Mencemaskan Komodifikasi Agama
Pradana Boy ZTF
SELAMA bulan Ramadhan, gairah keberagamaan umat Islam menampakkan kecenderungan meningkat. Peningkatan gairah keberagamaan itu ditandai dengan maraknya ibadah ritual yang dilaksanakan secara masif, peningkatan intensitas pelayanan sosial, seperti santunan kepada yatim piatu; dan yang tak kalah menarik adalah maraknya penampakan simbol agama dalam masyarakat.
S>small 2 small0<, kenyataan ini menggembirakan. Karena secara fisik, kondisi di atas bisa dianggap sebagai lahirnya peningkatan religiositas masyarakat. Setidaknya, keberagamaan yang dilakukan secara masif itu telah menumbuhkan rasa sentimen keberagamaan yang tinggi. Dengan demikian secara emosional, masyarakat merasa jauh lebih "religius" dibandingkan pada hari-hari di luar Ramadhan. Meskipun masih harus dipertanyakan konsistensi kenyataan itu pada bulan di luar Ramadhan, Ramadhan selalu diyakini sebagai momen yang paling tepat untuk melakukan introspeksi moralitas, perilaku, dan keberagamaan, baik individu maupun komunitas.
Sayang, ada satu hal yang hampir luput dari pengamatan di tengah gegap gempitanya gairah orang beragama itu. Bulan Ramadhan yang ditandai dengan maraknya penampakan simbol keagamaan sebenarnya rentan dengan terjadinya komodifikasi agama.
PARA sosiolog agama meyakini bahwa agama adalah kekuatan perubahan dalam masyarakat. Robert N Bellah (1991: 203), misalnya, pernah menyebut bahwa agama adalah cara manusia memahami dunia. Sementara di tempat lain, Clifford Geertz mendefinisikan agama sebagai sebuah sistem simbol yang berperan membangun suasana dan motivasi yang kuat, pervasif, dan tahan lama dalam diri manusia dengan cara merumuskan konsepsi tatanan kehidupan yang umum dan membungkus konsepsi itu dengan suatu aura faktualitas sehingga suasana hati dan motivasi tampak realistik secara unik (Daniel L Pals, 1996:414).
Ini mengisyaratkan bahwa agama selalu mengalami pergumulan dengan realitas sosial. Dalam kerangka ini, pemotretan terhadap agama ternyata mengalami pasang surut. Di tengah derasnya arus industrialisasi dan globalisasi, tulis Ernest Gellner (1994), agama mau tidak mau akan terseret ke wilayah pinggiran. Dalam masyarakat yang tengah mengalami proses industrialisasi, pengaruh agama sedikit demi sedikit mulai menurun dan pada akhirnya akan habis. Akan tetapi, berbeda dengan Gellner, John Naisbitt dan Huntington justru meramalkan abad ini sebagai abad kebangkitan agama.
Dari perbedaan analisis ini sebenarnya bisa ditarik benang merah dengan menyatakan bahwa sebenarnya pertemuan agama dan realitas empiris- meminjam bahasa Bachtiar Effendy-tidak selalu mengambil bentuk wacana dialogis yang konstruktif, tetapi justru memunculkan ketakutan tertentu di kalangan orang beragama. Maka, agama kemudian muncul dalam wajah ganda. Di satu sisi, agama adalah kekuatan yang diharapkan membendung efek destruktif globalisasi, kapitalisme, dan industrialisasi. Namun di sisi lain, agama justru mengalami ketakutan sendiri terhadap gelombang globalisasi, kapitalisme, dan industrialisasi tersebut.
Ketakutan inilah yang pada gilirannya melahirkan sikap militan dan gairah beragama yang luas. Maka, momentum keagamaan, seperti puasa Ramadhan, sering kali dijadikan kesempatan untuk mengekspresikan simbol keagamaan tersebut. Kesadaran untuk menangkal globalisasi, kapitalisme, dan industrialisasi dengan cara penampakan simbol keagamaan sebenarnya merupakan kesadaran semu. Karena di luar struktur kesadaran itu, gairah untuk menampakkan simbol keagamaan tersebut justru bisa menuai hasil yang kontra- produktif dengan tujuan yang hendak dicapai.
Karena kesadaran yang dibangun bersifat semu, tanda- tanda dan simbol keagamaan itu kemudian menjadi ukuran religiositas individu maupun komunitas. Penampakan dan penonjolan simbol sebagai ukuran religiositas ini, pada akhirnya justru mengundang kerawanan perpecahan karena dari pengagungan simbol itu, lalu teridentifikasi kelompok outsiders dan insiders. Kelompok yang pertama adalah mereka yang tidak menampakkan simbol yang sama dengan satu kelompok tertentu, sementara kelompok kedua adalah mereka yang memiliki kesamaan simbolis. Ini tidak hanya menyesatkan, tetapi pada level yang lebih substansial telah mereduksi agama menjadi persoalan-persoalan fisik dan material yang remeh.
Padahal, kecenderungan simbolis semacam ini justru bisa dimanfaatkan kelompok pemodal untuk mengeruk keuntungan. Maka, menjadi tidak heran jika pada bulan Ramadhan, stasiun televisi, misalnya, memberikan porsi yang cukup besar pada tayangan keagamaan. Hal itu dilakukan, jelas, bukan dengan motivasi religius, tetapi dengan motivasi bisnis. Menyadari sentimen keagamaan sebagian besar umat Islam dengan gampang bisa tersulut dengan tayangan keagamaan, para pengelola berbagai produk, apa pun bentuknya, berlomba- lomba untuk menampakkan "religiositas" semu dalam produk mereka. Dalam kasus tayangan televisi, kamuflase keagamaan yang sebenarnya lebih banyak didominasi tujuan material itu menjelma dalam bentuk "penyulapan-penyulapan" tokoh-tokoh yang dengan serta- merta fasih berbicara persoalan agama. Karena dengan polesan fisik yang "islami", potensi pasar umat Islam akan bisa dipastikan terjaring.
PADA titik inilah, menjadi kabur manakah sisi religius dan manakah sisi hiburan. Para pengelola industri hiburan, para artis, dan penyuplai iklan adalah tiga mata rantai yang satu sama lain saling mendukung komodifikasi agama ini. Kemasan hiburan dengan bungkus agama memang cenderung tidak disadari umat beragama itu sendiri. Karena basis emosional mereka telah dilumpuhkan sebelumnya dengan "retorika" simbol dan nuansa yang cenderung religius. Betapa dengan mudahnya masyarakat berdecak kagum pada penampilan "Islami" seorang artis, hanya karena yang bersangkutan menggunakan simbol keislaman, baik verbal maupun non- verbal. Padahal, mesti disadari bahwa sang artis telah mengeruk keuntungan yang tidak kecil dari usaha komodifikasi agama ini. Mengapa demikian? Karena kesadaran untuk membungkus diri dengan nuansa religius itu-meminjam konstruksi teoretis Thomas Hobbes-hanya bersifat kontraktual. Dengan demikian, ketika nilai-nilai yang mendasari kontrak itu telah tercapai, selesailah semuanya.
Peran religius yang dimainkan para artis selama bulan Ramadhan sebenarnya tiada beda dengan peran yang mereka mainkan dalam dunia film, sinetron, dan beragam peran publik lainnya. Demikian pula, program religius yang ditayangkan para pengelola industri hiburan tidak jauh berbeda dengan program hiburan lainnya. Sangat tidak mungkin mereka tidak mempertimbangkan keuntungan. Permainan komodifikasi agama ini menjadi semakin sempurna ketika para supplier iklan pun tanpa malu-malu mengubah tampilan iklannya, yang semula memiliki nuansa yang bertentangan dengan agama menjadi sangat religius.
Inilah tantangan berat umat beragama, ketika agama tidak lagi diperhitungkan dalam kerangka sakralitasnya, tetapi justru sisi-sisi komoditasnya. Di sinilah tesis John Naisbitt dan Huntington tentang kebangkitan agama mungkin terbukti kebenarannya. Agama bukan hanya mengalami kebangkitan, tetapi juga membangkitkan gairah para pengelola industri dan pemilik modal untuk berlomba-lomba "meng-agamakan" produk mereka. Mungkin, kini tengah berlangsung rumus baru dalam dunia industri: barangsiapa mampu "meng-agamakan" produknya, dialah yang akan bertahan. Jika itu terjadi, di balik gemerlap simbol keagamaan yang kian marak, agama sebenarnya tengah berada di mulut jurang kehancurannya.
Pradana Boy ZTF Dosen Fakultas Agama Islam UMM Malang, Presidium Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment