Saturday, March 28, 2009

Asketik dan Politik

Mendayung di Antara Asketik dan Politik

* Ignas Kleden

PADA tahun 1976, diterbitkan sebuah buku kecil Bung Hatta berjudul Mendayung Di Antara Dua Karang (Bulan Bintang, Jakarta, 1976), yang berisikan tiga pidatonya sebagai wakil pemerintah. Isi pokok ketiga pidato tersebut adalah penjelasan dan pertanggungan jawab kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), mengenai garis politik luar negeri yang diambil oleh Republik Indonesia.

Garis itu adalah garis bebas aktif, yaitu tidak memihak kepada salah satu dari dua blok ideologi pada waktu itu, yaitu blok Barat di bawah pimpinan Amerika Serikat dan Blok Timur di bawah pimpinan Uni Soviet. Indonesia akan menentukan garisnya sendiri, yang dapat menyumbang kepada terjaminnya kedaulatan tiap-tiap negara dan terbentuknya perdamaian dunia.

Bukan kebetulan bahwa buku kecil itu mengambil judul Mendayung Di Antara Dua Karang karena sikap bebas-aktif seperti itu pada hemat penulis, ini menjadi sikap dasar dari Mohammad Hatta, yang selalu mendayung di antara dua karang dalam hidupnya, yakni di antara keharusan menyelesaikan studi di perguruan tinggi dan kewajiban untuk terlibat dalam perjuangan politik untuk Indonesia Merdeka, di antara hormat dan kepatuhannya kepada keluarga besarnya dan panggilan untuk menjadi patriot paripurna, di antara pilihan politik kooperasi dan nonkooperasi sebagaimana terlihat dalam polemiknya yang keras dan jernih dengan Soekarno (sehubungan dengan pencalonan Hatta sebagai anggota Tweede Kamer di Belanda), dan di antara pendidikan politik dan mobilisasi politik yang menjadi pokok perbedaan strategi.

Partindo dan PNI Baru yang menyebabkan kedua partai politik itu akhirnya bertukar jalan. Yang paling tragis di atas segala-galanya adalah pilihan sulit untuk mempertahankan keutuhan Dwitunggal Soekarno-Hatta, dan dengan cara itu menyelamatkan kepemimpinan nasional, atau sikap tanpa tawar-menawar dalam mengikuti prinsip-prinsip yang menentukan moralitas dari tindak tanduk politiknya.

Esai kecil ini ingin memperlihatkan bahwa sudah dari awal riwayat hidupnya, Hatta rupanya terlempar dalam ketegangan arus tarik-menarik itu dalam keluarga besarnya, yang dari pihak ayah mewariskan suatu tradisi keagamaan yang lama berakar dalam komunitas sufi, dan yang dari pihak ibu membuka lebar suatu cakrawala modernisme, bisnis dan ilmu pengetahuan. Apakah Hatta selalu berhasil dengan selamat mendayung di antara dua karang terjal itu, hal itu akan dicoba diuraikan dalam bagian-bagian berikut tulisan ini.

Bukan paksaan keadaan

Hatta adalah seorang pemimpin yang bertindak menurut pikiran dan hati nuraninya, dan bukannya menurut paksaan keadaan, atau senang menumpang kemungkinan yang diberikan oleh kesempatan. Hampir tidak ada peristiwa dalam hidupnya bahwa Hatta mengambil langkah yang tidak konsisten dengan apa yang dipikirkan, diucapkan atau ditulisnya, atau memakai suatu kesempatan yang datang secara kebetulan yang tidak diperhitungkannya sebelumnya.

Membaca riwayat hidup dan perjuangannya bukanlah menyaksikan sepak bola indah yang penuh warna-warni dan kejutan, tetapi melihat suatu permainan yang dingin, penuh perhitungan, taat asas, dan kadang-kadang membosankan, tetapi yang efektivitasnya didukung oleh disiplin tinggi dan keyakinan yang teguh. Keberaniannya tidak tampak dalam gemuruh pidato yang berapi-api, tetapi dalam ketenangan menghadapi penderitaan, tahanan dan pembuangan. Dari segi ini, Hatta dan Soekarno dapat merupakan perpaduan yang sangat ideal untuk bangsa dan rakyat Indonesia-yaitu perpaduan antara karisma dan rasionalitas-sekalipun kombinasi ini sangat sulit untuk kedua tokoh ini sendiri.

Di banyak tempat dalam tulisannya, ia menekankan berulang kali bahwa pemimpin yang dapat diandalkan oleh pengikutnya adalah pemimpin yang mempunyai keberanian untuk menderita dan menahan rasa sakit. Sementara Soekarno memandang revolusi dari akibat yang ditimbulkannya, yaitu menjebol dan membangun, maka Hatta melihat revolusi dari kondisi agen yang menjalankannya. Untuk mengutip kata-katanya sendiri, "Tanda revolusioner, bukan bermata gelap, melainkan beriman, berani menanggung siksa dengan sabar hati, sambil tidak melupakan asas dan tujuan sekejap mata juga. (Emil Salim et al, Karya Lengkap Bung Hatta, Buku 1: Kebangsaan dan Kerakyatan, LP3ES, Jakarta, 1998, halaman 270)

Dilihat dengan cara itu, Hatta bukanlah pemimpin yang disorak-soraki para pengikutnya ketika menikmati kejayaan atau yang diratapi selagi ia dirundung malang. Ia adalah tokoh yang terbiasa dengan kesunyian dan kesendirian karena hanya seorang yang dapat mempertahankan kesendirian dalam kesunyian dapat berpikir, merenung dan menulis demikian banyak dalam hidupnya, dan dapat menetapkan tiap jejak langkahnya dengan pemikiran yang matang dan tenang. Dapat dikatakan dengan pasti bahwa Hatta adalah tokoh dari generasi founding fathers yang paling banyak menghasilkan karya tulis. Ketika Soekarno dibuang ke Ende, Flores, ia membentuk kelompok sandiwara yang dipimpinnya sendiri.

Ketika Sjahrir dibuang di Bandaneira, ia menghabiskan sebagian besar waktunya bermain dengan anak-anak dan mengajar mereka. Tetapi, ketika Hatta dibuang ke Boven Digul, ia mempelajari filsafat Yunani dan mengajarnya kepada kawan-kawannya sesama tahanan. Dengan yakin ia menulis, "... filosofi berguna untuk penerang pikiran dan penetapan hati. Ia membawa kita ke dalam alam pikiran, alam nurani semata-mata. Dan oleh karena itu melepaskan kita daripada pengaruh tempat dan waktu."

Dalam pergaulan hidup yang begitu menindas akan rohani, sebagai di tanah pembuangan Digul, keamanan perasaan itu perlu ada. Siapa yang hidup dalam dunia pikiran, dapat melepaskan dirinya daripada gangguan hidup sehari-hari." (M Hatta, Alam Pikiran Yunani, Tintamas, Jakarta, 1983, Pengantar Kalam)

Kata-kata itu ditulisnya tahun 1941 ketika Hatta sudah dipindahkan ke Bandaneira.

Dengan istilah-istilah yang jamak dalam studi filsafat, keteguhan seseorang dalam imanensi, yaitu dalam pergulatannya sehari-hari menghadapi situasi sosial-politik yang terus berubah dan penuh pergolakan, hanya dimungkinkan oleh kemampuan transendensi, yaitu kesanggupan untuk melepaskan diri sewaktu-waktu dari keadaan itu, kembali ke dalam alam pikiran dan hati nurani, bukan untuk tujuan melarikan diri, tetapi untuk "penerang pikiran dan penetapan hati".

Setiap tokoh kita yang pernah mengalami pembuangan melakukannya, meskipun barangkali tidak dengan kesadaran yang demikian eksplisit seperti pada Hatta. Ketika Soekarno dibuang ke Ende, ia mulai memperdalam studi dan keyakinannya tentang Islam, ketika berada di Bandaneira, Sjahrir menulis renungan-renungan kebudayaan terbaik yang pernah dihasilkannya, yang, seperti juga pada Hatta, tujuannya adalah mengambil jarak dari "pergaulan hidup yang begitu menindas akan rohani." Atau dalam ungkapan yang lebih teologis, aktivisme politik rupanya harus ditunjang juga oleh semacam asketisme spiritual dan kontemplasi rohani. Ibaratnya, semakin tinggi pohon, semakin dalam pula akarnya harus menghunjam ke Bumi.

Untuk Hatta sendiri, sikap dan pandangan hidup seperti ini, bukanlah sesuatu yang ditemukannya secara kebetulan, atau muncul berkat pengalaman pergaulannya di Eropa. Pendirian dan keyakinan seperti itu sepertinya sudah disiapkan oleh riwayat hidupnya semenjak kecil, dan diberikan oleh warisan rohani keluarganya sendiri. Semenjak kecil, Hatta seakan berada dalam ketegangan antara dunia tradisi dan sufi pada satu pihak dan modernitas, ilmu pengetahuan, bisnis dan dunia perdagangan pada pihak lainnya.

Jauh di kemudian hari, Hatta merumuskan hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama secara lebih sistematis, "Sungguh pun agama mempunyai medannya sendiri, terpisah dari medan ilmu, agama adalah datum bagi ilmu. Sebagaimana ilmu yang dipahamkan dapat memperdalam keyakinan agama, demikian juga kepercayaan agama dapat memperkuat keyakinan ilmu dalam menuju cita-citanya. Juga ilmu dituntut, pada hakikatnya, untuk keselamatan dan kebahagiaan hidup manusia. Tidak sedikit korban yang diberikan oleh pujangga ilmu untuk mencapai pengetahuan yang dapat memperbaiki keadaan masyarakat. Kekuatan jiwa untuk berkorban itu sering diperoleh dari tekad dan keyakinan agama." (Mohammad Hatta, Pengantar Ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan, Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 1987, cetakan 7, halaman 41)

Ketegangan di antara Islam dan Barat, sufisme dan modernisme, agama dan ilmu pengetahuan, tidak menimbulkan antagonisme dalam diri Hatta, tetapi justru membuat dia berkembang secara matang dalam kedua bidang tersebut, yaitu mendalami ilmu pengetahuan secara tekun, sambil mempertahankan disiplin spiritualnya tanpa diguncang oleh segi-segi yang lebih liberal dalam moral orang-orang Eropa.

Pada diri Hatta tidak pernah kelihatan dualisme antara agama dan ilmu pengetahuan, antara politik sekular dan keyakinan religius yang mendalam, mungkin karena kedua bidang itu tidak dihayati sebagai dua kutub yang saling bertentangan, tetapi sebagai dua kekuatan yang dapat terpadu secara harmonis dalam apa yang oleh ahli perbandingan agama, Mircea Eliade, dinamakan coincidentia oppositorum (bertemunya berbagai kontradiksi dalam diri seseorang tanpa menimbulkan konflik) yang menjadi kebajikan para sufi. (Wendell C Beane & William G Doly (eds), Myths, Rites, Symbols: A Mircea Eliade Reader, vol 2, Harper & Row, New York, 1976, hal 449)

Seni berprinsip

Dalam sebuah karangan yang dapat dianggap sebagai pesan untuk PNI, Hatta menulis tentang Soekarno dan tokoh-tokoh lainnya yang ditahan sebagai berikut, "Kita masgul, kita bersedih hati, karena ketua kita, Ir Soekarno, serta beberapa pemimpin kita yang lain, masih dalam tahanan. Kita sakit hati melihat nasibnya di dalam bui. Akan tetapi, kita tak harus menundukkan kepala. Apa juga yang akan jatuh pada diri saudara-saudara Soekarno dan yang lain-lain yang tertahan, kita mesti tahu bahwa mereka itu sudah dengan segala ketetapan hati menanggung segala deritaan yang akan jatuh pada diri mereka. (......) Tiap-tiap pemimpin yang menyerbukan dirinya ke dalam golongan rakyat telah mengetahui lebih dahulu, bahwa hidupnya tidak akan senang, bahwa ia tidak selama-lamanya akan tidur di atas kasur kapas yang enak. (Emil Salim et al op cit, halaman 110)

Terlihat di sini, betapa Hatta tidak hanya percaya kepada dirinya sendiri dalam berhadapan dengan kesulitan dan penderitaan, tetapi dia pun mempunyai keyakinan yang sama terhadap rekan-rekan seperjuangannya yang dianggap sebagai sesama pemimpin pergerakan dan pemimpin bangsa.

Kalau Otto von Bismarck dari Prusia pernah mendefinisikan politik sebagai Kunst des Moeglichen, yaitu seni memakai kemungkinan-kemungkinan, maka kehidupan Hatta secara politik memberikan gambaran sebaliknya bahwa politik dapat juga dihayati sebagai seni mempertahankan prinsip-prinsip. Pada diri tokoh ini politik tidaklah begitu tampil sebagai the art of the possible, tetapi justru sebagai the art of principles. Sikap seperti ini menyebabkan bahwa tokoh seperti Hatta seringkali memperlihatkan suatu jenis keberanian, yang tidak dapat diterangkan hanya sebagai pembawaan psikologis (misalnya karena seseorang dilahirkan tanpa kepekaan terhadap rasa takut), tetapi suatu jenis keberanian yang hanya dapat dipahami sebagai konsekuensi dari suatu kesimpulan filosofis.

Sikap ini dapat dinamakan posisi Socratik karena merupakan ajaran hidup dan contoh hidup yang diberikan oleh Socrates sendiri. Pemahaman Hatta tentang Socrates dalam studi-studi sejarah filsafat yang dilakukannya, merupakan suatu tafsiran yang tepat sekali, karena filsafat pada Socrates bukanlah disiplin untuk mendapatkan dan menguji keabsahan pengetahuan, melainkan disiplin untuk mengetahui sesuatu dengan benar, supaya pada akhirnya seseorang dapat mengambil sikap yang benar, yang berdiri di atas pengetahuan yang benar.

Pengetahuan pada Socrates bukanlah suatu kategori epistemologis, sebagaimana kemudian dibakukan dalam filsafat Plato. Pengetahuan pada Socrates pertama-tama adalah suatu kategori etis. Pengetahuan bukanlah teori atau doktrin, melainkan sikap hidup. Demikian pun pertanyaan yang diajukan Socrates bukanlah pertanyaan ilmiah (Apa sebab seseorang menjadi takut, faktor-faktor apa yang membuat seseorang cenderung merasa takut dan apa pula latar belakangnya), melainkan pertanyaan filosofis (Apa itu rasa takut, apa hakikat dari ketakutan itu, dan apa rasa takut itu sesuatu yang benar-benar ada).

Apa yang ditulis Hatta tentang Socrates merupakan suatu pelajaran yang sangat mungkin dihayati Hatta sendiri dalam kehidupan pribadi dan kehidupan politiknya. Socrates tidak pernah menuliskan filosofinya. Jika ditilik benar-benar, ia malahan tidak mengajarkan filosofi, melainkan hidup berfilosofi. Bagi dia filosofi bukan isi, bukan hasil, bukan ajaran yang bersandarkan dogma, melainkan fungsi yang hidup. Filosofinya mencari kebenaran. Oleh karena ia mencari kebenaran, ia tidak mengajarkan. Ia bukan ahli pengetahuan, melainkan pemikir. (Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Tintamas, Jakarta, 1983, halaman 80)

Menarik untuk dicatat, Hatta juga menemukan pada diri Socrates suatu keyakinan lainnya bahwa kebenaran selalu merupakan hasil dari suatu pencarian bersama dan bukan hasil renungan perorangan. Hal ini menjadi semakin menarik karena dalam paham politiknya, Socrates dikenal sebagai orang yang menolak demokrasi, dengan alasan bahwa pemerintahan oleh rakyat hanya memberi kemungkinan negara diatur oleh sembarang orang, termasuk oleh orang-orang bodoh dan tak bermoral. Sekalipun demikian dalam paham filsafatnya, Socrates justru menerapkan demokrasi itu secara konsisten dan tuntas, dengan menekankan bahwa kebenaran bisa lahir dari diri siapa saja, asal saja kita pandai membantu proses lahirnya kebenaran itu dari diri orang bersangkutan dan tidak malah menghalanginya.

Pada titik inilah filosof seperti Karl Popper dengan tegas menggariskan perbedaan pokok di antara rasionalisme Socrates dan intelektualisme Plato. (Karl R Popper, Die Offene Gesellschaft Und Ihre Feinde, Bd 2, Francke Verlag, Muenchen, 1980, halaman 279)

Menurut Popper, seorang intelektual adalah seseorang yang merasa mempunyai pengetahuan lebih, dan kemudian mengklaim juga kedudukan dan status khusus dalam masyarakat berdasarkan pengetahuannya itu. Ideal Plato tentang kepala negara sebagai gabungan filosof-raja (the philosopher-king), dalam pandangan Popper mencerminkan pandangan seorang intelektual.

Rasionalisme Socrates justru mulai dengan kesadaran bahwa saya tidak tahu dan karena itu mungkin orang lain dapat membantu saya mendapatkan pengetahuan yang saya perlukan. Kebenaran adalah sesuatu yang didapat dalam pergaulan dengan orang lain, asal saja kita menghadapi orang lain dengan sikap seorang pencari kebenaran, dan bukannya dengan sikap seorang pemilik kebenaran.

Posisi ini ditangkap oleh Hatta dengan amat tepatnya ketika dia menulis, "Dalam mencari kebenaran itu, ia (Socrates, penulis/IK) tidak memikir sendiri, melainkan setiap kali berdua dengan orang lain, dengan jalan tanya jawab. Orang yang kedua itu tidak dipandangnya sebagai lawannya, melainkan sebagai kawan yang diajak bersama-sama mencari kebenaran. Kebenaran harus lahir dari jiwa kawan bercakap itu sendiri. Ia tidak mengajarkan, melainkan menolong mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam jiwa orang. Sebab itu, metodenya itu disebutnya maieutik, menguraikan, seolah-olah menyerupai pekerjaan ibunya sebagai dukun beranak." (Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, halaman 81)

Tidak ada petunjuk dalam tulisan-tulisan Hatta apakah keyakinannya tentang demokrasi sebagai bentuk politik yang setepat-tepatnya untuk sebuah negara modern telah diilhami juga oleh posisi Socratik yang dilukiskannya dengan amat indahnya. Namun demikian, dapat dikatakan dengan pasti bahwa keberanian moral dan keteguhan hati yang berulang kali diperlihatkan oleh Hatta dalam berhadapan dengan kesulitan-kesulitan politik, jelas merupakan keberanian filosofis (dan bukan sekadar keberanian psikologis) yang berasal dari suatu posisi Socratik yang telah dipelajarinya dengan baik dalam studinya tentang sejarah filsafat Barat.

Ia adalah seorang yang bersedia dan terlatih memakai logikanya secara ketat untuk mempertimbangkan segala sesuatu, terutama mempertimbangkan alasan mengapa suatu tindakan harus dilakukan atau tidak harus dilakukan, dan bukannya apakah tindakan itu membawa akibat baik atau akibat yang merugikan. Dengan lain perkataan, kalau Hatta harus menghadapi keadaan di mana ia harus memilih untuk setia kepada norma-norma dan prinsipnya sendiri atau harus berkompromi dengan situasi dan kenyataan, maka ia lebih cenderung memilih bersiteguh pada norma-norma dan prinsipnya sendiri.

Seperti sudah dikatakan sebelum ini, pendirian etis seperti ini memang memberikan keteguhan batin yang luar biasa kepada Hatta dalam menghadapi saat-saat sulit, tetapi tidak selalu membawa manfaat secara politis. Kisah berakhirnya kerja sama Dwitunggal Soekarno-Hatta adalah juga sebuah konsekuensi dari pilihan etis Hatta. Buat sebagiannya, Hatta mengalami kesulitan dengan gaya Soekarno yang sangat flamboyan, menarik dan mempesona orang, tetapi tidak banyak memperhitungkan akibatnya secara administratif dan keuangan. Kritik Hatta terhadap perjalanan Bung Karno yang terlalu sering ke luar negeri disertai rombongan besar adalah sebuah pemborosan. Sementara itu Hatta merasa, beberapa tindakan Presiden Soekarno telah diambil tanpa membicarakannya dengan dirinya sebagai Wakil Presiden, padahal dia turut bertanggung jawab secara moral terhadap akibat tindakan tersebut, tetapi merasa tidak berdaya mempengaruhinya. Pemberian grasi oleh Presiden Soekarno kepada Djody Gondokusumo, misalnya, telah dilakukan tanpa membicarakannya terlebih dahulu dengan Hatta. (Deliar Noer, op cit, halaman 484)

Akhir dari situasi ini adalah sepucuk surat yang dilayangkannya kepada DPR hasil pemilihan umum yang berisikan kalimat-kalimat yang tak mungkin disalahartikan, "... setelah DPR yang dipilih rakyat mulai bekerja dan Konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden." Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1956, Hatta benar-benar meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden. Pengunduran diri itu diperkuat oleh Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 1957, ketika Presiden Soekarno secara resmi memberhentikan Mohammad Hatta dari jabatannya selaku Wakil Presiden.

Keputusan ini jelas membawa kesedihan dan kekecewaan kepada pengikut dan para pendukung dan pengagumnya. Keputusan ini juga sudah jelas mempunyai banyak akibat secara politik, di mana berbagai kesulitan politik yang timbul semenjak masa itu barangkali saja dapat dicegah seandainya masih ada Hatta di samping Soekarno. Akan tetapi, Hatta terlalu logis untuk membiarkan demikian banyak kontradiksi yang berkecamuk di hadapan matanya dan yang akibatnya harus ditanggungnya pula. Uniknya ialah bahwa pada titik yang penting ini Hatta yang rasionalis tidak bisa diatasi oleh Hatta yang dibesarkan dalam komunitas sufi, di mana coincidentia oppositorum adalah sesuatu yang dapat diterima dan dihayati tanpa menimbulkan konflik.

Apa yang terjadi setelah itu sudah diketahui semua orang, Pemberlakuan Demokrasi Terpimpin, di mana Presiden mengambil kembali kekuasaan eksekutif ke dalam tangannya, dengan cara memberlakukan kembali UUD 1945. Soekarno kehilangan seseorang yang mempunyai keberanian untuk mengatakan sesuatu yang benar kepadanya, sekalipun hal itu akan merupakan pengalaman pahit bagi yang mendengar maupun yang mengatakannya. Hatta kembali menjadi warga negara biasa, menjadi "hati nurani" bangsanya, tetapi tanpa ada kekuasaan di tangan yang dapat menentukan arah perkembangan bangsa dan negaranya. Di antara moralitas dan kekuasaan, ia telah memilih yang pertama, dengan akibat bahwa kekuasaan politik yang dijalankan setelah ia mengundurkan diri sedikit banyaknya lepas dari ketatnya kontrol moral. Seorang yang dibesarkan dalam tradisi sufi, barangkali dapat menanggung banyak penderitaannya secara pribadi, tetapi seseorang yang matang dalam ilmu pengetahuan dan digembleng dalam perjuangan politik, pada akhirnya tidak dapat menanggung beban yang diakibatkan oleh perkembangan politik, yang dalam pandangannya tidak bersifat politically correct. Hatta secara pribadi adalah sebuah monumen dalam ingatan kolektif bangsa ini, tetapi secara politik ia telah mengundurkan diri terlalu cepat dari suatu kegalauan yang diakibatkan oleh dominasi the art of the possible dan menyempitnya ruangan untuk the art of principles.

Dr Ignas Kleden Sosiolog, Direktur Center for East Indonesian Affairs (CEIA)/Pusat Pengkajian Indonesia Timur, Jakarta.

Search :




Berita Lainnya :


Aksi-aksi Massa ke MPR Makin Marak


ANALISIS SATYA ARINANTO


Antara Menang dan Kerbau


Apa Kabar Koperasi Indonesia


Belum Diputuskan, Rantap Pemulihan Ekonomi dan Rantap Tata Tertib


Bersama Hatta dan Sjahrir


Bukittinggi, Menjadi Laboratorium Kinerja


Bung Hatta Kita


Bung Hatta: Kepala Keluarga, Pemimpin Rumah Tangga


Bung Hatta dan Semangat Zaman


Bung Hatta di Tengah Krisis Multidimensi Orde Baru


Bung Hatta dan Pendanaan Mikro


Eurico Tuding Manuel Lebih Layak Jadi Terdakwa


FOTO: Berlangsung Alot


Genesis Pemikiran dan Cita-cita Bung Hatta


Hatta dan Kaderisasi


Hatta dan Politik Luar Negeri


Jejak Pemikiran Hatta dalam UUD 1945


Kota Bukittinggi


KPKPN Kirim Peringatan Ketiga


Mendayung di Antara Asketik dan Politik


Mengenang Bung Hatta


Pencerahan Diri Hatta Memilih antara Takwa dan Kekuasaan


Pertanggungjawaban Presiden 2004 Tak Perlu Diputuskan


RAKYAT BICARA


Rakyat dalam Pusaran Globalisasi


Semestinya Hatta Menang


Sidang Majelis Kehormatan Hakim Harus Terbuka


Silang Pendapat Sekitar Pengunduran Diri Hatta


Tidak Generasi Kerdil


Tragedi Hatta pada Masa Senja Usia


Uang Lancar, Sidang Meradang


Untuk Sukseskan Pemilu Perlu Sistem Pengenal Tunggal


Zinni Rekomendasi Lanjutkan Dialog RI-GAM









Design By KCM

Matinya Ilmu Ekonomi

Judul : Matinya Ilmu Ekonomi
Pengarang : Paul Ormerod

Komentar Dari :
R. Masri Sareb Putra

Komentar:
Ketika mimpi buruk berupa krisis moneter benar-benar jadi nyata di tengah-tengah kita, tak satu pun ekonom sanggup memberi penjelasan yang memuaskan.

Ini membuktikan, ilmu ekonomi telah mati dan gagal meramalkan fenomena ekonomis. Faktor apa yang memicu krisis moneter? Langkah apa yang harus ditempuh, dan solusi apa yang tepat agar segera keluar dari kemelut ekonomi? Seharusnya, sebagai sebuah ilmu yang memiliki sistem, metodologi, serta koherensi, ilmu ekonomi sanggup menjawab dan dapat menjelaskan semua itu. Nyatanya, pertanyaan itu tetap tak bersua jawaban.

Paling banter, kita mendengar penjelasan begini: Bahwa krisis moneter yang akhir-akhir ini melanda kawasan Asia, termasuk Indonesia, bukan semata-mata persoalan ekonomi. Banyak faktor terkait turut menyulut krisis itu, termasuk di dalamnya unsur emosional masyarakat, dipertajam oleh gejolak politik, serta gaya hidup oknum pejabat yang hedonisme menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Semua faktor itu melulu diteropong dari kacamata matematis, sehingga timbul rumusan ''apabila begitu maka akan begini''.

Celakanya, para ekonom ortodoks terjerumus dalam keyakinannya sendiri, bahwa segala fenomena ekonomi hanya dapat dijelaskan dengan teori ekonomi. Di dalam membuat ramalan dan proyeksinya, para ekonom menempatkan ekonomi sebagai ilmu yang otonom, berdiri sendiri. Seakan-akan ilmu ekonomi itu mutlak dan eksak, terbukti dari berhasilnya para ekonom mengadaptasi rumus-rumus matematis untuk ilmu ekonomi. Berbarengan dengan itu, para ekonom berhasil membangun kepercayaan kelompok. Salah satu pendapat yang berhasil dibangun, ialah rumusan yang mengatakan bahwa harga ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran. Jika permintaan meningkat sementara persediaan sedikit, harga akan naik. Apakah betul demikian? Agaknya, itulah pertanyaan yang menyelimuti pikiran Paul Ormerod, ekonom terpandang di London dan Manchester. Demikian pula keyakinan bahwa perdagangan bebas menguntungkan semua pihak, perlu dikaji ulang keabsahannya.

Mati

Tahun 1994, di London terbit buku berjudul The Death of Economics buah renungan falsafah dan ilmiah karya Ormerod. Terbitnya buku ini segera mengundang kontroversi. Para ekonom, terutama ekonom ortodoks, mencaci maki buku itu. Akan tetapi, kaum awam menyanjung-nyanjungnya. Yang digasak habis-habisan oleh Ormerod sebenarnya adalah ekonom ortodoks. Perlu dicamkan, terdapat perbedaan antara ekonom ortodoks dengan ekonom klasik. Di manakah bedanya?

Ekonom klasik seperti Adam Smith, Thomas Malthus, David Richardo, dan Karl Marx membangun teori dari masalah faktual, misalnya dari kenyataan pada abad XVII-XIX di mana pertumbuhan ekonomi amat dramatis. ''Kajian mereka bersumber pada soal nyata yang penting, yaitu kecemasan dalam masyarakat jangan-jangan pertumbuhan itu berhenti. Oleh sebab itu mereka berupaya menjelaskan bagaimana pertumbuhan itu bisa terjadi, dan bagaimana mempertahankannya''. (halaman 33).

Tidak demikian para ekonom ortodoks, mereka membangun teori lepas dari dunia nyata. ''Ekonom ortodoks membangun teori beranak-pinak berdasarkan matematika. Teori mereka bukan untuk diuji terhadap masalah yang mendesak, melainkan untuk dibela dan dipertahankan sebagai doktrin. Itulah inti krisis ilmu ekonomi ortodoks!'' (halaman 72).

Karena itu, terutama di Amerika Serikat, akhir-akhir ini muncul pandangan baru terhadap ilmu ekonomi. Minat mahasiswa untuk mempelajari ilmu ekonomi yang mencapai puncak pada tahun 1980, mulai surut. Setidaknya di Harvard, kini ilmu politik (pemerintahan) telah mengalahkan ilmu ekonomi sebagai mata kuliah favorit. Semakin banyak pakar ekonomi yang mempertanyakan keabsahan dalil-dalil ekonomi. Ironisnya, pendekatan, metode, dan teknik baru yang mereka kembangkan justru semakin menyingkap tabir bahwa ilmu ekonomi ortodoks betul-betul rapuh!

Memahami Kemelut Ekonomi

Penyadur buku ini tampak sangat menguasai masalah, sehingga pembaca diperkaya dengan perbandingan-perbandingan serta ilustrasi dari buku dan pakar yang lain. Dilengkapi dengan gambar dan visualisasi, terasa persoalan ekonomi yang pelik menjadi ringan dan mudah dipahami. Di sini letak kekuatan buku ini!

Contohnya, ketika menjelaskan (dan kemudian menunjukkan titik kelemahan) competitive equilibrium (halaman 174-183), penyadur tidak menggunakan rumus yang membuat dahi mengkerut. Tetapi memanfaatkan visualisasi menarik (hal. 181). Di sana secara jelas digambarkan salah satu rumus equilibrium. Di pojok kanan bawah, dijelaskan titik lemahnya. Bahwa rumusan itu berlaku dengan banyak pengandaian. Jika salah satu pengandaian tidak sahih, maka gugurlah rumus itu!

Di saat perekonomian kita dilanda krisis seperti saat ini, buku ini terasa banyak membantu mengungkap berbagai hal yang terasa misterius. Dan jawabannya sungguh terbalik dan menyentak.

Bayangkan saja! Kucuran bantuan dari dana moneter internasional (IMF) yang dianggap ampuh membantu krisis moneter di berbagai negara Asia seperti Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia, justru menjadi sandungan dan tak memperbaiki situasi. ''Dalam praktik para ekonom ortodoks di IMF dan Bank Dunia justru sibuk menaikkan gaji mereka sebesar 38 persen'' (halaman 14).

Kalau di Inggris dan Amerika buku ini memicu kontroversi, bukan tak mungkin di negeri kita pun sadurannya bakal menyentak. Minimal menggugah kesadaran kita bahwa kini krisis ekonomi di Tanah Air bukan melulu disebabkan faktor ekonomis, melainkan multidimensional dan kompleks.***

[Suara Pembaharuan. 24 Desember 1997, hlm.16]


Antikomunisme

Rabu, 21 April 1999

Legislasi Antikomunisme atau Antiketidakadilan?
Oleh Ignas Kleden


MENURUT siaran media massa pemerintah tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). RUU tersebut yang isinya hanya enam pasal, mengandung empat pasal yang dimaksudkan untuk menindak usaha yang bertujuan menyebarkan ideologi Marxisme-Leninisme dan komunisme, dan setiap percobaan untuk mendirikan organisasinya (DR/5-10 April 1999). Ancaman hukuman atas pelanggarannya maksimal 20 tahun penjara. Kalaulah benar berita itu, maka rencana itu sebaiknya mempertimbangkan beberapa pendapat lain, juga pendapat dari kalangan bukan ahli hukum.

Pertanyaan pertama: apakah ada relevansinya menyusun suatu UU yang dimaksudkan untuk menentang suatu ideologi yang pada dasarnya tidak punya kekuatan dan aktualitas lagi, setelah negara-negara Blok Timur meninggalkan sosialisme dan membuka dirinya kepada kapitalisme? Di kalangan pejabat Pemerintah Indonesia, mungkin masih ada kecemasan bahwa komunisme belum mati dan kekuatan laten yang membelanya mungkin konsolidasi kembali dengan diam-diam.

Terhadap kecemasan itu, terbuka dua kemungkinan. Pertama, kecemasan itu cukup beralasan. Kedua, kecemasan itu tidak cukup beralasan. Kalau kecemasan itu beralasan, maka benarlah bahwa ada pihak yang masih berusaha menghidupkan kembali faham tersebut di Indonesia, meskipun kita tahu, sebagai sebuah ideologi besar di dunia, komunisme sudah kalah total. Salah satu sebab kekalahannya ialah karena sekalipun ideologi itu bertujuan menciptakan keadilan dan pemerataan kesejahteraan, sudah terbukti bahwa ideologi ini tidak sanggup mendorong pertumbuhan ekonomi yang harus menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan yang akan dibagi rata. Dalam jargon politik Indonesia: yang dihasilkannya hanyalah pemerataan kemiskinan.

Demikian pula cukup terbukti bahwa dalam praktiknya di negara-negara komunis dan sosialis, faham ini tetap tidak sanggup menghilangkan jurang yang lebar antara para elite politik dan elite partai di satu pihak dan rakyat banyak di pihak lainnya. Stalin yang menyimpan banyak kekayaan untuk keluarganya, dan harta benda yang ditumpuk oleh Nikolae Ceausescu -seorang pemimpin berpaham komunis dari Rumania- adalah dua dari banyak contoh yang bisa diajukan.

***

KENYATAAN ini telah dipelajari dengan baik oleh negara-negara kapitalis, dan dalam studi itu ditemukan suatu pelajaran berharga. Yaitu bahwa hal yang membuat komunisme menarik bukanlah gejala kemiskinan itu sendiri, tetapi kenyataan bahwa kemiskinan itu disebabkan oleh ketidakadilan yang tidak diatasi. Dalam hubungan inilah sangat patut direnungkan sebuah tesis yang sampai saat ini dibela oleh pemenang hadiah Nobel untuk ilmu ekonomi 1998, Prof Amartya Sen, bahwa kelaparan di berbagai tempat di dunia ini terjadi bukan karena kekurangan makanan, tetapi karena kekurangan demokrasi.

Hal ini mudah dipahami karena di negara di mana demokrasinya berjalan secara efektif, ada kesempatan dan kemungkinan untuk menarik dan mendesak perhatian umum kepada apa yang dibutuhkan oleh rakyat, dan tindakan apa yang harus diambil untuk mengatasi kesulitan. Sebaliknya, di negeri dengan pertumbuhan ekonomi baik tetapi tanpa demokrasi, tidak ada mekanisme untuk mendesakkan perhatian umum kepada bencana ekonomi yang sedang menimpa. Contohnya Cina pada tahun 1958-1961, mempunyai ekonomi yang jauh lebih baik kondisinya dari India. Tetapi di Cina pada tahun-tahun itu terjadi kelaparan yang mungkin paling besar dalam sejarah dunia, ketika 30 juta orang meninggal karenanya. Sebaliknya negeri-negeri demokratis yang mengalami bencana kekeringan atau banjir, seperti India di tahun 1973 atau Zimbabwe dan Botswana pada awal tahun 1980-an relatif berhasil memberi makan kepada rakyatnya yang akhirnya terhindar dari kelaparan. Kelaparan terakhir di India terjadi pada 1943 ketika India masih di bawah jajahan Inggris. Setelah kemerdekaan, ketika demokrasi multipartai berfungsi baik dengan dukungan pers yang bebas, maka India tidak mengalami kelaparan lagi.

Dengan demikian, sasaran utama yang diserang oleh komunisme adalah ketidakadilan sosial dan ketidakmerataan ekonomi yang diakibatkan oleh kapitalisme, yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi makro dan keuntungan ekonomi mikro. Belajar dari pengalaman ini negara-negara kapitalis kemudian mengambil langkah untuk mengurangi ketidakadilan sosial dan mengendalikan ketidakmerataan ekonomi dalam sistem kapitalis. Prinsip umum yang diterapkan ialah: barang siapa mendapat lebih banyak dalam usaha ekonominya, diharuskan membayar lebih banyak-misalnya melalui pajak pendapatan yang diterapkan secara progresif-untuk mereka yang tidak mempunyai pendapatan karena tidak mempunyai pekerjaan. Perimbangan diatur oleh negara yang berperanan sebagai welfare state.

Sistem ini sekarang mendapat tantangan besar di Eropa, karena welfare state menjadi terlalu mahal untuk negara (misalnya karena semakin banyak orang berusia lanjut yang tidak bekerja), maupun karena efek sampingnya yang memungkinkan orang hidup layak tanpa perlu bekerja keras (karena penganggur dapat tunjangan sosial dari negara). Sistem ini yang didorong dan dibela oleh kelompok politik sosial-demokrat dapat mengurangi secara drastis daya tarik faham komunisme, dan membuat orang lebih toleran terhadap kapitalisme, yang sekalipun tidak ideal tetapi dapat mengurangi ketidakadilan dan ketidakmerataan yang merupakan hal tak terelakkan dalam sistem kapitalisme.

Contoh ini kiranya membuktikan bahwa perlawanan terhadap komunisme tidak akan efektif kalau hanya dilakukan melalui perundang-undangan, tanpa dukungan tindakan dan kebijaksanaan ekonomi-politik, yang sanggup mengurangi baik ketidakmerataan ekonomi maupun ketidakadilan sosial. Selama penerapan sistem kapitalisme hanya mengarah pada konsentrasi kekayaan dan kemakmuran, sambil menimbulkan marginalisasi dan mengerasnya perbedaan kaya-miskin, maka selama itu pula komunisme akan tetap memperlihatkan daya tariknya yang muncul dari appeal-nya kepada simpati moral, untuk orang-orang yang tersingkir dan tertindas.

***

SECARA praktis ini artinya, kalaupun ada bahaya untuk kebangkitan kembali komunisme, potensi itu tidak terutama disebabkan oleh ada-tidaknya orang-orang yang secara diam-diam atau terang-terangan masih membela faham itu, tetapi sangat tergantung pada pertanyaan, apakah ketidakmerataan ekonomi dan ketidakadilan sosial mendapat perhatian untuk diatasi atau tetap dibiarkan. Dengan demikian latennya bahaya komunisme sebagaimana yang dicemaskan oleh sementara kalangan pejabat pemerintah kita, bahkan kekhawatiran tentang kemungkinan munculnya kembali faham itu ke permukaan politik, akan lebih banyak ditentukan oleh strategi ekonomi-politik, bukannya oleh langkah legislasi.

Kedua, kalau runtuhnya komunisme yang ditandai oleh bubarnya sistem ini di Blok Timur, sudah menghilangkan sama sekali kepercayaan orang terhadap sistem ini (sebagai ideologi yang sanggup menggerakkan pembangunan ekonomi), maka UU antikomunisme akan tidak mempunyai banyak manfaat dan relevansi sosial-politiknya. Dalam bahasa Indonesia yang baik: Besar pasak daripada tiang! Kira-kira sama halnya kalau saat ini kita masih bersusah-payah menyusun UU antikolonialisme dan antiimperialisme. Dalam hal itu energi para ahli hukum kita sebaiknya dikerahkan untuk menyusun UU yang secara langsung mencegah praktik ketidakadilan baik dalam ekonomi maupun dalam politik. Ada banyak sekali UU yang masih kita butuhkan untuk keperluan tersebut, UU antimonopoli, UU antikorupsi, UU antikolusi, UU antipolusi, UU antidiskriminasi, UU anti-intimidasi politik, UU antipelecehan hak asasi manusia (HAM), UU antipelecehan seksual, UU perlindungan anak atau UU antikekerasan terhadap perempuan.

***

HAL lain yang perlu dipertimbangkan adalah apakah sebuah UU lebih memungkinkan anggota masyarakat membela dan mempertahankan hak atau lebih memberi wewenang kepada penguasa untuk mempergunakan kekuasaannya melakukan intervensi. Pasal-pasal antikomunisme yang direncanakan itu bisa diperkirakan akan memberikan wewenang yang sangat besar kepada penguasa untuk mengambil tindakan apa saja, untuk menghentikan segala inisiatif yang kebetulan dianggap bertentangan dengan kepentingan penguasa. Hal ini disebabkan antara lain oleh kaburnya pembatasan mengenai apa yang dinamakan komunisme, Leninisme atau Marxisme dalam pandangan politik (bukan pandangan ilmiah) di Indonesia selama ini.

Secara singkat dan atas cara yang sangat dangkal dapat dikatakan sepintas lalu di sini bahwa Marxisme adalah teori tentang kapitalisme sebagai sistem yang secara niscaya menciptakan kelas-kelas dengan kepentingan yang bertentangan. Leninisme memberikan legitimasi kepada penggunaan kekerasan dalam konflik kelas, di samping menunjukkan hubungan erat antara kapitalisme dan imperialisme yang menjadi tahap perkembangan yang lebih mutakhir. Sedangkan komunisme adalah teori tentang masyarakat tanpa kelas yang muncul berkat kemenangan kelas proletariat. Yang sama dalam ketiga paham tersebut adalah bahwa ketiga-tiganya lebih mempercayai perwakilan rakyat dalam kelas daripada perwakilan rakyat dalam partai politik dan parlemen.

Jelas kiranya teori-teori tersebut bukan saja memberi tantangan kepada kapitalisme, tetapi juga kepada demokrasi yang percaya pada perwakilan rakyat dalam partai politik dan parlemen. Maka pertanyaan selanjutnya adalah: apakah demokrasi cukup ampuh untuk mengendalikan dan membatasi ketidakadilan, sehingga orang tidak perlu lagi berpaling kepada paham komunisme untuk mencapai maksud tersebut. Itulah sebabnya UU tentang demokrasi politik dan demokrasi mungkin jauh lebih mendesak daripada UU antikomunisme.

***

SUDAH umum diketahui bahwa Marxisme khususnya bukan hanya merupakan sebuah isu politik, tetapi juga isu akademik. Dia bukan saja menjadi ideologi politik, tetapi juga teori dan metode ilmu sosial. Adanya pelarangan oleh UU akan menyebabkan bahwa ilmu-ilmu sosial di Indonesia juga akan kehilangan kemungkinan untuk mempelajari suatu kelompok teori dan metode yang sangat berbeda dari teori dan metode dalam ilmu-ilmu sosial liberal. Tanpa bantuan teori dan metode yang berinduk pada marxisme ilmiah, banyak masalah ketidakadilan akan sangat sulit dideteksi dan dianalisis.

Pilihan lain adalah mengandaikan saja bahwa potensi untuk konflik kelas tidak ada dan tidak akan ada di Indonesia. Pilihan ini boleh saja diambil tetapi dengan risiko yang besar. Selama pemerintahan Soeharto, kita juga diminta dan disuruh percaya bahwa konflik yang bersifat komunal seperti konflik antaretnik, antaragama, atau antargolongan, tidak ada dan kalaupun ada tak boleh dibicarakan karena adanya doktrin suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Selama seperempat abad konflik ini tidak muncul karena selalu ditekan oleh represi negara.

Sekarang pada saat dominasi negara menjadi goyah oleh guncangan reformasi dan represi negara juga menurun, konflik komunal ini muncul dalam bentuk kekerasan yang meluas secara tak terkendali dan kita ternyata tidak punya pengalaman apa pun untuk menanganinya, baik secara politis maupun secara yuridis. Mungkin lebih realistis untuk mengandaikan bahwa dalam masyarakat mana pun dengan kesejahteraan yang belum merata, selalu ada potensi konflik kelas dalam berbagai bentuknya. Konflik semacam ini hanya dapat dideteksi dan dianalisis dengan memadai kalau kita menggunakan metode dan teori kelas yang memang didesain khusus untuk keperluan tersebut.

Melarang penggunaan teori dan metode analisis kelas, dan berpretensi bahwa konflik kelas tidak pernah ada, hanya akan memberi kesempatan untuk akumulasi dan mengerasnya konflik tersebut, yang pada suatu waktu nanti akan meledak, barangkali dengan tingkat kekerasan yang lebih tinggi dari kekerasan komunal sekarang ini, yang ternyata sudah membuat masyarakat kewalahan, rakyat bingung dan mati sia-sia, dan pemerintah sendiri tak banyak berdaya serta hanya bisa bolak-balik berbicara tentang bahaya disintegrasi, tanpa dapat menghentikan proses yang sedang menuju ke sana.

( * Ignas Kleden, sosiolog, tinggal di Jakarta )


Kompas Cyber Media

Radikalisme

Krisis dan Radikalisme Pelipur Lara
Ignas Kleden *)

SETIAP krisis politik cenderung melahirkan krisis pemikiran. Beban yang terlalu berat mendorong orang mencari jalan pintas yang sesingkat-singkatnya untuk keluar dari kemelut, tanpa memedulikan apakah penyelesaian secara potong kompas itu menimbulkan masalah baru yang barangkali lebih muskil dari keadaan semula. Kecenderungan ini mendapatkan padanannya dalam pemikiran yang menarik kesimpulan secara cepat dan mudah, tanpa memeriksa terlebih dahulu apakah kesimpulan tersebut didukung oleh premis-premis yang memadai ataukah lebih merupakan suatu jumping conclusion dalam silogisme yang tidak lengkap, yang hanya menghasilkan salto mortale dalam logika.

Secara teoretis, generalisasi acap kali bertukar-jalan dengan radikalisme dalam gerakan politik. Kecenderungan ke arah generalisasi itu terdapat dalam hasrat yang menggebu-gebu untuk mencari akar semua persoalan yang ada di Indonesia sekarang, sementara usaha-usaha perbaikan setiap hari dianggap tidak memadai lagi. Kata "akar" dalam bahasa Indonesia mempunyai padanan radix dalam bahasa Latin. Jadi, usaha politis dan intelektual untuk menemukan akar persoalan bolehlah dinamakan radikalisme.

Pertanyaannya: apakah radikalisme seperti ini berguna dan diperlukan. Ada berbagai bahan yang dapat dikutip dari studi-studi sosiologi tentang manfaat dan mudarat radikalisme ini. Dalam kalangan Marxis ortodoks, masalah kelas sosial dianggap akar persoalan. Selama borjuasi berkuasa, keadaan tidak banyak berubah karena hubungan produksi antara proletariat dan borjuasi akan tetap mempengaruhi tingkahlaku politik dan kebudayaan, sehingga perbaikan apa pun yang dilakukan, tanpa perubahan hubungan produksi tersebut, lebih merupakan tambal sulam yang memberikan kosmetik yang berbeda tetapi tidak menyentuh struktur dasar dalam masyarakat.

Persoalan ini dalam Marxisme mula-mula cukup meyakinkan, karena salah satu kesulitan teoretis didiamkan untuk waktu lama dan mungkin baru pada tahun-tahun akhir ini mulai dikutak-katik di kalangan neo-Marxis. Yang jadi pertanyaan, kalau dialektika adalah kekuatan tunggal yang menggerakkan sejarah, apa pasalnya bahwa dialektika itu hanya boleh diberlakukan di antara kelas (interclass-relation dialectic), yaitu antara borjuasi dan proletariat, dan tidak diberlakukan di dalam satu kelas yang sama (intraclass-relation dialectic)? Mengapa dalam kalangan borjuasi atau proletariat sendiri dialektika itu tiba-tiba tak berfungsi lagi? Jawabannya, barangkali, karena dalam kelas yang sama tidak ada pertentangan yang diakibatkan oleh hubungan produksi yang eksploitatif. Tetapi jawaban ini lebih tautologis sifatnya. Masih dapat dipersoalkan, mengapa dalam borjuasi sendiri tidak terdapat perbedaan dalam hubungan produksi, misalnya di antara mereka yang bermodal sangat besar dan mereka yang modalnya sedang.

Tanpa mau memasuki debat ini secara akademis, tulisan ini ingin menunjukkan satu hal, bahwa pemikiran yang didorong oleh radikalisme cenderung mendarat pada generalisasi, yang enak untuk diterima, tetapi penuh dengan kesulitan teoretis. Demikian pun dalam praktek, generalisasi itu menimbulkan berbagai kontradiksi yang harus didiamkan dengan bantuan propaganda dan represi politik, atau diikhtiarkan untuk diterima melalui Verschleirungsstrategie, yaitu pengelabuan kemampuan refleksi, sehingga orang tidak menyadari lagi adanya kontradiksi tersebut.

Godaan yang sama mulai timbul dewasa ini di tanah air kita. Muncul berbagai ketidakpuasan terhadap usaha politik untuk mengatasi krisis, dan kemudian dicoba dicari akar persoalan, dengan anggapan bahwa begitu krisis ini ditangani pada akarnya, banyak masalah lain akan selesai dengan sendirinya. Asumsi ini sangat berbahaya. Pemikiran ini merupakan jebakan fungsionalisme yang berasal dari pemikiran biologis. Seorang dokter memang tidak segera memberikan obat sakit kepala kepada seorang penderita migren. Lebih dahulu ia memeriksa apakah migren itu merupakan akibat sampingan dari suatu sakit lain, sehingga kalau akar ini ditangani, migren itu akan hilang.

Pemikiran ini tidak selalu dapat diterapkan dalam masalah sosial karena beberapa alasan. Pertama, hubungan sebab-akibat dalam bidang sosial amat longgar. Kausalitas dalam gejala fisik dapat dirumuskan sebagai hubungan di antara faktor A sebagai sebab dan gejala B sebagai akibatnya. Dalam bidang sosial, sebaliknya, gejala B dapat muncul dari lima sebab yang berbeda, sedangkan satu faktor A sebagai sebab dapat menimbulkan lima akibat yang berbeda dan bahkan bertentangan. Syarat ceteris paribus tidak ada dalam bidang sosial. Dalam arti itu, hormat yang tinggi kepada status sosial, yang di Indonesia dianggap menghalangi produktivitas kerja dan efektivitas pemerintahan, di Jepang justru mendukung produktivitas kerja secara luar biasa. Demikian pula, hormat kepada harmoni dalam kebudayaan memang menolong terciptanya toleransi dan perdamaian dalam komunitas-komunitas tradisional. Tetapi, dalam pemerintahan Presiden Soeharto, ia telah menyebabkan lahirnya kekerasan politik yang mendekati kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dalam biologi, menebang akar pohon akan mematikan seluruh pohon itu. Dalam birokrasi pemerintahan Indonesia, sulit mengandaikan bahwa pemerintahan akan efektif kalau korupsi dikikis habis dengan cara apa pun. Dapat dibayangkan bahwa kalau korupsi diberantas dengan tangan besi dalam waktu singkat, birokrasi akan kehilangan demikian banyak pegawai, di samping hilang juga sistem insentif yang selama bertahun-tahun dimungkinkan oleh korupsi. Akibatnya, seluruh birokrasi mungkin akan macet total, baik karena kekurangan tenaga maupun karena ketiadaan sistem insentif alternatif. Argumentasi ini bukan bermaksud membenarkan korupsi, melainkan ingin memperlihatkan bahwa sukar sekali menentukan suatu keadaan sebagai akar masalah sosial, karena kalau akar itu dicabut, mungkin tumbuh pohon baru yang lain sama sekali wujudnya.

Kedua, dalam prakteknya, radikalisme mudah mendapat penganut, karena dengan itu muncul harapan bahwa banyak soal akan segera teratasi kalau akar persoalan dibereskan. Kesulitannya adalah bahwa akar itu mungkin tidak ada karena segala soal telah jalin-menjalin, sehingga apa yang tidak menjadi akar di Jakarta dapat menjadi akar di Ambon, dan sebaliknya. Demikian pun, sikap militan yang lahir dari radikalisme itu tidak memberi banyak ruang untuk pikiran kritis, yang sering kali menimbulkan kesan reseh tetapi tidak membawa penyelesaian cepat dan spektakuler. Hubungan antara militansi dan kritik bersifat saling meniadakan. Orang yang kritis tidak pernah akan terlalu militan karena dia selalu berusaha mengambil jarak terhadap soal, bahkan terhadap perjuangannya sendiri. Sebaliknya, orang yang militan tidak boleh terlalu kritis, dan kalau perlu sedikit dogmatis. Dia harus yakin akan apa yang dikerjakan dan diperjuangkannya. Radikalisme antara lain disukai karena dia mematikan sikap kritis yang meletihkan itu, di samping memberi harapan bahwa penyelesaian tuntas dapat dicapai dengan satu serangan kepada akar masalah.

Ketiga, mencari akar persoalan dapat menimbulkan sikap totaliter. Kalau kita menganggap bahwa akar semua persoalan sudah ditemukan, akan muncul anggapan berikutnya bahwa kita berhak memaksa orang lain turut membereskan akar persoalan tersebut, dan tidak memberi kemungkinan bahwa orang-orang lain mengangggap soal lain sebagai masalah yang lebih penting untuk ditangani. Uniknya, sikap totaliter ini sering tidak menimbulkan rasa-bersalah, karena sekelompok orang merasa telah menemukan kebenaran dan kemudian merasa harus menyampaikan kebenaran itu kepada orang lain, bahkan dengan kekerasan. Dalam sosiologi berlaku peribahasa "siapa yang hanya mempunyai palu sebagai alatnya di tangan akan mengubah semua orang menjadi paku, dan siapa yang hanya mempunyai sapu sebagai alatnya akan mengubah semua orang menjadi sampah".

Analogi tersebut melukiskan betapa berbahayanya mengklaim menemukan akar persoalan, karena apa yang menjadi akar pada dasarnya adalah apa yang dianggap sebagai akar masalah. Pemilihan dan penetapan anggapan ini memang didasarkan pada sejumlah pengetahuan. Tetapi apa jadinya kalau pengetahuan tersebut keliru, sementara kita telah mengorbankan demikian banyak orang?

Sukarno menganggap akar masalah adalah bahwa bangsa ini tidak cukup revolusioner, dan akibatnya ekonomi berantakan tidak keruan. Soeharto menganggap akar masalah adalah ketidakstabilan politik dan pertumbuhan ekonomi yang rendah, dan akibatnya adalah hak-hak demokratis menjadi porak-poranda. Habibie menganggap akar masalah adalah keterbelakangan teknologi, dan akibatnya adalah pemborosan yang fantastis dengan proyek pesawat terbang yang ternyata sulit dijual. Gus Dur mungkin berpendapat akar masalah adalah disintegrasi, dan kenyataannya kerusuhan Ambon tetap berlanjut dan Jakarta mengalami berbagai ledakan bom. Kalau kita sekarang menganggap akar masalah adalah politik, sangat mungkin kita tidak akan pernah dapat mengatasi krisis ekonomi yang berkepanjangan ini. Sebaliknya, kalau kita menganggap akar masalah adalah ekonomi (dan politik harus mengalami moratorium), maka jebakan kepada developmentalisme ala Orde Baru kembali disiapkan dengan sebaik-baiknya.

Pemikiran fungsionalisme ini sangat kuat ditunjang oleh pemikiran mekanistis dalam ilmu-ilmu sosial, seakan-akan kalau starter mobil dinyalakan, mesinnya akan hidup, dan kalau gigi dimasukkan dan gas diinjak, mobil akan bergerak. Yang dilupakan ialah bahwa dalam bidang sosial, baik starter, mesin, gas, maupun gigi, masing-masing punya kehendak dan kemerdekaan sendiri, yang tidak bisa disetel begitu saja. Begitu Anda menghidupkan starter, mesinnya dapat mengatakan "tidak" sekalipun dia berada dalam keadaan baik, dan mobilnya tetap di tempat.

Baik fungsionalisme maupun mekanisme dalam pemikiran sosial dan politik menafikan satu hal, yaitu bahwa keputusan politik apa pun yang diambil, akibatnya selalu harus diperiksa kembali. Tidak ada jaminan penuh bahwa keputusan itu berjalan sesuai dengan rencana. Hal ini memang amat meletihkan, tetapi inilah risiko kebebasan manusia. Dalam hal itu, demokrasi, dengan segala kekurangannya, tetap menjadi pilihan terbaik karena dia memang tidak dapat meniadakan kelemahan manusia dan keteledoran masyarakat, tetapi memberi kemungkinan bahwa kelemahan itu dapat diperbaiki oleh kontrol terus-menerus, dan keteledoran dapat dikurangi dengan peringatan terus-menerus. Radikalisme hanyalah pelipur lara yang lahir dari harapan akan penyelesaian yang cepat dan gampang, akibat anggapan keliru bahwa seakan-akan masyarakat adalah mesin yang bisa disetel, dan politik setali tiga uang dengan budidaya tanaman.

*) Sosiolog, Direktur The Go-East Institute (Lembaga Lintas Timur), Jakarta

Kolom ini dikutip dari Majalah TEMPO edisi 14-20 Agustus 2000


Korupsi

Korupsi Akan Menjadi Kebudayaan Legal di Indonesia

Bukittinggi, Selasa

Para peserta Kongres Kebudayaan V suntuk melihat budaya Indonesia sebagai identitas bangsa, mulai tercerabut dari sanubari anak bangsa dan diganti dengan budaya uang hingga tak menutup kemungkinan korupsi suatu saat menjadi kebudayaan legal.

"Apa masih ada budaya Indonesia. Esensi kebudayaan Indonesia sekarang berubah menjadi mencari uang dan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya," ujar sosiolog Dr Ignas Kleden di hadapan 750 peserta Kongres Kebudayaan V di Bukittinggi, Selasa (21/10).

Menurutnya, akibat hanya memikirkan uang dan mencari untung semata, maka tidak sedikit warga Indonesia yang pergi keluar negeri menjadi malu karena citra jelek Indonesia sudah begitu melekat di mata dunia.

Kebudayaan kapitalis murni yang kebablasan itu, mulai menyeruak ke segala lapis kehidupan masyarakat sehingga suatu saat nanti, tidak berlebihan bila korupsi akan menjadi kebudayaan legal.

Untuk itu diperlukan pencerahan agar bangsa Indonesia bisa bangkit. Namun, bukan berarti Indonesia tidak bisa bangkit dan kembali menemukan jati dirinya karena potensi ke arah itu mulai terlihat. "Masyarakat sekarang mulai menyadari dan bosan dengan kehidupan yang hanya saling serobot, rebutan dan tidak ada lagi persaudaraan murni," katanya.

Dalam mencapai impian itu membutuhkan waktu dan komitmen bersama. "Seberapa keras anda, saya dan tiap pribadi masyarakat ingin mencari kehidupan damai dan sejahtera," katanya. (Ant/ima)

Jumat, 3 November 2000

Kontrol atas Kepemimpinan Nasional
Oleh Ignas Kleden


SETELAH genap satu tahun berkuasa, pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kembali menjadi sasaran sorotan dan penilaian. Dr Nurcholish Madjid, yang mengaku kenal secara pribadi Gus Dur sejak tahun 1960-an, pagi-pagi telah meminta agar harapan terhadap Presiden baru (setahun lampau) jangan sampai berlebih-lebihan.

Menurut dia, Gus Dur bukanlah tipe orang yang dapat diharap terlalu banyak. Posisi harapan sebaiknya: 49 persen dibanding 51 persen dengan margin dua persen. Sayang Nurcholish tidak memberikan proporsi kuantitatif tentang harapan terhadap Presiden kita setelah lewat setahun berkuasa.

Lebih keras dari itu, Dr Sjahrir bahkan meminta Presiden untuk mundur, karena Gus Dur dianggapnya hanya berkuasa tetapi tidak sanggup memerintah. Persoalan bagi kita sekarang, apa yang sebaiknya dilakukan? Mungkin makin banyak saja pihak-pihak yang merasa bahwa Gus Dur sebaiknya mengundurkan diri, atau barangkali harus dipaksa mundur melalui suatu Sidang Istimewa MPR, misalnya. Akan tetapi, setelah itu apa?

Kalau turunnya Gus Dur harus dijadikan program politik utama sekarang, tanpa kita melakukan persiapan secara khusus untuk menciptakan lingkungan budaya dan kerangka kelembagaan politik baru yang lebih baik untuk masa depan, maka akan terulang lagi cerita tahun 1998. Seluruh energi oposisi diarahkan kepada turunnya Presiden Soeharto, tetapi setelah itu tidak banyak terjadi perubahan. Memang, perubahan tidak disiapkan sebelumnya secara matang (meskipun mahasiswa Indonesia telah melakukan terobosan yang penting), kecuali keterbukaan politik yang lebih luas dalam masa pemerintahan Presiden BJ Habibie.

Dalam kondisi budaya politik dan kerangka kelembagaan politik yang sama seperti sekarang, maka siapa pun yang akan menjadi Presiden setelah Gus Dur, akan mengulang kesalahan yang sama, khususnya dalam sikap tak berdaya menghadapi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), dan kebingungan mengatasi krisis ekonomi dan politik.

***

TADINYA kita berharap bahwa tampilnya Gus Dur dengan latar belakang politik yang jauh dari birokrasi, akan membawa banyak perubahan. Sekarang terlihat bahwa Gus Dur semakin dalam terjebak ke dalam jaringan kesulitan yang sebagiannya timbul karena ulahnya sendiri. Maka fokus pemikiran politik sekarang ialah mengapa gerangan masyarakat Indonesia merdeka ini mudah sekali memberi peluang kepada pemimpin nasionalnya untuk bertindak tidak menurut ketentuan undang-undang, tetapi lebih menurut selera dan kemauannya sendiri?

Presiden Soeharto tidak akan dapat berkuasa 32 tahun lamanya, dan melakukan demikian banyak KKN dan kekerasan politik, seandainya masyarakat tidak mengizinkannya, dan rakyat tidak membiarkannya.

Sebuah psikologi terlihat jelas dalam sikap rakyat terhadap pemimpin nasionalnya di Indonesia. Tatkala seorang presiden baru mulai berkuasa, maka dukungan politik diberikan secara tanpa reserve, sementara sang pemimpin itu dibesar-besarkan dengan berbagai mitos agar kelihatan lebih unggul dari yang sebenarnya. Pengerahan dukungan dan simpati politik terhadap seorang presiden yang baru biasanya berjalan sedemikian rupa sehingga dalam waktu singkat dan seringkali tanpa sengaja, presiden dibuat imun terhadap kritik dan oposisi.

Setiap Presiden Indonesia yang baru berkuasa seakan dikaruniai semacam infalibilitas politik. Kisah yang sama berulang ketika Gus Dur baru diresmikan menjadi Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Tingkah lakunya yang sering bertentangan dengan protokol, selalu dimaafkan. Demikian pula kalau ada pernyataannya yang menimbulkan kebingungan dan kontroversi, maka pihak luar dengan mudah dipersalahkan, karena dianggap belum sanggup memahami gagasan Presiden secara benar, yang dipercaya mestilah bermaksud baik dan mengandung visi yang cemerlang.

Ucapan dan pernyataan barangkali saja dapat disalahpahami, akan tetapi tindak-perbuatan sukar sekali disalah artikan. Dalam kasus Bruneigate, sebagai contoh saja, masyarakat Indonesia tidak bisa dipersalahkan lagi bahwa mereka memahami bahwa ada uang dua juta dollar AS yang diberikan oleh Sultan Brunei kepada Gus Dur setelah menjadi Presiden.

Timbul pertanyaan, apakah donasi itu ditujukan kepada Gus Dur sebagai pribadi atau sebagai Presiden? Dalam kedudukan sebagai Presiden, maka seandainya pun uang itu benar-benar (dan bisa dibuktikan) merupakan pemberian pribadi kepada Presiden, akan jauh lebih baik (yaitu lebih banyak mendatangkan keuntungan politik untuk Presiden dan keuntungan ekonomi untuk rakyat) kalau uang itu tetap dianggap sebagai uang negara yang pengaturannya dilakukan melalui birokrasi negara.

***

DALAM analisis wacana, maka persoalannya bukan lagi apakah pemberian itu dimaksudkan untuk pribadi Gus Dur atau untuk rakyat Indonesia, tetapi apakah seorang presiden dalam kedudukan sedemikian tingginya diperbolehkan menerima suatu donasi pribadi dalam jumlah sedemikian besar dari orang lain, sementara dia diharap bertindak penuh tanggung jawab dan tanpa tekanan atau pun bujukan atas nama rakyat yang dipimpinnya, dan atas nama negara dan pemerintahan, yang dia adalah kepalanya?

Pada titik ini kita tidak hanya berhadapan dengan masalah empiris (yaitu benarkah ada uang itu dan apakah uang tersebut merupakan uang pribadi atau bukan), tetapi juga masalah prinsipil yang bersifat etis (yaitu apakah seorang presiden secara prinsipil diperbolehkan menerima donasi pribadi berupa uang dalam jumlah besar, pada hal dia adalah figur publik yang terpenting)?

Dalam perbandingan lain, apakah seorang kepala proyek secara etis boleh menerima donasi pribadi dalam bentuk sejumlah besar uang dari salah seorang peserta tender proyek yang dipimpinnya, atau apakah seorang profesor yang akan memberi ujian promosi boleh menerima donasi pribadi dari promovendusnya sebelum ujian?

Bisa saja pemimpin proyek itu berkata bahwa sikap bebasnya tidak akan terganggu oleh diterimanya donasi tersebut, tetapi hal itu jelas harus diragukan, karena dia ternyata tidak bebas sama sekali dari keinginan menerima donasi tersebut. Adalah jelas bahwa sekalipun pemberian itu bersifat pribadi, pemberi donasi tersebut sangat mempertimbangkan pribadi penerima sebagai kepala proyek, yang tentu saja berlainan sekali dari kedudukannya sebagai orang biasa.

Kesulitan yang dialami Gus Dur untuk sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa dia seakan-akan berada dalam over-legitimacy. Dialah Presiden Indonesia pertama yang mendapatkan kekuasaan melalui pemilihan umum yang terbuka dan demokratis. Ini sudah memberikan padanya legitimasi yang sangat kuat. Selain dari itu, dia mempunyai pendukung tradisional yang amat banyak dan juga amat setia kepadanya.

Ada ketaatan yang relatif konstan kepada pemimpin mereka ini, apa pun yang dilakukan oleh pemimpin tersebut, dan betapa pun banyaknya kesulitan yang mereka alami akibat kontroversi yang muncul dari ucapan atau tindakannya. Para sosiolog menyebut jenis legitimasi ini sebagai legitimasi tradisional, yaitu penerimaan dan pengakuan pada seorang pemimpin atau tokoh karena ada tradisi dan sejarah kepemimpinan yang mendukungnya.

***

SECARA tipologis, seorang pemimpin dengan legitimasi tradisional tidak terlalu terdorong untuk berprestasi sebaik-baiknya (sekali pun dia sanggup untuk itu), karena prestasi dan hasil kerjanya tidak terlalu menentukan legitimasi yang ada padanya.

Legitimasi ini juga tidak begitu terganggu kalau pemimpin atau tokoh yang bersangkutan tidak mencapai banyak keberhasilan dalam tugas dan peranannya. Ini tentu saja amat berbeda dari legitimasi rasional, di mana seseorang harus membuktikan kelayakan dirinya (misalnya melalui kompetensinya) untuk mendapatkan ketundukan dan penerimaan dari orang-orang lain.

Perasaan mantap dengan legitimasi yang demikian kukuh, membuat Gus Dur tidak harus merasa terdorong atau bahkan terpaksa untuk bekerja sebaik-baiknya dalam tanggung jawabnya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, karena keberhasilan ini tidak diharuskan oleh jenis legitimasi yang ada padanya, sedangkan legitimasi itu pun tidak mudah hilang seandainya pun dia gagal dalam kerjanya.

Persoalan yang muncul sekarang ialah bahwa Presiden Abdurrahman Wahid cenderung mengesankan sikap menyia-nyiakan legitimasi itu, misalnya, dengan mengatakan bahwa mengapa rakyat telah mau memilih dia, sedangkan dia sendiri sebetulnya tidak menghendaki jabatan tersebut?

Dengan penuh hormat kepada Presiden kita, haruslah dikatakan di sini bahwa jawaban tersebut bukanlah jawaban yang serius. Gus Dur memang menjadi Presiden karena dipilih, tetapi tidak ada paksaan apa pun bahwa dia harus menerima pilihan tersebut. Dia dapat menolak pilihan rakyat kalau dia merasa tidak siap atau tidak sanggup menjalankan tugas tersebut.

Demokrasi memberikan kesempatan tetapi tidak menjatuhkan paksaan. Tanggung jawab terhadap kepemimpinannya tidak dapat diserahkan begitu saja kepada para pemilihnya, tetapi juga kepada keputusannya sendiri untuk menerima pilihan tersebut. Lagi pula, kalau dia telah menerima kepercayaan dari demikian banyak orang, bukankah ada kewajiban padanya untuk menjaga kepercayaan itu sebaik-baiknya, dan bukannya malahan mempersoalkan kembali mengapa kepercayaan itu telah diberikan kepada dirinya. Kalau logika ini dituruti, maka ketika sekarang banyak orang menghendakinya untuk mundur, mengapa pula dia tidak segera menerimanya?

***

PADA titik inilah amat dibutuhkan dua hal untuk politik Indonesia di masa mendatang.

Pertama, rupanya harapan bahwa setiap presiden baru akan menjadi juru selamat atau Ratu Adil harus ditinggalkan sama sekali. Perlu diperkuat kesadaran lain bahwa seorang presiden yang dipilih, besar kemungkinan akan mengecewakan atau sangat mengecewakan, dan karena itu sudah harus dipersiapkan dan diantisipasi sejak semula apa yang harus dilakukan kalau harapan kepada seorang pemimpin tersebut ternyata meleset sama sekali.

Kedua, pemikiran untuk mendesak Presiden Abdurrahman Wahid untuk mundur di tengah jalan, tidak akan menyelesaikan banyak soal, kalau tidak ada persiapan yang mencukupi tentang apa yang harus dilakukan, supaya terhentinya seorang pemimpin nasional di tengah jalan, tidak menjadi preseden untuk gonta-ganti Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan setiap satu atau dua tahun, yang akan membawa instabilitas politik yang luar biasa, yang mungkin lebih besar risikonya.

Sudah jelas persoalan pokoknya bukanlah mengganti presiden, tetapi mengubah dan memperbaiki serta memperkuat sistem politik Indonesia. Dalam suatu sistem politik yang solid, seorang presiden dengan kemampuan sedang saja mungkin dapat tertolong. Sebaliknya dalam sistem politik yang kacau dan lemah seperti yang ada pada saat ini, maka seorang genius atau seorang suci pun akan segera berantakan di tengah jalan.

Tidak ada pemimpin dengan kekuasaan demikian besar akan dengan sendirinya menjadi lebih baik. Semua akan cenderung merosot kemampuannya dalam mengendalikan diri dan membatasi kekuasaannya, karena kekuasaan besar selalu dibarengi dengan kesempatan menyeleweng yang sama besarnya.

Harapan yang tertinggal ialah bahwa masyarakat sendiri harus membangun suatu sistem politik yang mengurangi kesempatan bagi seorang penguasa untuk menyelewengkan kekuasaannya atau membuatnya terhalang untuk bertindak sewenang-wenang. Keberhasilan seorang pemimpin tidak dapat diandalkan pada moralitas pribadi yang tinggi dari yang bersangkutan semata-mata, tetapi terutama pada terciptanya sistem politik yang menimbulkan demikian banyak inconvenience dan kesulitan kalau pemimpin tersebut nekad menyalahgunakan kekuasaannya.

***

PRIORITAS politik pada saat ini memang banyak, tetapi ada sekurang-kurangnya dua hal yang tidak dapat diabaikan atau ditunda. Yang satu adalah peningkatan kontrol sosial yang efektif terhadap kekuasaan. Yang lain adalah mengubah harapan akan datangnya pemimpin yang baik, menjadi perencanaan dan strategi untuk membuat seorang pemimpin menjadi pemimpin yang baik, atau lebih tepat, mencegahnya agar tidak menjadi pemimpin yang terlalu buruk. Hal ini hanya dapat dilakukan kalau masyarakat aktif bekerja mengawasi tingkah laku pemimpinnya, dan memberikan reaksi yang cepat kepada kekeliruan pemimpinnya.

Kalau masyarakat Indonesia sendiri tidak segera terpanggil untuk menciptakan sistem politik baru yang lebih ketat pengawasannya, maka pada akhirnya yang tercipta adalah suatu keadaan di mana meningkatnya intoleransi kepada perbedaan akan diimbangi oleh berkembangnya toleransi terhadap kesalahan, mudahnya pemaafan terhadap penyelewengan dan akhirnya sikap permisif terhadap kejahatan.

Kalau ini terjadi, maka sistem hukum apa pun tidak akan sanggup menolong, karena hukum hanya dapat berfungsi pada suatu tingkat normalitas politik tertentu. Sebaliknya dalam situasi politik yang abnormal, hanya kekuatan sistem politiklah yang akan sanggup memperbaiki keadaan.

Pengadilan memang ಮೆನ್ಗಂದೈಕ n bahwa setiap tertuduh yang dibawa kepadanya harus diperlakukan sebagai tak bersalah sampai terbukti sebaliknya. Hukum mengandaikan bahwa setiap orang cenderung melakukan kesalahan, dan karena itu tingkahlaku yang benar dan tidak merugikan orang lain, tidak dapat diserahkan kepada moralitas pribadi tiap orang, tetapi perlu diatur dengan peraturan hukum posi-
tif.

Politik Indonesia saat ini rupanya harus mengandaikan bahwa setiap pemimpinnya cenderung dan pasti menyeleweng, dan hanya suatu sistem kontrol sosial yang efektif akan menghentikan penyelewengan dan mengurangi kecenderungan kepada kesewenang-wenangan. Dalam kenyataannya, pemimpin yang baik bukanlah orang yang banyak kebajikannya, tetapi orang yang dicegah dari berbuat banyak kesalahan dan diselamatkan dari berbagai keteledoran (sin of omission) dan kecerobohan (sin of commission).

* Dr Ignas Kleden, sosiolog, Direktur The Go-East Institute (Lembaga Lintas Timur), Jakarta.

Legitimasidan Legalitas

Senin, 2 Agustus 1999

Kontradiksi Legitimasi dan Legalitas
Oleh Ignas Kleden


BELUM genap satu setengah tahun usia reformasi, diskusi politik di Indonesia nampaknya mulai lupa bahwa ketika mula pertama diluncurkan oleh para mahasiswa, reformasi dimaksudkan sebagai reformasi total. Untuk memberi fokus kepada usaha pembaharuan telah pula ditetapkan tiga sektor yang perlu diberi prioritas utama, yaitu ekonomi, politik dan hukum. Semua kita berutang-budi kepada mahasiswa Indonesia 1998 yang telah menjadi ujung-tombak dalam merubuhkan Orde Baru sebagai ancient regime, dan memberi kita kesempatan untuk menata kehidupan politik yang baru berdasarkan prinsip-prinsip yang lebih masuk akal, dan demi tujuan-tujuan yang lebih dipertanggungjawabkan.

Merumuskan agenda reformasi dalam ketiga bidang tersebut dan menetapkan urutan prioritasnya, jelas bukan lagi tugas mahasiswa, tetapi menjadi pekerjaan rumah bagi para politisi Indonesia yang mengaku reformis. Mungkin perlu dikemukakan lagi bahwa reformasi adalah sebuah transaksi sejarah Indonesia: ada yang didapat tetapi ada yang harus dibayar. Mahasiswa Indonesia 1998 telah membayar kontan untuk itu dengan nyawa rekan-rekannya. Di luar itu semua warga negara ini lebih mirip penerima kredit. Setiap orang yang menikmati reformasi harus membayar cicilan utang dengan segala cara selain nyawa, karena jiwa seorang warga negara tetap lebih mahal dari utang luar negeri pemerintah dan swasta digabung satu.

Salah satu cara pembayaran adalah menyambut tuntutan para mahasiswa dengan turun aktif menyusun apa yang harus direformasikan, dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang, dan apa yang harus dilakukan untuk mewujudkannya. Sebagai contoh yang gampang, dalam bidang politik pemerintahan Presiden Habibie mula-mula digugat karena diragukan legalitasnya (karena tidak diangkat oleh MPR) dan juga dipertanyakan legitimasinya (karena dia bukanlah presiden hasil pilihan rakyat). Anehnya, setelah Pemilu '99 dilakukan dengan cara yang paling tertib dan jujur selama 30 tahun terakhir, dan setelah Megawati nyata-nyata memperoleh suara terbanyak (yang berarti dialah yang paling dikehendaki oleh rakyat untuk menjadi pemimpin mereka dibandingkan dengan orang lain), mulai dipertanyakan kelayakannya sebagai calon presiden dan posisinya semakin dipersulit oleh dalih legalitas prosedur pemilihan presiden berdasarkan ketentuan undang-undang yang ada.

Kasus Megawati jelas menjadi suatu kasus yang menarik dan penting tentang pertentangan antara legalitas dan legitimasi dalam politik Indonesia. Prinsip legalitas menetapkan bahwa seorang presiden di Indonesia dipilih oleh wakil-wakil rakyat dalam MPR. Prinsip legitimasi, sebaliknya, menetapkan bahwa seorang presiden yang memerintah, hanya dapat memerintah kalau terbukti dia dikehendaki dan dipilih rakyat (dalam pemilu)-karena legitimasi adalah suatu pemerintahan yang berasal dari rakyat dan dipilih oleh rakyat. Demikian juga seorang presiden mendapatkan legitimasi kalau kelak dia terbukti memakai kekuasaannya untuk menjalankan aspirasi rakyat-karena legitimasi adalah pemerintahan yang diabdikan untuk kepentingan rakyat.

Masalah yang akan menjadi sangat sensitif adalah apa yang terjadi nanti kalau Indonesia mempunyai seorang presiden baru yang ternyata dipilih oleh wakil-wakil rakyat dalam MPR (jadi sesuai dengan asas legalitas), tetapi dalam pemilihan umum ternyata kurang dikehendaki oleh rakyat dibandingkan calon lainnya, sebagaimana diperlihatkan oleh jumlah perolehan suara (jadi lebih kecil dan lebih kurang legitimasinya)? Apakah legitimasi (suara rakyat) harus dikorbankan untuk menyelamatkan legalitas (ketentuan UU tentang prosedur pemilihan presiden)? Ataukah, dapat dikatakan sebaliknya, bahwa merupakan juga tugas UU untuk menyerap aspirasi rakyat melalui amandemen pasal-pasal yang tidak lagi sesuai dengan aspirasi yang sedang berkembang?

Tulisan ini cukup tahu diri untuk tidak memasuki masalah-masalah teknis-yuridis yang jauh dari keahlian penulis ini. Namun demikian, ada suatu dimensi etis yang rupanya harus disadari dan perlu diketahui oleh warga negara. Pertentangan antara legalitas dan legitimasi pada tahap akhir adalah pertentangan antara situasi normatif dan kondisi empiris, yaitu pertentangan antara norma hukum (berupa ketentuan UU) dan fakta politik (berupa aspirasi rakyat).

***

PERTENTANGAN antara norma dan fakta tidak saja terjadi dalam hukum dan politik, tetapi juga terjadi dalam moral. Justru pada saat ini perbedaan antara legalitas dan moralitas menjadi terlalu aktual untuk tidak mendapat perhatian khusus.

Dalam moralitas kontradiksi yang muncul antara norma moral dan tingkah laku moral tidak dapat mendesakkan perubahan atau modifikasi ketentuan moral yang bersifat normatif. Korupsi misalnya, adalah pelanggaran moral yang dianggap jahat. Seandainya (hanya sebagai misal), 75 persen dari mereka yang bekerja dalam birokrasi Indonesia melakukan korupsi, maka kenyataan itu tidak dapat mengakibatkan modifikasi norma moral, misalnya dengan menetapkan bahwa korupsi bukanlah sesuatu yang secara moral jahat, karena ternyata terbanyak orang melakukannya.

Prinsip moralitas ini tidak dapat diterapkan begitu saja dalam legalitas. Menurut UU, korupsi adalah suatu tindakan melawan hukum. Kalau dalam reformasi dituntut suatu law enforcement yang tuntas, maka 75 persen dari pegawai negeri dan pejabat pemerintah yang melakukan korupsi harus dihukum. Pada titik itu akan ketahuan bahwa law enforcement ternyata dibatasi, dan, karena itu, harus berkompromi dengan kondisi empiris. Pertama, kalau 75 persen dari 3 juta atau 4 juta pegawai negeri harus dihukum penjara, maka tidak akan ada cukup penjara untuk menampung mereka semua. Kedua, kalau 75 persen pegawai negeri berhenti bekerja untuk menjalankan hukuman, maka seketika itu juga mesin birokrasi berhenti berputar, dan negara akan macet, karena tidak akan dapat dilayani oleh 25 persen pegawai negeri yang tidak melakukan korupsi.

Lukisan di atas sama sekali tidak bermaksud menyarankan bahwa-karena itu-korupsi harus dianggap tidak melanggar hukum. Yang hendak ditekankan ialah bahwa dalam penerapan hukum perlu dipertimbangkan dan tidak dapat diabaikan kondisi-kondisi empiris di mana ketentuan hukum akan diterapkan.

***

DARI perspektif teori kebudayaan, setiap ketentuan hukum - seperti halnya setiap pola budaya - selalu mempunyai fungsi ganda dalam dirinya. Pada satu pihak dia berfungsi membatasi, mengekang, atau melarang (sebagai fungsi restriktif), dan pada pihak lain dia akan berfungsi mendorong, membimbing, dan mendidik (sebagai fungsi edukatif). Dengan demikian, secara restriktif, hukum melarang seseorang melakukan korupsi dan mengekang nafsu dan keinginannya untuk bertindak korup, dan sekaligus, secara edukatif, membimbing orang yang sama untuk memahami perbedaan antara milik pribadi, milik umum dan milik negara serta menghormatinya.

Akan tetapi ketentuan hukum tentang korupsi hanya bisa berfungsi dalam suatu masyarakat yang mengakui adanya milik pribadi, milik umum, dan milik negara. Ketentuan hukum yang sama akan mengalami kesulitan besar untuk diterapkan dalam suatu komunitas komunal, di mana banyak hal penting (seperti tanah, air, hutan, hewan liar, atau ikan di laut) masih dianggap sebagai milik komunal tanpa ada orang yang dapat mengklaimnya sebagai milik pribadi. Konflik-konflik yang dialami pemegang HPH dengan penduduk lokal di berbagai tempat, disebabkan oleh penerapan hak pribadi untuk seorang pemegang lisensi atas hak komunal yang masih berlaku dalam banyak komunitas komunal di Indonesia.

Contoh ini hanyalah sebuah ilustrasi bahwa pertimbangan mengenai kondisi empiris bukan saja instrumental atau berguna tetapi juga substansial atau hakiki sifatnya dalam penerapan hukum. Ini artinya, di tempat di mana hak milik komunal atas tanah dan hutan masih berlaku, maka penerapan hak pribadi atas tanah dan hutan berdasarkan ketentuan hukum modern sebaiknya dipertimbangkan dengan sangat hati-hati.

Kalau kita kembali ke masalah legitimasi dan legalitas, maka argumentasi yang hendak diajukan di sini adalah bahwa legalitas sebaiknya disesuaikan dengan legitimasi, situasi normatif hukum perlu mengakomodasi kenyataan empiris, dan ketentuan UU hendaknya mempertimbangkan fakta politik berupa aspirasi rakyat.

Kalau ditempuh jalan sebaliknya, yaitu mengorbankan legitimasi untuk mempertahankan legalitas, atau mengorbankan aspirasi rakyat untuk mempertahankan ketentuan UU, maka sangat boleh-jadi spirit demokrasi turut dikorbankan di sana. Alasan untuk ini tak memerlukan banyak uraian.

Kalau kita kembali kepada asas demokrasi yang pokok bahwa demokrasi adalah sesuatu sistem politik yang didasarkan pada aspirasi rakyat dan bertujuan mewujudkan aspirasi rakyat, maka watak demokrasi itu harus juga tercermin dalam hukum. Dalam suatu sistem demokrasi dapat diandaikan hukum juga harus didasarkan pada aspirasi rakyat dan bertujuan mewujudkan aspirasi rakyat dan bukan malahan menghalanginya. Apalagi, untuk mengatakan secara parodis, mengamandemenkan beberapa pasal UU tidak akan menyebabkan UU merasa dikhianati, tetapi mengorbankan aspirasi rakyat pasti menyebabkan rakyat merasa dikhianati.

Usul ini berlaku untuk debat yang tengah berlangsung sekarang perihal pemilihan presiden yang akan datang. Pertanyaannya adalah: Apakah Megawati (atau siapa pun) yang memperoleh suara terbanyak dalam Pemilu 1999 harus terhalang untuk memegang tampuk pimpinan nasional, kalau prosedur pemilihan presiden Indonesia, sebagaimana diatur dalam UU, tak memungkinkannya untuk menjadi Presiden RI? Dan sebaliknya, apakah seorang calon lain dapat menjadi presiden karena dimungkinkan oleh prosedur pemilihan menurut UU, sekalipun dia ternyata kurang didukung oleh perolehan suara dalam pemilu?

Nampaknya salah satu keutamaan yang harus diwujudkan dalam reformasi adalah kesanggupan untuk melihat kenyataan dan kebenaran yang sederhana dan menerimanya. Berbagai manuver politisi Indonesia saat ini memberikan kesan sebaliknya, seakan-akan semuanya begitu ruwet, seakan-akan Megawati tak pernah memenangkan suara terbanyak, seakan-akan Pemilu '99 tak pernah ada, dan seakan-akan reformasi tak pernah dicanangkan. Momentum reformasi, apakah tak dapat dipergunakan untuk membereskan masalah legalitas ini supaya menghormati aspirasi rakyat?

Karl Popper, filosof Austria-Inggris, selalu mengajarkan selama hidupnya sebuah asas ilmu pengetahuan. Katanya, membuat sesuatu yang sederhana menjadi ruwet dan sulit adalah hal yang gampang dan tak memerlukan banyak keahlian dan tanggung jawab dalam ilmu pengetahuan. Sebaliknya, membuat yang ruwet menjadi sederhana adalah perkara yang amat sulit, yang memerlukan keahlian tinggi dan tanggung jawab yang mendalam. Kalau politisi Indonesia merenungkan dalil tersebut, mereka akan segera tahu, apakah mereka memang memilih jalan gampang dengan mempersulit keadaan dan membingungkan rakyat, ataukah mereka berani memilih jalan sulit dengan menerima kenyataan yang demikian sederhana, bahwa rakyat menghendaki pemimpin yang telah dipilihnya, dan hal itu seyogianya tidak dihalangi oleh hukum tetapi patut mendapat bantuan dalam pembaharuan hukum, dan pembaharuan tingkah laku politisi Indonesia.

(* Ignas Kleden, sosiolog, tinggal di Jakarta.)


Kepemimpinan Nasional

>Senin, 30 Juli 2001

Kepemimpinan Nasional dan Krisis Politik
Oleh Ignas Kleden


DALAM sejarah politik semenjak Indonesia merdeka, naik-turunnya seorang pemimpin nasional, yaitu Presiden RI, tidak pernah terlepas dari krisis politik. Belum pernah terjadi selama 56 tahun kemerdekaan bahwa seorang pemimpin nasional kita mendapatkan kekuasaannya, dan kemudian melepaskan kekuasaannya dengan prosedur yang normal. Yang saya maksudkan dengan krisis politik adalah keadaan di mana seorang presiden mendapatkan kekuasaannya tidak melalui pemilihan presiden secara terbuka, demokratis dan transparan, tetapi melalui suatu desakan force majeure.

Dalam sejarah lima presiden kita hingga sekarang dapat kita catat: Presiden Soekarno telah menjadi presiden dan mengakhiri kekuasaannya dengan krisis politik. Presiden Soeharto mengalami nasib yang persis sama, dan demikian pun penggantinya Presiden BJ Habibie. Satu-satunya presiden yang mendapatkan kekuasaannya melalui pemilihan presiden secara terbuka dan transparan adalah Gus Dur atau Presiden Abdurrahman Wahid.

Ketika kekuasaan ini diserahkan kepadanya oleh MPR sesuai dengan hasil pemilihan presiden, maka sebahagian besar orang merasa inilah barangkali awal dari tradisi baru di Indonesia, yaitu bahwa suksesi kekuasaan tidaklah harus berhubungan dengan prahara politik. Harapan lain waktu itu ialah bahwa mudah-mudahan Presiden Gus Dur yang telah mendapatkan kekuasaannya tanpa suatu krisis politik, akan dapat juga mengakhiri kekuasaannya tanpa krisis politik hingga akhir masa pemerintahannya pada tahun 2004. Inilah rupanya pertimbangan utama-meskipun jarang dikemukakan-mengapa Gus Dur sendiri dan para pendukungnya menghendaki agar supaya dia dibiarkan memerintah hingga akhir tahun kelima, pada saat mana dia pun harus memberikan pertanggungjawaban tentang pemerintahannya kepada MPR. Hal ini ternyata tidak terjadi, dan sebagai akibatnya, Gus Dur meninggalkan kursi kepresidenan karena suatu krisis politik, atau dalam istilah yang terang, melalui suatu impeachment oleh Sidang Istimewa MPR.

***

HARAPAN untuk memulai suksesi kekuasaan dengan prosedur yang normal melalui pemilihan, dan juga berakhirnya kekuasaan pada akhir jabatan presiden, kini buyar kembali. Apa pun faktor-faktor obyektif politik dan ekonomi yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan keadaan ini, tetap saja muncul pertanyaan: mengapa awal atau akhir kepemimpinan nasional di Indonesia selalu terjadi karena krisis politik, dan ini terjadi sudah selama lebih dari setengah abad Indonesia merdeka? Apakah hal ini tidak berhubungan dengan psikologi masyarakat politik, dan khususnya psikologi dan tingkah laku para politisi kita?

Sekarang Megawati Soekarnoputri mengulang lagi sejarah yang sama, yaitu bahwa dia pun mendapatkan kekuasaan tertinggi di negara ini melalui suatu krisis politik. Dapatkah kita kini berharap, bahwa Presiden Megawati Soekarnoputri, sekurang-kurangnya, akan dapat mengakhiri masa pemerintahannya tanpa krisis politik hingga Pemilihan Umum 2004? Ataukah kita sudah harus bersiap dari sekarang bahwa presiden kita yang kelima ini pun akan terpaksa meninggalkan istana negara dan melepaskan kekuasaannya karena desakan krisis politik?

Keadaan ini sekarang bukannya menjadi lebih normal, melainkan menjadi lebih kompleks dan rumit, karena sekarang ada preseden baru bahwa dengan sistem dan mekanisme politik yang ada, DPR dapat mengusulkan Sidang Istimewa MPR, dan seterusnya MPR dapat memanggil Sidang Istimewa setiap saat, dan kekuasaan presiden segera berada di ujung tanduk. Maka stabilitas pemerintahan justru menjadi penuh risiko karena adanya kesempatan yang diberikan kepada badan legislatif dan MPR untuk menjatuhkan presiden di tengah jalan. Kita semua tahu, alasan "negara ada dalam keadaan bahaya" selalu dapat direkayasa, dan begitu sebagian besar anggota MPR menyetujuinya, tamatlah riwayat presiden kita yang mana pun.

***

DAPATKAH psikologi ini dijelaskan, atau dicoba dijelaskan? Menurut hemat saya hal ini masih terkait erat dengan konsepsi tentang kekuasaan, yang dalam tradisi lama (atau tradisi kerajaan-kerajaan di Nusantara) selalu dilihat sebagai sesuatu yang luar biasa, yang untuk mendapatkannya perlu ada intervensi dari kekuatan-kekuatan supernatural berupa wangsit, pulung, wahyu, dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan energi-energi kosmis dalam alam. Kekuasaan dalam konsepsi ini bukanlah bagian dari political everyday life. Dalam pandangan tradisional ini kekuasaan dianggap tidak sama dengan pasar, tidak sama dengan organisasi, tidak sama juga dengan konfigurasi kekuatan-kekuatan politik, atau sesuatu yang berdiri tegak di atas normativitas, tetapi juga rasionalitas konstitusi. Dengan psikologi ini orang-orang yang menginginkan kekuasaan akan selalu tergoda untuk menciptakan prahara politik, dan kemudian atas nama krisis politik, dapat mengambil berbagai langkah darurat untuk memperebutkan kekuasaan.

Ahli ilmu politik LIPI, Dr Mochtar Pabottingi berulang kali menekankan bahwa politik Indonesia dan peralihan kekuasaan politik tidak bisa terus-menerus didasarkan pada psikologi keadaan darurat atau political emergency psychology. Dalam masa pemerintahan Soeharto kita mengalami bahwa pihak eksekutif atau Presiden Soeharto sendiri amat pandai memainkan keadaan darurat ini untuk melanggengkan kekuasaannya. Godaan yang kita hadapi sekarang ialah bahwa legislatif dan MPR dapat terjebak ke dalam kondisi yang sama untuk memainkan juga alasan 'keadaan darurat' bukan untuk melanggengkan kekuasaan (seperti yang dilakukan Soeharto), tetapi untuk mengakhiri kekuasaan eksekutif, yang barangkali tidak menguntungkan kepentingan orang-orang dalam lembaga legislatif sendiri.

Persoalan yang amat serius sekarang ini ialah: bagaimana dapat kita mengawasi keputusan MPR? Pada titik ini kita berhadapan dengan suatu masalah fundamental dalam demokrasi kita yaitu akuntabilitas dan rasionalitas politik dari MPR sendiri. Apa yang terjadi kalau sebahagian besar anggota MPR memberikan suaranya untuk suatu keputusan, yang terang-terangan tidak menguntungkan kepentingan nasional, mengabaikan keadilan, mengganggu stabilitas politik, atau bahkan bertentangan dengan undang-undang dasar? Siapa yang dapat mengontrol dan, kalau boleh, mencegah semua ini?

Jawaban standar yang dapat diberikan ialah bahwa inilah risiko demokrasi yang sudah dicemaskah oleh filosof Sokrates sendiri semenjak masa Athena. Alasan Sokrates menolak demokrasi adalah karena sistem ini memberikan kemungkinan bahwa kita diperintah oleh orang-orang bodoh atau bahkan oleh orang-orang jahat. Para anggota MPR kita pastilah bukan orang bodoh atau orang jahat. Tetapi godaan kepada irasionalisme selalu ada dalam politik, apalagi kalau hal ini berhubungan dengan kepentingan kelompok politik. Maka perlu dicari jalan bahwa keputusan MPR pun memerlukan suatu mekanisme untuk akuntabilitasnya. Usul ini berhubungan dengan keamanan dan perlindungan terhadap kekuasaan presiden di masa yang datang.

***

KEJATUHAN Presiden Gus Dur, selain karena alasan-alasan konstitusional yang berhubungan dengan Dekrit Presiden 23 Juli 2001, disebabkan karena ketidak-puasan terhadap kinerja pemerintahannya. Ekonomi dianggap memburuk, yang terlihat antara lain dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar yang terus memburuk.

Ada dua hal yang perlu dibicarakan dalam hubungan ini. Pertama, apakah alasan kinerja dan prestasi kerja ini dapat menjadi dasar untuk menjatuhkan seorang presiden? Tidak perlu ada diskusi lagi bahwa kalaulah seorang presiden terang-terangan melawan konstitusi, dan terang-terangan membawa negara ke dalam bahaya, maka perlu ada langkah tegas dari pihak legislatif. Hal yang dipersoalkan adalah masalah competence & performance suatu pemerintahan. Apakah seorang presiden yang mengambil menteri-menteri yang tidak kompeten dapat diberhentikan? Selanjutnya, seandainya pun menteri-menteri yang diangkat adalah orang-orang yang kompeten, namun karena kacaunya koordinasi mereka tak dapat bekerja secara efisien dan efektif, sehingga kinerja kabinet menjadi menurun, maka apakah ini alasan cukup untuk mulai menggoyang kekuasan presiden?

Usul yang diajukan di sini ialah bahwa dalam hal ini competence & performance haruslah ditanggung sebagai risiko dari pemilihan presiden. Orang-orang yang memilih seorang tokoh menjadi presiden mereka sebaiknya bersiap bahwa presiden mereka barangkali akan gagal, dan kegagalan ini harus mereka tanggung, tanpa harus memberhentikan presidennya di tengah jalan. Hal ini kurang-lebih sama dengan sikap kita terhadap badan legislatif, di mana kita juga tidak dapat membubarkan DPR dan MPR karena mereka tidak bekerja maksimal, meskipun mereka dibayar mahal dengan uang negara. Mendapatkan anggota DPR yang rendah kinerjanya (misalnya tidak menghasilkan berbagai undang-undang baru yang justru sangat diperlukan), adalah risiko yang harus ditanggung oleh para pemilihnya, tanpa harus membubarkan DPR.

***

SUDAH tentu usul ini akan mempunyai banyak kaitan dengan masalah-masalah hukum tatanegara yang tidak menjadi keahlian dan kompetensi penulis ini, dan sebaiknya diserahkan kepada ahli hukum kita. Persoalan yang menjadi fokus tulisan ini adalah: bagaimana menjaga keseimbangan di antara stabilitas dan rasionalitas politik, dan juga keseimbangan lainnya di antara kekuatan suara dalam demokrasi dan akuntabilitas dari suara-suara itu. Apakah jumlah besar suara (yang merupakan kekuatan kuantitatif) perlu diimbangi dengan penjelasan dan reasoning tentang mengapa mereka memberikan suara mereka (yang merupakan kekuatan kualitatifnya)? Tanpa keseimbangan ini risiko yang kita hadapi ialah adanya stabilitas tanpa dukungan rasionalitas yang memadai (seperti pada zaman Soeharto) dan adanya rasionalitas atau rasionalisasi yang mencukupi tetapi mengorbankan stabilitas (seperti yang kita alami sekarang ini).

Ujian terhadap perimbangan tersebut ialah suksesi kekuasaan. Kalau kekuasaan dapat mengalami peralihan menurut prosedur yang normal, maka kita dapat berbahagia bahwa pengertian dan penghayatan kekuasaan politik sekarang sudah sedikit lebih maju dari Majapahit atau Mataram.

* Dr Ignas Kleden, sosiolog, Direktur The Go-East Institute (Lembaga Lintas Timur), Jakarta.