyanyi dalam koor/ ribuan serangga?/ ?Perlahan bumi memejam mata/ dingin merambat, merata/ semua gemuruh lenyap/ semua getar senyap/ Lalu yang tinggal hanya kelam dan aku/ dalam takjub kami termangu.
Adi Armin Magister Filsafat, Dosen Filsafat pada Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Makassar
NEGARA dan REVOLUSI
Lenin
NEGARA dan REVOLUSI
Ajaran Marxis tentang Negara dan Tugas-tugas Proletariat di dalam Revolusi
BAB IV
LANJUTAN. PENJELASAN-PENJELASAN TAMBAHAN ENGELS
Marx memberikan dasar mengenai masalah arti penting pengalaman Komune. Engels berulang kali kembali ke tema yang sama dan ketika menjelaskan analisa serta kesimpulan-kesimpulan Marx, kadang-kadang ia menyoroti segi-segi lain dari persoalannya dengan begitu kuat dan gamblang sehingga perlu secara khusus membahas penjelasan-penjelasannya itu.
1. MASALAH PERUMAHAN
Dalam karyanya, Masalah Perumahan (1872), Engels telah memperhitungkan pengalaman komune, dan beberapa kali membahas tugas-tugas revolusi dalam hubungannya dengan negara. Adalah menarik untuk dicatat bahwa dalam tema kongkrit ini dengan jelas terungkap, di satu pihak, poin-poin persamaan antara negara proletar dengan negara sekarang --ciri-ciri yang memberi dasar untuk berbicara tentang negara, baik negara proletar maupun negara sekarang-- dan, di pihak lain, poin-poin perbedaan antara keduanya, atau transisi ke penghancuran negara.
"Bagaimana memecahkan masalah perumahan? Dalam masyarakat masa kini, sama sepenuhnya seperti setiap masalah sosial lainnya, masalah itu dipecahkan: dengan penyesuaian ekonomi berangsur-angsur atas permintaan dan penawaran, sebuah solusi yang selalu melahirkan kembali masalah itu juga, artinya, tidak memberi solusi apapun. Bagaimana revolusi sosial akan memecahkan masalah tersebut tidak hanya tergantung pada waktu dan tempat, tetapi bertalian juga dengan masalah-masalah yang sangat lebih menjangkau jauh, salah satu yang terpenting di antaranya adalah masalah penghapusan pertentangan antara kota dengan desa. Sebagaimana tugas kita bukan menciptakan sistem-sistem utopis untuk penyusunan masyarakat yang akan datang, maka sama sekali tak berguna membicarakan masalah tersebut. Tetapi satu hal sudah pasti: pada nyatanya sekarang di kota-kota besar sudah cukup gedung-gedung perumahan untuk dengan segara mengatasi kekurangan perumahan yang sesungguhnya, bilamana gedung-gedung ini digunakan secara rasional. Hal itu sudah tentu dapat terlaksana hanya dengan jalan menyita dari pemilik-pemiliknya yang sekarang dan menempatkan di rumah-rumah tersebut buruh-buruh yang tidak punya rumah atau buruh-buruh yang sekarang tinggal di rumah-rumah yang terlalu sesak. Dan segera setelah proletariat merebut kekuasaan politik, tindakan yang ditentukan oleh kepentingan umum semacam itu akan dapat dilaksanakan semudah penyitaan lainnya dan penghunian rumah-rumah oleh negara masa kini" (edisi bahasa Jerman, 1887, hlm. 22) (1)
Di sini tidak dibahas perubahan bentuk kekuasaan negara, melainkan hanya isi kegiatannya. Penyitaan dan penghunian rumah-rumah terjadi juga menurut perintah yang sekarang. Dari segi formal, negara proletar juga akan "memerintahkan" penghunian rumah-rumah dan penyitaan gedung-gedung. Tetapi jelas bahwa aparat eksekutif lama, birokrasi, yang bertalian dengan borjuasi, sama sekali tidak cocok untuk menjalankan aturan negara proletar.
"ÉHarus ditunjukkan bahwa 'penyitaan aktual' atas semua perkakas kerja, penyitaan seluruh industri oleh rakyat pekerja adalah lawan langsung dari 'kompensasi' Proudhonis.(2) Menurut yang terakhir ini buruh seorang-seorang menjadi pemilik tempat tinggal, bidang tanah petani, perkakas kerja; sedang menurut yang pertama rakyat pekerja tetap menjadi pemilik kolektif rumah-rumah, pabrik-pabrik dan perkakas kerja. Sekurang-kurangnya selama masa transisi, penggunaan rumah-rumah, pabrik-pabrik dan lain-lainnya itu oleh perorangan atau perkumpulan sulit diijinkan tanpa mengganti biayanya. Seperti juga penghapusan milik tanah bukan dimaksud untuk menghapuskan sewa tanah, melainkan menyerahkannya kepada masyarakat, walaupun dalam bentuk yang sudah dirubah. Maka itu penyitaan yang sebenarnya atas semua perkakas kerja oleh rakyat pekerja sama sekali tidak meniadakan dipertahankannya hubungan sewanya" (halaman 68)(3)
Kita akan memperbincangkan masalah yang disinggung dalam uraian di atas, yaitu tentang dasar-dasar ekonomi melenyapnya negara, dalam bab berikutnya. Engels menyatakan pendapatnya dengan sangat hati-hati ketika mengatakan bahwa negara proletar akan "sulit" membagikan rumah tanpa pembayaran, "sekurang-kurangnya selama masa transisi". Menyewakan rumah yang sudah menjadi milik seluruh rakyat kepada satu-satu keluarga mensyaratkan baik pemungutan uang sewa, pengawasan tertentu maupun satu atau lain patokan tertentu dalam pembagian rumah. Semua ini memerlukan bentuk negara tertentu, tetapi sama sekali tidak memerlukan aparat militer dan birokrasi yang khusus, beserta pejabat-pejabat yang mempunyai kedudukan khusus dengan hak istimewa. Sedangkan transisi ke keadaan di mana rumah-rumah akan bisa diberikan dengan cuma-cuma bertalian "melenyapnya" negara sepenuhnya.
Berbicara mengenai peralihan kaum Blanquis(4) ke pendirian fundamental Marxisme setelah Komune, dan di bawah pengaruh pengalamannya, Engels secara sambil lalu merumuskan pendirian tersebut sebagai berikut:
"ÉKeharusan aksi politik proletariat dan diktaturnya sebagai transisi ke penghapusan kelas-kelas dan bersamaan dengan itu juga penghapusan negaraÉ" (halaman, 55)(5)
Pecandu-pecandu kritik yang njlimet atau "pembasmi-pembasmi Marxisme" borjuis barangkali akan melihat kontradiksi antara pengakuan akan "penghapusan negara" ini dengan penolakan terhadap rumus itu sebagai rumus anarkis dalam bagian dari Anti Duhring yang dikutip di atas. Tidaklah mengherankan jika kaum oportunis mencap juga Engels ke dalam kaum "anarkis", karena sekarang makin meluas tuduhan dari pihak kaum sosialis-chauvinis bahwa kaum Internasionalis manganut anarkisme.
Marxisme selalu mengajarkan bahwa bersama dengan dihapuskannya kelas-kelas, dihapuskan juga negara. Bagian yang terkenal tentang "melenyapnya negara" dalam Anti Duhring menuduh kaum anarkis bahwa mereka itu tidak hanya menyetujui penghapusan negara, bahkan mengkhotbahkan seolah-olah negara dapat dihapuskan "dalam satu malam saja".
Mengingat fakta bahwa doktrin "Sosial-Demokratik" yang kini berdominasi sepenuhnya mendistorsikan hubungan Marxisme dengan anarkisme mengenai masalah penghapusan negara, maka sangat berguna mengingat kembali satu kontroversi di mana Marx dan Engels menentang kaum anarkis.
2. POLEMIK DENGAN KAUM ANARKIS
Kontroversi ini terjadi pada tahun 1873. Marx dan Engels menyumbang artikel-artikel yang menentang kaum Proudhonis, kaum "otonomis" atau kaum "anti-otoriteris" kepada buku tahunan Sosialis Italia dan baru pada tahun 1913 artikel-artikel tersebut dimuat dalam terjemahan bahasa Jerman dalam Neue Zeit (6)
"...Jika perjuangan politik kelas buruh mengambil bentuk-bentuk revolusioner," tulis Marx, memperolok kaum anarkis karena mereka menolak politik, "jika kaum buruh menegakkan diktatur revolusionernya sebagai pengganti diktatur borjuasi, maka mereka melakukan kejahatan yang mengerikan, yaitu menghina prinsip-prinsip, sebab untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka yang remeh temeh dan vulgar itu, untuk mematahkan perlawanan borjuasi, kaum buruh memberikan bentuk revolusioner dan sementara kepada negara, dan bukannya meletakkan senjata dan menghapuskan negaraÉ." (Neue Zeit, Volume XXXII, I, 1913-14, hlm. 40)
Hanya "penghapusan" negara macam ini sajalah yang ditentang oleh Marx ketika membantah kaum anarkis! Marx sama sekali tidak menentang bahwa negara akan lenyap bersamaan dengan lenyapnya kelas-kelas atau akan dihapuskan bersamaan dengan dihapuskannya kelas-kelas, tetapi menentang penolakan kaum buruh menggunakan senjata, menggunakan kekerasan yang terorganisasi, yaitu negara, yang harus mengabdi tujuan; "mematahkan perlawanan borjuasi".
Untuk menjaga agar arti sebenarnya dari perjuangannya melawan anarkisme tidak didistorsikan, Marx dengan sengaja menekankan "bentuk yang revolusioner dan sementara" dari negara yang diperlukan oleh proletariat. Proletariat memerlukan negara cuma untuk sementara waktu saja. Kita sama sekali tidak berselisih pendapat dengan kaum anarkis mengenai masalah penghapusan negara sebagai tujuan. Kita menegaskan bahwa untuk mencapai tujuan ini untuk sementara diperlukan penggunaan alat-alat, sarana dan metode-metode kekuasaan negara untuk melawan kaum penghisap, sebagaimana untuk menghapuskan kelas-kelas diperlukan diktatur sementara dari kelas tertindas. Marx memilih cara pengajuan soal yang paling tajam dan paling jelas untuk melawan kaum anarkis; setelah menggulingkan penindasan kaum kapitalis, haruskah kaum buruh "meletakkan senjata mereka," atau menggunakannya terhadap kaum kapitalis untuk mematahkan perlawanan mereka? Tetapi apakah penggunaan senjata secara sistematis oleh satu kelas terhadap kelas lainnya, jika bukan "bentuk sementara" dari negara?
Biarlah setiap Sosial-Demokrat menanyai dirinya sendiri; begitukah ia mengajukan masalah negara dalam polemik dengan kaum anarkis? Begitukah mayoritas luas partai-partai Sosialis yang resmi dari Internasionale II mengajukan masalah tersebut?
Engels menguraikan ide-ide yang sama dengan itu jauh lebih terperinci dan lebih populer. Pertama-tama ia mentertawakan kekusutan fikiran kaum Proudhonis, yang menyebut dirinya kaum "anti-otoriteris", yaitu menolak setiap otoritas, setiap ketundukan, setiap kekuasaan. Ambilah sebagai contoh sebuah pabrik, jalan kereta api, kapal di laut lepas, kata Engels --apakah tidak jelas bahwa tak satupun dari perusahaan-perusahaan teknik yang rumit yang berdasarkan penggunaan mesin-mesin dan kerja sama yang berencana dari banyak orang ini dapat berfungsi, tanpa ketundukan tertentu, jadi tanpa otoritas atau kekuasaan tertentu?
"...Bila saya mengajukan argumen-argumen seperti ini kepada kaum anti-otoriteris yang paling ngotot, maka satu-satunya jawaban yang dapat mereka beri kepada saya adalah: Ya, itu benar. Tetapi di sini masalahnya bukanlah tentang otoritas yang kami berikan kepada para utusan kami, melainkan tentang penugasan tertentu! Orang-orang ini berfikir bahwa ketika mereka mengubah nama sesuatu hal mereka telah mengubah hal itu sendiriÉ."
Dengan demikian, setelah menunjukkan otoritas dan otonomi adalah konsepsi-konsepsi relatif, bahwa aplikasi keduanya berubah seiring dengan tahap perkembangan masyarakat, adalah absurd untuk menganggap hal-hal itu sebagai hal yang mutlak, dan setelah menambahkan bahwa bidang aplikasi mesin-mesin dan produksi skala besar semakin meluas secara konstan, Engels beralih dari pembahasan tentang otoritas secara umum ke masalah negara.
"...Jika kaum oportunis," tulis Engels, "hanya ingin mengatakan bahwa organisasi sosial masa depan akan mengijinkan adanya otoritas hanya di dalam batas-batas yang dengan tak terelakkan ditentukan oleh syarat-syarat produksi, maka kita bisa sependapat dengan mereka; tetapi mereka buta terhadap semua kenyataan yang menyebabkan diperlukannya otoritas dan mereka berjuang dengan bernafsu menentang kata itu.
"Mengapa kaum anti otoriteris tidak membatasi diri dengan berteriak menentang otoritas politik, menentang negara? Semua kaum Sosialis sependapat bahwa negara politis, dan bersama dengan itu juga otoritas politik, akan lenyap sebagai akibat revolusi sosial yang akan datang, artinya bahwa fungsi-fungsi kemasyarakatan akan kehilangan watak politiknya dan berubah fungsi-fungsi administrasi sederhana berupa menjaga kebutuhan masyarakat. Namun kaum anti otoriteris menuntut supaya negara politik dihapuskan dengan sekali pukul, bahkan lebih dulu dari pada dihapuskannya hubungan-hubungan sosial yang melahirkannya. Mereka menuntut supaya tindakan pertama revolusi sosial adalah menghapuskan otoritas.
Pernahkah tuan-tuan ini menyaksikan revolusi? Revolusi sudah pasti adalah sesuatu yang paling otoriter yang ada; revolusi adalah tindakan, di mana sebagian penduduk memaksakan kehendaknya kepada bagian yang lain dengan senapan, bayonet, dan meriam -yaitu sarana yang luar biasa otoriternya; dan partai yang menang tidak ingin berjuang sia-sia, maka ia harus mempertahankan kekuasaan dengan menggunakan rasa takut yang ditimbulkan oleh senjatanya pada diri kaum reaksioner. Seandainya Komune Paris tidak bersandar pada otoritas rakyat bersenjata dalam menghadapi borjuasi bisakah ia bertahan lebih lama dari satu hari? Sebaliknya, apakah kita tidak berhak menyesali Komune karena ia terlalu sedikit menggunakan otoritas itu? Jadi, satu di antara dua: atau kaum anti-otoriteris sendiri tidak tahu apa yang mereka bicarakan, dan kalau demikian halnya mereka hanya menimbulkan kekusutan saja; atau mereka tahu, dan kalau demikian halnya mereka mengkhianati usaha proletariat. Dalam kedua hal itu mereka hanya mengabdi kepada reaksi." (halaman 39).
Argumen ini menyentuh masalah-masalah yang harus ditinjau dalam kaitannya dengan tema tentang hubungan antara politik dengan ekonomi selama melenyapnya negara (tema ini akan dibahas dalam bab berikutnya). Masalah-masalah ini adalah masalah pengubahan fungsi-fungsi kemasyarakatan dari fungsi-fungsi politik menjadi fungsi-fungsi administrasi sederhana dan masalah "negara politik". Ungkapan terakhir ini, yang mudah meninbulkan kesalahpahaman, menunjukan proses melenyapnya negara; negara yang sedang melenyap pada tingkat tertentu pelenyapannya dapat disebut negara non-politik.
Sekali lagi, yang paling menarik perhatian dalam argumen Engels tersebut adalah cara ia mengemukakan masalah untuk melawan kaum anarkis. Kaum Sosial-Demokrat yang ingin menjadi murid-murid Engels, telah berdebat jutaan kali untuk menentang kaum anarkis sejak tahun 1873, tetapi mereka berdebat justru tidak sebagaimana kaum Marxis dapat dan harus berdebat. Gambaran anarkis tentang penghapusan negara adalah kacau dan tidak revolusioner -begitulah Engels mengemukakan masalahnya. Kaum anarkis justru tidak mau melihat revolusi dalam pemunculan dan perkembangannya, dengan tugas-tugas khusus revolusi itu dalam hubungan dengan kekerasan, otoritas, kekuasaan, negara.
Kritik yang biasa terhadap anarkisme dari kaum Sosial-Demokrat masa kini telah turun pada kedangkalan kaum filistin yang setulen-tulennya: "kami mengakui negara, sedangkan kaum anarkis tidak!" Tentu saja kevulgaran semacam itu tidak dapat tidak menimbulkan rasa muak pada kaum buruh yang berpikir dan revolusioner. Apa yang dikatakan Engels berbeda. Ia menekankan bahwa semua kaum Sosialis mengakui lenyapnya negara sebagai akibat revolusi sosialis. Kemudian ia dengan kongkrit mengemukakan masalah revolusi, yaitu justru masalah yang biasanya dihindari oleh kaum Sosial-Demokrat karena oportunismenya dengan menyerahkan "pengolahan"nya boleh dikata semata-mata kepada kaum anarkis. Dan ketika mengemukakan masalah ini Engels dengan tegas mencengkram kunci masalahnya: tidakkah seharusnya Komune lebih banyak menggunakan kekuasaan revolusioner negara, yaitu proletariat yang bersenjata dan terorganisir sebagai kelas yang berkuasa?
Sosial-Demokrat resmi yang sedang berdominasi menyingkirkan masalah-masalah proletariat dalam revolusi hanya dengan ejekan filistin saja, atau paling-paling dengan mengelak secara sofistik: "lihat saja nanti". Maka itu kaum anarkis mendapat hak untuk mengatakan kepada Sosial-Demokrasi demikian itu bahwa ia mengkhianati tugasnya memberikan pendidikan revolusioner kepada kaum buruh. Engels menggunakan pengalaman revolusi proletar yang terakhir justru untuk melakukan penyelidikan yang paling kongkrit tentang apa yang harus dilakukan oleh proletariat dan bagaimana proletariat harus bertindak baik terhadap bank-bank maupun terhadap negara.
3. SURAT KEPADA BEBEL
Salah satu dari pengamatan-pengamatan yang bernilai penting, jika bukan yang paling bernilai penting, mengenai masalah negara dalam karya Marx dan Engels, terdapat dalam bagian yang berikut dalam surat Engels kepada Bebel tertanggal 18-28 Maret 1875. Surat ini, kami katakan sambil lalu, sepanjang pengetahuan kami, dimuat oleh Bebel untuk pertama kali dalam jilid ke-dua dari memoarnya (Aus meinem Leben atau Dari Hidupku) yang terbit pada tahun 1911, yaitu 36 tahun sesudah surat itu ditulis dan dikirimkan.
Engels menulis surat kepada Bebel mengkritik rancangan program Gotha yang juga dikritik oleh Marx dalam suratnya yang terkenal kepada Bracke. Menyinggung secara khusus masalah negara, Engels mengatakan:
"Negara rakyat bebas telah berubah menjadi negara bebas. Menurut arti tata bahasanya, negara bebas adalah negara di mana negara bebas terhadap warga negaranya, yaitu negara dengan pemerintah yang lalim. Seluruh obrolan tentang negara seharusnya sudah dihentikan, terutama sesudah Komune, yang sudah bukan lagi merupakan negara menurut arti kata yang sebenarnya. Kaum anarkis telah lebih dari cukup mencerca kita dengan 'negara rakyat', meskipun karya Marx yang menentang Proudhon, dan kemudian Manifesto Komunis sudah mengatakan dengan terus terang bahwa dengan dilaksanakannya susunan masyarakat yang sosialis negara akan membubarkan dirinya sendiri (sich auflöst) dan menghilang. Dengan demikian, karena negara hanyalah suatu lembaga peralihan yang digunakan dalam perjuangan, dalam revolusi, untuk dengan kekerasan menekan musuh-musuhnya, maka adalah omong kosong belaka untuk berbicara tentang suatu negara Rakyat bebas selama proletariat masih menggunakan negara, ia tidak menggunakannya demi kepentingan kebebasan tetapi untuk menekan musuh-musuhnya, dan segera setelah ada kemungkinan berbicara tentang kebebasan maka negara dengan demikian menghabisi hidupnya sendiri. Dari itu kami ingin mengusulkan supaya mengganti negara di mana pun juga dengan kata 'persekutuan hidup' (Gemeinwesen) sepatah kata Jerman lama yang baik yang dapat mewakili dengan sangat patutnya kata Perancis Komune". (halaman 321-2 dalam edisi aslinya yang berbahasa Jerman)(7)
Hendaknya selalu diingat bahwa surat tersebut menyangkut program partai yang dikritik oleh Marx dalam sepucuk surat bertanggalkan hanya beberapa minggu sesudah yang tersebut di atas (Surat Marx bertanggalkan 5 Mei 1875), dan bahwa pada waktu itu Engels hidup bersama Marx di London. Oleh karena itu, bila ia mengatakan "kami" dalam kalimat terakhir, Engels, tak usah diragukan lagi, atas namanya sendiri dan juga atas nama Marx, menyarankan kepada pemimpin parta buruh Jerman supaya kata "negara" dicabut dari program dan diganti dengan kata "persekutuan hidup".
Betapa lolongan tentang "anarkisme" akan dijeritkan oleh mereka yang menjadi pendukung utama "Marxisme" dewasa ini yang telah dipalsukan demi kenyamanan kaum oportunis, jika suatu amandemen program semacam itu disarankan kepada mereka!
Biarlah mereka melolong. Ini akan mendatangkan pujian dari borjuasi kepada mereka.
Dan kita akan meneruskan pekerjaan kita. Dalam merevisi program Partai kita, haruslah kita mempertimbangkan nasehat Engels dan Marx dengan setia agar supaya lebih dekat lagi pada kebenaran, untuk memperbaiki kembali Marxisme dengan membersihkannya dari segala pemutarbalikan, untuk membimbing perjuangan kelas buruh untuk kebebasannya dengan lebih tepat lagi. Tentulah tak akan ditemukan orang yang menentang nasehat Engels dan Marx di kalangan kaum Bolshevik. Satu-satunya kesulitan yang barangkali mungkin timbul akan menyangkut soal terminologi. Dalam basa Jerman terdapat dua kata yang berarti "persekutuan-hidup", yang darinya Engels menggunakan satu yang tidak berarti satu persekutuan-hidup tetapi jumlah keseluruhannya, suatu sistem persekutuan-persekutuan hidup. Dalam bahasa Rusia tidaklah ada kata semacam itu, dan barangkali kita akan memililh kata Perancis "Komune", biarpun ini tidak terlepas pula dari berbagai kesulitan.
"Komune bukanlah lagi suatu negara dalam arti kata yang sebenarnya" -dari segi teoritis, inilah pernyataan yang paling penting yang diciptakan oleh Engels. Sesudah apa yang di katakan di atas, pernyataan ini sepenuhnya jadi jelas. Komune tidak lagi menjadi negara, sebab yang harus ditindasnya bukan mayoritas penduduk, melainkan minoritas (kaum penghisap); ia telah menghancurkan mesin negara borjuis; sebagai ganti kekuatan khusus untuk menindas, penduduk sendiri tampil di atas panggung. Semua ini adalah penyimpangan dari negara menurut arti kata yang sebenarnya. Dan andai kata komune telah tekonsolidasi, maka bekas-bekas negara di dalamnya akan "melenyap" dengan sendirinya, tidak akan perlu baginya "menghapuskan" lembaga-lembaga negara; lembaga-lembaga itu akan berhenti berfungsi seiring dengan menjadi tidak adanya sesuatu yang harus dikerjakan olehnya.
"Kaum anarkis mencerca kita dengan 'negara rakyat''"; dalam mengatakan ini yang dimaksudkan oleh Engels pertama-tama adalah Bakunin dan serangan-serangannya terhadap kaum Sosial-Demokrat Jerman. Engels mengakui bahwa serangan-serangan itu dapat dibenarkan sejauh sebagaimana "negara rakyat" sama omong kosongnya dan sama menyimpangnya dari sosialisme seperti "negara rakyat bebas". Engels berusaha membetulkan perjuangan kaum Sosial-Demokrat Jerman melawan kaum anarkis, membuat supaya perjuangan ini tepat dalam prinsip, membersihkannya dari prasangka-prasangka oportunis mengenai "negara". Sayang! Surat Engels dipetieskan selama 36 tahun. Akan kita lihat di bawah bahwa, bahkan setelah surat ini diumumkan, Kautsky dengan kepala batu mengulangi apa yang pada hakekatnya justru kesalahan-kesalahan yang telah diperingatkan Engels.
Bebel menjawab Engels dalam surat bertanggal 21 September 1875, di mana ia menulis antara lain bahwa ia "sepenuhnya setuju" dengan pendapat Engels tentang rancangan program dan bahwa ia menyesali Liebknecht karena sikap mengalahnya (hlm. 334 dari edisi Jerman buku Bebel, Memoirs, Volume II). Tetapi jika kita mengambil brosur Bebel Tujuan Kita (Our Aims), maka akan kita temukan di dalamnya pandangan-pandangan tentang negara yang sama sekali salah:
"Negara harus diubah dari negara yang berdasarkan kekuasaan kelas menjadi negara rakyat" (Unsere Ziele, edisi Jerman, 1886, halaman 14).
Inilah yang tercetak di dalam edisi ke-9 (yang kesembilan!) dari brosur Bebel! Tidaklah mengherankan kalau pandangan-pandangan oportunis tentang negara yang diulang-ulang dengan begitu ngotot ditelan oleh Sosial-Demokrasi Jerman, terutama ketika penjelasan-penjelasan disembunyikan dan seluruh keadaan hidup untuk waktu yang panjang telah "menyapih" diri dari revolusi.
IV. KRITIK TERHADAP RANCANGAN PROGRAM ERFURT
Dalam menganalisa ajaran Marxisme tentang negara, kritik terhadap rancangan program Erfurt(8) yang dikirim Engels kepada Kautsky pada tanggal 29 Juni 1891 dan baru dimuat 10 tahun kemudian dalam Neue Zeit, tidak dapat diabaikan karena kritik itu terutama justru ditujukan untuk mengkritik pandangan-pandangan oportunis sosial demokrasi mengenai susunan negara.
Sambil lalu akan kita catat bahwa Engels juga memberikan petunjuk yang luar biasa berharga mengenai masalah ekonomi, yang menunjukkan betapa cermat dan penuh perhatian ia mengikuti justru perubahan-perubahan kapitalisme modern dan karenanya betapa pandainya ia meramalkan sampai batas-batas tertentu tugas-tugas jaman kita, jaman imperialis. Inilah petunjuk tersebut: berkenaan dengan kata "ketiadaan perencanaan" (Planlosigkeit) yang digunakan dalam rancangan program untuk menggambarkan ciri khas kapitalisme, Engels menulis:
"...Ketika kita beralih dari perseroan-perseroan ke trust-trust yang mengontrol sepenuhnya dan memonopoli seluruh cabang industri, maka di situ bukan hanya produksi perseorangan yang berakhir, melainkan juga ketiadaan perencanaan." (Neue Zeit, Volume XX, I, 1901-02, halaman 8)
Di sini dikemukakan hal yang paling pokok dalam penilaian teoritis mengenai tahap terakhir kapitalisme modern, yaitu imperialis, artinya bahwa kapitalisme berubah menjadi kapitalisme monopoli. Yang terakhir ini harus ditekankan, sebab pernyataan reformis borjuis bahwa kapitalisme monopoli atau kapitalisme monopoli-negara seolah-olah sudah bukan lagi kapitalisme, sudah dapat disebut "Sosialisme negara", atau suatu yang semacam itu, merupakan kesalahan yang paling tersebar luas. Tentu saja trust-trust tidak pernah menghasilkan, sampai sekarang tidak menghasilkan, dan tidak akan dapat menghasilkan perencanaan yang lengkap. Tetapi sekalipun trust-trust membuat perencanaan, sekali pun para tokoh terkemuka kapitalis mengkalkulasi terlebih dulu volume produksi dalam skala nasional atau bahkan internasional dan sekalipun mereka mengaturnya secara sistematis, kita masih tetap berada di bawah kapitalisme -memang kapitalisme dalam tingkatnya yang baru, tetapi tidak diragukan lagi tetap juga di bawah kapitalisme. "Kedekatan" kapitalisme demikian itu dengan sosialisme bagi wakil-wakil sejati proletariat harus menjadi bukti bagi kedekatan, kemudahan, dapat dilaksanakannya dan mendesaknya revolusi sosialis dan sama sekali bukanlah alasan untuk bersikap toleran terhadap penolakan revolusi itu dan usaha-usaha untuk membuat kapitalisme tampak lebih atraktif menarik, sebagaimana dilakukan oleh semua kaum reformis.
Tetapi marilah kita kembali ke masalah negara. Di sini Engels memberikan tiga petunjuk yang istimewa berharganya: pertama, mengenai masalah republik; kedua, tentang hubungan antara masalah nasional dengan susunan negara; ketiga, tentang pemerintahan-sendiri yang lokal.
Mengenai republik, Engels menjadikan hal ini sebagai titik berat dari kritiknya terhadap rancangan Program Erfurt. Dan apabila kita mengingat kembali arti penting yang diperoleh program Erfurt dalam Sosial-Demokrasi internasional hingga ia menjadi contoh bagi seluruh Internasionale II, maka dapat dikatakan tanpa berlebih-lebihan bahwa di sini Engels mengkritik oportunis seluruh Internasionale II.
"Tuntutan politik dari rancangan itu," tulis Engels, "memiliki kekurangan yang besar. Apa yang sebenarnya harus dikatakan malah tidak terdapat di dalamnya" (huruf miring dari Engels.)
Dan, selanjutnya, Engels menjadikan jelas bahwa konstitusi Jerman sebenarnya adalah salinan Undang-undang Dasar yang paling reaksioner tahun 1850; bahwa Reichtag (9) hanyalah, seperti yang dinyatakan Wilhelm Liebknecht, "cawat daun penutup absolutisme"; bahwa kehendak "untuk melakukan transformasi semua perkakas kerja menjadi milik umum" atas dasar konstitusi atau Undang-undang dasar yang mengesahkan adanya negara-negara kecil dan uni negara-negara kecil Jerman adalah "absurditas yang nyata".
"Menyentuh tema ini adalah berbahaya", Engels menambahkan, mengetahui dengan baik benar bahwa mustahil secara legal memasukkan tuntutan akan republik di Jerman. Namun Engels tidak menerima begitu saja pertimbangan yang sudah jelas ini, yang memuaskan "semua orang". Engels melanjutkan; "Tetapi walaupun demikian, soalnya bagaimanapun juga harus ditanggulangi. Sampai di mana perlunya hal ini, justru sekarang ditunjukkan oleh oportunisme yang menyebar luas (einressende) di dalam sebagian besar per Sosial-Demokrat. Karena takuk dihidupkannya UU Anti-Sosialis (10) atau karena teringat akan beberapa pernyataan yang dikeluarkan sebelum waktunya ketika berlakukanya Undang-undang tersebut, mereka sekarang menginginkan supaya Partai megakui bahwa tata hukum yang sekarang di Jerman cukup untuk mewujudkan semua tuntutan Partai secara damaiÉ."
Secara khusus Engels menyoroti fakta fundamental bahwa kaum Sosial-Demokrat Jerman bertindak karena takut dihidupkannya kembali Undang-Undang luar biasa itu, dan tanpa ragu-ragu dinamainya sebagai oportunisme; ia menyatakan bahwa justru karena tidak adanya republik dan kebebasan di Jerman, maka impian-impian tentang jalan "damai" sama sekali tidak masuk akal. Engels cukup berhati-hati untuk tidak mengikat tangannya sendiri. Ia mengakui bahwa di negeri-negeri dengan sistim republik atau dengan kebebasan yang sangat besar orang "dapat membayangkan" (hanya "membayangkan"!) perkembangan secara damai ke sosialisme, tetapi di Jerman, ia mengulangi.
"...Di Jerman, di mana pemerintah nyaris maha kuasa dan Reichstag serta semua badan perwakilan lainnya tidak mempunyai kekuatan yang nyata, maka memproklamasikan hal semacam itu di Jerman, dan lagi ketika tidak ada keperluan untuk itu, berarti menanggalkan cawat penutup absolutisme dan menjadikan dirinya penutup ketelanjangan"É.
Mayoritas luas pemimpin resmi partai Sosial-Demokrat Jerman yang mempeti-eskan petunjuk tersebut, memang ternyata merupakan pelindung absolutisme.
"...Pada akhirnya politik semacam itu hanya dapat membawa partai ke jalan yang sesat. Mereka menonjolkan masalah-masalah politik yang umum dan abstrak, dengan demikian menutup-nutupi masalah-masalah kongkrit yang mendesak, yang dengan sendirinya menjadi acara begitu terjadi peristiwa-peristiwa besar yang pertama, krisis politik yang pertama. Apa yang bisa dihasilkan dari sini kecuali bahwa partai pada saat yang menentukan tiba-tiba menjadi tak berdaya, bahwa di dalamnya merajalela kekaburan dan ketiadaan kesatuan mengenai masalah-masalah yang menentukan karena masalah-masalah ini tidak pernah didiskusikan? É
"Dilupakannya pertimbangan utama yang penting demi kepentingan sekarang yang bersifat seketika ini, pengejaran sukses-sukses yang bersifat seketika ini dan perjuangan untuk itu tanpa memperhitungkan akibat-akibatnya kemudian, dikorbankannya hari depan gerakan demi hari ini, gerakan ini--mungkin terjadi karena motif-motif tidak "jujur". Tetapi ini adalah oportunisme dan tetap oportunisme, sedangkan oportunisme yang "jujur" barangkali lebih berbahaya dari pada semua oportunisme lainnyaÉ
"Jika ada hal yang tidak menimbulkan keraguan apapun, maka hal itu adalah bahwa Partai kita dan kelas buruh dapat mencapai kekuasaan hanya di bawah bentuk republik demokratis. Yang terakhir ini bahkan merupakan bentuk khusus bagi diktatur proletariat, sebagai mana telah diperlihatkan oleh Revolusi Besar Perancis"É
Di sini Engels mengulangi dalam bentuk yang teristimewa hidupnya ide fundamental itu, yang bagaikan benang merah menjelujuri semua karya Marx, yaitu bahwa republik demokratis adalah jalan yang paling dekat ke diktatur proletariat. Sebab republik demikian itu, yang sedikit pun tidak menghapuskan kekuasaan kapital dan karenanya tidak menghapuskan penindasan atas massa dan perjuangan kelas -tidak terhindarkan akan menuju ke peluasan, pengembangan, penyingkapan, dan penajaman perjuangan ini yang sedemikian rupa, sehingga sekali timbul kemungkinan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan fundamental massa tertindas, kemungkinan ini diwujudkan dengan pasti dan semata-mata melalui diktatur proletariat, melalui pimpinan proletariat atas massa itu. Bagi seluruh Internasionale II ini juga "kata-kata yang dilupakan" dari Marxisme, dan dilupakannya kata-kata tersebut dengan luar biasa jelasnya ditunjukkan oleh sejarah partai Menshevik selama setengah tahun pertama revolusi Rusia 1917.
Mengenai masalah republik federal dalam hubungan dengan komposisi nasional dari penduduk, Engels menulis:
"Apa yang harus menggantikan Jerman yang sekarang?" (dengan konstitusi reaksionernya yang monarkis dan pembagiannya menjadi negara-negara kecil yang sama reaksionernya, dengan pembagian yang mengabaikan ciri-ciri khusus "Prusianisme", dan bukannya melebur negara-negara kecil itu di Jerman sebagai satu keseluruhan). "Menurut pendapat saya, proletariat hanya dapat menggunakan bentuk republik yang tunggal dan tidak dapat dibagi-bagi. Di wilayah Amerika Serikat yang raksasa itu republik federal pada umumnya sekarang masih merupakan keharusan, walaupun di timur ia sudah menjadi rintangan. Republik federal akan merupakan langkah maju di Inggris di mana kedua pulaunya didiami empat bangsa dan meskipun ada parlemen tunggal terdapat berdampingan tiga sistem perundang-undangan. Republik federal sudah menjadi rintangan di Swiss ya kecil itu, dan jika di sana republik federal itu masih dapat dibiarkan, ini hanyalah karena Swiss puas dengan peranan sebagai anggota pasif belaka dari sistem kenegaraan Eropa. Bagi Jerman, pen-Swiss-an secara federal akan merupakan langkah mundur yang sangat besar. Dua hal membedakan negara uni dengan negara kesatuan yang penuh, yaitu: bahwa masing-masing negara bagian, yang tergabung dalam uni, mempunyai perundang-undangan perdata dan pidananya sendiri yang khusus, sistem pengadilannya yang khusus, dan kemudian, bahwa di samping majelis rakyat ada majelis perwakilan dari negara-negara bagian, dan di dalamnya masing-masing kanton, tak perduli besar atau kecil, memberikan suara sebagai kanton". Di Jerman negara uni adalah peralihan ke negara kesatuan yang penuh, dan "revolusi dari atas" pada tahun-tahun 1866 dan 1870 bukannya harus diputar kembali, melainkan harus dilengkapi dengan "gerakan dari bawah".
Jauh dari menunjukkan sikap masa bodoh terhadap masalah-masalah bentuk negara, sebaliknya Engels , dengan luar biasa seksamanya berusaha menganalisa justru bentuk-bentuk peralihan untuk menetapkan, sesuai dengan kekhususan-kekhususan sejarah yang kongkrit dari satu-satu kejadian, bentuk peralihan ini peralihan dari apa ke apa.
Mendekati permasalahan dari sudut pandang kaum proletariat dan revolusi proletar, Engels, seperti juga Marx, membela sentralisme demokratis, republik --yang tunggal dan tak dapat dipecah-pecah. Ia memandang republik federal baik sebagai kekecualian dan rintangan bagi perkembangan atau sebagai peralihan dari monarki ke republik sentralis, sebagai "langkah maju" di bawah syarat-syarat khusus tertentu. Dan diantara syarat-syarat khusus ini masalah nasional menonjol. Walaupun tanpa ampun mengkritik kereaksioneran negara-negara kecil dan penyembunyian kereaksioneran tersebut oleh massa nasional dalam kejadian-kejadian kongkrit tertentu, seperti juga Marx, Engels tidak pernah menghianati dan mengabaikan masalah nasional -keinginan yang sering merupakan kesalahan yang diperbuat oleh kaum Marxis Belanda dan Polandia yang bertolak dari perjuangan yang paling sah terhadap nasionalisme sempit filistin dari negara-negara kecil "mereka".
Bahkan di Inggris, di mana baik syarat-syarat geografi, kesamaan bahasa maupun sejarah ratusan tahun nampaknya telah "mengakhiri" masalah nasional di satu-satu bagian kecil di Inggris -bahkan di sinipun Engels memperhitungkan kenyataan yang jelas, bahwa masalah nasional belum teratasi, dan karena itu mengakui republik federal sebagai "langkah maju". Sudah barang tentu di sini tak ada sedikitpun tanda-tanda penolakan untuk mengajukan kritik terhadap kekurangan-kekurangan republik federal dan untuk melakukan propaganda serta perjuangan yang paling tegas untuk republik kesatuan yang demokratis sentralis.
Tetapi Engels mengartikan sentralisme demokratis sama sekali bukan dalam pengertian birokrasi, tidak seperti ideologis-ideologis borjuis dan borjuis kecil, kaum anarkis yang termasuk ideologis-ideologis borjuis kecil yang menggunakan konsepsi sentralisme demokratis itu dalam pengertian birokratis. Bagi Engels sentralisme sedikitpun tidak meniadakan pemerintahan sendiri setempat yang demikian luas yang dengan dipertahankannya secara sukarela kesatuan negara oleh "komune-komune" dan daerah-daerah, pasti akan menghapuskan setiap birokratisme dan setiap "perintah" dari atas. Mengembangkan pandangan-pandangan programatis Marxisme mengenai negara, Engels menulis:
"Jadi, republik kesatuan -tetapi bukan dalam pengertian Republik Perancis yang sekarang, yang tidak lebih dari pada kekaisaran tanpa Kaisar yang dibentuk pada tahun 1798. Dari tahun 1792 sampai pada tahun 1798 setiap daerah besar Perancis, setiap komune (Gemeinde) mempunyai pemerintahan sendiri yang penuh, menurut pola Amerika, dan ini harus kita miliki juga. Bagaimana harus mengorganisasi pemerintahan-sendiri dan bagaimana dapat tanpa birokrasi, hal ini ditunjukkan dan dibuktikan kepada kita oleh Amerika dan Republik Perancis pertama, dan sekarang masih diperlihatkan oleh Kanada, Australia dan tanah-tanah jajahan Inggris lainnya. Baik pemerintahan-sendiri provinsi (daerah) maupun pemerintahan-sendiri komune demikian itu adalah lembaga-lembaga yang jauh lebih bebas dari pada, misalnya, federalisme Swiss di mana memang benar, kanton sangat tidak tergantung dalam hubungannya dengan Bund (Union)" (yaitu dengan negara federatif sebagai keseluruhan), "tetapi juga tidak tergantung baik dalam hubungannya dengan distrik (Bezirk) maupun dengan komune. Pemerintah-pemerintah kanton menunjukkan kepala-kepala distrik (Bezirksstatthalter) dan prefekt-prefekt, yang sama sekali tidak ada di negeri-negeri yang berbahasa Ingris dan yang di masa depan juga harus kita hapuskan dengan tegas, seperti halnya Landrat-landrat serta Regierungsrat-regierungsrat Prusia" (komisaris-komisaris, kepala-kepala polisi distrik, gubernur-gubernur, pada umumnya pejabat-pejabat yang diangkat dari atas). Sesuai dengan itu, Engels mengusulkan supaya fasal tentang pemerintahan-sendiri dalam program dirumuskan sebagai berikut: "Pemerintahan-sendiri yang penuh di provinsi-provinsi" (gubernia-gubernia atau daerah-daerah). "di distrik-distrik dan rukun-rukun kampung swatantra melalui pejabat-pejabat yang dipilih dengan hak pilih umum; penghapusan semua badan kekuasaan setempat dan provinsi yang diangkat oleh negara".
Saya sudah pernah menunjukkan --dalam Pravda (11)(No. 68, 28 Mei 1917)(12) yang disita oleh pemerintah Kerenski dan menteri-menteri "Sosialis" lainnya--, bagaimana dalam soal ini (sudah tentu sama sekali bukan dalam satu soal ini saja) wakil-wakil sosialis gadungan demokrasi gadungan revolusioner gadungan kita telah melakukan penyelewengan-penyelewengan yang menyolok mata dari demokrasi. Wajarlah jika orang-orang yang mengikat diri pada "koalisi" dengan borjuasi imperialis tetap tuli terhadap kritisisme ini.
Sangat penting untuk dicatat bahwa Engels dengan fakta-fakta yang dimilikinya, dengan contoh yang paling tepat, menyangkal prasangka yang sangat tersebar luas, terutama di kalangan demokrasi borjuis kecil, seolah-olah republik federal pasti berarti kebebasan yang lebih besar dari pada republik sentralis. Ini tidak benar. Fakta-fakta yang diajukan Engels mengenai Republik Perancis Sentralis tahun 1792-98 dan Republik Swiss federal menyangkal hal itu. Republik sentralis yang betul-betul demokratis memberikan kebebasan yang lebih besar dari pada republik federal. Atau dengan kata lain: kebebasan lokal, regional, dan kebebasan lainnya yang dikenal dalam sejarah dipenuhi oleh republik sentralis dan bukan oleh republik federal.
Fakta ini tidak cukup mendapat perhatian dalam propaganda dan agitasi Partai kita, seperti juga halnya seluruh masalah republik federal dan republik sentralis dan pemerintahan-sendiri lokal.
5. KATA PENDAHULUAN TAHUN 1891 PADA KARYA MARX PERANG DALAM NEGERI DI PERANCIS
Dalam kata pengantarnya pada edisi ketiga Perang Dalam Negeri Di Perancis (kata pengantar ini bertanggal 18 Maret 1891 dan aslinya dimuat dalam majalah Neue Zeit) Engels, di samping beberapa catatan sambil lalu yang menarik mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan sikap terhadap negara, memberikan ikhtisar yang luar biasa jelasnya tentang pelajaran-pelajaran dari Komune (13). Ikhtisar ini, yang diperdalam oleh seluruh pengalaman selama dua puluh tahun yang memisahkan penulis dari komune, dan yang khusus ditujukan untuk menentang "kepercayaan secara takhayul terhadap negara" yang tersebar luas di Jerman, sebenarnya dapat dinamakan kata terakhir Marxisme mengenai masalah yang sedang dibahas.
Di Perancis, Engels menegaskan setelah setiap revolusi kaum buruh selalu bersenjata; "oleh karena itu bagi borjuasi yang memegang tampuk kekuasaan negara melucuti senjata kaum buruh adalah amanat yang pertama. Dari sinilah, sesudah setiap revolusi yang dimenangkan oleh kaum buruh, timbulnya perjuangan baru, yang berakhir dengan kekalahan kaum buruh."
Kesimpulan dari pengalaman revolusi-revolusi borjuis adalah singkat lagi ekspresif. Hakekat persoalannya --antara lain juga mengenai masalah negara (apakah kelas tertindas mempunyai senjata?) -dicengkam dengan sangat baik di sini. Justru hakekat inilah yang paling sering dihindari baik oleh profesor-profesor yang berada di bawah pengaruh ideologi borjuis maupun oleh kaum demokrat borjuis kecil. Dalam revolusi Rusia tahun 1917 kehormatan (kehormatan Cavaignac (14)) membocorkan rahasia-rahasia revolusi-revolusi borjuis ini jatuh pada Tsereteli, seorang "Menshevik", "yang semoga Marxis". Dalam pidatonya yang "bersejarah" pada tanggal 11 Juni, Tsereteli dengan tidak disengaja membocorkan niat borjuasi untuk melucuti senjata kaum buruh Petrograd, dengan mengemukakan, tentu saja, keputusan ini baik sebagai keputusannya sendiri maupun sebagai keharusan "negara" secara keseluruhan!
Pidato bersejarah Tsereteli pada tanggal 11 Juni itu, tentu saja, akan merupakan salah satu ilustrasi yang paling jelas bagi setiap ahli sejarah Revolusi tahun 1917 tentang bagaimana blok karena sosialis-Revolusioner dan kaum Menshevik yang dipimpin oleh Tuan Tsereteli, menyeberang ke pihak borjuasi dan menentang proletariat revolusioner.
Catatan sambil lalu lainnya dari Engels, yang juga berhubungan dengan masalah negara, menyangkut agama. Sudah diketahui bahwa Sosial-Demokrasi Jerman, seiring dengan semakin merosot akhlaknya dan menjadi makin oportunisnya, makin sering tergelincir ke dalam salah-tafsir filistin mengenai rumus yang terkenal: "Agama dinyatakan sebagai urusan pribadi". Yaitu: rumus ini ditafsirkan seolah-olah juga bagi partai proletariat revolusioner masalah agama adalah urusan pribadi!! Terhadap pengkhianatan yang sepenuhnya kepada program revolusioner proletariat inilah Engels bangkit melawan, yang pada tahun 1891 hanya melihat tunas-tunas yang sangat lemah dari oportunisme di dalam partainya dan yang karena itu menyatakan pendapatnya dengan sangat berhati-hati:
"...Sesuai dengan bahwa yang duduk di dalam Komune hampir semata-mata hanya kaum buruh atau wakil-wakil buruh yang diakui, maka keputusan-keputusannya berwatak proletar yang tegas. Atau mereka mendekritkan reformasi-reformasi yang ditolak oleh borjuasi republik hanya karena kepengecutannya yang keji, tetapi yang merupakan dasar yang diperlukan untuk kegiatan bebas kelas buruh, seperti pelaksanaan prinsip bahwa dalam hubungan dengan negara, agama merupakan urusan pribadi semata-mata, --atau Komune mengeluarkan keputusan-keputusan yang langsung untuk kepentingan kelas buruh dan yang sebagian menukik jauh ke dalam tata tertib masyarakat lama."
Engels sengaja menekankan kata-kata "dalam hubungan dengan negara", dengan mengarahkan pukulan tepat pada oportunisme Jerman yang memproklamasikan agama sebagai urusan pribadi dalam hubungan dengan partai dan dengan demikian memerosotkan partai proletariat revolusioner sampai pada tingkat filistinisme "berpikir bebas" yang paling vulgar, yang bersedia membolehkan keadaan tanpa agama, tetapi yang menolak tugas perjuangan partai menentang candu agama yang membius rakyat.
Ahli sejarah Sosial-Demokrasi Jerman yang akan datang, dalam mengusut akar-akar kebangkrutannya yang memalukan pada tahun 1914, akan menemukan tidak sedikit bahan yang menarik mengenai masalah tersebut, mulai dari berbagai dekalrasi yang berbelit-belit dalam artikel pemimpin ideologi partai, Kautsky, yang membuka pintu lebar-lebar bagi oportunisme, sampai pada sikap partai terhadap "Los-von-Kirche-Bewegung" ("Gerakan-Lepas-Dari-Gereja")(15) pada tahun 1913.
Tetapi marilah kita beralih ke soal bagaimana Engels, dua puluh tahun sesudah komune, menyimpulkan pelajaran-pelajaran dari komune bagi proletariat yang sedang berjuang.
Inilah pelajaran-pelajaran yang ditonjolkan oleh Engels:
"...Adalah justru kekuasaan yang menindas dari pemerintah terpusat yang lampau, tentara, polisi politik,birokrasi, yang diciptakan oleh Napoleon pada tahun 1798 dan yang sejak itu diambil alih oleh setiap pemerintah baru sebagai alat yang didambakan dan digunakan untuk menentang lawan-lawannya--justru kekuasaan inilah yang harus ambruk dimana-mana sebagaimana ia telah ambruk di Paris.
Sejak semula Komune harus mengakui bahwa kelas buruh, setelah memegang kekuasaan, tidak dapat terus memerintah dengan mesin negara yang lama; bahwa kelas buruh, supaya tidak kehilangan lagi kekuasaannya yang baru saja direbut, di satu pihak, harus menghapuskan seluruh mesin penindasan lama yang sebelumnya digunakan terhadap dirinya, dan di pihak lain, harus melindungi diri terhapap wakil-wakil serta pejabat-pejabatnya sendiri, dengan menyatakan mereka semua, tanpa kecuali, dapat diganti setiap saat"É
Engels berulang kali menekankan bahwa tidak hanya dalam kerajaan, tetapi juga dalam republik demokratis negara tetap negara, yaitu mempertahankan ciri khasnya yang fundamental; mengubah pejabat-pejabat, "abdi-abdi masyarakat", organ-organnya, menjadi tuan atas masyarakat.
"Melawan tranformasi negara dan organ-organ negara dari abdi-abdi masyarakat menjadi tuan atas masyarakat itu --transformasi yang tak terelakkan terjadi di semua negara sampai sekarang-- Komune menggunakan dua cara yang tak mungkin salah. Pertama, Komune mengisi semua jabatan --administrasi, pengadilan dan pendidikan-- dengan orang-orang yang dipilih menurut hak pilih umum, dan di samping itu berhak menarik kembali mereka yang dipilih setiap saat menurut keputusan para pemilihnya. Dan kedua, Komune memberi upah kepada semua pejabat, baik tinggi maupun rendah, hanya sebesar yang diterima kaum buruh lainnya. Gaji tertinggi yang umumnya dibayar oleh Komune adalah 6.000 franc. Dengan demikian terbentuklah rintangan yang dapat dihandalkan terhadap usaha mengejar kedudukan dan terhadap karierisme, bahkan terlepas dari mandat yang mengikat (16) untuk wakil-wakil dalam badan-badan perwakilan, yang diberikan oleh Komune di samping itu."
Di sini Engels mendekati garis pembatas yang menarik, di mana demokrasi yang konsekuen, di satu pihak, berubah menjadi sosialisme, dan di pihak lain, menuntut sosialisme. Sebab, untuk menghapuskan negara diperlukan perubahan fungsi-fungsi dinas pemerintah menjadi pekerjaan-pekerjaan pengontrolan dan penghitungan yang sederhana, yang mudah dimengerti dan dapat dilaksanakan oleh mayoritas luas penduduk dan kemudian oleh seluruh penduduk tanpa kecuali. Dan untuk menghapuskan sepenuhnya karierisme dituntut supaya mustahil adanya kedudukan-kedudukan "terhormat" -meskipun dalam kedudukan yang tidak memberi keuntungan&endash; dalam dinas pemerintah yang bisa menjadi jembatan untuk melompat ke jabatan-jabatan yang memberi penghasilan tinggi di bank-bank dan diperseroan-perseroan, sebagaimana senantiasa terjadi di semua negeri kapitalis yang paling merdeka.
Tetapi Engels tidak membuat kesalahan seperti yang dibuat, misalnya, oleh sementara kaum Marxis mengenai masalah hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri; mereka mengatakan, di bawah kapitalisme hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri ini tidak mungkin, sedang di bawah sosialisme tidak diperlukan. Argumen semacam ini, yang nampaknya cerdas, tetapi sebenarnya salah, dapat diulangi mengenai lembaga demokratis manapun, termasuk gaji yang lumayan bagi pejabat, sebab demokratisme yang konsekuen sepenuhnya tidak mungkin ada di bawah kapitalisme, sedangkan di bawah sosialisme segala demokrasi akan melenyap.
Ini adalah tetek bengek sofistis seperti lelucon lama, apakah seorang akan menjadi botak apabila rambutnya berkurang sehelai?
Mengembangkan demokrasi sampai sepenuhnya, mencari bentuk-bentuk perkembangan demikian itu, mengujinya dengan praktek dst. -semua ini adalah salah satu tugas komponen perjuangan untuk revolusi sosial. Jika berdiri sendiri, demokratisme apapun tidak akan mendatangkan sosialisme, tetapi dalam kehidupan, demokratisme tidak pernah "berdiri sendiri", melainkan akan "berdiri bersama-sama", akan memberikan pengaruhnya juga kepada ekonomi, akan mendorong perubahan ekonomi dan akan dipengaruhi perkembangan ekonomi, dst. Demikianlah dialektika sejarah yang hidup.
Engels melanjutkan:
"Terpecahbelahnya (Sprengung) kekuasaan negara lama itu dan digantinya oleh yang baru, yang sungguh-sungguh demokratis, telah secara terperinci dilukiskan dalam bagian ke-tiga Perang Dalam Negeri. Tetapi di sini perlu membicarakan sekali lagi secara singkat beberapa ciri penggantian tersebut, karena justru di Jerman kepercayaan secara takhayul terhadap negara telah berpindah dari filsafat ke kesadaran umum borjuasi dan bahkan kesadaran banyak buruh. Menurut konsepsi filosofis, negara adalah 'perwujudan ide' atau, diterjemahkan ke dalam bahasa filsafat, Kerajaan Tuhan di bumi, negara merupakan bidang kegiatan di mana kebenaran dan keadilan abadi diwujudkan atau harus diwujudkan. Dan dari sini timbul rasa hormat secara takhayul terhadap negara dan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan negara, rasa hormat secara takhayul yang semakin mudah berakar karena orang sejak kecil terbiasa berpikir bahwa urusan dalam kepentingan yang umum bagi seluruh masyarakat tidak dapat diurus dan dilindungi dengan cara lain kecuali dengan cara lama, yaiu melalui perantara negara dan pejabat-pejabatnya yang dihadiahi kedudukan yang memberi keuntungan. Dan orang-orang membayangkan bahwa mereka mengambil langkah maju yang luar biasa beraninya apabila mereka melepaskan diri dari kepercayaan terhadap monarki yang turun temurun dan menjadi pengikut-pengikut republik demokratis. Tetapi dalam kenyataannya negara tidak lain adalah mesin penindas dari satu kelas terhadap kelas yang lain, dan dalam republik demokratis sedikit pun tidak kurang dari pada dalam monarki. Dan paling-paling negara adalah kejahatan yang diwariskan kepada proletariat yang memperoleh kemenangan dalam perjuangan untuk kekuasaan kelas; proletariat yang menang sebagaimana Komune, diharuskan segera memotong segi-segi yang paling jelek dari kejahatan itu sampai saat generasi yang tumbuh dalam syarat-syarat sosial yang baru dan bebas mampu mencampakkan seluruh rongsokan ketatanegaraan ini."
Engels memperingatkan orang-orang Jerman supaya mereka tidak melupakan dsar-dasar sosialisme mengenai masalah negara pada umumnya dalam hubungan dengan penggantian monarki dengan republik. Sekarang peringatan-peringatan Engels itu berbunyi sebagai pelajaran langsung bagi tuan-tuan semacam Tsereteli dan Cernov yang dalam praktek "koalisi" mereka menunjukkan kepercayaan secara takhyul dan rasa hormat secara takhyul terhadap negara!
Dua catatan lagi. 1.) fakta bahwa Engels mengatakan bahwa di balik republik demokratis, "sedikitpun tidak kurang" dari pada di bahwa monarki, negara tetap merupakan "mesin penindas dari satu kelas terhadap kelas yang lain", ini sama sekali tidak berarti bahwa bentuk penindasan bagi proletariat sama saja, sebagaimana "ajaran" sementara kaum anarkis. Bentuk perjuangan kelas dan bentuk penindasan kelas yang lebih luas, lebih bebas dan lebih terbuka sangat meringankan proletariat dalam perjuangannya untuk menghapuskan kelas-kelas pada umumnya.
2.) Mengapa hanya generasi baru saja yang akan mampu mencampakkan sama sekali seluruh rongsokan ketatanegaraan ini -masalah ini bertalian dengan masalah mengatasi demokrasi, yang akan kita bicarakan sekarang.
6. ENGELS TENTANG MENGATASI DEMOKRASI
Engels pernah menyatakan pendapatnya tentang masalah ini dalam hubungan dengan fakta bahwa sebutan "Sosial-Demokrat" adalah salah secara ilmiah.
Dalam kata pendahuluan pada penerbitan artikel-artikelnya dari tahun 1870-an tentang berbagai tema, terutama mengenai masalah-masalah "internasional" (Internasionales aus dem Volksstaat)(17) -kata pendahulun yang tertanggal 3 Januari 1894, yaitu ditulis satu setengah tahun wafatnya-- Engels menulis bahwa dalam semua artikelnya digunakan kata "Komunis" dan bukan Sosial-Demokrat, sebab pada masa itu kaum Proudhonis di Perancis dan kaum Lassallean (18) di Jerman menamakan dirinya Sosial-Demokrat.
"...Bagi Marx dan saya," Engels melanjutkan, "mutlak tidak mungkin menggunakan ungkapan yang sedemikian elastis untuk menyatakan pandangan kita yang khusus. Dewasa ini keadaannya lain, dan kata itu ("Sosial-Demokrat") barangkali di masa lalu bisa diterima (mag passieren) walaupun kata itu tetap tidak tepat (unpassen -tidak cocok) bagi partai yang program ekonominya bukan semata-mata sosialis pada umumnya, melainkan langsung Komunis, bagi partai yang tujuan politiknya yang terakhir adalah mengatasi seluruh negara, dan oleh karenanya juga demokrasi. Tetapi nama dari partai-partai politik yang sebenarnya (huruf miring dari Engels) tidak pernah sesuai sepenuhnya; partai berkembang, nama tetap."(19)
Dialektikus Engels hingga hari tuanya tetap setia pada dialektika. Marx dan saya, kata Engels, dulu mempunyai nama partai yang baik sekali, tepat secara ilmiah, tetapi ketika itu tidak ada partai yang sebenarnya, yaitu kaum proletariat yang massal. Sekarang (pada akhir abad ke-19) ada partai yang sebenarnya, tetapi namanya secara ilmiah tidak tepat. Tidak apalah, "bisa diterima", asal saja partai berkembang, asal saja ketidaktepatan secara ilmiah namanya itu disadari olehnya dan tidak mengganggunya berkembang ke arah yang tepat!
Barangkali seorang pelawak akan juga menghibur kita, kaum Bolshevik, menurut cara Engels: kita mempunyai partai yang sebenarnya, ia berkembang dengan baik sekali; bahkan "bisa diterima" juga kata yang tiada arti dan buruk seperti "Bolshevik", yang sama sekali tidak menyatakan apa-apa kecuali keadaan yang semata-mata kebetulan bahwa dalam Kongres Brussel-London tahun 1903 kita merupakan mayoritas (20) ...Mungkin sekarang, ketika pengejaran-pengejaran dalam bulan Juli dan Agustus terhadap partai kita yang dilakukan oleh kaum republiken dan demokrasi borjuasi kecil "revolusioner" telah membuat kata "Bolshevik" menjadi demikian terhormat di kalangan seluruh rakyat, dan ketika pengejaran-pengejaran ini, kecuali itu, membuktikan langkah maju ber sejarah yang begitu besar, yang telah dicapai oleh partai kita dalam pknnya yang sebenarnya mungkin saya juga akan menjadi ragu-ragu terhadap usul saya pada bulan April untuk mengubah partai kita. Mungkin saya akan mengusulkan kepada kawan-kawan saya "kompromi": menamakan diri kita partai Komunis, dan mempertahankan kata "Bolshevik" dalam tanda kurung.
Tetapi masalah nama partai jauh kurang penting dari pada masalah sikap proletariat revolusioner terhadap negara.
Dalam argumen-argumen yang biasa terhadap negara selalu dibuat kesalahan yang di sini diperingatkan oleh Engels dan yang secara sambil lalu telah kita tunjukkan dalam uraian terdahulu, yaitu selalu dilupakan bahwa penghapusan negara adalah juga penghapusan demokrasi, bahwa melenyapnya negara adalah melenyapnya demokrasi.
Sekilas pandang, pernyataan seperti iini tampaknya sangat ganjil dan tidak bisa dimengerti; sesungguhnya, barangkali pada seseorang bahkan akan timbul kekhawatiran bahwa kita mengaharapkan tibanya susunan masyarakat, di mana tidak akan ditaati prinsip ketundukan minoritas kepada mayoritas -sebab bukankah demokrasi itu justru pengakuan terhadap prinsip ini?
Tidak. Demokrasi tidak identik dengan ketundukkan minoritas kepada mayoritas. Demokrasi adalah negara yang mengakui ketundukan minoritas terhadap mayoritas, yaitu organisasi yang mengunakan kekerasan secara sistematis dari stu kelas terhadap kelas yang lain, dari satu bagian penduduk terhadap bagian yang lain.
Kita menetapkan sebagai tujuan terakhir kita menghapuskan negara, yaitu menghapuskan segala penggunaan kekerasan yang terorganisir dan sistematis, segala kekerasan terhadap manusia pada umumnya. Kita tidak menunggu tibanya tata tertib masyarakat di mana tidak akan ditaati prinsip ketundukan minoritas terhadap mayoritas. Tetapi dalam berusaha keras mencapai sosialisme, kita yakin bahwa ia akan berkembang menjadi Komunisme, dan ber hubungan dengan itu, akan lenyap segala kebutuhan akan kekerasan terhadap manusia pada umumnya, akan ketundukan orang yang satu kepada yang lain, satu bagian penduduk kepada bagian yang lan, sebab orang akan terbiasa mentaati syarat-syarat elementer kehidupan kemasyarakatan tanpa kekerasan dan tanpa ketundukan.
Untuk menekankan unsur kebiasaan ini, Engels justru berbicara tentang generasi baru yang "tumbuh dalam syarat-syarat sosial yang baru dan bebas, yang akan mampu mencampakkan sama sekali seluruh rongsokan ketatanegaraan ini" -segala ketatanegaraan, termasuk juga ketatanegaraan demokratis republiken.
Untuk menjelaskan ini perlu meninjau masalah dasar-dasar ekonomi dari melenyapnya negara.
1 Lihat F. Engels, The Housing Question (Masalah Perumahan), (K. Marx dan F. Engels Selected Woks, edisi bahasa Inggris, Moskow, 1951, jilid I, halaman 517-18 [back]
2 Kaum Proudhonis -pengikut-pengikut Proudhon (1809-1865), yang mengkritik kepemilikan kapitalis besar bukan dari cara pandang Marxis (atau Proletariat), melainkan dari cara pandang borjuasi kecil. Mereka berusaha mengekalkan kepemilikan pribadi yang kecil dengan penciptaan bank-bank 'rakyat' dan lain-lain reforamasi utopis, mengkombinasikan hal ini dengan pandangan-pandangan kaum Anarkis tentang negara serta suatu penyangkalan terhadap revolusi proletar. Marx membuktikan bahwa pemikiran-pemikiran Proudhon dalam bukunya Poversty of Philosophy (Filsafat Kemiskinan) adalah salah, dan aliran Proudhonis sepenuhnya dikalahkan oleh Marxisme secara luas dalam Interasionale I. [back]
3 F. Engels, The Housing Question (Masalah Perumahan), (K. Marx dan F. Engels Selected Works, edisi bahasa Inggris, Moskow, 1951, jilid I, halaman 569. [back]
4 Kaum Blanquis -pengikut-pengikut Louis Auguste Blanqui (1805-81). Seorang revolusioner Perancis; karya-karya klasik Marxisme-Leninisme, di samping memandang Blanqui sebagai seorang revolusioner yang terkemuka dan penganut sosialisme, bersamaan itu mengkritik ia karena separatismenya dan cara-cara aktifitasnya yang bersifat komplotan. Blanquisme mengharapkan pembebasan umat mnanusia dari perbudakan upah, bisa dicapai bukan melalui perjuangan kelas, yang ditolaknya, melainkan melalui komplotan dari minoritas kecil kaum intelektual. Daripada mempersiapkan kebangkitan massa pada saat syarat-syarat revolusi tengah mematang, mereka berusaha mensubstitusikan diri sebagai aksi-aksi sadar kaum proletar. [back]
5 F. Engels, The Housing Question (Masalah Perumahan), (K. Marx dan F. Engels Selected Works, edisi bahasa Inggris, Moskow, 1951, jilid I, halaman 555. [back]
6 Yang dimaksud oleh Lenin di sini ialah artikel K. Marx Der politische Indifferentismus (Political Indifferentism atau Kemasabodohan Politik) (K. Marx dan F. Engels, Pilihan karya, edisi bahasa Jerman, Berlin, jilid XVIII, halaman 299-304) dan artikel F. Engels On Authority (Tentang Otoritas) (K. Marx dan F. Engels Selected Works, edisi bahasa Inggris, Moskow, 1951, jilid I, halaman 571-78). Berikutnya V. I. Lenin mengutip artikel-artikel itu juga. [back]
7 Lihat K. Marx dan F. Engels Selected Works, edisi bahasa Inggris, Moskow, 1951, jilid II, halaman 38-9 [back]
8 Program Erfurt dari Partai Sosial-Demokrat Jerman diterima dalam bulan Oktober 1891 dalam kongres Erfurt untuk mengganti program Gotha tahun 1875. Kesalahan-kesalahan program Erfurt dikritik oleh Engels dalam karyanya On the Critique of the Social-Democratic Draft Program of 1891 (Tentang Kritik Terhadap Rancangan Sosial-Demokrat tahun 1891) (K. Marx dan F. Engels Collected Works, edisi bahasa Jerman, Berlin, jilid XXII, halaman 225-40). [back]
Di halaman-halaman berikutnya, V. I Lenin mengutip karya F. Engels itu juga (ibid, halaman 232-37) [back]
9 Reichtag -nama parlemen tuan tanah borjuis Jerman; tidak punya arti lagi setelah berdirinya kediktaturan Hitleris pada tahun 1933, yang memulai "aktivitas"nya sebagai partai yang berkuasa dengan pembakaran provokativ gedung Reichtag. [back]
10 UU Anti-Sosialis diberlakukan di Jerman oleh rezim Bismarck pada tahun 1878. Menurut UU ini semua organisasi partai Sosial-Demokrat, semua organisasi massa buruh dan pers kelas buruh dilarang. Literatur sosialis disita dan kaum Sosial-Demokrat dikejar-kejar. Pada tahun 1890 UU ini dicabut kembali karena tekanan gerakan massa kelas buruh. [back]
11 Pravda (artinya "Kebenaran") --harian yang diterbitkan Lenin secara legal di St. Petersburg pada tahun 1913. Nama itu diambil dari terbitan yang dibuat Trotsky lima tahun sebelumnya, sewaktu dalam pengasingan. Kemudian Pravda menjadi organ kaum Bolsheviks dan berbeda dari terfitan lainnya. yang paling utama adalah, Pravda merupakan harian buruh yang sebenarnya, yang terhubung ke setiap pabrik. Ini berarti, ia tidak Cuma ditulis UNTUK buruh melainkan khususnya OLEH para buruh sendiri. Koresponden-koresponden buruh menyumbangkan tulisan dalam setiap edisi memberikan ulasan tentang segala aspek kehidupan buruh. Dengan begitu Pravda lebih dari sekedar sebuah harian, ia adalah organiser sesungguhnya. Di dalam halaman-halamannya tidak hanya akan didapati sejumlah besar informasi mengenai gerakan buruh melainkan juga arahan dan slogan-slogannya. Di sana juga dimuat teori sebagai alat yang diperlukan untuk meningkatkan kesadaran para pembacanya menuju level tugas-tugas yang dituntut oleh sejarah. Sebagai satu organiser, harian ini meletakkan dasar dan kerangka kerja bagi pendirian sebuah partai politik. Harian ini dibiayai oleh pengumpulan uang dalam jumlah kecil yang dikenakan pada buruh-buruh. Mseskipun artikel-artikel Lenin secara reguler dimuat di harian ini, hubungan Lenin dengan dewan redaksi, khususnya Stalin, sering kali berceksokan karena ketidaksepakatan politis tentang taktik-taktik yang berkaitan dengan Duma (parlemen Rusia), juga karena mayoritas angggota redaksi itu mengambil sikap kaum Liquidationis. [back]
12 V.I Lenin "Tentang Masalah Prinsip" (V.I Lenin, Collected Works, edisi bahasa Rusia ke-4, jilid 24, halaman 497-99). [back]
13 Yang dimaksud di sini ialah kata pendahuluan yang ditulis oleh F. Engels untuk karya K. Marx Perang Dalan Negeri Di Perancis (K. Marx dan F. Engels, Pilihan Karya, edisi bahasa Inggris, Moskow, 1950, jilid I halaman 429-40)
Selanjutnya pada halaman-halam berikutnya dalam sub bab ini, V.I Lenin mengutip lagi karya Engels tersebut (buku yang telah dikutip di atas, halaman 430-31, 435, 438-40). [back]
14 Louis Eugena Cavaignac--seorang jenderal Perancis dan seorang "republikan moderat" yang sesudah revolusi Febuari 1848 menjadi Menteri Pertahanan Pemerintah Sementara Perancis. Dalam bulan Juni 1848 ia memimpin penindasan terhadap pemberontakan kaum Proletar kota Paris. Atas perintahnya untuk menembaki stiap "kaum merah yang berbahaya", 10.000 nyawa melayang. [back]
15 Los-von-Kirche-Bewegung ("Gerakan-Lepas-Dari-Gereja") atau Kirchenaustrittsbewegung (Gerakan Untuk Membebaskan Diri Dari Gereja) berskala luas di Jerman sebelum Perang Dunia I. Dalam bulan Januari 1914 Neue Zeit memulai diskusi mengenai sikap partai Sosial Demokrat Jerman terhadap gerakan itu dengan memuat artikel Paul Gohre, seorang revisionis. "Kirchenaustritsbewegung and Zosialdemokratie" ("Gerakan Untuk Membebaskan Diri Dari Gereja dan Sosial-Demokrasi"). Selama diskusi itu pemimpin-pemimpin Sosial-Demokrat Jerman yang terkemuka tidak melakukan tangkisan terhadap Gohre yang menandaskan bahwa partai harus tetap bersikap netral terhadap Gerakan Untuk Memisahkan Diri Dari Gereja dan melarang anggota-anggotanya melakukan propaganda menentang agama dan gereja demi kepentingan partai.
Nilai nominasinya kira-kira 2400 rubel, dan menurut kurs sekarang (1970, red.) kira-kira 6000 rubel. Sama sekali tidak dapat dimaafkan tindakan kaum Bolsyevik yang mengusulkan, misalnya, gaji 9000 rubel untuk anggota Duma kota ttp tidak mengusulkan gaji maksimum 6000 rubel--suatu jumlah yang cukup--untuk seluruh negara. [back]
16 Mandat yang mengikat (imperative mandate) - mandat yang harus diikuti dengan seksama oleh orang atau organ yang terpilih. [back]
17 Tentang Masalah-Masalah Internasional Dari "Negara Rakyat" [back]
18 kaum Lassallean -pendukung-pendukung Ferdinand Lassalle, seorang sosialis borjuis kecil Jerman, yaitu anggota-anggota Serikat Umum Buruh Jerman, yang didirikan dalam Kongres Organisasi-organisasi Buruh yang diselenggarakan Leipzig tahun 1865 untuk mengimbangi kaum progresif borjuis yang berusaha memperoleh pengaruh di kalangan kelas buruh. Lassalle adalah ketua pertama dari serikat itu, sekaligus yang merumuskan program serta dasar-dasar taktiknya. Program politik serikat itu adalah perjuangan untuk memperoleh hak pilih bagi kaum buruh, dan program ekonominya adalah perjuangan untuk serikat-serikat proletar kaum buruh yang harus diberi tunjangan oleh negara. Dalam kegiatan-kegiatan praktis mereka, mereka menyesuaikan diri dengan hegemoni Prusia dan mendukung politik negara besar Bismarck. "Secara obyektif", tulis Engels kepada Marx pada tanggal 27 Januari 1865, "ini merupakan perbuatan rendah dan penghianatan seluruh gerakan kelas buruh terhadap orang-orang Prusia. Marx dan Engels sering dan dengan tajam mengkritik teori, taktik, dan prinsip-prinsip organisasi kaum Lassallean sebagai aliran oportunis dalam gerakan kelas buruh Jerman. [back]
19 F. Engels, Vorwort zur Broschure "Internationales aus dem 'Volksstaat' (1871-75)" (Karl Marx dan Frederick Engels, Collected Works , edisi bahasa Jerman, Berlin, 1963, Vol. XXII, pp. 417-18) [back]
20 "Mayoritas" dalam bahasa Rusia adalah "bolshinstvo"; dari sinilah asal nama "Bolshevik". [back]
[Bab III] [Bab V]
[Back to In Defence of Marxism] [Back to Indonesia]
NEGARA dan REVOLUSI
Ajaran Marxis tentang Negara dan Tugas-tugas Proletariat di dalam Revolusi
BAB IV
LANJUTAN. PENJELASAN-PENJELASAN TAMBAHAN ENGELS
Marx memberikan dasar mengenai masalah arti penting pengalaman Komune. Engels berulang kali kembali ke tema yang sama dan ketika menjelaskan analisa serta kesimpulan-kesimpulan Marx, kadang-kadang ia menyoroti segi-segi lain dari persoalannya dengan begitu kuat dan gamblang sehingga perlu secara khusus membahas penjelasan-penjelasannya itu.
1. MASALAH PERUMAHAN
Dalam karyanya, Masalah Perumahan (1872), Engels telah memperhitungkan pengalaman komune, dan beberapa kali membahas tugas-tugas revolusi dalam hubungannya dengan negara. Adalah menarik untuk dicatat bahwa dalam tema kongkrit ini dengan jelas terungkap, di satu pihak, poin-poin persamaan antara negara proletar dengan negara sekarang --ciri-ciri yang memberi dasar untuk berbicara tentang negara, baik negara proletar maupun negara sekarang-- dan, di pihak lain, poin-poin perbedaan antara keduanya, atau transisi ke penghancuran negara.
"Bagaimana memecahkan masalah perumahan? Dalam masyarakat masa kini, sama sepenuhnya seperti setiap masalah sosial lainnya, masalah itu dipecahkan: dengan penyesuaian ekonomi berangsur-angsur atas permintaan dan penawaran, sebuah solusi yang selalu melahirkan kembali masalah itu juga, artinya, tidak memberi solusi apapun. Bagaimana revolusi sosial akan memecahkan masalah tersebut tidak hanya tergantung pada waktu dan tempat, tetapi bertalian juga dengan masalah-masalah yang sangat lebih menjangkau jauh, salah satu yang terpenting di antaranya adalah masalah penghapusan pertentangan antara kota dengan desa. Sebagaimana tugas kita bukan menciptakan sistem-sistem utopis untuk penyusunan masyarakat yang akan datang, maka sama sekali tak berguna membicarakan masalah tersebut. Tetapi satu hal sudah pasti: pada nyatanya sekarang di kota-kota besar sudah cukup gedung-gedung perumahan untuk dengan segara mengatasi kekurangan perumahan yang sesungguhnya, bilamana gedung-gedung ini digunakan secara rasional. Hal itu sudah tentu dapat terlaksana hanya dengan jalan menyita dari pemilik-pemiliknya yang sekarang dan menempatkan di rumah-rumah tersebut buruh-buruh yang tidak punya rumah atau buruh-buruh yang sekarang tinggal di rumah-rumah yang terlalu sesak. Dan segera setelah proletariat merebut kekuasaan politik, tindakan yang ditentukan oleh kepentingan umum semacam itu akan dapat dilaksanakan semudah penyitaan lainnya dan penghunian rumah-rumah oleh negara masa kini" (edisi bahasa Jerman, 1887, hlm. 22) (1)
Di sini tidak dibahas perubahan bentuk kekuasaan negara, melainkan hanya isi kegiatannya. Penyitaan dan penghunian rumah-rumah terjadi juga menurut perintah yang sekarang. Dari segi formal, negara proletar juga akan "memerintahkan" penghunian rumah-rumah dan penyitaan gedung-gedung. Tetapi jelas bahwa aparat eksekutif lama, birokrasi, yang bertalian dengan borjuasi, sama sekali tidak cocok untuk menjalankan aturan negara proletar.
"ÉHarus ditunjukkan bahwa 'penyitaan aktual' atas semua perkakas kerja, penyitaan seluruh industri oleh rakyat pekerja adalah lawan langsung dari 'kompensasi' Proudhonis.(2) Menurut yang terakhir ini buruh seorang-seorang menjadi pemilik tempat tinggal, bidang tanah petani, perkakas kerja; sedang menurut yang pertama rakyat pekerja tetap menjadi pemilik kolektif rumah-rumah, pabrik-pabrik dan perkakas kerja. Sekurang-kurangnya selama masa transisi, penggunaan rumah-rumah, pabrik-pabrik dan lain-lainnya itu oleh perorangan atau perkumpulan sulit diijinkan tanpa mengganti biayanya. Seperti juga penghapusan milik tanah bukan dimaksud untuk menghapuskan sewa tanah, melainkan menyerahkannya kepada masyarakat, walaupun dalam bentuk yang sudah dirubah. Maka itu penyitaan yang sebenarnya atas semua perkakas kerja oleh rakyat pekerja sama sekali tidak meniadakan dipertahankannya hubungan sewanya" (halaman 68)(3)
Kita akan memperbincangkan masalah yang disinggung dalam uraian di atas, yaitu tentang dasar-dasar ekonomi melenyapnya negara, dalam bab berikutnya. Engels menyatakan pendapatnya dengan sangat hati-hati ketika mengatakan bahwa negara proletar akan "sulit" membagikan rumah tanpa pembayaran, "sekurang-kurangnya selama masa transisi". Menyewakan rumah yang sudah menjadi milik seluruh rakyat kepada satu-satu keluarga mensyaratkan baik pemungutan uang sewa, pengawasan tertentu maupun satu atau lain patokan tertentu dalam pembagian rumah. Semua ini memerlukan bentuk negara tertentu, tetapi sama sekali tidak memerlukan aparat militer dan birokrasi yang khusus, beserta pejabat-pejabat yang mempunyai kedudukan khusus dengan hak istimewa. Sedangkan transisi ke keadaan di mana rumah-rumah akan bisa diberikan dengan cuma-cuma bertalian "melenyapnya" negara sepenuhnya.
Berbicara mengenai peralihan kaum Blanquis(4) ke pendirian fundamental Marxisme setelah Komune, dan di bawah pengaruh pengalamannya, Engels secara sambil lalu merumuskan pendirian tersebut sebagai berikut:
"ÉKeharusan aksi politik proletariat dan diktaturnya sebagai transisi ke penghapusan kelas-kelas dan bersamaan dengan itu juga penghapusan negaraÉ" (halaman, 55)(5)
Pecandu-pecandu kritik yang njlimet atau "pembasmi-pembasmi Marxisme" borjuis barangkali akan melihat kontradiksi antara pengakuan akan "penghapusan negara" ini dengan penolakan terhadap rumus itu sebagai rumus anarkis dalam bagian dari Anti Duhring yang dikutip di atas. Tidaklah mengherankan jika kaum oportunis mencap juga Engels ke dalam kaum "anarkis", karena sekarang makin meluas tuduhan dari pihak kaum sosialis-chauvinis bahwa kaum Internasionalis manganut anarkisme.
Marxisme selalu mengajarkan bahwa bersama dengan dihapuskannya kelas-kelas, dihapuskan juga negara. Bagian yang terkenal tentang "melenyapnya negara" dalam Anti Duhring menuduh kaum anarkis bahwa mereka itu tidak hanya menyetujui penghapusan negara, bahkan mengkhotbahkan seolah-olah negara dapat dihapuskan "dalam satu malam saja".
Mengingat fakta bahwa doktrin "Sosial-Demokratik" yang kini berdominasi sepenuhnya mendistorsikan hubungan Marxisme dengan anarkisme mengenai masalah penghapusan negara, maka sangat berguna mengingat kembali satu kontroversi di mana Marx dan Engels menentang kaum anarkis.
2. POLEMIK DENGAN KAUM ANARKIS
Kontroversi ini terjadi pada tahun 1873. Marx dan Engels menyumbang artikel-artikel yang menentang kaum Proudhonis, kaum "otonomis" atau kaum "anti-otoriteris" kepada buku tahunan Sosialis Italia dan baru pada tahun 1913 artikel-artikel tersebut dimuat dalam terjemahan bahasa Jerman dalam Neue Zeit (6)
"...Jika perjuangan politik kelas buruh mengambil bentuk-bentuk revolusioner," tulis Marx, memperolok kaum anarkis karena mereka menolak politik, "jika kaum buruh menegakkan diktatur revolusionernya sebagai pengganti diktatur borjuasi, maka mereka melakukan kejahatan yang mengerikan, yaitu menghina prinsip-prinsip, sebab untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka yang remeh temeh dan vulgar itu, untuk mematahkan perlawanan borjuasi, kaum buruh memberikan bentuk revolusioner dan sementara kepada negara, dan bukannya meletakkan senjata dan menghapuskan negaraÉ." (Neue Zeit, Volume XXXII, I, 1913-14, hlm. 40)
Hanya "penghapusan" negara macam ini sajalah yang ditentang oleh Marx ketika membantah kaum anarkis! Marx sama sekali tidak menentang bahwa negara akan lenyap bersamaan dengan lenyapnya kelas-kelas atau akan dihapuskan bersamaan dengan dihapuskannya kelas-kelas, tetapi menentang penolakan kaum buruh menggunakan senjata, menggunakan kekerasan yang terorganisasi, yaitu negara, yang harus mengabdi tujuan; "mematahkan perlawanan borjuasi".
Untuk menjaga agar arti sebenarnya dari perjuangannya melawan anarkisme tidak didistorsikan, Marx dengan sengaja menekankan "bentuk yang revolusioner dan sementara" dari negara yang diperlukan oleh proletariat. Proletariat memerlukan negara cuma untuk sementara waktu saja. Kita sama sekali tidak berselisih pendapat dengan kaum anarkis mengenai masalah penghapusan negara sebagai tujuan. Kita menegaskan bahwa untuk mencapai tujuan ini untuk sementara diperlukan penggunaan alat-alat, sarana dan metode-metode kekuasaan negara untuk melawan kaum penghisap, sebagaimana untuk menghapuskan kelas-kelas diperlukan diktatur sementara dari kelas tertindas. Marx memilih cara pengajuan soal yang paling tajam dan paling jelas untuk melawan kaum anarkis; setelah menggulingkan penindasan kaum kapitalis, haruskah kaum buruh "meletakkan senjata mereka," atau menggunakannya terhadap kaum kapitalis untuk mematahkan perlawanan mereka? Tetapi apakah penggunaan senjata secara sistematis oleh satu kelas terhadap kelas lainnya, jika bukan "bentuk sementara" dari negara?
Biarlah setiap Sosial-Demokrat menanyai dirinya sendiri; begitukah ia mengajukan masalah negara dalam polemik dengan kaum anarkis? Begitukah mayoritas luas partai-partai Sosialis yang resmi dari Internasionale II mengajukan masalah tersebut?
Engels menguraikan ide-ide yang sama dengan itu jauh lebih terperinci dan lebih populer. Pertama-tama ia mentertawakan kekusutan fikiran kaum Proudhonis, yang menyebut dirinya kaum "anti-otoriteris", yaitu menolak setiap otoritas, setiap ketundukan, setiap kekuasaan. Ambilah sebagai contoh sebuah pabrik, jalan kereta api, kapal di laut lepas, kata Engels --apakah tidak jelas bahwa tak satupun dari perusahaan-perusahaan teknik yang rumit yang berdasarkan penggunaan mesin-mesin dan kerja sama yang berencana dari banyak orang ini dapat berfungsi, tanpa ketundukan tertentu, jadi tanpa otoritas atau kekuasaan tertentu?
"...Bila saya mengajukan argumen-argumen seperti ini kepada kaum anti-otoriteris yang paling ngotot, maka satu-satunya jawaban yang dapat mereka beri kepada saya adalah: Ya, itu benar. Tetapi di sini masalahnya bukanlah tentang otoritas yang kami berikan kepada para utusan kami, melainkan tentang penugasan tertentu! Orang-orang ini berfikir bahwa ketika mereka mengubah nama sesuatu hal mereka telah mengubah hal itu sendiriÉ."
Dengan demikian, setelah menunjukkan otoritas dan otonomi adalah konsepsi-konsepsi relatif, bahwa aplikasi keduanya berubah seiring dengan tahap perkembangan masyarakat, adalah absurd untuk menganggap hal-hal itu sebagai hal yang mutlak, dan setelah menambahkan bahwa bidang aplikasi mesin-mesin dan produksi skala besar semakin meluas secara konstan, Engels beralih dari pembahasan tentang otoritas secara umum ke masalah negara.
"...Jika kaum oportunis," tulis Engels, "hanya ingin mengatakan bahwa organisasi sosial masa depan akan mengijinkan adanya otoritas hanya di dalam batas-batas yang dengan tak terelakkan ditentukan oleh syarat-syarat produksi, maka kita bisa sependapat dengan mereka; tetapi mereka buta terhadap semua kenyataan yang menyebabkan diperlukannya otoritas dan mereka berjuang dengan bernafsu menentang kata itu.
"Mengapa kaum anti otoriteris tidak membatasi diri dengan berteriak menentang otoritas politik, menentang negara? Semua kaum Sosialis sependapat bahwa negara politis, dan bersama dengan itu juga otoritas politik, akan lenyap sebagai akibat revolusi sosial yang akan datang, artinya bahwa fungsi-fungsi kemasyarakatan akan kehilangan watak politiknya dan berubah fungsi-fungsi administrasi sederhana berupa menjaga kebutuhan masyarakat. Namun kaum anti otoriteris menuntut supaya negara politik dihapuskan dengan sekali pukul, bahkan lebih dulu dari pada dihapuskannya hubungan-hubungan sosial yang melahirkannya. Mereka menuntut supaya tindakan pertama revolusi sosial adalah menghapuskan otoritas.
Pernahkah tuan-tuan ini menyaksikan revolusi? Revolusi sudah pasti adalah sesuatu yang paling otoriter yang ada; revolusi adalah tindakan, di mana sebagian penduduk memaksakan kehendaknya kepada bagian yang lain dengan senapan, bayonet, dan meriam -yaitu sarana yang luar biasa otoriternya; dan partai yang menang tidak ingin berjuang sia-sia, maka ia harus mempertahankan kekuasaan dengan menggunakan rasa takut yang ditimbulkan oleh senjatanya pada diri kaum reaksioner. Seandainya Komune Paris tidak bersandar pada otoritas rakyat bersenjata dalam menghadapi borjuasi bisakah ia bertahan lebih lama dari satu hari? Sebaliknya, apakah kita tidak berhak menyesali Komune karena ia terlalu sedikit menggunakan otoritas itu? Jadi, satu di antara dua: atau kaum anti-otoriteris sendiri tidak tahu apa yang mereka bicarakan, dan kalau demikian halnya mereka hanya menimbulkan kekusutan saja; atau mereka tahu, dan kalau demikian halnya mereka mengkhianati usaha proletariat. Dalam kedua hal itu mereka hanya mengabdi kepada reaksi." (halaman 39).
Argumen ini menyentuh masalah-masalah yang harus ditinjau dalam kaitannya dengan tema tentang hubungan antara politik dengan ekonomi selama melenyapnya negara (tema ini akan dibahas dalam bab berikutnya). Masalah-masalah ini adalah masalah pengubahan fungsi-fungsi kemasyarakatan dari fungsi-fungsi politik menjadi fungsi-fungsi administrasi sederhana dan masalah "negara politik". Ungkapan terakhir ini, yang mudah meninbulkan kesalahpahaman, menunjukan proses melenyapnya negara; negara yang sedang melenyap pada tingkat tertentu pelenyapannya dapat disebut negara non-politik.
Sekali lagi, yang paling menarik perhatian dalam argumen Engels tersebut adalah cara ia mengemukakan masalah untuk melawan kaum anarkis. Kaum Sosial-Demokrat yang ingin menjadi murid-murid Engels, telah berdebat jutaan kali untuk menentang kaum anarkis sejak tahun 1873, tetapi mereka berdebat justru tidak sebagaimana kaum Marxis dapat dan harus berdebat. Gambaran anarkis tentang penghapusan negara adalah kacau dan tidak revolusioner -begitulah Engels mengemukakan masalahnya. Kaum anarkis justru tidak mau melihat revolusi dalam pemunculan dan perkembangannya, dengan tugas-tugas khusus revolusi itu dalam hubungan dengan kekerasan, otoritas, kekuasaan, negara.
Kritik yang biasa terhadap anarkisme dari kaum Sosial-Demokrat masa kini telah turun pada kedangkalan kaum filistin yang setulen-tulennya: "kami mengakui negara, sedangkan kaum anarkis tidak!" Tentu saja kevulgaran semacam itu tidak dapat tidak menimbulkan rasa muak pada kaum buruh yang berpikir dan revolusioner. Apa yang dikatakan Engels berbeda. Ia menekankan bahwa semua kaum Sosialis mengakui lenyapnya negara sebagai akibat revolusi sosialis. Kemudian ia dengan kongkrit mengemukakan masalah revolusi, yaitu justru masalah yang biasanya dihindari oleh kaum Sosial-Demokrat karena oportunismenya dengan menyerahkan "pengolahan"nya boleh dikata semata-mata kepada kaum anarkis. Dan ketika mengemukakan masalah ini Engels dengan tegas mencengkram kunci masalahnya: tidakkah seharusnya Komune lebih banyak menggunakan kekuasaan revolusioner negara, yaitu proletariat yang bersenjata dan terorganisir sebagai kelas yang berkuasa?
Sosial-Demokrat resmi yang sedang berdominasi menyingkirkan masalah-masalah proletariat dalam revolusi hanya dengan ejekan filistin saja, atau paling-paling dengan mengelak secara sofistik: "lihat saja nanti". Maka itu kaum anarkis mendapat hak untuk mengatakan kepada Sosial-Demokrasi demikian itu bahwa ia mengkhianati tugasnya memberikan pendidikan revolusioner kepada kaum buruh. Engels menggunakan pengalaman revolusi proletar yang terakhir justru untuk melakukan penyelidikan yang paling kongkrit tentang apa yang harus dilakukan oleh proletariat dan bagaimana proletariat harus bertindak baik terhadap bank-bank maupun terhadap negara.
3. SURAT KEPADA BEBEL
Salah satu dari pengamatan-pengamatan yang bernilai penting, jika bukan yang paling bernilai penting, mengenai masalah negara dalam karya Marx dan Engels, terdapat dalam bagian yang berikut dalam surat Engels kepada Bebel tertanggal 18-28 Maret 1875. Surat ini, kami katakan sambil lalu, sepanjang pengetahuan kami, dimuat oleh Bebel untuk pertama kali dalam jilid ke-dua dari memoarnya (Aus meinem Leben atau Dari Hidupku) yang terbit pada tahun 1911, yaitu 36 tahun sesudah surat itu ditulis dan dikirimkan.
Engels menulis surat kepada Bebel mengkritik rancangan program Gotha yang juga dikritik oleh Marx dalam suratnya yang terkenal kepada Bracke. Menyinggung secara khusus masalah negara, Engels mengatakan:
"Negara rakyat bebas telah berubah menjadi negara bebas. Menurut arti tata bahasanya, negara bebas adalah negara di mana negara bebas terhadap warga negaranya, yaitu negara dengan pemerintah yang lalim. Seluruh obrolan tentang negara seharusnya sudah dihentikan, terutama sesudah Komune, yang sudah bukan lagi merupakan negara menurut arti kata yang sebenarnya. Kaum anarkis telah lebih dari cukup mencerca kita dengan 'negara rakyat', meskipun karya Marx yang menentang Proudhon, dan kemudian Manifesto Komunis sudah mengatakan dengan terus terang bahwa dengan dilaksanakannya susunan masyarakat yang sosialis negara akan membubarkan dirinya sendiri (sich auflöst) dan menghilang. Dengan demikian, karena negara hanyalah suatu lembaga peralihan yang digunakan dalam perjuangan, dalam revolusi, untuk dengan kekerasan menekan musuh-musuhnya, maka adalah omong kosong belaka untuk berbicara tentang suatu negara Rakyat bebas selama proletariat masih menggunakan negara, ia tidak menggunakannya demi kepentingan kebebasan tetapi untuk menekan musuh-musuhnya, dan segera setelah ada kemungkinan berbicara tentang kebebasan maka negara dengan demikian menghabisi hidupnya sendiri. Dari itu kami ingin mengusulkan supaya mengganti negara di mana pun juga dengan kata 'persekutuan hidup' (Gemeinwesen) sepatah kata Jerman lama yang baik yang dapat mewakili dengan sangat patutnya kata Perancis Komune". (halaman 321-2 dalam edisi aslinya yang berbahasa Jerman)(7)
Hendaknya selalu diingat bahwa surat tersebut menyangkut program partai yang dikritik oleh Marx dalam sepucuk surat bertanggalkan hanya beberapa minggu sesudah yang tersebut di atas (Surat Marx bertanggalkan 5 Mei 1875), dan bahwa pada waktu itu Engels hidup bersama Marx di London. Oleh karena itu, bila ia mengatakan "kami" dalam kalimat terakhir, Engels, tak usah diragukan lagi, atas namanya sendiri dan juga atas nama Marx, menyarankan kepada pemimpin parta buruh Jerman supaya kata "negara" dicabut dari program dan diganti dengan kata "persekutuan hidup".
Betapa lolongan tentang "anarkisme" akan dijeritkan oleh mereka yang menjadi pendukung utama "Marxisme" dewasa ini yang telah dipalsukan demi kenyamanan kaum oportunis, jika suatu amandemen program semacam itu disarankan kepada mereka!
Biarlah mereka melolong. Ini akan mendatangkan pujian dari borjuasi kepada mereka.
Dan kita akan meneruskan pekerjaan kita. Dalam merevisi program Partai kita, haruslah kita mempertimbangkan nasehat Engels dan Marx dengan setia agar supaya lebih dekat lagi pada kebenaran, untuk memperbaiki kembali Marxisme dengan membersihkannya dari segala pemutarbalikan, untuk membimbing perjuangan kelas buruh untuk kebebasannya dengan lebih tepat lagi. Tentulah tak akan ditemukan orang yang menentang nasehat Engels dan Marx di kalangan kaum Bolshevik. Satu-satunya kesulitan yang barangkali mungkin timbul akan menyangkut soal terminologi. Dalam basa Jerman terdapat dua kata yang berarti "persekutuan-hidup", yang darinya Engels menggunakan satu yang tidak berarti satu persekutuan-hidup tetapi jumlah keseluruhannya, suatu sistem persekutuan-persekutuan hidup. Dalam bahasa Rusia tidaklah ada kata semacam itu, dan barangkali kita akan memililh kata Perancis "Komune", biarpun ini tidak terlepas pula dari berbagai kesulitan.
"Komune bukanlah lagi suatu negara dalam arti kata yang sebenarnya" -dari segi teoritis, inilah pernyataan yang paling penting yang diciptakan oleh Engels. Sesudah apa yang di katakan di atas, pernyataan ini sepenuhnya jadi jelas. Komune tidak lagi menjadi negara, sebab yang harus ditindasnya bukan mayoritas penduduk, melainkan minoritas (kaum penghisap); ia telah menghancurkan mesin negara borjuis; sebagai ganti kekuatan khusus untuk menindas, penduduk sendiri tampil di atas panggung. Semua ini adalah penyimpangan dari negara menurut arti kata yang sebenarnya. Dan andai kata komune telah tekonsolidasi, maka bekas-bekas negara di dalamnya akan "melenyap" dengan sendirinya, tidak akan perlu baginya "menghapuskan" lembaga-lembaga negara; lembaga-lembaga itu akan berhenti berfungsi seiring dengan menjadi tidak adanya sesuatu yang harus dikerjakan olehnya.
"Kaum anarkis mencerca kita dengan 'negara rakyat''"; dalam mengatakan ini yang dimaksudkan oleh Engels pertama-tama adalah Bakunin dan serangan-serangannya terhadap kaum Sosial-Demokrat Jerman. Engels mengakui bahwa serangan-serangan itu dapat dibenarkan sejauh sebagaimana "negara rakyat" sama omong kosongnya dan sama menyimpangnya dari sosialisme seperti "negara rakyat bebas". Engels berusaha membetulkan perjuangan kaum Sosial-Demokrat Jerman melawan kaum anarkis, membuat supaya perjuangan ini tepat dalam prinsip, membersihkannya dari prasangka-prasangka oportunis mengenai "negara". Sayang! Surat Engels dipetieskan selama 36 tahun. Akan kita lihat di bawah bahwa, bahkan setelah surat ini diumumkan, Kautsky dengan kepala batu mengulangi apa yang pada hakekatnya justru kesalahan-kesalahan yang telah diperingatkan Engels.
Bebel menjawab Engels dalam surat bertanggal 21 September 1875, di mana ia menulis antara lain bahwa ia "sepenuhnya setuju" dengan pendapat Engels tentang rancangan program dan bahwa ia menyesali Liebknecht karena sikap mengalahnya (hlm. 334 dari edisi Jerman buku Bebel, Memoirs, Volume II). Tetapi jika kita mengambil brosur Bebel Tujuan Kita (Our Aims), maka akan kita temukan di dalamnya pandangan-pandangan tentang negara yang sama sekali salah:
"Negara harus diubah dari negara yang berdasarkan kekuasaan kelas menjadi negara rakyat" (Unsere Ziele, edisi Jerman, 1886, halaman 14).
Inilah yang tercetak di dalam edisi ke-9 (yang kesembilan!) dari brosur Bebel! Tidaklah mengherankan kalau pandangan-pandangan oportunis tentang negara yang diulang-ulang dengan begitu ngotot ditelan oleh Sosial-Demokrasi Jerman, terutama ketika penjelasan-penjelasan disembunyikan dan seluruh keadaan hidup untuk waktu yang panjang telah "menyapih" diri dari revolusi.
IV. KRITIK TERHADAP RANCANGAN PROGRAM ERFURT
Dalam menganalisa ajaran Marxisme tentang negara, kritik terhadap rancangan program Erfurt(8) yang dikirim Engels kepada Kautsky pada tanggal 29 Juni 1891 dan baru dimuat 10 tahun kemudian dalam Neue Zeit, tidak dapat diabaikan karena kritik itu terutama justru ditujukan untuk mengkritik pandangan-pandangan oportunis sosial demokrasi mengenai susunan negara.
Sambil lalu akan kita catat bahwa Engels juga memberikan petunjuk yang luar biasa berharga mengenai masalah ekonomi, yang menunjukkan betapa cermat dan penuh perhatian ia mengikuti justru perubahan-perubahan kapitalisme modern dan karenanya betapa pandainya ia meramalkan sampai batas-batas tertentu tugas-tugas jaman kita, jaman imperialis. Inilah petunjuk tersebut: berkenaan dengan kata "ketiadaan perencanaan" (Planlosigkeit) yang digunakan dalam rancangan program untuk menggambarkan ciri khas kapitalisme, Engels menulis:
"...Ketika kita beralih dari perseroan-perseroan ke trust-trust yang mengontrol sepenuhnya dan memonopoli seluruh cabang industri, maka di situ bukan hanya produksi perseorangan yang berakhir, melainkan juga ketiadaan perencanaan." (Neue Zeit, Volume XX, I, 1901-02, halaman 8)
Di sini dikemukakan hal yang paling pokok dalam penilaian teoritis mengenai tahap terakhir kapitalisme modern, yaitu imperialis, artinya bahwa kapitalisme berubah menjadi kapitalisme monopoli. Yang terakhir ini harus ditekankan, sebab pernyataan reformis borjuis bahwa kapitalisme monopoli atau kapitalisme monopoli-negara seolah-olah sudah bukan lagi kapitalisme, sudah dapat disebut "Sosialisme negara", atau suatu yang semacam itu, merupakan kesalahan yang paling tersebar luas. Tentu saja trust-trust tidak pernah menghasilkan, sampai sekarang tidak menghasilkan, dan tidak akan dapat menghasilkan perencanaan yang lengkap. Tetapi sekalipun trust-trust membuat perencanaan, sekali pun para tokoh terkemuka kapitalis mengkalkulasi terlebih dulu volume produksi dalam skala nasional atau bahkan internasional dan sekalipun mereka mengaturnya secara sistematis, kita masih tetap berada di bawah kapitalisme -memang kapitalisme dalam tingkatnya yang baru, tetapi tidak diragukan lagi tetap juga di bawah kapitalisme. "Kedekatan" kapitalisme demikian itu dengan sosialisme bagi wakil-wakil sejati proletariat harus menjadi bukti bagi kedekatan, kemudahan, dapat dilaksanakannya dan mendesaknya revolusi sosialis dan sama sekali bukanlah alasan untuk bersikap toleran terhadap penolakan revolusi itu dan usaha-usaha untuk membuat kapitalisme tampak lebih atraktif menarik, sebagaimana dilakukan oleh semua kaum reformis.
Tetapi marilah kita kembali ke masalah negara. Di sini Engels memberikan tiga petunjuk yang istimewa berharganya: pertama, mengenai masalah republik; kedua, tentang hubungan antara masalah nasional dengan susunan negara; ketiga, tentang pemerintahan-sendiri yang lokal.
Mengenai republik, Engels menjadikan hal ini sebagai titik berat dari kritiknya terhadap rancangan Program Erfurt. Dan apabila kita mengingat kembali arti penting yang diperoleh program Erfurt dalam Sosial-Demokrasi internasional hingga ia menjadi contoh bagi seluruh Internasionale II, maka dapat dikatakan tanpa berlebih-lebihan bahwa di sini Engels mengkritik oportunis seluruh Internasionale II.
"Tuntutan politik dari rancangan itu," tulis Engels, "memiliki kekurangan yang besar. Apa yang sebenarnya harus dikatakan malah tidak terdapat di dalamnya" (huruf miring dari Engels.)
Dan, selanjutnya, Engels menjadikan jelas bahwa konstitusi Jerman sebenarnya adalah salinan Undang-undang Dasar yang paling reaksioner tahun 1850; bahwa Reichtag (9) hanyalah, seperti yang dinyatakan Wilhelm Liebknecht, "cawat daun penutup absolutisme"; bahwa kehendak "untuk melakukan transformasi semua perkakas kerja menjadi milik umum" atas dasar konstitusi atau Undang-undang dasar yang mengesahkan adanya negara-negara kecil dan uni negara-negara kecil Jerman adalah "absurditas yang nyata".
"Menyentuh tema ini adalah berbahaya", Engels menambahkan, mengetahui dengan baik benar bahwa mustahil secara legal memasukkan tuntutan akan republik di Jerman. Namun Engels tidak menerima begitu saja pertimbangan yang sudah jelas ini, yang memuaskan "semua orang". Engels melanjutkan; "Tetapi walaupun demikian, soalnya bagaimanapun juga harus ditanggulangi. Sampai di mana perlunya hal ini, justru sekarang ditunjukkan oleh oportunisme yang menyebar luas (einressende) di dalam sebagian besar per Sosial-Demokrat. Karena takuk dihidupkannya UU Anti-Sosialis (10) atau karena teringat akan beberapa pernyataan yang dikeluarkan sebelum waktunya ketika berlakukanya Undang-undang tersebut, mereka sekarang menginginkan supaya Partai megakui bahwa tata hukum yang sekarang di Jerman cukup untuk mewujudkan semua tuntutan Partai secara damaiÉ."
Secara khusus Engels menyoroti fakta fundamental bahwa kaum Sosial-Demokrat Jerman bertindak karena takut dihidupkannya kembali Undang-Undang luar biasa itu, dan tanpa ragu-ragu dinamainya sebagai oportunisme; ia menyatakan bahwa justru karena tidak adanya republik dan kebebasan di Jerman, maka impian-impian tentang jalan "damai" sama sekali tidak masuk akal. Engels cukup berhati-hati untuk tidak mengikat tangannya sendiri. Ia mengakui bahwa di negeri-negeri dengan sistim republik atau dengan kebebasan yang sangat besar orang "dapat membayangkan" (hanya "membayangkan"!) perkembangan secara damai ke sosialisme, tetapi di Jerman, ia mengulangi.
"...Di Jerman, di mana pemerintah nyaris maha kuasa dan Reichstag serta semua badan perwakilan lainnya tidak mempunyai kekuatan yang nyata, maka memproklamasikan hal semacam itu di Jerman, dan lagi ketika tidak ada keperluan untuk itu, berarti menanggalkan cawat penutup absolutisme dan menjadikan dirinya penutup ketelanjangan"É.
Mayoritas luas pemimpin resmi partai Sosial-Demokrat Jerman yang mempeti-eskan petunjuk tersebut, memang ternyata merupakan pelindung absolutisme.
"...Pada akhirnya politik semacam itu hanya dapat membawa partai ke jalan yang sesat. Mereka menonjolkan masalah-masalah politik yang umum dan abstrak, dengan demikian menutup-nutupi masalah-masalah kongkrit yang mendesak, yang dengan sendirinya menjadi acara begitu terjadi peristiwa-peristiwa besar yang pertama, krisis politik yang pertama. Apa yang bisa dihasilkan dari sini kecuali bahwa partai pada saat yang menentukan tiba-tiba menjadi tak berdaya, bahwa di dalamnya merajalela kekaburan dan ketiadaan kesatuan mengenai masalah-masalah yang menentukan karena masalah-masalah ini tidak pernah didiskusikan? É
"Dilupakannya pertimbangan utama yang penting demi kepentingan sekarang yang bersifat seketika ini, pengejaran sukses-sukses yang bersifat seketika ini dan perjuangan untuk itu tanpa memperhitungkan akibat-akibatnya kemudian, dikorbankannya hari depan gerakan demi hari ini, gerakan ini--mungkin terjadi karena motif-motif tidak "jujur". Tetapi ini adalah oportunisme dan tetap oportunisme, sedangkan oportunisme yang "jujur" barangkali lebih berbahaya dari pada semua oportunisme lainnyaÉ
"Jika ada hal yang tidak menimbulkan keraguan apapun, maka hal itu adalah bahwa Partai kita dan kelas buruh dapat mencapai kekuasaan hanya di bawah bentuk republik demokratis. Yang terakhir ini bahkan merupakan bentuk khusus bagi diktatur proletariat, sebagai mana telah diperlihatkan oleh Revolusi Besar Perancis"É
Di sini Engels mengulangi dalam bentuk yang teristimewa hidupnya ide fundamental itu, yang bagaikan benang merah menjelujuri semua karya Marx, yaitu bahwa republik demokratis adalah jalan yang paling dekat ke diktatur proletariat. Sebab republik demikian itu, yang sedikit pun tidak menghapuskan kekuasaan kapital dan karenanya tidak menghapuskan penindasan atas massa dan perjuangan kelas -tidak terhindarkan akan menuju ke peluasan, pengembangan, penyingkapan, dan penajaman perjuangan ini yang sedemikian rupa, sehingga sekali timbul kemungkinan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan fundamental massa tertindas, kemungkinan ini diwujudkan dengan pasti dan semata-mata melalui diktatur proletariat, melalui pimpinan proletariat atas massa itu. Bagi seluruh Internasionale II ini juga "kata-kata yang dilupakan" dari Marxisme, dan dilupakannya kata-kata tersebut dengan luar biasa jelasnya ditunjukkan oleh sejarah partai Menshevik selama setengah tahun pertama revolusi Rusia 1917.
Mengenai masalah republik federal dalam hubungan dengan komposisi nasional dari penduduk, Engels menulis:
"Apa yang harus menggantikan Jerman yang sekarang?" (dengan konstitusi reaksionernya yang monarkis dan pembagiannya menjadi negara-negara kecil yang sama reaksionernya, dengan pembagian yang mengabaikan ciri-ciri khusus "Prusianisme", dan bukannya melebur negara-negara kecil itu di Jerman sebagai satu keseluruhan). "Menurut pendapat saya, proletariat hanya dapat menggunakan bentuk republik yang tunggal dan tidak dapat dibagi-bagi. Di wilayah Amerika Serikat yang raksasa itu republik federal pada umumnya sekarang masih merupakan keharusan, walaupun di timur ia sudah menjadi rintangan. Republik federal akan merupakan langkah maju di Inggris di mana kedua pulaunya didiami empat bangsa dan meskipun ada parlemen tunggal terdapat berdampingan tiga sistem perundang-undangan. Republik federal sudah menjadi rintangan di Swiss ya kecil itu, dan jika di sana republik federal itu masih dapat dibiarkan, ini hanyalah karena Swiss puas dengan peranan sebagai anggota pasif belaka dari sistem kenegaraan Eropa. Bagi Jerman, pen-Swiss-an secara federal akan merupakan langkah mundur yang sangat besar. Dua hal membedakan negara uni dengan negara kesatuan yang penuh, yaitu: bahwa masing-masing negara bagian, yang tergabung dalam uni, mempunyai perundang-undangan perdata dan pidananya sendiri yang khusus, sistem pengadilannya yang khusus, dan kemudian, bahwa di samping majelis rakyat ada majelis perwakilan dari negara-negara bagian, dan di dalamnya masing-masing kanton, tak perduli besar atau kecil, memberikan suara sebagai kanton". Di Jerman negara uni adalah peralihan ke negara kesatuan yang penuh, dan "revolusi dari atas" pada tahun-tahun 1866 dan 1870 bukannya harus diputar kembali, melainkan harus dilengkapi dengan "gerakan dari bawah".
Jauh dari menunjukkan sikap masa bodoh terhadap masalah-masalah bentuk negara, sebaliknya Engels , dengan luar biasa seksamanya berusaha menganalisa justru bentuk-bentuk peralihan untuk menetapkan, sesuai dengan kekhususan-kekhususan sejarah yang kongkrit dari satu-satu kejadian, bentuk peralihan ini peralihan dari apa ke apa.
Mendekati permasalahan dari sudut pandang kaum proletariat dan revolusi proletar, Engels, seperti juga Marx, membela sentralisme demokratis, republik --yang tunggal dan tak dapat dipecah-pecah. Ia memandang republik federal baik sebagai kekecualian dan rintangan bagi perkembangan atau sebagai peralihan dari monarki ke republik sentralis, sebagai "langkah maju" di bawah syarat-syarat khusus tertentu. Dan diantara syarat-syarat khusus ini masalah nasional menonjol. Walaupun tanpa ampun mengkritik kereaksioneran negara-negara kecil dan penyembunyian kereaksioneran tersebut oleh massa nasional dalam kejadian-kejadian kongkrit tertentu, seperti juga Marx, Engels tidak pernah menghianati dan mengabaikan masalah nasional -keinginan yang sering merupakan kesalahan yang diperbuat oleh kaum Marxis Belanda dan Polandia yang bertolak dari perjuangan yang paling sah terhadap nasionalisme sempit filistin dari negara-negara kecil "mereka".
Bahkan di Inggris, di mana baik syarat-syarat geografi, kesamaan bahasa maupun sejarah ratusan tahun nampaknya telah "mengakhiri" masalah nasional di satu-satu bagian kecil di Inggris -bahkan di sinipun Engels memperhitungkan kenyataan yang jelas, bahwa masalah nasional belum teratasi, dan karena itu mengakui republik federal sebagai "langkah maju". Sudah barang tentu di sini tak ada sedikitpun tanda-tanda penolakan untuk mengajukan kritik terhadap kekurangan-kekurangan republik federal dan untuk melakukan propaganda serta perjuangan yang paling tegas untuk republik kesatuan yang demokratis sentralis.
Tetapi Engels mengartikan sentralisme demokratis sama sekali bukan dalam pengertian birokrasi, tidak seperti ideologis-ideologis borjuis dan borjuis kecil, kaum anarkis yang termasuk ideologis-ideologis borjuis kecil yang menggunakan konsepsi sentralisme demokratis itu dalam pengertian birokratis. Bagi Engels sentralisme sedikitpun tidak meniadakan pemerintahan sendiri setempat yang demikian luas yang dengan dipertahankannya secara sukarela kesatuan negara oleh "komune-komune" dan daerah-daerah, pasti akan menghapuskan setiap birokratisme dan setiap "perintah" dari atas. Mengembangkan pandangan-pandangan programatis Marxisme mengenai negara, Engels menulis:
"Jadi, republik kesatuan -tetapi bukan dalam pengertian Republik Perancis yang sekarang, yang tidak lebih dari pada kekaisaran tanpa Kaisar yang dibentuk pada tahun 1798. Dari tahun 1792 sampai pada tahun 1798 setiap daerah besar Perancis, setiap komune (Gemeinde) mempunyai pemerintahan sendiri yang penuh, menurut pola Amerika, dan ini harus kita miliki juga. Bagaimana harus mengorganisasi pemerintahan-sendiri dan bagaimana dapat tanpa birokrasi, hal ini ditunjukkan dan dibuktikan kepada kita oleh Amerika dan Republik Perancis pertama, dan sekarang masih diperlihatkan oleh Kanada, Australia dan tanah-tanah jajahan Inggris lainnya. Baik pemerintahan-sendiri provinsi (daerah) maupun pemerintahan-sendiri komune demikian itu adalah lembaga-lembaga yang jauh lebih bebas dari pada, misalnya, federalisme Swiss di mana memang benar, kanton sangat tidak tergantung dalam hubungannya dengan Bund (Union)" (yaitu dengan negara federatif sebagai keseluruhan), "tetapi juga tidak tergantung baik dalam hubungannya dengan distrik (Bezirk) maupun dengan komune. Pemerintah-pemerintah kanton menunjukkan kepala-kepala distrik (Bezirksstatthalter) dan prefekt-prefekt, yang sama sekali tidak ada di negeri-negeri yang berbahasa Ingris dan yang di masa depan juga harus kita hapuskan dengan tegas, seperti halnya Landrat-landrat serta Regierungsrat-regierungsrat Prusia" (komisaris-komisaris, kepala-kepala polisi distrik, gubernur-gubernur, pada umumnya pejabat-pejabat yang diangkat dari atas). Sesuai dengan itu, Engels mengusulkan supaya fasal tentang pemerintahan-sendiri dalam program dirumuskan sebagai berikut: "Pemerintahan-sendiri yang penuh di provinsi-provinsi" (gubernia-gubernia atau daerah-daerah). "di distrik-distrik dan rukun-rukun kampung swatantra melalui pejabat-pejabat yang dipilih dengan hak pilih umum; penghapusan semua badan kekuasaan setempat dan provinsi yang diangkat oleh negara".
Saya sudah pernah menunjukkan --dalam Pravda (11)(No. 68, 28 Mei 1917)(12) yang disita oleh pemerintah Kerenski dan menteri-menteri "Sosialis" lainnya--, bagaimana dalam soal ini (sudah tentu sama sekali bukan dalam satu soal ini saja) wakil-wakil sosialis gadungan demokrasi gadungan revolusioner gadungan kita telah melakukan penyelewengan-penyelewengan yang menyolok mata dari demokrasi. Wajarlah jika orang-orang yang mengikat diri pada "koalisi" dengan borjuasi imperialis tetap tuli terhadap kritisisme ini.
Sangat penting untuk dicatat bahwa Engels dengan fakta-fakta yang dimilikinya, dengan contoh yang paling tepat, menyangkal prasangka yang sangat tersebar luas, terutama di kalangan demokrasi borjuis kecil, seolah-olah republik federal pasti berarti kebebasan yang lebih besar dari pada republik sentralis. Ini tidak benar. Fakta-fakta yang diajukan Engels mengenai Republik Perancis Sentralis tahun 1792-98 dan Republik Swiss federal menyangkal hal itu. Republik sentralis yang betul-betul demokratis memberikan kebebasan yang lebih besar dari pada republik federal. Atau dengan kata lain: kebebasan lokal, regional, dan kebebasan lainnya yang dikenal dalam sejarah dipenuhi oleh republik sentralis dan bukan oleh republik federal.
Fakta ini tidak cukup mendapat perhatian dalam propaganda dan agitasi Partai kita, seperti juga halnya seluruh masalah republik federal dan republik sentralis dan pemerintahan-sendiri lokal.
5. KATA PENDAHULUAN TAHUN 1891 PADA KARYA MARX PERANG DALAM NEGERI DI PERANCIS
Dalam kata pengantarnya pada edisi ketiga Perang Dalam Negeri Di Perancis (kata pengantar ini bertanggal 18 Maret 1891 dan aslinya dimuat dalam majalah Neue Zeit) Engels, di samping beberapa catatan sambil lalu yang menarik mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan sikap terhadap negara, memberikan ikhtisar yang luar biasa jelasnya tentang pelajaran-pelajaran dari Komune (13). Ikhtisar ini, yang diperdalam oleh seluruh pengalaman selama dua puluh tahun yang memisahkan penulis dari komune, dan yang khusus ditujukan untuk menentang "kepercayaan secara takhayul terhadap negara" yang tersebar luas di Jerman, sebenarnya dapat dinamakan kata terakhir Marxisme mengenai masalah yang sedang dibahas.
Di Perancis, Engels menegaskan setelah setiap revolusi kaum buruh selalu bersenjata; "oleh karena itu bagi borjuasi yang memegang tampuk kekuasaan negara melucuti senjata kaum buruh adalah amanat yang pertama. Dari sinilah, sesudah setiap revolusi yang dimenangkan oleh kaum buruh, timbulnya perjuangan baru, yang berakhir dengan kekalahan kaum buruh."
Kesimpulan dari pengalaman revolusi-revolusi borjuis adalah singkat lagi ekspresif. Hakekat persoalannya --antara lain juga mengenai masalah negara (apakah kelas tertindas mempunyai senjata?) -dicengkam dengan sangat baik di sini. Justru hakekat inilah yang paling sering dihindari baik oleh profesor-profesor yang berada di bawah pengaruh ideologi borjuis maupun oleh kaum demokrat borjuis kecil. Dalam revolusi Rusia tahun 1917 kehormatan (kehormatan Cavaignac (14)) membocorkan rahasia-rahasia revolusi-revolusi borjuis ini jatuh pada Tsereteli, seorang "Menshevik", "yang semoga Marxis". Dalam pidatonya yang "bersejarah" pada tanggal 11 Juni, Tsereteli dengan tidak disengaja membocorkan niat borjuasi untuk melucuti senjata kaum buruh Petrograd, dengan mengemukakan, tentu saja, keputusan ini baik sebagai keputusannya sendiri maupun sebagai keharusan "negara" secara keseluruhan!
Pidato bersejarah Tsereteli pada tanggal 11 Juni itu, tentu saja, akan merupakan salah satu ilustrasi yang paling jelas bagi setiap ahli sejarah Revolusi tahun 1917 tentang bagaimana blok karena sosialis-Revolusioner dan kaum Menshevik yang dipimpin oleh Tuan Tsereteli, menyeberang ke pihak borjuasi dan menentang proletariat revolusioner.
Catatan sambil lalu lainnya dari Engels, yang juga berhubungan dengan masalah negara, menyangkut agama. Sudah diketahui bahwa Sosial-Demokrasi Jerman, seiring dengan semakin merosot akhlaknya dan menjadi makin oportunisnya, makin sering tergelincir ke dalam salah-tafsir filistin mengenai rumus yang terkenal: "Agama dinyatakan sebagai urusan pribadi". Yaitu: rumus ini ditafsirkan seolah-olah juga bagi partai proletariat revolusioner masalah agama adalah urusan pribadi!! Terhadap pengkhianatan yang sepenuhnya kepada program revolusioner proletariat inilah Engels bangkit melawan, yang pada tahun 1891 hanya melihat tunas-tunas yang sangat lemah dari oportunisme di dalam partainya dan yang karena itu menyatakan pendapatnya dengan sangat berhati-hati:
"...Sesuai dengan bahwa yang duduk di dalam Komune hampir semata-mata hanya kaum buruh atau wakil-wakil buruh yang diakui, maka keputusan-keputusannya berwatak proletar yang tegas. Atau mereka mendekritkan reformasi-reformasi yang ditolak oleh borjuasi republik hanya karena kepengecutannya yang keji, tetapi yang merupakan dasar yang diperlukan untuk kegiatan bebas kelas buruh, seperti pelaksanaan prinsip bahwa dalam hubungan dengan negara, agama merupakan urusan pribadi semata-mata, --atau Komune mengeluarkan keputusan-keputusan yang langsung untuk kepentingan kelas buruh dan yang sebagian menukik jauh ke dalam tata tertib masyarakat lama."
Engels sengaja menekankan kata-kata "dalam hubungan dengan negara", dengan mengarahkan pukulan tepat pada oportunisme Jerman yang memproklamasikan agama sebagai urusan pribadi dalam hubungan dengan partai dan dengan demikian memerosotkan partai proletariat revolusioner sampai pada tingkat filistinisme "berpikir bebas" yang paling vulgar, yang bersedia membolehkan keadaan tanpa agama, tetapi yang menolak tugas perjuangan partai menentang candu agama yang membius rakyat.
Ahli sejarah Sosial-Demokrasi Jerman yang akan datang, dalam mengusut akar-akar kebangkrutannya yang memalukan pada tahun 1914, akan menemukan tidak sedikit bahan yang menarik mengenai masalah tersebut, mulai dari berbagai dekalrasi yang berbelit-belit dalam artikel pemimpin ideologi partai, Kautsky, yang membuka pintu lebar-lebar bagi oportunisme, sampai pada sikap partai terhadap "Los-von-Kirche-Bewegung" ("Gerakan-Lepas-Dari-Gereja")(15) pada tahun 1913.
Tetapi marilah kita beralih ke soal bagaimana Engels, dua puluh tahun sesudah komune, menyimpulkan pelajaran-pelajaran dari komune bagi proletariat yang sedang berjuang.
Inilah pelajaran-pelajaran yang ditonjolkan oleh Engels:
"...Adalah justru kekuasaan yang menindas dari pemerintah terpusat yang lampau, tentara, polisi politik,birokrasi, yang diciptakan oleh Napoleon pada tahun 1798 dan yang sejak itu diambil alih oleh setiap pemerintah baru sebagai alat yang didambakan dan digunakan untuk menentang lawan-lawannya--justru kekuasaan inilah yang harus ambruk dimana-mana sebagaimana ia telah ambruk di Paris.
Sejak semula Komune harus mengakui bahwa kelas buruh, setelah memegang kekuasaan, tidak dapat terus memerintah dengan mesin negara yang lama; bahwa kelas buruh, supaya tidak kehilangan lagi kekuasaannya yang baru saja direbut, di satu pihak, harus menghapuskan seluruh mesin penindasan lama yang sebelumnya digunakan terhadap dirinya, dan di pihak lain, harus melindungi diri terhapap wakil-wakil serta pejabat-pejabatnya sendiri, dengan menyatakan mereka semua, tanpa kecuali, dapat diganti setiap saat"É
Engels berulang kali menekankan bahwa tidak hanya dalam kerajaan, tetapi juga dalam republik demokratis negara tetap negara, yaitu mempertahankan ciri khasnya yang fundamental; mengubah pejabat-pejabat, "abdi-abdi masyarakat", organ-organnya, menjadi tuan atas masyarakat.
"Melawan tranformasi negara dan organ-organ negara dari abdi-abdi masyarakat menjadi tuan atas masyarakat itu --transformasi yang tak terelakkan terjadi di semua negara sampai sekarang-- Komune menggunakan dua cara yang tak mungkin salah. Pertama, Komune mengisi semua jabatan --administrasi, pengadilan dan pendidikan-- dengan orang-orang yang dipilih menurut hak pilih umum, dan di samping itu berhak menarik kembali mereka yang dipilih setiap saat menurut keputusan para pemilihnya. Dan kedua, Komune memberi upah kepada semua pejabat, baik tinggi maupun rendah, hanya sebesar yang diterima kaum buruh lainnya. Gaji tertinggi yang umumnya dibayar oleh Komune adalah 6.000 franc. Dengan demikian terbentuklah rintangan yang dapat dihandalkan terhadap usaha mengejar kedudukan dan terhadap karierisme, bahkan terlepas dari mandat yang mengikat (16) untuk wakil-wakil dalam badan-badan perwakilan, yang diberikan oleh Komune di samping itu."
Di sini Engels mendekati garis pembatas yang menarik, di mana demokrasi yang konsekuen, di satu pihak, berubah menjadi sosialisme, dan di pihak lain, menuntut sosialisme. Sebab, untuk menghapuskan negara diperlukan perubahan fungsi-fungsi dinas pemerintah menjadi pekerjaan-pekerjaan pengontrolan dan penghitungan yang sederhana, yang mudah dimengerti dan dapat dilaksanakan oleh mayoritas luas penduduk dan kemudian oleh seluruh penduduk tanpa kecuali. Dan untuk menghapuskan sepenuhnya karierisme dituntut supaya mustahil adanya kedudukan-kedudukan "terhormat" -meskipun dalam kedudukan yang tidak memberi keuntungan&endash; dalam dinas pemerintah yang bisa menjadi jembatan untuk melompat ke jabatan-jabatan yang memberi penghasilan tinggi di bank-bank dan diperseroan-perseroan, sebagaimana senantiasa terjadi di semua negeri kapitalis yang paling merdeka.
Tetapi Engels tidak membuat kesalahan seperti yang dibuat, misalnya, oleh sementara kaum Marxis mengenai masalah hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri; mereka mengatakan, di bawah kapitalisme hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri ini tidak mungkin, sedang di bawah sosialisme tidak diperlukan. Argumen semacam ini, yang nampaknya cerdas, tetapi sebenarnya salah, dapat diulangi mengenai lembaga demokratis manapun, termasuk gaji yang lumayan bagi pejabat, sebab demokratisme yang konsekuen sepenuhnya tidak mungkin ada di bawah kapitalisme, sedangkan di bawah sosialisme segala demokrasi akan melenyap.
Ini adalah tetek bengek sofistis seperti lelucon lama, apakah seorang akan menjadi botak apabila rambutnya berkurang sehelai?
Mengembangkan demokrasi sampai sepenuhnya, mencari bentuk-bentuk perkembangan demikian itu, mengujinya dengan praktek dst. -semua ini adalah salah satu tugas komponen perjuangan untuk revolusi sosial. Jika berdiri sendiri, demokratisme apapun tidak akan mendatangkan sosialisme, tetapi dalam kehidupan, demokratisme tidak pernah "berdiri sendiri", melainkan akan "berdiri bersama-sama", akan memberikan pengaruhnya juga kepada ekonomi, akan mendorong perubahan ekonomi dan akan dipengaruhi perkembangan ekonomi, dst. Demikianlah dialektika sejarah yang hidup.
Engels melanjutkan:
"Terpecahbelahnya (Sprengung) kekuasaan negara lama itu dan digantinya oleh yang baru, yang sungguh-sungguh demokratis, telah secara terperinci dilukiskan dalam bagian ke-tiga Perang Dalam Negeri. Tetapi di sini perlu membicarakan sekali lagi secara singkat beberapa ciri penggantian tersebut, karena justru di Jerman kepercayaan secara takhayul terhadap negara telah berpindah dari filsafat ke kesadaran umum borjuasi dan bahkan kesadaran banyak buruh. Menurut konsepsi filosofis, negara adalah 'perwujudan ide' atau, diterjemahkan ke dalam bahasa filsafat, Kerajaan Tuhan di bumi, negara merupakan bidang kegiatan di mana kebenaran dan keadilan abadi diwujudkan atau harus diwujudkan. Dan dari sini timbul rasa hormat secara takhayul terhadap negara dan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan negara, rasa hormat secara takhayul yang semakin mudah berakar karena orang sejak kecil terbiasa berpikir bahwa urusan dalam kepentingan yang umum bagi seluruh masyarakat tidak dapat diurus dan dilindungi dengan cara lain kecuali dengan cara lama, yaiu melalui perantara negara dan pejabat-pejabatnya yang dihadiahi kedudukan yang memberi keuntungan. Dan orang-orang membayangkan bahwa mereka mengambil langkah maju yang luar biasa beraninya apabila mereka melepaskan diri dari kepercayaan terhadap monarki yang turun temurun dan menjadi pengikut-pengikut republik demokratis. Tetapi dalam kenyataannya negara tidak lain adalah mesin penindas dari satu kelas terhadap kelas yang lain, dan dalam republik demokratis sedikit pun tidak kurang dari pada dalam monarki. Dan paling-paling negara adalah kejahatan yang diwariskan kepada proletariat yang memperoleh kemenangan dalam perjuangan untuk kekuasaan kelas; proletariat yang menang sebagaimana Komune, diharuskan segera memotong segi-segi yang paling jelek dari kejahatan itu sampai saat generasi yang tumbuh dalam syarat-syarat sosial yang baru dan bebas mampu mencampakkan seluruh rongsokan ketatanegaraan ini."
Engels memperingatkan orang-orang Jerman supaya mereka tidak melupakan dsar-dasar sosialisme mengenai masalah negara pada umumnya dalam hubungan dengan penggantian monarki dengan republik. Sekarang peringatan-peringatan Engels itu berbunyi sebagai pelajaran langsung bagi tuan-tuan semacam Tsereteli dan Cernov yang dalam praktek "koalisi" mereka menunjukkan kepercayaan secara takhyul dan rasa hormat secara takhyul terhadap negara!
Dua catatan lagi. 1.) fakta bahwa Engels mengatakan bahwa di balik republik demokratis, "sedikitpun tidak kurang" dari pada di bahwa monarki, negara tetap merupakan "mesin penindas dari satu kelas terhadap kelas yang lain", ini sama sekali tidak berarti bahwa bentuk penindasan bagi proletariat sama saja, sebagaimana "ajaran" sementara kaum anarkis. Bentuk perjuangan kelas dan bentuk penindasan kelas yang lebih luas, lebih bebas dan lebih terbuka sangat meringankan proletariat dalam perjuangannya untuk menghapuskan kelas-kelas pada umumnya.
2.) Mengapa hanya generasi baru saja yang akan mampu mencampakkan sama sekali seluruh rongsokan ketatanegaraan ini -masalah ini bertalian dengan masalah mengatasi demokrasi, yang akan kita bicarakan sekarang.
6. ENGELS TENTANG MENGATASI DEMOKRASI
Engels pernah menyatakan pendapatnya tentang masalah ini dalam hubungan dengan fakta bahwa sebutan "Sosial-Demokrat" adalah salah secara ilmiah.
Dalam kata pendahuluan pada penerbitan artikel-artikelnya dari tahun 1870-an tentang berbagai tema, terutama mengenai masalah-masalah "internasional" (Internasionales aus dem Volksstaat)(17) -kata pendahulun yang tertanggal 3 Januari 1894, yaitu ditulis satu setengah tahun wafatnya-- Engels menulis bahwa dalam semua artikelnya digunakan kata "Komunis" dan bukan Sosial-Demokrat, sebab pada masa itu kaum Proudhonis di Perancis dan kaum Lassallean (18) di Jerman menamakan dirinya Sosial-Demokrat.
"...Bagi Marx dan saya," Engels melanjutkan, "mutlak tidak mungkin menggunakan ungkapan yang sedemikian elastis untuk menyatakan pandangan kita yang khusus. Dewasa ini keadaannya lain, dan kata itu ("Sosial-Demokrat") barangkali di masa lalu bisa diterima (mag passieren) walaupun kata itu tetap tidak tepat (unpassen -tidak cocok) bagi partai yang program ekonominya bukan semata-mata sosialis pada umumnya, melainkan langsung Komunis, bagi partai yang tujuan politiknya yang terakhir adalah mengatasi seluruh negara, dan oleh karenanya juga demokrasi. Tetapi nama dari partai-partai politik yang sebenarnya (huruf miring dari Engels) tidak pernah sesuai sepenuhnya; partai berkembang, nama tetap."(19)
Dialektikus Engels hingga hari tuanya tetap setia pada dialektika. Marx dan saya, kata Engels, dulu mempunyai nama partai yang baik sekali, tepat secara ilmiah, tetapi ketika itu tidak ada partai yang sebenarnya, yaitu kaum proletariat yang massal. Sekarang (pada akhir abad ke-19) ada partai yang sebenarnya, tetapi namanya secara ilmiah tidak tepat. Tidak apalah, "bisa diterima", asal saja partai berkembang, asal saja ketidaktepatan secara ilmiah namanya itu disadari olehnya dan tidak mengganggunya berkembang ke arah yang tepat!
Barangkali seorang pelawak akan juga menghibur kita, kaum Bolshevik, menurut cara Engels: kita mempunyai partai yang sebenarnya, ia berkembang dengan baik sekali; bahkan "bisa diterima" juga kata yang tiada arti dan buruk seperti "Bolshevik", yang sama sekali tidak menyatakan apa-apa kecuali keadaan yang semata-mata kebetulan bahwa dalam Kongres Brussel-London tahun 1903 kita merupakan mayoritas (20) ...Mungkin sekarang, ketika pengejaran-pengejaran dalam bulan Juli dan Agustus terhadap partai kita yang dilakukan oleh kaum republiken dan demokrasi borjuasi kecil "revolusioner" telah membuat kata "Bolshevik" menjadi demikian terhormat di kalangan seluruh rakyat, dan ketika pengejaran-pengejaran ini, kecuali itu, membuktikan langkah maju ber sejarah yang begitu besar, yang telah dicapai oleh partai kita dalam pknnya yang sebenarnya mungkin saya juga akan menjadi ragu-ragu terhadap usul saya pada bulan April untuk mengubah partai kita. Mungkin saya akan mengusulkan kepada kawan-kawan saya "kompromi": menamakan diri kita partai Komunis, dan mempertahankan kata "Bolshevik" dalam tanda kurung.
Tetapi masalah nama partai jauh kurang penting dari pada masalah sikap proletariat revolusioner terhadap negara.
Dalam argumen-argumen yang biasa terhadap negara selalu dibuat kesalahan yang di sini diperingatkan oleh Engels dan yang secara sambil lalu telah kita tunjukkan dalam uraian terdahulu, yaitu selalu dilupakan bahwa penghapusan negara adalah juga penghapusan demokrasi, bahwa melenyapnya negara adalah melenyapnya demokrasi.
Sekilas pandang, pernyataan seperti iini tampaknya sangat ganjil dan tidak bisa dimengerti; sesungguhnya, barangkali pada seseorang bahkan akan timbul kekhawatiran bahwa kita mengaharapkan tibanya susunan masyarakat, di mana tidak akan ditaati prinsip ketundukan minoritas kepada mayoritas -sebab bukankah demokrasi itu justru pengakuan terhadap prinsip ini?
Tidak. Demokrasi tidak identik dengan ketundukkan minoritas kepada mayoritas. Demokrasi adalah negara yang mengakui ketundukan minoritas terhadap mayoritas, yaitu organisasi yang mengunakan kekerasan secara sistematis dari stu kelas terhadap kelas yang lain, dari satu bagian penduduk terhadap bagian yang lain.
Kita menetapkan sebagai tujuan terakhir kita menghapuskan negara, yaitu menghapuskan segala penggunaan kekerasan yang terorganisir dan sistematis, segala kekerasan terhadap manusia pada umumnya. Kita tidak menunggu tibanya tata tertib masyarakat di mana tidak akan ditaati prinsip ketundukan minoritas terhadap mayoritas. Tetapi dalam berusaha keras mencapai sosialisme, kita yakin bahwa ia akan berkembang menjadi Komunisme, dan ber hubungan dengan itu, akan lenyap segala kebutuhan akan kekerasan terhadap manusia pada umumnya, akan ketundukan orang yang satu kepada yang lain, satu bagian penduduk kepada bagian yang lan, sebab orang akan terbiasa mentaati syarat-syarat elementer kehidupan kemasyarakatan tanpa kekerasan dan tanpa ketundukan.
Untuk menekankan unsur kebiasaan ini, Engels justru berbicara tentang generasi baru yang "tumbuh dalam syarat-syarat sosial yang baru dan bebas, yang akan mampu mencampakkan sama sekali seluruh rongsokan ketatanegaraan ini" -segala ketatanegaraan, termasuk juga ketatanegaraan demokratis republiken.
Untuk menjelaskan ini perlu meninjau masalah dasar-dasar ekonomi dari melenyapnya negara.
1 Lihat F. Engels, The Housing Question (Masalah Perumahan), (K. Marx dan F. Engels Selected Woks, edisi bahasa Inggris, Moskow, 1951, jilid I, halaman 517-18 [back]
2 Kaum Proudhonis -pengikut-pengikut Proudhon (1809-1865), yang mengkritik kepemilikan kapitalis besar bukan dari cara pandang Marxis (atau Proletariat), melainkan dari cara pandang borjuasi kecil. Mereka berusaha mengekalkan kepemilikan pribadi yang kecil dengan penciptaan bank-bank 'rakyat' dan lain-lain reforamasi utopis, mengkombinasikan hal ini dengan pandangan-pandangan kaum Anarkis tentang negara serta suatu penyangkalan terhadap revolusi proletar. Marx membuktikan bahwa pemikiran-pemikiran Proudhon dalam bukunya Poversty of Philosophy (Filsafat Kemiskinan) adalah salah, dan aliran Proudhonis sepenuhnya dikalahkan oleh Marxisme secara luas dalam Interasionale I. [back]
3 F. Engels, The Housing Question (Masalah Perumahan), (K. Marx dan F. Engels Selected Works, edisi bahasa Inggris, Moskow, 1951, jilid I, halaman 569. [back]
4 Kaum Blanquis -pengikut-pengikut Louis Auguste Blanqui (1805-81). Seorang revolusioner Perancis; karya-karya klasik Marxisme-Leninisme, di samping memandang Blanqui sebagai seorang revolusioner yang terkemuka dan penganut sosialisme, bersamaan itu mengkritik ia karena separatismenya dan cara-cara aktifitasnya yang bersifat komplotan. Blanquisme mengharapkan pembebasan umat mnanusia dari perbudakan upah, bisa dicapai bukan melalui perjuangan kelas, yang ditolaknya, melainkan melalui komplotan dari minoritas kecil kaum intelektual. Daripada mempersiapkan kebangkitan massa pada saat syarat-syarat revolusi tengah mematang, mereka berusaha mensubstitusikan diri sebagai aksi-aksi sadar kaum proletar. [back]
5 F. Engels, The Housing Question (Masalah Perumahan), (K. Marx dan F. Engels Selected Works, edisi bahasa Inggris, Moskow, 1951, jilid I, halaman 555. [back]
6 Yang dimaksud oleh Lenin di sini ialah artikel K. Marx Der politische Indifferentismus (Political Indifferentism atau Kemasabodohan Politik) (K. Marx dan F. Engels, Pilihan karya, edisi bahasa Jerman, Berlin, jilid XVIII, halaman 299-304) dan artikel F. Engels On Authority (Tentang Otoritas) (K. Marx dan F. Engels Selected Works, edisi bahasa Inggris, Moskow, 1951, jilid I, halaman 571-78). Berikutnya V. I. Lenin mengutip artikel-artikel itu juga. [back]
7 Lihat K. Marx dan F. Engels Selected Works, edisi bahasa Inggris, Moskow, 1951, jilid II, halaman 38-9 [back]
8 Program Erfurt dari Partai Sosial-Demokrat Jerman diterima dalam bulan Oktober 1891 dalam kongres Erfurt untuk mengganti program Gotha tahun 1875. Kesalahan-kesalahan program Erfurt dikritik oleh Engels dalam karyanya On the Critique of the Social-Democratic Draft Program of 1891 (Tentang Kritik Terhadap Rancangan Sosial-Demokrat tahun 1891) (K. Marx dan F. Engels Collected Works, edisi bahasa Jerman, Berlin, jilid XXII, halaman 225-40). [back]
Di halaman-halaman berikutnya, V. I Lenin mengutip karya F. Engels itu juga (ibid, halaman 232-37) [back]
9 Reichtag -nama parlemen tuan tanah borjuis Jerman; tidak punya arti lagi setelah berdirinya kediktaturan Hitleris pada tahun 1933, yang memulai "aktivitas"nya sebagai partai yang berkuasa dengan pembakaran provokativ gedung Reichtag. [back]
10 UU Anti-Sosialis diberlakukan di Jerman oleh rezim Bismarck pada tahun 1878. Menurut UU ini semua organisasi partai Sosial-Demokrat, semua organisasi massa buruh dan pers kelas buruh dilarang. Literatur sosialis disita dan kaum Sosial-Demokrat dikejar-kejar. Pada tahun 1890 UU ini dicabut kembali karena tekanan gerakan massa kelas buruh. [back]
11 Pravda (artinya "Kebenaran") --harian yang diterbitkan Lenin secara legal di St. Petersburg pada tahun 1913. Nama itu diambil dari terbitan yang dibuat Trotsky lima tahun sebelumnya, sewaktu dalam pengasingan. Kemudian Pravda menjadi organ kaum Bolsheviks dan berbeda dari terfitan lainnya. yang paling utama adalah, Pravda merupakan harian buruh yang sebenarnya, yang terhubung ke setiap pabrik. Ini berarti, ia tidak Cuma ditulis UNTUK buruh melainkan khususnya OLEH para buruh sendiri. Koresponden-koresponden buruh menyumbangkan tulisan dalam setiap edisi memberikan ulasan tentang segala aspek kehidupan buruh. Dengan begitu Pravda lebih dari sekedar sebuah harian, ia adalah organiser sesungguhnya. Di dalam halaman-halamannya tidak hanya akan didapati sejumlah besar informasi mengenai gerakan buruh melainkan juga arahan dan slogan-slogannya. Di sana juga dimuat teori sebagai alat yang diperlukan untuk meningkatkan kesadaran para pembacanya menuju level tugas-tugas yang dituntut oleh sejarah. Sebagai satu organiser, harian ini meletakkan dasar dan kerangka kerja bagi pendirian sebuah partai politik. Harian ini dibiayai oleh pengumpulan uang dalam jumlah kecil yang dikenakan pada buruh-buruh. Mseskipun artikel-artikel Lenin secara reguler dimuat di harian ini, hubungan Lenin dengan dewan redaksi, khususnya Stalin, sering kali berceksokan karena ketidaksepakatan politis tentang taktik-taktik yang berkaitan dengan Duma (parlemen Rusia), juga karena mayoritas angggota redaksi itu mengambil sikap kaum Liquidationis. [back]
12 V.I Lenin "Tentang Masalah Prinsip" (V.I Lenin, Collected Works, edisi bahasa Rusia ke-4, jilid 24, halaman 497-99). [back]
13 Yang dimaksud di sini ialah kata pendahuluan yang ditulis oleh F. Engels untuk karya K. Marx Perang Dalan Negeri Di Perancis (K. Marx dan F. Engels, Pilihan Karya, edisi bahasa Inggris, Moskow, 1950, jilid I halaman 429-40)
Selanjutnya pada halaman-halam berikutnya dalam sub bab ini, V.I Lenin mengutip lagi karya Engels tersebut (buku yang telah dikutip di atas, halaman 430-31, 435, 438-40). [back]
14 Louis Eugena Cavaignac--seorang jenderal Perancis dan seorang "republikan moderat" yang sesudah revolusi Febuari 1848 menjadi Menteri Pertahanan Pemerintah Sementara Perancis. Dalam bulan Juni 1848 ia memimpin penindasan terhadap pemberontakan kaum Proletar kota Paris. Atas perintahnya untuk menembaki stiap "kaum merah yang berbahaya", 10.000 nyawa melayang. [back]
15 Los-von-Kirche-Bewegung ("Gerakan-Lepas-Dari-Gereja") atau Kirchenaustrittsbewegung (Gerakan Untuk Membebaskan Diri Dari Gereja) berskala luas di Jerman sebelum Perang Dunia I. Dalam bulan Januari 1914 Neue Zeit memulai diskusi mengenai sikap partai Sosial Demokrat Jerman terhadap gerakan itu dengan memuat artikel Paul Gohre, seorang revisionis. "Kirchenaustritsbewegung and Zosialdemokratie" ("Gerakan Untuk Membebaskan Diri Dari Gereja dan Sosial-Demokrasi"). Selama diskusi itu pemimpin-pemimpin Sosial-Demokrat Jerman yang terkemuka tidak melakukan tangkisan terhadap Gohre yang menandaskan bahwa partai harus tetap bersikap netral terhadap Gerakan Untuk Memisahkan Diri Dari Gereja dan melarang anggota-anggotanya melakukan propaganda menentang agama dan gereja demi kepentingan partai.
Nilai nominasinya kira-kira 2400 rubel, dan menurut kurs sekarang (1970, red.) kira-kira 6000 rubel. Sama sekali tidak dapat dimaafkan tindakan kaum Bolsyevik yang mengusulkan, misalnya, gaji 9000 rubel untuk anggota Duma kota ttp tidak mengusulkan gaji maksimum 6000 rubel--suatu jumlah yang cukup--untuk seluruh negara. [back]
16 Mandat yang mengikat (imperative mandate) - mandat yang harus diikuti dengan seksama oleh orang atau organ yang terpilih. [back]
17 Tentang Masalah-Masalah Internasional Dari "Negara Rakyat" [back]
18 kaum Lassallean -pendukung-pendukung Ferdinand Lassalle, seorang sosialis borjuis kecil Jerman, yaitu anggota-anggota Serikat Umum Buruh Jerman, yang didirikan dalam Kongres Organisasi-organisasi Buruh yang diselenggarakan Leipzig tahun 1865 untuk mengimbangi kaum progresif borjuis yang berusaha memperoleh pengaruh di kalangan kelas buruh. Lassalle adalah ketua pertama dari serikat itu, sekaligus yang merumuskan program serta dasar-dasar taktiknya. Program politik serikat itu adalah perjuangan untuk memperoleh hak pilih bagi kaum buruh, dan program ekonominya adalah perjuangan untuk serikat-serikat proletar kaum buruh yang harus diberi tunjangan oleh negara. Dalam kegiatan-kegiatan praktis mereka, mereka menyesuaikan diri dengan hegemoni Prusia dan mendukung politik negara besar Bismarck. "Secara obyektif", tulis Engels kepada Marx pada tanggal 27 Januari 1865, "ini merupakan perbuatan rendah dan penghianatan seluruh gerakan kelas buruh terhadap orang-orang Prusia. Marx dan Engels sering dan dengan tajam mengkritik teori, taktik, dan prinsip-prinsip organisasi kaum Lassallean sebagai aliran oportunis dalam gerakan kelas buruh Jerman. [back]
19 F. Engels, Vorwort zur Broschure "Internationales aus dem 'Volksstaat' (1871-75)" (Karl Marx dan Frederick Engels, Collected Works , edisi bahasa Jerman, Berlin, 1963, Vol. XXII, pp. 417-18) [back]
20 "Mayoritas" dalam bahasa Rusia adalah "bolshinstvo"; dari sinilah asal nama "Bolshevik". [back]
[Bab III] [Bab V]
[Back to In Defence of Marxism] [Back to Indonesia]
Subscribe to:
Posts (Atom)