Marhaban' Ya Ramadan
Muhtadin AR, Pimpinan Pondok Al Barkah Jakarta
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS Al Baqarah: 183).
MARHABAN ya Ramadan, begitulah ungkapan Rasulullah Muhammad saw setiap menyambut datangnya Ramadan, bulan yang penuh berkah dan rahmah. Bagi Rasul (dan juga umat Islam lainnya), Ramadan adalah tamu mulia nan agung yang kehadirannya harus disambut dengan rasa hormat.
Hal ini tidak lain karena Ramadan adalah ibadah yang telah digariskan Allah (QS Al Baqarah: 183). Juga karena begitu banyaknya kebaikan dan kemurahan Allah swt yang diturunkan pada bulan tersebut. Dalam sebuah hadis, Nabi menyebutkan: ''Barang siapa berpuasa pada Ramadan karena keimanannya dan karena mengharap rida Allah, maka dosa-dosa sebelumnya diampuni oleh Allah.'' (HR Bukhari Muslim) Bahkan dalam hadis yang lain disebutkan: ''Seandainya kalian tahu apa keistimewaan dan keutamaan Ramadan itu, pastilah kalian akan mengharap semua bulan sepanjang tahun seperti bulan Ramadan.'' (HR Bukhari Muslim)
Berpijak pada ayat dan hadis tersebut, sangat wajar apabila datangnya Ramadan sangat dinanti-nantikan. Dengan berbagai ritual yang dianjurkan, maka Ramadan tidak hanya dianggap sebagai waktu untuk menyucikan diri, tetapi juga untuk memupuk kebaikan.
Meski begitu, ada baiknya jika dikaji secara saksama apa sebenarnya makna simbolis yang ada di balik Ramadan ini. Artinya, bagaimana kita memaknai dan mengaplikasikan semangat yang diajarkan oleh Ramadan dengan ritual puasanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini penting agar semangat ibadah itu tidak hanya menjadi ritual tahunan kaum muslimin tetapi juga dapat menemukan konteks zamannya.
Makna simbolis
Di balik datangnya Ramadan, sedikitnya ada tiga makna simbolis yang dapat direnungkan bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertama, makna kebenaran (al-haq). Pemikir Musthofa Assiba'i (1999) memberikan penjelasan, jika al-haq adalah tujuan misi Islam, maka hendaknya kebenaran yang pertama diingat ketika orang menjalankan puasa adalah ubudiyyah kepada Allah, yang telah menciptakan, membesarkan, dan memberikan nikmat.
Puasa adalah revolusi atas penghambaan terhadap makanan dan minuman. Untuk itu, dengan ubudiyyah manusia disadarkan bahwa ia adalah manusia. Seorang hamba yang membutuhkan makanan dan minuman, tidak mempunyai kekuatan, dan tidak berbeda dengan manusia lainnya dalam hajat hidup, sandang, dan pangan. Juga dengan ubudiyyah, seorang raja, presiden, pemimpin, pejabat tinggi, direktur, orang-orang kuat, dan konglomerat ingat bahwa mereka membutuhkan rezeki, makanan, dan minuman dari Allah. Mereka tidak berbeda dengan orang-orang miskin dan lemah, merasa lapar dan haus jika tidak makan dan minum.
Oleh karena itu, tidak benar jika dalam sebuah negara ada sebagian (besar) orang berada di bawah garis kemiskinan, sementara kekayaan negara hanya menjadi 'kenduri' bagi segelintir orang. Karena Ramadan adalah tarbiyah ijtima'iyyah (pendidikan sosial) bagi semua orang, bagaimana ia mengakui kebenaran Ilahi, menyadarkan manusia bahwa ia adalah manusia, bukan Tuhan. Jika demikian, mereka harus sadar bahwa kebutuhan untuk makan dan minum adalah kebutuhan semua orang.
Kedua, makna kekuatan. Filosof Ibnu Arabi (1990) menjelaskan, ditinjau dari sudut pandang spiritual, puasa sedikitnya memberikan dua kekuatan yang berdampak besar dalam kebahagiaan pribadi dan masyarakat. (1) Sabar; orang yang berpuasa dalam Ramadan pada hakikatnya dilatih bersabar terhadap kelaparan dan kehausan. Ia harus meninggalkan semua kenikmatan yang terbiasa ia konsumsi di siang hari. (2) Teratur dan kompak; pada Ramadan, orang Islam makan dengan teratur, tidur dan bangun dengan teratur pula. Masyarakat Islam pada Ramadan adalah masyarakat teladan dalam hal keteraturan.
Dua hal itulah yang pada akhirnya memberikan kekuatan pada orang-orang yang mau menjalankan puasa. Tanpa kesabaran, orang tidak akan mampu mengalahkan kebatilan (seperti KKN) dan kekerasan (penggusuran, tawuran antarpelajar/mahasiswa, peledakan bom dan terorisme), tetapi tanpa adanya keteraturan dan kekompakan, kebatilan jauh lebih sulit lagi untuk disingkirkan.
Ketiga, makna kemerdekaan. Ahmad bin Khadrawaih (1990) menjelaskan bahwa kemerdekaan itu ada di puncak ubudiyyah, dan dalam proses ubudiyyah terletak puncak kemerdekaan. Kemerdekaan yang dimaksudkan bukan kemerdekaan secara politik, melainkan kemerdekaan integral, kemerdekaan untuk menjaga visi kemanusiaan yang tidak menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhannya.
Pendeknya, kemerdekaan yang dimaksud adalah kemerdekaan yang tidak diperbudak oleh hawa nafsu, tetapi oleh fikrah dan akhlak yang mulia. Bukankah orang yang diperbudak oleh kebaikan, jauh lebih mulia dan terhormat daripada orang yang diperbudak oleh kebatilan dan kejahatan. Orang yang diperbudak semangat kemanusiaan, jauh lebih mulia daripada orang yang diperbudak oleh semangat syahwat, dan lainnya.
Untuk itulah sangat tepat apabila Ramadan adalah bulan kemerdekaan, dan puasa adalah 'madrasah' tempat pembentukan orang-orang yang berjiwa merdeka. Ramadan adalah waktu untuk meninggalkan segala bentuk kesenangan dengan suka hati. Itulah kemerdekaan dan kebebasan dalam arti yang sesungguhnya.
Catatan akhir
Ketiga makna simbolis Ramadan yakni kebenaran, kekuatan, dan kemerdekaan, apabila dihayati secara benar, tidak sulit rasanya menciptakan pribadi yang toleran, inklusif, lebih mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi demi membangun bangsa yang besar dan beradab. Bangsa yang kukuh, tidak mudah terombang-ambingkan oleh kepentingan asing karena telah didiami oleh jiwa-jiwa yang berakhlak mulia.
Dengan kebenaran, manusia akan terus mencari kebaikan, dengan kekuatan manusia akan mampu memperbarui nilai-nilai suci yang terdapat dalam dirinya, dan dengan kebebasan manusia akan terbebas dari hegemoni kesesatan. Kalau ketiga hal ini dapat merasuk dalam jiwa setiap pemimpin bangsa, juga setiap jiwa orang Islam di negeri ini, niscaya rasa saling curiga, saling tuduh, dan saling teror (benci) terhadap yang lainnya tidak akan terjadi.
Terwujudnya bangsa yang damai, aman, tertib, dan sejahtera, baldatun toyyibatun wa rabbun ghafuur, yang ditopang oleh jiwa-jiwa kesatria (tanpa mencari kambing hitam) dalam menyelesaikan persoalan, tentu menjadi idaman kita semua. Dan, inilah saat yang tepat untuk mewujudkan semua itu. Ketika Ramadan tiba, maka pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu (HR Bukhari dan Muslim). Selamat menunaikan ibadah puasa.*
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment