Ulil Abshar-Abdalla:
"Fatwa itu Lemah, tapi Mengkhawatirkan"
Sebuah pesan muncul di layar telepon genggam Ulil Abshar-Abdalla ketika dia tengah meluncur ke Rembang, Jawa Tengah, untuk berlebaran pada dua pekan silam. Seorang teman di Surabaya mengirimkan pesan itu, yang isinya tidak dipahami Ulil: ?Bagaimana tanggapan Anda tentang fatwa para ulama di Bandung??
Setelah tiba di rumah mertuanya, K.H. Mustafa Bisri, muncul pesan lain. Kali ini lebih jelas, yaitu tentang ?fatwa hukuman mati?. Rupanya, fatwa itu dikeluarkan oleh sekumpulan ulama. Karena tak berniat meresahkan keluarganya--apalagi dalam suasana menjelang Lebaran--Ulil memutuskan menyimpan informasi itu untuk dirinya sendiri. Tapi pemberitaan di media massa membuat Koordinator Jaringan Islam Liberal itu tak bisa lagi menutupi hal itu. Mertuanya bahkan memerlukan menulis sebuah "kolom penjelasan" di harian yang sama pada awal Desember lalu untuk mengomentari tulisan sang menantu.
Fatwa hukuman mati itu berawal dari sebuah kolom berjudul Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam pada 18 November 2002 di sebuah koran Ibu Kota. Ditulis oleh Ulil, kolom itu memaparkan beberapa pemikiran tentang Islam, yang kontan menyulut kontroversi di beberapa kalangan. Reaksi paling keras datang dari Forum Ulama Umat Indonesia di Bandung.
Kisahnya begini. Pada 30 November lalu, serombongan ulama dari Jawa Tengah dan Jawa Timur hendak bersilaturahmi ke Jakarta, menghubungi K.H. Athian Ali dari Forum Ulama Umat Indonesia di Bandung. ?Mereka tanya, bisa enggak mampir dulu ke sini sebelum ke Jakarta,? tutur Athian kepada TEMPO melalui saluran telepon. Athian menyilakan.
Maka, berkumpullah 80-an ulama di Masjid Al-Fajr, Bandung. Pertemuan yang tidak direncanakan itu berlangsung hingga 1 Desember. Mereka membicarakan penangkapan Amir Majelis Mujahidin Indonesia Abu Bakar Ba?asyir, Perpu Anti-Terorisme, dan tulisan Ulil di Kompas. ?Setelah rembuk-rembuk, kami sepakat mengeluarkan pernyataan,? kata Athian. Pada 2 Desember, pernyataan itu dibacakan di hadapan wartawan. Menurut Athian, seruan yang mereka buat bukan khusus ditujukan untuk Ulil. "Terlalu kecil jika kami mengurusi dia,? katanya.
Seruan hukuman mati bagi mereka yang menghina Islam itu hanya poin ketiga dari empat butir sikap yang ditandatangani sedikitnya 80 ulama dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur itu. Isinya, ?Menuntut aparat keamanan supaya segera membongkar jaringan dan kegiatan yang secara sistematis dan masif menghina Islam, Allah, dan Rasulullah.?
Di bagian akhir pernyataan dicantumkan peringatan bahwa, sesuai dengan syariat Islam, oknum yang terbukti memutarbalikkan ajaran agama bisa dihukum mati. ?Kami mengutip bunyi syariat itu sebagaimana adanya,? kata Athian. ?Polisi seharusnya segera menindaklanjuti seruan para ulama ini, sesuai dengan delik penghinaan agama," Athian melanjutkan.
Ulil sendiri, selain menjadi "populer tiba-tiba", juga mendapat tambahan kesibukan lain setelah fatwa itu dikeluarkan. Telepon genggamnya tak pernah berhenti berdering ataupun menampung pesan, dari yang mendukung, mencaci-maki, mengancam, sampai sekadar bertanya.
Bagaimana Ulil menyikapi persoalan ini? Dan latar belakang apa yang membuat Jaringan Islam Liberal dilahirkan Ulil dan kawan-kawannya? Pekan lalu wartawan Wahyu Dhyatmika dari Tempo News Room bersama Bina Bektiati dan Hermien Y. Kleden dari TEMPO mewawancarainya di Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur. Berikut ini petikannya.
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment