Saturday, March 28, 2009
Asketik dan Politik
* Ignas Kleden
PADA tahun 1976, diterbitkan sebuah buku kecil Bung Hatta berjudul Mendayung Di Antara Dua Karang (Bulan Bintang, Jakarta, 1976), yang berisikan tiga pidatonya sebagai wakil pemerintah. Isi pokok ketiga pidato tersebut adalah penjelasan dan pertanggungan jawab kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), mengenai garis politik luar negeri yang diambil oleh Republik Indonesia.
Garis itu adalah garis bebas aktif, yaitu tidak memihak kepada salah satu dari dua blok ideologi pada waktu itu, yaitu blok Barat di bawah pimpinan Amerika Serikat dan Blok Timur di bawah pimpinan Uni Soviet. Indonesia akan menentukan garisnya sendiri, yang dapat menyumbang kepada terjaminnya kedaulatan tiap-tiap negara dan terbentuknya perdamaian dunia.
Bukan kebetulan bahwa buku kecil itu mengambil judul Mendayung Di Antara Dua Karang karena sikap bebas-aktif seperti itu pada hemat penulis, ini menjadi sikap dasar dari Mohammad Hatta, yang selalu mendayung di antara dua karang dalam hidupnya, yakni di antara keharusan menyelesaikan studi di perguruan tinggi dan kewajiban untuk terlibat dalam perjuangan politik untuk Indonesia Merdeka, di antara hormat dan kepatuhannya kepada keluarga besarnya dan panggilan untuk menjadi patriot paripurna, di antara pilihan politik kooperasi dan nonkooperasi sebagaimana terlihat dalam polemiknya yang keras dan jernih dengan Soekarno (sehubungan dengan pencalonan Hatta sebagai anggota Tweede Kamer di Belanda), dan di antara pendidikan politik dan mobilisasi politik yang menjadi pokok perbedaan strategi.
Partindo dan PNI Baru yang menyebabkan kedua partai politik itu akhirnya bertukar jalan. Yang paling tragis di atas segala-galanya adalah pilihan sulit untuk mempertahankan keutuhan Dwitunggal Soekarno-Hatta, dan dengan cara itu menyelamatkan kepemimpinan nasional, atau sikap tanpa tawar-menawar dalam mengikuti prinsip-prinsip yang menentukan moralitas dari tindak tanduk politiknya.
Esai kecil ini ingin memperlihatkan bahwa sudah dari awal riwayat hidupnya, Hatta rupanya terlempar dalam ketegangan arus tarik-menarik itu dalam keluarga besarnya, yang dari pihak ayah mewariskan suatu tradisi keagamaan yang lama berakar dalam komunitas sufi, dan yang dari pihak ibu membuka lebar suatu cakrawala modernisme, bisnis dan ilmu pengetahuan. Apakah Hatta selalu berhasil dengan selamat mendayung di antara dua karang terjal itu, hal itu akan dicoba diuraikan dalam bagian-bagian berikut tulisan ini.
Bukan paksaan keadaan
Hatta adalah seorang pemimpin yang bertindak menurut pikiran dan hati nuraninya, dan bukannya menurut paksaan keadaan, atau senang menumpang kemungkinan yang diberikan oleh kesempatan. Hampir tidak ada peristiwa dalam hidupnya bahwa Hatta mengambil langkah yang tidak konsisten dengan apa yang dipikirkan, diucapkan atau ditulisnya, atau memakai suatu kesempatan yang datang secara kebetulan yang tidak diperhitungkannya sebelumnya.
Membaca riwayat hidup dan perjuangannya bukanlah menyaksikan sepak bola indah yang penuh warna-warni dan kejutan, tetapi melihat suatu permainan yang dingin, penuh perhitungan, taat asas, dan kadang-kadang membosankan, tetapi yang efektivitasnya didukung oleh disiplin tinggi dan keyakinan yang teguh. Keberaniannya tidak tampak dalam gemuruh pidato yang berapi-api, tetapi dalam ketenangan menghadapi penderitaan, tahanan dan pembuangan. Dari segi ini, Hatta dan Soekarno dapat merupakan perpaduan yang sangat ideal untuk bangsa dan rakyat Indonesia-yaitu perpaduan antara karisma dan rasionalitas-sekalipun kombinasi ini sangat sulit untuk kedua tokoh ini sendiri.
Di banyak tempat dalam tulisannya, ia menekankan berulang kali bahwa pemimpin yang dapat diandalkan oleh pengikutnya adalah pemimpin yang mempunyai keberanian untuk menderita dan menahan rasa sakit. Sementara Soekarno memandang revolusi dari akibat yang ditimbulkannya, yaitu menjebol dan membangun, maka Hatta melihat revolusi dari kondisi agen yang menjalankannya. Untuk mengutip kata-katanya sendiri, "Tanda revolusioner, bukan bermata gelap, melainkan beriman, berani menanggung siksa dengan sabar hati, sambil tidak melupakan asas dan tujuan sekejap mata juga. (Emil Salim et al, Karya Lengkap Bung Hatta, Buku 1: Kebangsaan dan Kerakyatan, LP3ES, Jakarta, 1998, halaman 270)
Dilihat dengan cara itu, Hatta bukanlah pemimpin yang disorak-soraki para pengikutnya ketika menikmati kejayaan atau yang diratapi selagi ia dirundung malang. Ia adalah tokoh yang terbiasa dengan kesunyian dan kesendirian karena hanya seorang yang dapat mempertahankan kesendirian dalam kesunyian dapat berpikir, merenung dan menulis demikian banyak dalam hidupnya, dan dapat menetapkan tiap jejak langkahnya dengan pemikiran yang matang dan tenang. Dapat dikatakan dengan pasti bahwa Hatta adalah tokoh dari generasi founding fathers yang paling banyak menghasilkan karya tulis. Ketika Soekarno dibuang ke Ende, Flores, ia membentuk kelompok sandiwara yang dipimpinnya sendiri.
Ketika Sjahrir dibuang di Bandaneira, ia menghabiskan sebagian besar waktunya bermain dengan anak-anak dan mengajar mereka. Tetapi, ketika Hatta dibuang ke Boven Digul, ia mempelajari filsafat Yunani dan mengajarnya kepada kawan-kawannya sesama tahanan. Dengan yakin ia menulis, "... filosofi berguna untuk penerang pikiran dan penetapan hati. Ia membawa kita ke dalam alam pikiran, alam nurani semata-mata. Dan oleh karena itu melepaskan kita daripada pengaruh tempat dan waktu."
Dalam pergaulan hidup yang begitu menindas akan rohani, sebagai di tanah pembuangan Digul, keamanan perasaan itu perlu ada. Siapa yang hidup dalam dunia pikiran, dapat melepaskan dirinya daripada gangguan hidup sehari-hari." (M Hatta, Alam Pikiran Yunani, Tintamas, Jakarta, 1983, Pengantar Kalam)
Kata-kata itu ditulisnya tahun 1941 ketika Hatta sudah dipindahkan ke Bandaneira.
Dengan istilah-istilah yang jamak dalam studi filsafat, keteguhan seseorang dalam imanensi, yaitu dalam pergulatannya sehari-hari menghadapi situasi sosial-politik yang terus berubah dan penuh pergolakan, hanya dimungkinkan oleh kemampuan transendensi, yaitu kesanggupan untuk melepaskan diri sewaktu-waktu dari keadaan itu, kembali ke dalam alam pikiran dan hati nurani, bukan untuk tujuan melarikan diri, tetapi untuk "penerang pikiran dan penetapan hati".
Setiap tokoh kita yang pernah mengalami pembuangan melakukannya, meskipun barangkali tidak dengan kesadaran yang demikian eksplisit seperti pada Hatta. Ketika Soekarno dibuang ke Ende, ia mulai memperdalam studi dan keyakinannya tentang Islam, ketika berada di Bandaneira, Sjahrir menulis renungan-renungan kebudayaan terbaik yang pernah dihasilkannya, yang, seperti juga pada Hatta, tujuannya adalah mengambil jarak dari "pergaulan hidup yang begitu menindas akan rohani." Atau dalam ungkapan yang lebih teologis, aktivisme politik rupanya harus ditunjang juga oleh semacam asketisme spiritual dan kontemplasi rohani. Ibaratnya, semakin tinggi pohon, semakin dalam pula akarnya harus menghunjam ke Bumi.
Untuk Hatta sendiri, sikap dan pandangan hidup seperti ini, bukanlah sesuatu yang ditemukannya secara kebetulan, atau muncul berkat pengalaman pergaulannya di Eropa. Pendirian dan keyakinan seperti itu sepertinya sudah disiapkan oleh riwayat hidupnya semenjak kecil, dan diberikan oleh warisan rohani keluarganya sendiri. Semenjak kecil, Hatta seakan berada dalam ketegangan antara dunia tradisi dan sufi pada satu pihak dan modernitas, ilmu pengetahuan, bisnis dan dunia perdagangan pada pihak lainnya.
Jauh di kemudian hari, Hatta merumuskan hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama secara lebih sistematis, "Sungguh pun agama mempunyai medannya sendiri, terpisah dari medan ilmu, agama adalah datum bagi ilmu. Sebagaimana ilmu yang dipahamkan dapat memperdalam keyakinan agama, demikian juga kepercayaan agama dapat memperkuat keyakinan ilmu dalam menuju cita-citanya. Juga ilmu dituntut, pada hakikatnya, untuk keselamatan dan kebahagiaan hidup manusia. Tidak sedikit korban yang diberikan oleh pujangga ilmu untuk mencapai pengetahuan yang dapat memperbaiki keadaan masyarakat. Kekuatan jiwa untuk berkorban itu sering diperoleh dari tekad dan keyakinan agama." (Mohammad Hatta, Pengantar Ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan, Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 1987, cetakan 7, halaman 41)
Ketegangan di antara Islam dan Barat, sufisme dan modernisme, agama dan ilmu pengetahuan, tidak menimbulkan antagonisme dalam diri Hatta, tetapi justru membuat dia berkembang secara matang dalam kedua bidang tersebut, yaitu mendalami ilmu pengetahuan secara tekun, sambil mempertahankan disiplin spiritualnya tanpa diguncang oleh segi-segi yang lebih liberal dalam moral orang-orang Eropa.
Pada diri Hatta tidak pernah kelihatan dualisme antara agama dan ilmu pengetahuan, antara politik sekular dan keyakinan religius yang mendalam, mungkin karena kedua bidang itu tidak dihayati sebagai dua kutub yang saling bertentangan, tetapi sebagai dua kekuatan yang dapat terpadu secara harmonis dalam apa yang oleh ahli perbandingan agama, Mircea Eliade, dinamakan coincidentia oppositorum (bertemunya berbagai kontradiksi dalam diri seseorang tanpa menimbulkan konflik) yang menjadi kebajikan para sufi. (Wendell C Beane & William G Doly (eds), Myths, Rites, Symbols: A Mircea Eliade Reader, vol 2, Harper & Row, New York, 1976, hal 449)
Seni berprinsip
Dalam sebuah karangan yang dapat dianggap sebagai pesan untuk PNI, Hatta menulis tentang Soekarno dan tokoh-tokoh lainnya yang ditahan sebagai berikut, "Kita masgul, kita bersedih hati, karena ketua kita, Ir Soekarno, serta beberapa pemimpin kita yang lain, masih dalam tahanan. Kita sakit hati melihat nasibnya di dalam bui. Akan tetapi, kita tak harus menundukkan kepala. Apa juga yang akan jatuh pada diri saudara-saudara Soekarno dan yang lain-lain yang tertahan, kita mesti tahu bahwa mereka itu sudah dengan segala ketetapan hati menanggung segala deritaan yang akan jatuh pada diri mereka. (......) Tiap-tiap pemimpin yang menyerbukan dirinya ke dalam golongan rakyat telah mengetahui lebih dahulu, bahwa hidupnya tidak akan senang, bahwa ia tidak selama-lamanya akan tidur di atas kasur kapas yang enak. (Emil Salim et al op cit, halaman 110)
Terlihat di sini, betapa Hatta tidak hanya percaya kepada dirinya sendiri dalam berhadapan dengan kesulitan dan penderitaan, tetapi dia pun mempunyai keyakinan yang sama terhadap rekan-rekan seperjuangannya yang dianggap sebagai sesama pemimpin pergerakan dan pemimpin bangsa.
Kalau Otto von Bismarck dari Prusia pernah mendefinisikan politik sebagai Kunst des Moeglichen, yaitu seni memakai kemungkinan-kemungkinan, maka kehidupan Hatta secara politik memberikan gambaran sebaliknya bahwa politik dapat juga dihayati sebagai seni mempertahankan prinsip-prinsip. Pada diri tokoh ini politik tidaklah begitu tampil sebagai the art of the possible, tetapi justru sebagai the art of principles. Sikap seperti ini menyebabkan bahwa tokoh seperti Hatta seringkali memperlihatkan suatu jenis keberanian, yang tidak dapat diterangkan hanya sebagai pembawaan psikologis (misalnya karena seseorang dilahirkan tanpa kepekaan terhadap rasa takut), tetapi suatu jenis keberanian yang hanya dapat dipahami sebagai konsekuensi dari suatu kesimpulan filosofis.
Sikap ini dapat dinamakan posisi Socratik karena merupakan ajaran hidup dan contoh hidup yang diberikan oleh Socrates sendiri. Pemahaman Hatta tentang Socrates dalam studi-studi sejarah filsafat yang dilakukannya, merupakan suatu tafsiran yang tepat sekali, karena filsafat pada Socrates bukanlah disiplin untuk mendapatkan dan menguji keabsahan pengetahuan, melainkan disiplin untuk mengetahui sesuatu dengan benar, supaya pada akhirnya seseorang dapat mengambil sikap yang benar, yang berdiri di atas pengetahuan yang benar.
Pengetahuan pada Socrates bukanlah suatu kategori epistemologis, sebagaimana kemudian dibakukan dalam filsafat Plato. Pengetahuan pada Socrates pertama-tama adalah suatu kategori etis. Pengetahuan bukanlah teori atau doktrin, melainkan sikap hidup. Demikian pun pertanyaan yang diajukan Socrates bukanlah pertanyaan ilmiah (Apa sebab seseorang menjadi takut, faktor-faktor apa yang membuat seseorang cenderung merasa takut dan apa pula latar belakangnya), melainkan pertanyaan filosofis (Apa itu rasa takut, apa hakikat dari ketakutan itu, dan apa rasa takut itu sesuatu yang benar-benar ada).
Apa yang ditulis Hatta tentang Socrates merupakan suatu pelajaran yang sangat mungkin dihayati Hatta sendiri dalam kehidupan pribadi dan kehidupan politiknya. Socrates tidak pernah menuliskan filosofinya. Jika ditilik benar-benar, ia malahan tidak mengajarkan filosofi, melainkan hidup berfilosofi. Bagi dia filosofi bukan isi, bukan hasil, bukan ajaran yang bersandarkan dogma, melainkan fungsi yang hidup. Filosofinya mencari kebenaran. Oleh karena ia mencari kebenaran, ia tidak mengajarkan. Ia bukan ahli pengetahuan, melainkan pemikir. (Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, Tintamas, Jakarta, 1983, halaman 80)
Menarik untuk dicatat, Hatta juga menemukan pada diri Socrates suatu keyakinan lainnya bahwa kebenaran selalu merupakan hasil dari suatu pencarian bersama dan bukan hasil renungan perorangan. Hal ini menjadi semakin menarik karena dalam paham politiknya, Socrates dikenal sebagai orang yang menolak demokrasi, dengan alasan bahwa pemerintahan oleh rakyat hanya memberi kemungkinan negara diatur oleh sembarang orang, termasuk oleh orang-orang bodoh dan tak bermoral. Sekalipun demikian dalam paham filsafatnya, Socrates justru menerapkan demokrasi itu secara konsisten dan tuntas, dengan menekankan bahwa kebenaran bisa lahir dari diri siapa saja, asal saja kita pandai membantu proses lahirnya kebenaran itu dari diri orang bersangkutan dan tidak malah menghalanginya.
Pada titik inilah filosof seperti Karl Popper dengan tegas menggariskan perbedaan pokok di antara rasionalisme Socrates dan intelektualisme Plato. (Karl R Popper, Die Offene Gesellschaft Und Ihre Feinde, Bd 2, Francke Verlag, Muenchen, 1980, halaman 279)
Menurut Popper, seorang intelektual adalah seseorang yang merasa mempunyai pengetahuan lebih, dan kemudian mengklaim juga kedudukan dan status khusus dalam masyarakat berdasarkan pengetahuannya itu. Ideal Plato tentang kepala negara sebagai gabungan filosof-raja (the philosopher-king), dalam pandangan Popper mencerminkan pandangan seorang intelektual.
Rasionalisme Socrates justru mulai dengan kesadaran bahwa saya tidak tahu dan karena itu mungkin orang lain dapat membantu saya mendapatkan pengetahuan yang saya perlukan. Kebenaran adalah sesuatu yang didapat dalam pergaulan dengan orang lain, asal saja kita menghadapi orang lain dengan sikap seorang pencari kebenaran, dan bukannya dengan sikap seorang pemilik kebenaran.
Posisi ini ditangkap oleh Hatta dengan amat tepatnya ketika dia menulis, "Dalam mencari kebenaran itu, ia (Socrates, penulis/IK) tidak memikir sendiri, melainkan setiap kali berdua dengan orang lain, dengan jalan tanya jawab. Orang yang kedua itu tidak dipandangnya sebagai lawannya, melainkan sebagai kawan yang diajak bersama-sama mencari kebenaran. Kebenaran harus lahir dari jiwa kawan bercakap itu sendiri. Ia tidak mengajarkan, melainkan menolong mengeluarkan apa yang tersimpan di dalam jiwa orang. Sebab itu, metodenya itu disebutnya maieutik, menguraikan, seolah-olah menyerupai pekerjaan ibunya sebagai dukun beranak." (Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, halaman 81)
Tidak ada petunjuk dalam tulisan-tulisan Hatta apakah keyakinannya tentang demokrasi sebagai bentuk politik yang setepat-tepatnya untuk sebuah negara modern telah diilhami juga oleh posisi Socratik yang dilukiskannya dengan amat indahnya. Namun demikian, dapat dikatakan dengan pasti bahwa keberanian moral dan keteguhan hati yang berulang kali diperlihatkan oleh Hatta dalam berhadapan dengan kesulitan-kesulitan politik, jelas merupakan keberanian filosofis (dan bukan sekadar keberanian psikologis) yang berasal dari suatu posisi Socratik yang telah dipelajarinya dengan baik dalam studinya tentang sejarah filsafat Barat.
Ia adalah seorang yang bersedia dan terlatih memakai logikanya secara ketat untuk mempertimbangkan segala sesuatu, terutama mempertimbangkan alasan mengapa suatu tindakan harus dilakukan atau tidak harus dilakukan, dan bukannya apakah tindakan itu membawa akibat baik atau akibat yang merugikan. Dengan lain perkataan, kalau Hatta harus menghadapi keadaan di mana ia harus memilih untuk setia kepada norma-norma dan prinsipnya sendiri atau harus berkompromi dengan situasi dan kenyataan, maka ia lebih cenderung memilih bersiteguh pada norma-norma dan prinsipnya sendiri.
Seperti sudah dikatakan sebelum ini, pendirian etis seperti ini memang memberikan keteguhan batin yang luar biasa kepada Hatta dalam menghadapi saat-saat sulit, tetapi tidak selalu membawa manfaat secara politis. Kisah berakhirnya kerja sama Dwitunggal Soekarno-Hatta adalah juga sebuah konsekuensi dari pilihan etis Hatta. Buat sebagiannya, Hatta mengalami kesulitan dengan gaya Soekarno yang sangat flamboyan, menarik dan mempesona orang, tetapi tidak banyak memperhitungkan akibatnya secara administratif dan keuangan. Kritik Hatta terhadap perjalanan Bung Karno yang terlalu sering ke luar negeri disertai rombongan besar adalah sebuah pemborosan. Sementara itu Hatta merasa, beberapa tindakan Presiden Soekarno telah diambil tanpa membicarakannya dengan dirinya sebagai Wakil Presiden, padahal dia turut bertanggung jawab secara moral terhadap akibat tindakan tersebut, tetapi merasa tidak berdaya mempengaruhinya. Pemberian grasi oleh Presiden Soekarno kepada Djody Gondokusumo, misalnya, telah dilakukan tanpa membicarakannya terlebih dahulu dengan Hatta. (Deliar Noer, op cit, halaman 484)
Akhir dari situasi ini adalah sepucuk surat yang dilayangkannya kepada DPR hasil pemilihan umum yang berisikan kalimat-kalimat yang tak mungkin disalahartikan, "... setelah DPR yang dipilih rakyat mulai bekerja dan Konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden." Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1956, Hatta benar-benar meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden. Pengunduran diri itu diperkuat oleh Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 1957, ketika Presiden Soekarno secara resmi memberhentikan Mohammad Hatta dari jabatannya selaku Wakil Presiden.
Keputusan ini jelas membawa kesedihan dan kekecewaan kepada pengikut dan para pendukung dan pengagumnya. Keputusan ini juga sudah jelas mempunyai banyak akibat secara politik, di mana berbagai kesulitan politik yang timbul semenjak masa itu barangkali saja dapat dicegah seandainya masih ada Hatta di samping Soekarno. Akan tetapi, Hatta terlalu logis untuk membiarkan demikian banyak kontradiksi yang berkecamuk di hadapan matanya dan yang akibatnya harus ditanggungnya pula. Uniknya ialah bahwa pada titik yang penting ini Hatta yang rasionalis tidak bisa diatasi oleh Hatta yang dibesarkan dalam komunitas sufi, di mana coincidentia oppositorum adalah sesuatu yang dapat diterima dan dihayati tanpa menimbulkan konflik.
Apa yang terjadi setelah itu sudah diketahui semua orang, Pemberlakuan Demokrasi Terpimpin, di mana Presiden mengambil kembali kekuasaan eksekutif ke dalam tangannya, dengan cara memberlakukan kembali UUD 1945. Soekarno kehilangan seseorang yang mempunyai keberanian untuk mengatakan sesuatu yang benar kepadanya, sekalipun hal itu akan merupakan pengalaman pahit bagi yang mendengar maupun yang mengatakannya. Hatta kembali menjadi warga negara biasa, menjadi "hati nurani" bangsanya, tetapi tanpa ada kekuasaan di tangan yang dapat menentukan arah perkembangan bangsa dan negaranya. Di antara moralitas dan kekuasaan, ia telah memilih yang pertama, dengan akibat bahwa kekuasaan politik yang dijalankan setelah ia mengundurkan diri sedikit banyaknya lepas dari ketatnya kontrol moral. Seorang yang dibesarkan dalam tradisi sufi, barangkali dapat menanggung banyak penderitaannya secara pribadi, tetapi seseorang yang matang dalam ilmu pengetahuan dan digembleng dalam perjuangan politik, pada akhirnya tidak dapat menanggung beban yang diakibatkan oleh perkembangan politik, yang dalam pandangannya tidak bersifat politically correct. Hatta secara pribadi adalah sebuah monumen dalam ingatan kolektif bangsa ini, tetapi secara politik ia telah mengundurkan diri terlalu cepat dari suatu kegalauan yang diakibatkan oleh dominasi the art of the possible dan menyempitnya ruangan untuk the art of principles.
Dr Ignas Kleden Sosiolog, Direktur Center for East Indonesian Affairs (CEIA)/Pusat Pengkajian Indonesia Timur, Jakarta.
Search :
Berita Lainnya :
•
Aksi-aksi Massa ke MPR Makin Marak
•
ANALISIS SATYA ARINANTO
•
Antara Menang dan Kerbau
•
Apa Kabar Koperasi Indonesia
•
Belum Diputuskan, Rantap Pemulihan Ekonomi dan Rantap Tata Tertib
•
Bersama Hatta dan Sjahrir
•
Bukittinggi, Menjadi Laboratorium Kinerja
•
Bung Hatta Kita
•
Bung Hatta: Kepala Keluarga, Pemimpin Rumah Tangga
•
Bung Hatta dan Semangat Zaman
•
Bung Hatta di Tengah Krisis Multidimensi Orde Baru
•
Bung Hatta dan Pendanaan Mikro
•
Eurico Tuding Manuel Lebih Layak Jadi Terdakwa
•
FOTO: Berlangsung Alot
•
Genesis Pemikiran dan Cita-cita Bung Hatta
•
Hatta dan Kaderisasi
•
Hatta dan Politik Luar Negeri
•
Jejak Pemikiran Hatta dalam UUD 1945
•
Kota Bukittinggi
•
KPKPN Kirim Peringatan Ketiga
•
Mendayung di Antara Asketik dan Politik
•
Mengenang Bung Hatta
•
Pencerahan Diri Hatta Memilih antara Takwa dan Kekuasaan
•
Pertanggungjawaban Presiden 2004 Tak Perlu Diputuskan
•
RAKYAT BICARA
•
Rakyat dalam Pusaran Globalisasi
•
Semestinya Hatta Menang
•
Sidang Majelis Kehormatan Hakim Harus Terbuka
•
Silang Pendapat Sekitar Pengunduran Diri Hatta
•
Tidak Generasi Kerdil
•
Tragedi Hatta pada Masa Senja Usia
•
Uang Lancar, Sidang Meradang
•
Untuk Sukseskan Pemilu Perlu Sistem Pengenal Tunggal
•
Zinni Rekomendasi Lanjutkan Dialog RI-GAM
Design By KCM
Matinya Ilmu Ekonomi
Pengarang : Paul Ormerod
Komentar Dari : Komentar: Ini membuktikan, ilmu ekonomi telah mati dan gagal meramalkan fenomena ekonomis. Faktor apa yang memicu krisis moneter? Langkah apa yang harus ditempuh, dan solusi apa yang tepat agar segera keluar dari kemelut ekonomi? Seharusnya, sebagai sebuah ilmu yang memiliki sistem, metodologi, serta koherensi, ilmu ekonomi sanggup menjawab dan dapat menjelaskan semua itu. Nyatanya, pertanyaan itu tetap tak bersua jawaban. Paling banter, kita mendengar penjelasan begini: Bahwa krisis moneter yang akhir-akhir ini melanda kawasan Asia, termasuk Indonesia, bukan semata-mata persoalan ekonomi. Banyak faktor terkait turut menyulut krisis itu, termasuk di dalamnya unsur emosional masyarakat, dipertajam oleh gejolak politik, serta gaya hidup oknum pejabat yang hedonisme menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Semua faktor itu melulu diteropong dari kacamata matematis, sehingga timbul rumusan ''apabila begitu maka akan begini''. Celakanya, para ekonom ortodoks terjerumus dalam keyakinannya sendiri, bahwa segala fenomena ekonomi hanya dapat dijelaskan dengan teori ekonomi. Di dalam membuat ramalan dan proyeksinya, para ekonom menempatkan ekonomi sebagai ilmu yang otonom, berdiri sendiri. Seakan-akan ilmu ekonomi itu mutlak dan eksak, terbukti dari berhasilnya para ekonom mengadaptasi rumus-rumus matematis untuk ilmu ekonomi. Berbarengan dengan itu, para ekonom berhasil membangun kepercayaan kelompok. Salah satu pendapat yang berhasil dibangun, ialah rumusan yang mengatakan bahwa harga ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran. Jika permintaan meningkat sementara persediaan sedikit, harga akan naik. Apakah betul demikian? Agaknya, itulah pertanyaan yang menyelimuti pikiran Paul Ormerod, ekonom terpandang di London dan Manchester. Demikian pula keyakinan bahwa perdagangan bebas menguntungkan semua pihak, perlu dikaji ulang keabsahannya. Mati Tahun 1994, di London terbit buku berjudul The Death of Economics buah renungan falsafah dan ilmiah karya Ormerod. Terbitnya buku ini segera mengundang kontroversi. Para ekonom, terutama ekonom ortodoks, mencaci maki buku itu. Akan tetapi, kaum awam menyanjung-nyanjungnya. Yang digasak habis-habisan oleh Ormerod sebenarnya adalah ekonom ortodoks. Perlu dicamkan, terdapat perbedaan antara ekonom ortodoks dengan ekonom klasik. Di manakah bedanya? Ekonom klasik seperti Adam Smith, Thomas Malthus, David Richardo, dan Karl Marx membangun teori dari masalah faktual, misalnya dari kenyataan pada abad XVII-XIX di mana pertumbuhan ekonomi amat dramatis. ''Kajian mereka bersumber pada soal nyata yang penting, yaitu kecemasan dalam masyarakat jangan-jangan pertumbuhan itu berhenti. Oleh sebab itu mereka berupaya menjelaskan bagaimana pertumbuhan itu bisa terjadi, dan bagaimana mempertahankannya''. (halaman 33). Tidak demikian para ekonom ortodoks, mereka membangun teori lepas dari dunia nyata. ''Ekonom ortodoks membangun teori beranak-pinak berdasarkan matematika. Teori mereka bukan untuk diuji terhadap masalah yang mendesak, melainkan untuk dibela dan dipertahankan sebagai doktrin. Itulah inti krisis ilmu ekonomi ortodoks!'' (halaman 72). Karena itu, terutama di Amerika Serikat, akhir-akhir ini muncul pandangan baru terhadap ilmu ekonomi. Minat mahasiswa untuk mempelajari ilmu ekonomi yang mencapai puncak pada tahun 1980, mulai surut. Setidaknya di Harvard, kini ilmu politik (pemerintahan) telah mengalahkan ilmu ekonomi sebagai mata kuliah favorit. Semakin banyak pakar ekonomi yang mempertanyakan keabsahan dalil-dalil ekonomi. Ironisnya, pendekatan, metode, dan teknik baru yang mereka kembangkan justru semakin menyingkap tabir bahwa ilmu ekonomi ortodoks betul-betul rapuh! Memahami Kemelut Ekonomi Penyadur buku ini tampak sangat menguasai masalah, sehingga pembaca diperkaya dengan perbandingan-perbandingan serta ilustrasi dari buku dan pakar yang lain. Dilengkapi dengan gambar dan visualisasi, terasa persoalan ekonomi yang pelik menjadi ringan dan mudah dipahami. Di sini letak kekuatan buku ini! Contohnya, ketika menjelaskan (dan kemudian menunjukkan titik kelemahan) competitive equilibrium (halaman 174-183), penyadur tidak menggunakan rumus yang membuat dahi mengkerut. Tetapi memanfaatkan visualisasi menarik (hal. 181). Di sana secara jelas digambarkan salah satu rumus equilibrium. Di pojok kanan bawah, dijelaskan titik lemahnya. Bahwa rumusan itu berlaku dengan banyak pengandaian. Jika salah satu pengandaian tidak sahih, maka gugurlah rumus itu! Di saat perekonomian kita dilanda krisis seperti saat ini, buku ini terasa banyak membantu mengungkap berbagai hal yang terasa misterius. Dan jawabannya sungguh terbalik dan menyentak. Bayangkan saja! Kucuran bantuan dari dana moneter internasional (IMF) yang dianggap ampuh membantu krisis moneter di berbagai negara Asia seperti Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia, justru menjadi sandungan dan tak memperbaiki situasi. ''Dalam praktik para ekonom ortodoks di IMF dan Bank Dunia justru sibuk menaikkan gaji mereka sebesar 38 persen'' (halaman 14). Kalau di Inggris dan Amerika buku ini memicu kontroversi, bukan tak mungkin di negeri kita pun sadurannya bakal menyentak. Minimal menggugah kesadaran kita bahwa kini krisis ekonomi di Tanah Air bukan melulu disebabkan faktor ekonomis, melainkan multidimensional dan kompleks.*** [Suara Pembaharuan. 24 Desember 1997, hlm.16] |
Antikomunisme
Radikalisme
Ignas Kleden *)
SETIAP krisis politik cenderung melahirkan krisis pemikiran. Beban yang terlalu berat mendorong orang mencari jalan pintas yang sesingkat-singkatnya untuk keluar dari kemelut, tanpa memedulikan apakah penyelesaian secara potong kompas itu menimbulkan masalah baru yang barangkali lebih muskil dari keadaan semula. Kecenderungan ini mendapatkan padanannya dalam pemikiran yang menarik kesimpulan secara cepat dan mudah, tanpa memeriksa terlebih dahulu apakah kesimpulan tersebut didukung oleh premis-premis yang memadai ataukah lebih merupakan suatu jumping conclusion dalam silogisme yang tidak lengkap, yang hanya menghasilkan salto mortale dalam logika.
Secara teoretis, generalisasi acap kali bertukar-jalan dengan radikalisme dalam gerakan politik. Kecenderungan ke arah generalisasi itu terdapat dalam hasrat yang menggebu-gebu untuk mencari akar semua persoalan yang ada di Indonesia sekarang, sementara usaha-usaha perbaikan setiap hari dianggap tidak memadai lagi. Kata "akar" dalam bahasa Indonesia mempunyai padanan radix dalam bahasa Latin. Jadi, usaha politis dan intelektual untuk menemukan akar persoalan bolehlah dinamakan radikalisme.
Pertanyaannya: apakah radikalisme seperti ini berguna dan diperlukan. Ada berbagai bahan yang dapat dikutip dari studi-studi sosiologi tentang manfaat dan mudarat radikalisme ini. Dalam kalangan Marxis ortodoks, masalah kelas sosial dianggap akar persoalan. Selama borjuasi berkuasa, keadaan tidak banyak berubah karena hubungan produksi antara proletariat dan borjuasi akan tetap mempengaruhi tingkahlaku politik dan kebudayaan, sehingga perbaikan apa pun yang dilakukan, tanpa perubahan hubungan produksi tersebut, lebih merupakan tambal sulam yang memberikan kosmetik yang berbeda tetapi tidak menyentuh struktur dasar dalam masyarakat.
Persoalan ini dalam Marxisme mula-mula cukup meyakinkan, karena salah satu kesulitan teoretis didiamkan untuk waktu lama dan mungkin baru pada tahun-tahun akhir ini mulai dikutak-katik di kalangan neo-Marxis. Yang jadi pertanyaan, kalau dialektika adalah kekuatan tunggal yang menggerakkan sejarah, apa pasalnya bahwa dialektika itu hanya boleh diberlakukan di antara kelas (interclass-relation dialectic), yaitu antara borjuasi dan proletariat, dan tidak diberlakukan di dalam satu kelas yang sama (intraclass-relation dialectic)? Mengapa dalam kalangan borjuasi atau proletariat sendiri dialektika itu tiba-tiba tak berfungsi lagi? Jawabannya, barangkali, karena dalam kelas yang sama tidak ada pertentangan yang diakibatkan oleh hubungan produksi yang eksploitatif. Tetapi jawaban ini lebih tautologis sifatnya. Masih dapat dipersoalkan, mengapa dalam borjuasi sendiri tidak terdapat perbedaan dalam hubungan produksi, misalnya di antara mereka yang bermodal sangat besar dan mereka yang modalnya sedang.
Tanpa mau memasuki debat ini secara akademis, tulisan ini ingin menunjukkan satu hal, bahwa pemikiran yang didorong oleh radikalisme cenderung mendarat pada generalisasi, yang enak untuk diterima, tetapi penuh dengan kesulitan teoretis. Demikian pun dalam praktek, generalisasi itu menimbulkan berbagai kontradiksi yang harus didiamkan dengan bantuan propaganda dan represi politik, atau diikhtiarkan untuk diterima melalui Verschleirungsstrategie, yaitu pengelabuan kemampuan refleksi, sehingga orang tidak menyadari lagi adanya kontradiksi tersebut.
Godaan yang sama mulai timbul dewasa ini di tanah air kita. Muncul berbagai ketidakpuasan terhadap usaha politik untuk mengatasi krisis, dan kemudian dicoba dicari akar persoalan, dengan anggapan bahwa begitu krisis ini ditangani pada akarnya, banyak masalah lain akan selesai dengan sendirinya. Asumsi ini sangat berbahaya. Pemikiran ini merupakan jebakan fungsionalisme yang berasal dari pemikiran biologis. Seorang dokter memang tidak segera memberikan obat sakit kepala kepada seorang penderita migren. Lebih dahulu ia memeriksa apakah migren itu merupakan akibat sampingan dari suatu sakit lain, sehingga kalau akar ini ditangani, migren itu akan hilang.
Pemikiran ini tidak selalu dapat diterapkan dalam masalah sosial karena beberapa alasan. Pertama, hubungan sebab-akibat dalam bidang sosial amat longgar. Kausalitas dalam gejala fisik dapat dirumuskan sebagai hubungan di antara faktor A sebagai sebab dan gejala B sebagai akibatnya. Dalam bidang sosial, sebaliknya, gejala B dapat muncul dari lima sebab yang berbeda, sedangkan satu faktor A sebagai sebab dapat menimbulkan lima akibat yang berbeda dan bahkan bertentangan. Syarat ceteris paribus tidak ada dalam bidang sosial. Dalam arti itu, hormat yang tinggi kepada status sosial, yang di Indonesia dianggap menghalangi produktivitas kerja dan efektivitas pemerintahan, di Jepang justru mendukung produktivitas kerja secara luar biasa. Demikian pula, hormat kepada harmoni dalam kebudayaan memang menolong terciptanya toleransi dan perdamaian dalam komunitas-komunitas tradisional. Tetapi, dalam pemerintahan Presiden Soeharto, ia telah menyebabkan lahirnya kekerasan politik yang mendekati kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dalam biologi, menebang akar pohon akan mematikan seluruh pohon itu. Dalam birokrasi pemerintahan Indonesia, sulit mengandaikan bahwa pemerintahan akan efektif kalau korupsi dikikis habis dengan cara apa pun. Dapat dibayangkan bahwa kalau korupsi diberantas dengan tangan besi dalam waktu singkat, birokrasi akan kehilangan demikian banyak pegawai, di samping hilang juga sistem insentif yang selama bertahun-tahun dimungkinkan oleh korupsi. Akibatnya, seluruh birokrasi mungkin akan macet total, baik karena kekurangan tenaga maupun karena ketiadaan sistem insentif alternatif. Argumentasi ini bukan bermaksud membenarkan korupsi, melainkan ingin memperlihatkan bahwa sukar sekali menentukan suatu keadaan sebagai akar masalah sosial, karena kalau akar itu dicabut, mungkin tumbuh pohon baru yang lain sama sekali wujudnya.
Kedua, dalam prakteknya, radikalisme mudah mendapat penganut, karena dengan itu muncul harapan bahwa banyak soal akan segera teratasi kalau akar persoalan dibereskan. Kesulitannya adalah bahwa akar itu mungkin tidak ada karena segala soal telah jalin-menjalin, sehingga apa yang tidak menjadi akar di Jakarta dapat menjadi akar di Ambon, dan sebaliknya. Demikian pun, sikap militan yang lahir dari radikalisme itu tidak memberi banyak ruang untuk pikiran kritis, yang sering kali menimbulkan kesan reseh tetapi tidak membawa penyelesaian cepat dan spektakuler. Hubungan antara militansi dan kritik bersifat saling meniadakan. Orang yang kritis tidak pernah akan terlalu militan karena dia selalu berusaha mengambil jarak terhadap soal, bahkan terhadap perjuangannya sendiri. Sebaliknya, orang yang militan tidak boleh terlalu kritis, dan kalau perlu sedikit dogmatis. Dia harus yakin akan apa yang dikerjakan dan diperjuangkannya. Radikalisme antara lain disukai karena dia mematikan sikap kritis yang meletihkan itu, di samping memberi harapan bahwa penyelesaian tuntas dapat dicapai dengan satu serangan kepada akar masalah.
Ketiga, mencari akar persoalan dapat menimbulkan sikap totaliter. Kalau kita menganggap bahwa akar semua persoalan sudah ditemukan, akan muncul anggapan berikutnya bahwa kita berhak memaksa orang lain turut membereskan akar persoalan tersebut, dan tidak memberi kemungkinan bahwa orang-orang lain mengangggap soal lain sebagai masalah yang lebih penting untuk ditangani. Uniknya, sikap totaliter ini sering tidak menimbulkan rasa-bersalah, karena sekelompok orang merasa telah menemukan kebenaran dan kemudian merasa harus menyampaikan kebenaran itu kepada orang lain, bahkan dengan kekerasan. Dalam sosiologi berlaku peribahasa "siapa yang hanya mempunyai palu sebagai alatnya di tangan akan mengubah semua orang menjadi paku, dan siapa yang hanya mempunyai sapu sebagai alatnya akan mengubah semua orang menjadi sampah".
Analogi tersebut melukiskan betapa berbahayanya mengklaim menemukan akar persoalan, karena apa yang menjadi akar pada dasarnya adalah apa yang dianggap sebagai akar masalah. Pemilihan dan penetapan anggapan ini memang didasarkan pada sejumlah pengetahuan. Tetapi apa jadinya kalau pengetahuan tersebut keliru, sementara kita telah mengorbankan demikian banyak orang?
Sukarno menganggap akar masalah adalah bahwa bangsa ini tidak cukup revolusioner, dan akibatnya ekonomi berantakan tidak keruan. Soeharto menganggap akar masalah adalah ketidakstabilan politik dan pertumbuhan ekonomi yang rendah, dan akibatnya adalah hak-hak demokratis menjadi porak-poranda. Habibie menganggap akar masalah adalah keterbelakangan teknologi, dan akibatnya adalah pemborosan yang fantastis dengan proyek pesawat terbang yang ternyata sulit dijual. Gus Dur mungkin berpendapat akar masalah adalah disintegrasi, dan kenyataannya kerusuhan Ambon tetap berlanjut dan Jakarta mengalami berbagai ledakan bom. Kalau kita sekarang menganggap akar masalah adalah politik, sangat mungkin kita tidak akan pernah dapat mengatasi krisis ekonomi yang berkepanjangan ini. Sebaliknya, kalau kita menganggap akar masalah adalah ekonomi (dan politik harus mengalami moratorium), maka jebakan kepada developmentalisme ala Orde Baru kembali disiapkan dengan sebaik-baiknya.
Pemikiran fungsionalisme ini sangat kuat ditunjang oleh pemikiran mekanistis dalam ilmu-ilmu sosial, seakan-akan kalau starter mobil dinyalakan, mesinnya akan hidup, dan kalau gigi dimasukkan dan gas diinjak, mobil akan bergerak. Yang dilupakan ialah bahwa dalam bidang sosial, baik starter, mesin, gas, maupun gigi, masing-masing punya kehendak dan kemerdekaan sendiri, yang tidak bisa disetel begitu saja. Begitu Anda menghidupkan starter, mesinnya dapat mengatakan "tidak" sekalipun dia berada dalam keadaan baik, dan mobilnya tetap di tempat.
Baik fungsionalisme maupun mekanisme dalam pemikiran sosial dan politik menafikan satu hal, yaitu bahwa keputusan politik apa pun yang diambil, akibatnya selalu harus diperiksa kembali. Tidak ada jaminan penuh bahwa keputusan itu berjalan sesuai dengan rencana. Hal ini memang amat meletihkan, tetapi inilah risiko kebebasan manusia. Dalam hal itu, demokrasi, dengan segala kekurangannya, tetap menjadi pilihan terbaik karena dia memang tidak dapat meniadakan kelemahan manusia dan keteledoran masyarakat, tetapi memberi kemungkinan bahwa kelemahan itu dapat diperbaiki oleh kontrol terus-menerus, dan keteledoran dapat dikurangi dengan peringatan terus-menerus. Radikalisme hanyalah pelipur lara yang lahir dari harapan akan penyelesaian yang cepat dan gampang, akibat anggapan keliru bahwa seakan-akan masyarakat adalah mesin yang bisa disetel, dan politik setali tiga uang dengan budidaya tanaman.
*) Sosiolog, Direktur The Go-East Institute (Lembaga Lintas Timur), Jakarta
Kolom ini dikutip dari Majalah TEMPO edisi 14-20 Agustus 2000
Korupsi
Bukittinggi, Selasa
Para peserta Kongres Kebudayaan V suntuk melihat budaya Indonesia sebagai identitas bangsa, mulai tercerabut dari sanubari anak bangsa dan diganti dengan budaya uang hingga tak menutup kemungkinan korupsi suatu saat menjadi kebudayaan legal.
"Apa masih ada budaya Indonesia. Esensi kebudayaan Indonesia sekarang berubah menjadi mencari uang dan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya," ujar sosiolog Dr Ignas Kleden di hadapan 750 peserta Kongres Kebudayaan V di Bukittinggi, Selasa (21/10).
Menurutnya, akibat hanya memikirkan uang dan mencari untung semata, maka tidak sedikit warga Indonesia yang pergi keluar negeri menjadi malu karena citra jelek Indonesia sudah begitu melekat di mata dunia.
Kebudayaan kapitalis murni yang kebablasan itu, mulai menyeruak ke segala lapis kehidupan masyarakat sehingga suatu saat nanti, tidak berlebihan bila korupsi akan menjadi kebudayaan legal.
Untuk itu diperlukan pencerahan agar bangsa Indonesia bisa bangkit. Namun, bukan berarti Indonesia tidak bisa bangkit dan kembali menemukan jati dirinya karena potensi ke arah itu mulai terlihat. "Masyarakat sekarang mulai menyadari dan bosan dengan kehidupan yang hanya saling serobot, rebutan dan tidak ada lagi persaudaraan murni," katanya.
Dalam mencapai impian itu membutuhkan waktu dan komitmen bersama. "Seberapa keras anda, saya dan tiap pribadi masyarakat ingin mencari kehidupan damai dan sejahtera," katanya. (Ant/ima)
Kontrol atas Kepemimpinan Nasional
SETELAH genap satu tahun berkuasa, pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kembali menjadi sasaran sorotan dan penilaian. Dr Nurcholish Madjid, yang mengaku kenal secara pribadi Gus Dur sejak tahun 1960-an, pagi-pagi telah meminta agar harapan terhadap Presiden baru (setahun lampau) jangan sampai berlebih-lebihan.
Menurut dia, Gus Dur bukanlah tipe orang yang dapat diharap terlalu banyak. Posisi harapan sebaiknya: 49 persen dibanding 51 persen dengan margin dua persen. Sayang Nurcholish tidak memberikan proporsi kuantitatif tentang harapan terhadap Presiden kita setelah lewat setahun berkuasa.
Lebih keras dari itu, Dr Sjahrir bahkan meminta Presiden untuk mundur, karena Gus Dur dianggapnya hanya berkuasa tetapi tidak sanggup memerintah. Persoalan bagi kita sekarang, apa yang sebaiknya dilakukan? Mungkin makin banyak saja pihak-pihak yang merasa bahwa Gus Dur sebaiknya mengundurkan diri, atau barangkali harus dipaksa mundur melalui suatu Sidang Istimewa MPR, misalnya. Akan tetapi, setelah itu apa?
Kalau turunnya Gus Dur harus dijadikan program politik utama sekarang, tanpa kita melakukan persiapan secara khusus untuk menciptakan lingkungan budaya dan kerangka kelembagaan politik baru yang lebih baik untuk masa depan, maka akan terulang lagi cerita tahun 1998. Seluruh energi oposisi diarahkan kepada turunnya Presiden Soeharto, tetapi setelah itu tidak banyak terjadi perubahan. Memang, perubahan tidak disiapkan sebelumnya secara matang (meskipun mahasiswa Indonesia telah melakukan terobosan yang penting), kecuali keterbukaan politik yang lebih luas dalam masa pemerintahan Presiden BJ Habibie.
Dalam kondisi budaya politik dan kerangka kelembagaan politik yang sama seperti sekarang, maka siapa pun yang akan menjadi Presiden setelah Gus Dur, akan mengulang kesalahan yang sama, khususnya dalam sikap tak berdaya menghadapi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), dan kebingungan mengatasi krisis ekonomi dan politik.
***
TADINYA kita berharap bahwa tampilnya Gus Dur dengan latar belakang politik yang jauh dari birokrasi, akan membawa banyak perubahan. Sekarang terlihat bahwa Gus Dur semakin dalam terjebak ke dalam jaringan kesulitan yang sebagiannya timbul karena ulahnya sendiri. Maka fokus pemikiran politik sekarang ialah mengapa gerangan masyarakat Indonesia merdeka ini mudah sekali memberi peluang kepada pemimpin nasionalnya untuk bertindak tidak menurut ketentuan undang-undang, tetapi lebih menurut selera dan kemauannya sendiri?
Presiden Soeharto tidak akan dapat berkuasa 32 tahun lamanya, dan melakukan demikian banyak KKN dan kekerasan politik, seandainya masyarakat tidak mengizinkannya, dan rakyat tidak membiarkannya.
Sebuah psikologi terlihat jelas dalam sikap rakyat terhadap pemimpin nasionalnya di Indonesia. Tatkala seorang presiden baru mulai berkuasa, maka dukungan politik diberikan secara tanpa reserve, sementara sang pemimpin itu dibesar-besarkan dengan berbagai mitos agar kelihatan lebih unggul dari yang sebenarnya. Pengerahan dukungan dan simpati politik terhadap seorang presiden yang baru biasanya berjalan sedemikian rupa sehingga dalam waktu singkat dan seringkali tanpa sengaja, presiden dibuat imun terhadap kritik dan oposisi.
Setiap Presiden Indonesia yang baru berkuasa seakan dikaruniai semacam infalibilitas politik. Kisah yang sama berulang ketika Gus Dur baru diresmikan menjadi Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Tingkah lakunya yang sering bertentangan dengan protokol, selalu dimaafkan. Demikian pula kalau ada pernyataannya yang menimbulkan kebingungan dan kontroversi, maka pihak luar dengan mudah dipersalahkan, karena dianggap belum sanggup memahami gagasan Presiden secara benar, yang dipercaya mestilah bermaksud baik dan mengandung visi yang cemerlang.
Ucapan dan pernyataan barangkali saja dapat disalahpahami, akan tetapi tindak-perbuatan sukar sekali disalah artikan. Dalam kasus Bruneigate, sebagai contoh saja, masyarakat Indonesia tidak bisa dipersalahkan lagi bahwa mereka memahami bahwa ada uang dua juta dollar AS yang diberikan oleh Sultan Brunei kepada Gus Dur setelah menjadi Presiden.
Timbul pertanyaan, apakah donasi itu ditujukan kepada Gus Dur sebagai pribadi atau sebagai Presiden? Dalam kedudukan sebagai Presiden, maka seandainya pun uang itu benar-benar (dan bisa dibuktikan) merupakan pemberian pribadi kepada Presiden, akan jauh lebih baik (yaitu lebih banyak mendatangkan keuntungan politik untuk Presiden dan keuntungan ekonomi untuk rakyat) kalau uang itu tetap dianggap sebagai uang negara yang pengaturannya dilakukan melalui birokrasi negara.
***
DALAM analisis wacana, maka persoalannya bukan lagi apakah pemberian itu dimaksudkan untuk pribadi Gus Dur atau untuk rakyat Indonesia, tetapi apakah seorang presiden dalam kedudukan sedemikian tingginya diperbolehkan menerima suatu donasi pribadi dalam jumlah sedemikian besar dari orang lain, sementara dia diharap bertindak penuh tanggung jawab dan tanpa tekanan atau pun bujukan atas nama rakyat yang dipimpinnya, dan atas nama negara dan pemerintahan, yang dia adalah kepalanya?
Pada titik ini kita tidak hanya berhadapan dengan masalah empiris (yaitu benarkah ada uang itu dan apakah uang tersebut merupakan uang pribadi atau bukan), tetapi juga masalah prinsipil yang bersifat etis (yaitu apakah seorang presiden secara prinsipil diperbolehkan menerima donasi pribadi berupa uang dalam jumlah besar, pada hal dia adalah figur publik yang terpenting)?
Dalam perbandingan lain, apakah seorang kepala proyek secara etis boleh menerima donasi pribadi dalam bentuk sejumlah besar uang dari salah seorang peserta tender proyek yang dipimpinnya, atau apakah seorang profesor yang akan memberi ujian promosi boleh menerima donasi pribadi dari promovendusnya sebelum ujian?
Bisa saja pemimpin proyek itu berkata bahwa sikap bebasnya tidak akan terganggu oleh diterimanya donasi tersebut, tetapi hal itu jelas harus diragukan, karena dia ternyata tidak bebas sama sekali dari keinginan menerima donasi tersebut. Adalah jelas bahwa sekalipun pemberian itu bersifat pribadi, pemberi donasi tersebut sangat mempertimbangkan pribadi penerima sebagai kepala proyek, yang tentu saja berlainan sekali dari kedudukannya sebagai orang biasa.
Kesulitan yang dialami Gus Dur untuk sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa dia seakan-akan berada dalam over-legitimacy. Dialah Presiden Indonesia pertama yang mendapatkan kekuasaan melalui pemilihan umum yang terbuka dan demokratis. Ini sudah memberikan padanya legitimasi yang sangat kuat. Selain dari itu, dia mempunyai pendukung tradisional yang amat banyak dan juga amat setia kepadanya.
Ada ketaatan yang relatif konstan kepada pemimpin mereka ini, apa pun yang dilakukan oleh pemimpin tersebut, dan betapa pun banyaknya kesulitan yang mereka alami akibat kontroversi yang muncul dari ucapan atau tindakannya. Para sosiolog menyebut jenis legitimasi ini sebagai legitimasi tradisional, yaitu penerimaan dan pengakuan pada seorang pemimpin atau tokoh karena ada tradisi dan sejarah kepemimpinan yang mendukungnya.
***
SECARA tipologis, seorang pemimpin dengan legitimasi tradisional tidak terlalu terdorong untuk berprestasi sebaik-baiknya (sekali pun dia sanggup untuk itu), karena prestasi dan hasil kerjanya tidak terlalu menentukan legitimasi yang ada padanya.
Legitimasi ini juga tidak begitu terganggu kalau pemimpin atau tokoh yang bersangkutan tidak mencapai banyak keberhasilan dalam tugas dan peranannya. Ini tentu saja amat berbeda dari legitimasi rasional, di mana seseorang harus membuktikan kelayakan dirinya (misalnya melalui kompetensinya) untuk mendapatkan ketundukan dan penerimaan dari orang-orang lain.
Perasaan mantap dengan legitimasi yang demikian kukuh, membuat Gus Dur tidak harus merasa terdorong atau bahkan terpaksa untuk bekerja sebaik-baiknya dalam tanggung jawabnya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, karena keberhasilan ini tidak diharuskan oleh jenis legitimasi yang ada padanya, sedangkan legitimasi itu pun tidak mudah hilang seandainya pun dia gagal dalam kerjanya.
Persoalan yang muncul sekarang ialah bahwa Presiden Abdurrahman Wahid cenderung mengesankan sikap menyia-nyiakan legitimasi itu, misalnya, dengan mengatakan bahwa mengapa rakyat telah mau memilih dia, sedangkan dia sendiri sebetulnya tidak menghendaki jabatan tersebut?
Dengan penuh hormat kepada Presiden kita, haruslah dikatakan di sini bahwa jawaban tersebut bukanlah jawaban yang serius. Gus Dur memang menjadi Presiden karena dipilih, tetapi tidak ada paksaan apa pun bahwa dia harus menerima pilihan tersebut. Dia dapat menolak pilihan rakyat kalau dia merasa tidak siap atau tidak sanggup menjalankan tugas tersebut.
Demokrasi memberikan kesempatan tetapi tidak menjatuhkan paksaan. Tanggung jawab terhadap kepemimpinannya tidak dapat diserahkan begitu saja kepada para pemilihnya, tetapi juga kepada keputusannya sendiri untuk menerima pilihan tersebut. Lagi pula, kalau dia telah menerima kepercayaan dari demikian banyak orang, bukankah ada kewajiban padanya untuk menjaga kepercayaan itu sebaik-baiknya, dan bukannya malahan mempersoalkan kembali mengapa kepercayaan itu telah diberikan kepada dirinya. Kalau logika ini dituruti, maka ketika sekarang banyak orang menghendakinya untuk mundur, mengapa pula dia tidak segera menerimanya?
***
PADA titik inilah amat dibutuhkan dua hal untuk politik Indonesia di masa mendatang.
Pertama, rupanya harapan bahwa setiap presiden baru akan menjadi juru selamat atau Ratu Adil harus ditinggalkan sama sekali. Perlu diperkuat kesadaran lain bahwa seorang presiden yang dipilih, besar kemungkinan akan mengecewakan atau sangat mengecewakan, dan karena itu sudah harus dipersiapkan dan diantisipasi sejak semula apa yang harus dilakukan kalau harapan kepada seorang pemimpin tersebut ternyata meleset sama sekali.
Kedua, pemikiran untuk mendesak Presiden Abdurrahman Wahid untuk mundur di tengah jalan, tidak akan menyelesaikan banyak soal, kalau tidak ada persiapan yang mencukupi tentang apa yang harus dilakukan, supaya terhentinya seorang pemimpin nasional di tengah jalan, tidak menjadi preseden untuk gonta-ganti Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan setiap satu atau dua tahun, yang akan membawa instabilitas politik yang luar biasa, yang mungkin lebih besar risikonya.
Sudah jelas persoalan pokoknya bukanlah mengganti presiden, tetapi mengubah dan memperbaiki serta memperkuat sistem politik Indonesia. Dalam suatu sistem politik yang solid, seorang presiden dengan kemampuan sedang saja mungkin dapat tertolong. Sebaliknya dalam sistem politik yang kacau dan lemah seperti yang ada pada saat ini, maka seorang genius atau seorang suci pun akan segera berantakan di tengah jalan.
Tidak ada pemimpin dengan kekuasaan demikian besar akan dengan sendirinya menjadi lebih baik. Semua akan cenderung merosot kemampuannya dalam mengendalikan diri dan membatasi kekuasaannya, karena kekuasaan besar selalu dibarengi dengan kesempatan menyeleweng yang sama besarnya.
Harapan yang tertinggal ialah bahwa masyarakat sendiri harus membangun suatu sistem politik yang mengurangi kesempatan bagi seorang penguasa untuk menyelewengkan kekuasaannya atau membuatnya terhalang untuk bertindak sewenang-wenang. Keberhasilan seorang pemimpin tidak dapat diandalkan pada moralitas pribadi yang tinggi dari yang bersangkutan semata-mata, tetapi terutama pada terciptanya sistem politik yang menimbulkan demikian banyak inconvenience dan kesulitan kalau pemimpin tersebut nekad menyalahgunakan kekuasaannya.
***
PRIORITAS politik pada saat ini memang banyak, tetapi ada sekurang-kurangnya dua hal yang tidak dapat diabaikan atau ditunda. Yang satu adalah peningkatan kontrol sosial yang efektif terhadap kekuasaan. Yang lain adalah mengubah harapan akan datangnya pemimpin yang baik, menjadi perencanaan dan strategi untuk membuat seorang pemimpin menjadi pemimpin yang baik, atau lebih tepat, mencegahnya agar tidak menjadi pemimpin yang terlalu buruk. Hal ini hanya dapat dilakukan kalau masyarakat aktif bekerja mengawasi tingkah laku pemimpinnya, dan memberikan reaksi yang cepat kepada kekeliruan pemimpinnya.
Kalau masyarakat Indonesia sendiri tidak segera terpanggil untuk menciptakan sistem politik baru yang lebih ketat pengawasannya, maka pada akhirnya yang tercipta adalah suatu keadaan di mana meningkatnya intoleransi kepada perbedaan akan diimbangi oleh berkembangnya toleransi terhadap kesalahan, mudahnya pemaafan terhadap penyelewengan dan akhirnya sikap permisif terhadap kejahatan.
Kalau ini terjadi, maka sistem hukum apa pun tidak akan sanggup menolong, karena hukum hanya dapat berfungsi pada suatu tingkat normalitas politik tertentu. Sebaliknya dalam situasi politik yang abnormal, hanya kekuatan sistem politiklah yang akan sanggup memperbaiki keadaan.
Pengadilan memang ಮೆನ್ಗಂದೈಕ n bahwa setiap tertuduh yang dibawa kepadanya harus diperlakukan sebagai tak bersalah sampai terbukti sebaliknya. Hukum mengandaikan bahwa setiap orang cenderung melakukan kesalahan, dan karena itu tingkahlaku yang benar dan tidak merugikan orang lain, tidak dapat diserahkan kepada moralitas pribadi tiap orang, tetapi perlu diatur dengan peraturan hukum posi-
tif.
Politik Indonesia saat ini rupanya harus mengandaikan bahwa setiap pemimpinnya cenderung dan pasti menyeleweng, dan hanya suatu sistem kontrol sosial yang efektif akan menghentikan penyelewengan dan mengurangi kecenderungan kepada kesewenang-wenangan. Dalam kenyataannya, pemimpin yang baik bukanlah orang yang banyak kebajikannya, tetapi orang yang dicegah dari berbuat banyak kesalahan dan diselamatkan dari berbagai keteledoran (sin of omission) dan kecerobohan (sin of commission).
* Dr Ignas Kleden, sosiolog, Direktur The Go-East Institute (Lembaga Lintas Timur), Jakarta.
Legitimasidan Legalitas
| |||
Kepemimpinan Nasional
Kepemimpinan Nasional dan Krisis Politik
DALAM sejarah politik semenjak Indonesia merdeka, naik-turunnya seorang pemimpin nasional, yaitu Presiden RI, tidak pernah terlepas dari krisis politik. Belum pernah terjadi selama 56 tahun kemerdekaan bahwa seorang pemimpin nasional kita mendapatkan kekuasaannya, dan kemudian melepaskan kekuasaannya dengan prosedur yang normal. Yang saya maksudkan dengan krisis politik adalah keadaan di mana seorang presiden mendapatkan kekuasaannya tidak melalui pemilihan presiden secara terbuka, demokratis dan transparan, tetapi melalui suatu desakan force majeure.
Dalam sejarah lima presiden kita hingga sekarang dapat kita catat: Presiden Soekarno telah menjadi presiden dan mengakhiri kekuasaannya dengan krisis politik. Presiden Soeharto mengalami nasib yang persis sama, dan demikian pun penggantinya Presiden BJ Habibie. Satu-satunya presiden yang mendapatkan kekuasaannya melalui pemilihan presiden secara terbuka dan transparan adalah Gus Dur atau Presiden Abdurrahman Wahid.
Ketika kekuasaan ini diserahkan kepadanya oleh MPR sesuai dengan hasil pemilihan presiden, maka sebahagian besar orang merasa inilah barangkali awal dari tradisi baru di Indonesia, yaitu bahwa suksesi kekuasaan tidaklah harus berhubungan dengan prahara politik. Harapan lain waktu itu ialah bahwa mudah-mudahan Presiden Gus Dur yang telah mendapatkan kekuasaannya tanpa suatu krisis politik, akan dapat juga mengakhiri kekuasaannya tanpa krisis politik hingga akhir masa pemerintahannya pada tahun 2004. Inilah rupanya pertimbangan utama-meskipun jarang dikemukakan-mengapa Gus Dur sendiri dan para pendukungnya menghendaki agar supaya dia dibiarkan memerintah hingga akhir tahun kelima, pada saat mana dia pun harus memberikan pertanggungjawaban tentang pemerintahannya kepada MPR. Hal ini ternyata tidak terjadi, dan sebagai akibatnya, Gus Dur meninggalkan kursi kepresidenan karena suatu krisis politik, atau dalam istilah yang terang, melalui suatu impeachment oleh Sidang Istimewa MPR.
***
HARAPAN untuk memulai suksesi kekuasaan dengan prosedur yang normal melalui pemilihan, dan juga berakhirnya kekuasaan pada akhir jabatan presiden, kini buyar kembali. Apa pun faktor-faktor obyektif politik dan ekonomi yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan keadaan ini, tetap saja muncul pertanyaan: mengapa awal atau akhir kepemimpinan nasional di Indonesia selalu terjadi karena krisis politik, dan ini terjadi sudah selama lebih dari setengah abad Indonesia merdeka? Apakah hal ini tidak berhubungan dengan psikologi masyarakat politik, dan khususnya psikologi dan tingkah laku para politisi kita?
Sekarang Megawati Soekarnoputri mengulang lagi sejarah yang sama, yaitu bahwa dia pun mendapatkan kekuasaan tertinggi di negara ini melalui suatu krisis politik. Dapatkah kita kini berharap, bahwa Presiden Megawati Soekarnoputri, sekurang-kurangnya, akan dapat mengakhiri masa pemerintahannya tanpa krisis politik hingga Pemilihan Umum 2004? Ataukah kita sudah harus bersiap dari sekarang bahwa presiden kita yang kelima ini pun akan terpaksa meninggalkan istana negara dan melepaskan kekuasaannya karena desakan krisis politik?
Keadaan ini sekarang bukannya menjadi lebih normal, melainkan menjadi lebih kompleks dan rumit, karena sekarang ada preseden baru bahwa dengan sistem dan mekanisme politik yang ada, DPR dapat mengusulkan Sidang Istimewa MPR, dan seterusnya MPR dapat memanggil Sidang Istimewa setiap saat, dan kekuasaan presiden segera berada di ujung tanduk. Maka stabilitas pemerintahan justru menjadi penuh risiko karena adanya kesempatan yang diberikan kepada badan legislatif dan MPR untuk menjatuhkan presiden di tengah jalan. Kita semua tahu, alasan "negara ada dalam keadaan bahaya" selalu dapat direkayasa, dan begitu sebagian besar anggota MPR menyetujuinya, tamatlah riwayat presiden kita yang mana pun.
***
DAPATKAH psikologi ini dijelaskan, atau dicoba dijelaskan? Menurut hemat saya hal ini masih terkait erat dengan konsepsi tentang kekuasaan, yang dalam tradisi lama (atau tradisi kerajaan-kerajaan di Nusantara) selalu dilihat sebagai sesuatu yang luar biasa, yang untuk mendapatkannya perlu ada intervensi dari kekuatan-kekuatan supernatural berupa wangsit, pulung, wahyu, dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan energi-energi kosmis dalam alam. Kekuasaan dalam konsepsi ini bukanlah bagian dari political everyday life. Dalam pandangan tradisional ini kekuasaan dianggap tidak sama dengan pasar, tidak sama dengan organisasi, tidak sama juga dengan konfigurasi kekuatan-kekuatan politik, atau sesuatu yang berdiri tegak di atas normativitas, tetapi juga rasionalitas konstitusi. Dengan psikologi ini orang-orang yang menginginkan kekuasaan akan selalu tergoda untuk menciptakan prahara politik, dan kemudian atas nama krisis politik, dapat mengambil berbagai langkah darurat untuk memperebutkan kekuasaan.
Ahli ilmu politik LIPI, Dr Mochtar Pabottingi berulang kali menekankan bahwa politik Indonesia dan peralihan kekuasaan politik tidak bisa terus-menerus didasarkan pada psikologi keadaan darurat atau political emergency psychology. Dalam masa pemerintahan Soeharto kita mengalami bahwa pihak eksekutif atau Presiden Soeharto sendiri amat pandai memainkan keadaan darurat ini untuk melanggengkan kekuasaannya. Godaan yang kita hadapi sekarang ialah bahwa legislatif dan MPR dapat terjebak ke dalam kondisi yang sama untuk memainkan juga alasan 'keadaan darurat' bukan untuk melanggengkan kekuasaan (seperti yang dilakukan Soeharto), tetapi untuk mengakhiri kekuasaan eksekutif, yang barangkali tidak menguntungkan kepentingan orang-orang dalam lembaga legislatif sendiri.
Persoalan yang amat serius sekarang ini ialah: bagaimana dapat kita mengawasi keputusan MPR? Pada titik ini kita berhadapan dengan suatu masalah fundamental dalam demokrasi kita yaitu akuntabilitas dan rasionalitas politik dari MPR sendiri. Apa yang terjadi kalau sebahagian besar anggota MPR memberikan suaranya untuk suatu keputusan, yang terang-terangan tidak menguntungkan kepentingan nasional, mengabaikan keadilan, mengganggu stabilitas politik, atau bahkan bertentangan dengan undang-undang dasar? Siapa yang dapat mengontrol dan, kalau boleh, mencegah semua ini?
Jawaban standar yang dapat diberikan ialah bahwa inilah risiko demokrasi yang sudah dicemaskah oleh filosof Sokrates sendiri semenjak masa Athena. Alasan Sokrates menolak demokrasi adalah karena sistem ini memberikan kemungkinan bahwa kita diperintah oleh orang-orang bodoh atau bahkan oleh orang-orang jahat. Para anggota MPR kita pastilah bukan orang bodoh atau orang jahat. Tetapi godaan kepada irasionalisme selalu ada dalam politik, apalagi kalau hal ini berhubungan dengan kepentingan kelompok politik. Maka perlu dicari jalan bahwa keputusan MPR pun memerlukan suatu mekanisme untuk akuntabilitasnya. Usul ini berhubungan dengan keamanan dan perlindungan terhadap kekuasaan presiden di masa yang datang.
***
KEJATUHAN Presiden Gus Dur, selain karena alasan-alasan konstitusional yang berhubungan dengan Dekrit Presiden 23 Juli 2001, disebabkan karena ketidak-puasan terhadap kinerja pemerintahannya. Ekonomi dianggap memburuk, yang terlihat antara lain dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar yang terus memburuk.
Ada dua hal yang perlu dibicarakan dalam hubungan ini. Pertama, apakah alasan kinerja dan prestasi kerja ini dapat menjadi dasar untuk menjatuhkan seorang presiden? Tidak perlu ada diskusi lagi bahwa kalaulah seorang presiden terang-terangan melawan konstitusi, dan terang-terangan membawa negara ke dalam bahaya, maka perlu ada langkah tegas dari pihak legislatif. Hal yang dipersoalkan adalah masalah competence & performance suatu pemerintahan. Apakah seorang presiden yang mengambil menteri-menteri yang tidak kompeten dapat diberhentikan? Selanjutnya, seandainya pun menteri-menteri yang diangkat adalah orang-orang yang kompeten, namun karena kacaunya koordinasi mereka tak dapat bekerja secara efisien dan efektif, sehingga kinerja kabinet menjadi menurun, maka apakah ini alasan cukup untuk mulai menggoyang kekuasan presiden?
Usul yang diajukan di sini ialah bahwa dalam hal ini competence & performance haruslah ditanggung sebagai risiko dari pemilihan presiden. Orang-orang yang memilih seorang tokoh menjadi presiden mereka sebaiknya bersiap bahwa presiden mereka barangkali akan gagal, dan kegagalan ini harus mereka tanggung, tanpa harus memberhentikan presidennya di tengah jalan. Hal ini kurang-lebih sama dengan sikap kita terhadap badan legislatif, di mana kita juga tidak dapat membubarkan DPR dan MPR karena mereka tidak bekerja maksimal, meskipun mereka dibayar mahal dengan uang negara. Mendapatkan anggota DPR yang rendah kinerjanya (misalnya tidak menghasilkan berbagai undang-undang baru yang justru sangat diperlukan), adalah risiko yang harus ditanggung oleh para pemilihnya, tanpa harus membubarkan DPR.
***
SUDAH tentu usul ini akan mempunyai banyak kaitan dengan masalah-masalah hukum tatanegara yang tidak menjadi keahlian dan kompetensi penulis ini, dan sebaiknya diserahkan kepada ahli hukum kita. Persoalan yang menjadi fokus tulisan ini adalah: bagaimana menjaga keseimbangan di antara stabilitas dan rasionalitas politik, dan juga keseimbangan lainnya di antara kekuatan suara dalam demokrasi dan akuntabilitas dari suara-suara itu. Apakah jumlah besar suara (yang merupakan kekuatan kuantitatif) perlu diimbangi dengan penjelasan dan reasoning tentang mengapa mereka memberikan suara mereka (yang merupakan kekuatan kualitatifnya)? Tanpa keseimbangan ini risiko yang kita hadapi ialah adanya stabilitas tanpa dukungan rasionalitas yang memadai (seperti pada zaman Soeharto) dan adanya rasionalitas atau rasionalisasi yang mencukupi tetapi mengorbankan stabilitas (seperti yang kita alami sekarang ini).
Ujian terhadap perimbangan tersebut ialah suksesi kekuasaan. Kalau kekuasaan dapat mengalami peralihan menurut prosedur yang normal, maka kita dapat berbahagia bahwa pengertian dan penghayatan kekuasaan politik sekarang sudah sedikit lebih maju dari Majapahit atau Mataram.
* Dr Ignas Kleden, sosiolog, Direktur The Go-East Institute (Lembaga Lintas Timur), Jakarta.