Tuesday, March 31, 2009

DISKUSI BUKU CIVIL ISLAM, KARYA BOB HEFNER

DISKUSI BUKU CIVIL ISLAM, KARYA BOB HEFNER

Bertempat di ruang pertemuan Taman Ismail Marzuki (TIM), Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) menyelenggarakan diskusi buku karangan Bob Hefner: Civil Islam. Diskusi yang dipenuhi peserta dan wartawan dari berbagai media massa ini menghadirkan Nurcholish Madjid, Saiful Mujani, Ulil Abshar-Abdalla, dan Eggy Sujana sebagai pembicara dan Ahmad Baso sebagai moderator. Dalam transkrip berikut, kami akan menurunkan dua pembahas, yakni Nurcholish Madjid dan Saiful Mujani. Karena persoalan teknis, dua pembicara lainnya, tak dapat kami hadirkan di sini.

Prof. Dr. Nurcholish Madjid:

Saya berharap hanya akan menanggapi, karena pengantarnya di sini sebenarnya adalah saudara Ulil, Saiful Mujani dan Egi Sujana. Saya kira akan menyenangkan sekali mendengarkan penjelasan Egi Sujana mengenai Civil Islam. Tapi karena saya dapat waktu pertama, maka saya mencoba membuat ancang-ancang. Seperti yang dikatakan saudara Baso, nama saya banyak disebut dalam buku ini.

Secara umum, Islam sipil, Islam modern, Islam tradisionalis, atau yang lebih islami seperti Islam sunni dan Islam syi’i merupakan produk sejarah, artinya semua itu mencerminkan pengalaman-pengalaman.

Ketika suatu kelompok terpaksa menyebutkan dirinya sebagai Islam ahlu sunnah wal jama’ah atau Islam Syi’ah, itu jelas adalah produk dari sejarah dan sangat berkaitan dengan pengalaman-pengalaman pribadi masing-masing pelaku sejarah itu, sebab di satu ada problem.

Misalnya kalau kita tanya lebih jauh, ketika orang menyebut dirinya ahlu sunnah wal jama’ah dan yang lainnya ahli Syi’ah, apakah orang Syi’ah tidak mengikuti sunnah?

Kalau kita pelajari hadis-hadis Syi'ah, hanya sedikit yang berbeda, isinya sama. Lalu apa yang membedakan itu. Yang membedakannya adalah jama’ah dan sesuatu yang tak disebut ahlu sunnah, yaitu keadilan. Jadi sebetulnya kalau mau persis adalah ahlu sunnah wal jama’ah bagi kaum Sunni dan ahlu sunnah wasy syi’ah bagi kaum Syi'i.

Syiah itu artinya partai, partainya Ali yang kalau kita kejar dari segi substansinya ada satu partai, satu kelompok yang sangat mendambakan keadilan. Karena itu, Syi’ah bisa diganti dengan ‘adalah, keadilah.

Sedangkan ahlu sunnah wal jama’ah tekanannya ialah jama’ah, yaitu persatuan universal yang muncul pada tahun ke-41 ketika Ali terbunuh. Kaum Sunni kemudian mempercayai satu orang, yaitu Muawiyah. Lalu Muawiyah dengan senang hati mengumumkan tahun itu sebagai tahun persatuan, dalam bahasa arab ‘amul jama’ah. Lalu lama kelamaan menjadi ideologi, yaitu ideologi persatuan universal yang inklusifistik.

Sedangkan kelompok yang melawan itu tekanannya bukan jama’ah, bukan persatuan, tetapi tema perjuangan. Karena pengalaman-pengalamannya, terutama pengalaman Ali berhadapan dengan Bani Umayah yang memang mempunyai tradisi sebagai pemegang kekuasaan di Arabia, maka keadilan jadi menonjol. Oleh karena itu temanya ialah keadilan. Inilah Islam dengan kualifikasi itu. Maka ketika disebut Islam sipil, ini hanya suatu gejala yang memang agaknya tidak terhindarkan.

Apalagi kita punya pengalaman-pengalaman bahwa ada sebagian orang Islam yang tidak sipil. Karena itu, mereka yang sipil, paling tidak secara pasif, seperti dinamakan Bob Hafner, kemudian merasa perlu untuk menamakan dirinya sebagai Islam sipil atau disebut oleh orang lain sebagai Islam sipil, sama dengan Islam liberal.

Kalau kita kejar, istilah Civil Islam sebetulnya redundant, karena Islam sendiri cita-citanya ialah civility yang dalam bahasa Arab sebenarnya gagasan di balik madinah. Ketika nabi pindah dari Mekah ke Yatsrib, nama kota itu diubah menjadi Madinah. Dalam bahasa sekarang, pendirian Madinah adalah suatu deklarasi penciptaan masyarakat sipil, civil society.

Dalam bahasa Arab, peradaban disebut madaniyah. Tetapi di situ ada konsep yang lebih dinamis dari pada Madinah dalam arti kota.

Dari segi etimologis, madinah itu mempunyai dua sumber kata-kata, yaitu madana, artinya mendirikan bangunan dan tinggal di bangunan tersebut, dan dana artinya tunduk. Untuk mereka yang tahu bahasa Arab kalau madana itu berarti madinah, wazannya fa’ilah, kalau dana itu maf’ilah. Dari dana kata "agama" diambil. Yakni, din yang berarti ajaran kepatuhan. Kepatuhan kepada Tuhan. Tetapi karena Tuhan digambarkan Alquran secara abstrak, maka wujud yang paling konkrit adalah hukum.

Di sebuah tempat di Amerika Serikat ada sebuah relief Nabi Muhammad dengan pedang dan Alquran yang diprotes umat Islam Amerika yang tidak tahu. Pada relief itu ada keterangan bahwa Nabi Muhammad dianggap sebagai penegak keadilan bersama Moses (Musa).

Tapi, Musalah yang sebetulnya secara konkrit memulai dengan ide Madinah, dengan bermodalkan The Ten Commandements yang disebut Taurat. Taurat dalam bahasa Arab adalah Syari’ah. Taurat itu hukum syari’ah. Dan dengan modal The Ten Commandements itu, Musa melawan suatu gaya kekuasaan rezimenter, yang dilambangkan dalam diri Fir’aun. Maka Fir’aun ceritanya bermunculan dalam kitab suci karena dia lambang dari suatu pola ketundukan pada pribadi, tidak kepada hukum. Oleh karena itu, ketika Musa berhasil melakukan eksodus, memimpin Bani Israel keluar dari Mesir menuju Tanah Suci, Kanaan, maka eksodus menjadi sangat penting, karena itu merupakan lambang dari kebebasan manusia dari sistem rezimenter Fir’aun.

Kemudian Musa melanjutkan proyeknya dengan mendidik Bani Israel supaya tunduk kepada hukum dengan cara mengajari mereka sembahyang menghadap kotak yang isinya adalah teks The ten commandements. Saya kira itu yang disebut dalam bahasa arab tabut yang merupakan pinjaman dari bahasa Mesir, yakni kotak suci, yang dalam bahasa Inggris selalu disebut sebagai The Ark of Covenant, kotak yang berisi naskah perjanjian antara Bani Israel dengan Tuhan (The ten commandements) yang nilainya semuanya universal kecuali satu, yaitu kewajiban menghormati hari Sabtu.

Penghormatan kepada hari Sabtu itu khas Yahudi. Tapi yang lain-lain itu universal dan abadi. Tidak boleh mencuri, membunuh, dan seterusnya. Tempatnya, sesuai dengan revisi orang nomad, dilakukan di sebuah kubah. Kubah itu sebelum mempunyai arti dome seperti yang ada di atap masjid, adalah kemah besar yang menjadi tempat pertemuan orang-orang nomad, dan di situ sekaligus disimpan barang-barang suci mereka.

Karena Bani Israel orang nomad, maka pola hidup mereka sama dengan orang Arab. Bahkan orang Arab dengan orang Ibrani itu sama. ‘Araba dan ‘abara itu sama. Bahasa Arab itu bersifat conjunctive, seperti kata "ilmu" dan "amal", akarnya sama. Orang berilmu harus beramal, beramal harus berilmu, karena akarnya ‘ain, lam, dan mim, atau ‘ain, mim, dan lam. ‘abara dan ibrani juga sama. ‘ain, ba, ra, dan ‘ain, ra, ba. Itu artinya orang yang selalu lalu lalang. Itu ada dugaan bahwa Ibrahim atau Abraham itu sebenarnya bukan nama asli. Apalagi kalau betul suatu tesis yang agak jauh bahwa dia itu berasal dari suatu latar belakang budaya Arya, maka Abraham itu artinya "saya menyebrang," sebab am yang menitis dalam bahasa Inggris I’am itu artinya saya.

Nah, Abraham itu artinya saya menyebrang. Menyebrangnya bisa berarti secara harfiah yaitu seperti cerita tradisional dari Babilonia ke Harram, tapi juga bisa berarti metaforik, yaitu menyebrang dari satu kepercayaan yang palsu kepada yang benar. Sehingga Ibrahim kemudian disebut sebagai The Father of Monotheism, dan paling tidak tiga agama selalu mengklaim sebagai The Children of Abraham.

Jadi, orang Arab dengan orang Ibrani itu sama, yaitu orang nomad. Karena itu, cara hidup mereka juga sama. Misalnya, mempunyai kebiasaaan kemah besar untuk menyimpan barang suci yang pada Bani Israel pimpinan Musa, digunakan sembahyang. Jadi ruang suci untuk menyelenggarakan acara suci dan Bani Israel sembahyang menghadap kotak tadi itu. Ke mana-mana mereka keliling, persis kalau di Mekah kita saksikan orang sembahyang mengelilingi Ka’bah. Bentukya juga sama, seperti Ka’bah, ka’b itu artinya kotak. Cubic, persis sama. Cuma kalau Ka’bah itu besar dan tidak bisa dibawa kemana-mana, kotak perjanjian itu portable, bisa dibawa ke mana-mana.

Nah, selama waktu 40 tahun masa eksodus, banyak sekali anggota Bani Israel yang dibunuh karena tidak mau tunduk pada hukum, yang di dalam Alquran diisyaratkan dengan “bunuhlah dirimu sendiri”, itu maksudnya korbankanlah di antara kamu yang tidak mematuhi hukum. Maka Musa berhasil membuat suatu masyarakat madani: madinah.

Madinah sendiri adalah bahasa Arab dan bahasa Ibrani, karena bahasa Arab dan bahasa Ibrani satu rumpun. Hitungannya saja sama. Harinya juga sama. Ahed, Senain, Tselasyin, Rabiin, Khamisin, sama dengan Ahad, Tsulatsa, Arbi’a dalam bahasa Arab. Karena itu, dalam bahasa Ibrani medinat menjadi negara. Nama resmi Israel adalah "Medinat Israel."

Jadi kalau orang bertanya seperti yang sering dikemukakan para politisi yang mendambakan apa saja yang bersifat Islam, apakah Islam itu mengajarkan politik, kalau politik dalam arti seperti yang dikatakan dalam siyasah, itu memang problem. Karena siyasah artinya seni untuk mengendalikan orang. Karenanya, orang yang mengendalikan kuda disebut sais. Sais itu bentuk participle dari siyasah.

Nabi sendiri tidak pernah menggunakan perkataan siyasah atau sais, tapi madinah, yaitu konsep mengenai masyarakat yang teratur yang intinya tunduk kepada hukum. Karena itu ada hubungan dengan yang sering disebut republik, yaitu bahwa negara harus didirikan dengan tunduk kepada hukum demi kesejahteraan umum, yang dalam bahasa Arab disebut maslahat ‘ammah, yang setelah menjadi bahasa inggris menjadi common wealth, common welfare, dan sebagainya. Sehingga ketika Bung Karno menetapkan bahwa kita harus membentuk negara republik, itu sebetulnya adalah ide kesejahteraaan umum, bukan untuk kepuasan penguasa seperti dalam kerajaan.

Oleh karena itu, dalam pembelaannya terhadap ide republik Bung Karno keras sekali. “Mengapa kita tidak mau kerajaan.” Kemudian karena Indonesia pada waktu itu tidak punya contoh dari sejarahnya sendiri, maka mereka mencoba Amerika. Karena ada titik temu antara Indonesia dengan Amerika, yaitu sebagai negara artifisial. Indonesia itu sebenarnya bangsa yang artifisial. Tidak seperti Jepang dan lain-lain. Indonesia sebetulnya adalah PBB kecil, United Nations in Miniatur, sebab suku-suku itu semuanya bangsa.

Dalam ukuran Eropa semuanya itu adalah bangsa-bangsa tersendiri. Cuma ini suatu imaginasi yang sukses sekali berkat bahasa Indonesia. Berkat bahasa melayu. Yang kita tahu bahwa perkataan “Bahasa Indonesia” itu bersifat politis.

Karena itu, sekarang ini orang Timor Timur susah, mau pakai bahasa Indonesia tidak enak, karena pengalaman pahit, mau bahasa Portugis tidak ada yang tahu, mau bahasa Inggris, mau belajar kapan lagi. Jadi terpaksa mereka menggunakan bahasa Indonesia, tapi mereka tidak mau menyebut bahasa Indonesia, Melayu Timor katanya. Mereka berhak. Jadi Melayu Timor pun menjadi politik.

Perkataan Indonesia sendiri sebetulnya istilah antropologi yang diberikan oleh Rudolf Bastian pada tahun 1864 yang sebetulnya dimaksudkan untuk mengidentifikasi suatu daerah di Austronesia yang ciri budayanya Indic dan ciri fisiknya Nesos, kepulauan. Maka Indonesia disebut indian island yang kemudian dimaksudkan oleh penciptanya meliputi juga Filipina dan Malaysia sekarang ini. Itu semuanya Indonesia.

Dalam suatu seminar di Kuala Lumpur saya baru tahu bahwa yang pertama kali menggunakan perkataan Indonesia dalam arti politik itu orang Filipina, bukan kita. Ada orang Filipina dengan nada protes mengatakan “bagaimana orang-orang bekas jajahan Belanda, masa’ menggunakan Indonesia untuk diri mereka sendiri. Kita kan Indonesia juga”.

Kemudian, karena yang banyak comparable adalah Amerika, maka Bung Karno dan kawan-kawannya secara instingtif meniru Amerika, maka datanglah ide Republik, ide kabinet presidensil, dan pengakuan kepada pluralitas yang positif yaitu Bhineka Tunggal Ika.

Kemudian dengan ide mencantumkan secara resmi gagasan-gagasan dasar kenegaraan, Pancasila, yang di sana adalah ide-ide keamerikaan di dalam Declaration of Independent. Kemudian bahkan lambang negara pun meniru Amerika, burung buas. Yang pertama kali menggunakan burung buas sebagai lambang negara adalah Amerika. Kalau Eropa binatang buas seperti macan, artinya banyak sekali artifisial, tiruan dari Amerika. Cuma saya sering diledek “tapi sayang, Garuda kita itu pakai kutang.”

Dua hal yang menurut saya tidak ditiru dari Amerika dan sekarang kita bayar mahal sekali adalah ide federalisme dan ide tentang pemilihan umum yang merupakan konsistensi dari sistem presidensil, yaitu pemilihan langsung dan distrik, karena pemilihan umum kita yang pertama tahun 1955 itu dilaksanakan dalam suasana pemerintahan parlementer. Oleh Pak Harto diteruskan begitu saja padahal dia sudah menjadi presidensil, dan kita warisi sekarang. Itu menjadi problem, menjadi sumber problem sekarang ini. Lalu menjadi tidak sipil, tidak civilize.

Ketegangan antara DPR dan pemerintah akhir-akhir ini sebetulnya wajar. Ketika saya di Columbus saya disodori Harvard Law Review oleh seseorang. Di situ ada kutipan panjang. Yang paling relevan saya bacakan saja di sini, untuk mengetahui bahwa sebetulnya ketegangan legislatif dan eksekutif itu wajar. Katanya begini; “Even to its pathologies ... the ritual of confrontation between the president, the house, and the senat are by now second matter to Americans”.

jadi, ketegangan-ketegangan itu sudah menjadi watak yang kedua. Jadi kalau sekarang kita melihat adanya ketegangan, sebetulnya ketegangan itu akibat dari ketidaksediaan melihatnya sebagai sesuatu yang wajar. Gus Dur dikritik, itu mestinya diterima saja. Salahnya dia panik dari semula. Itu sebenarnya wajar saja, tanggapi saja secara wajar. Tapi ya namanya baru belajar, baru tiga tahun. Inggris saja membutuhkan waktu 300 tahun.

Saya suka meledek teman-teman dari Inggris. Mereka kerap menggugat kondisi carut-marut Indonesia. ”Well, just look at your self”, saya bilang begitu. “You have Northen Irland problem.... kill each other. How do you explain that”, saya bilang begitu. Waktu itu saya dan istri sedang berada di London, lalu dalam suatu makan siang dengan orang-orang dari office of foreign affairs, saya ditanya tentang Ambon dan Aceh. Saya bilang dengan sedikit meledek, “why don’t you see it as the price of democratization”. Mereka marah.

Saya bilang pada mereka: “Just look at your self”, tiga hari yang lalu ada bom meledak di pub yang populer untuk gays and lesbians di dekat taman square, dan ledakan itu terjadi pada Sabtu sore, artinya lagi banyak-banyaknya pengunjung. Kalau kita lihat di televisi, ada 80 orang menjadi korban; kehilangan tangan, kehilangan kaki, beberapa orang mati.

“How do you to explain that”, saya bilang begitu. Padahal Anda ini orang Inggris yang secara formal mempelopori ide tentang toleransi. The act of toleration is written in sixteen eighty nine. 310 tahun yang lalu.

Nah, di sini kita, siapa saja, Barat, Timur, Selatan, Utara, sering menjadi tawanan dari situasi sesaat. Ibarat memahami sesuatu hal yang dinamis itu bersandar kepada snap shot. Ada sebuah kereta api, dipotret, kebetulan kereta api ini KA Jakarta-Rangkas Bitung, melewati Tanah Kusir. Lalu kalau dipotret, di belakangnya ada kuburan. Di bawa ke Irian yang tidak tahu kereta api. Lalu, orang-orang Irian akan bilang, “Jadi kereta api itu barang kuburan, ya.”

Kalau mau tahu kereta api harus bikin video. Bagaimana berangkat dari Stasiun Tanah Abang sampai ke Rangkas Bitung. Itu dinamis. Jangan snap shot. Kalau snap shot, ceklek, Islam teroris, ceklek, Islam begini, ceklek Islam begitu.

Ide tentang republik, meskipun namanya bukan republik, sebenarnya Islam yang mulai. Yaitu lewat ide tentang universal welfare, al-maslahatul ‘ammah. Gus Dur itu mejadi korban dari ucapannya sendiri. Dia selalu mengatakan “tashorruful imam manutun bil maslahah”, artinya politik dari seorang pemimpin harus disesuaikan dengan kepentingan umum. Itu dalil baku di dalam fiqh. Tapi Gus Dur mengubahnya menjadi tasorruful imam manutun bi-saya sendiri. Saya kira begitu dulu. Terima kasih. Assalamu’akum.

Saiful Mujani

No comments: