Kemelaratan, Musuh Utama Agama-agama
Oleh Masdar F Masudi
ADA kesalahpahaman luas dan kuat bahwa agama adalah ajaran yang hanya mengurusi persoalan rohani. Segala masalah yang muncul dalam kehidupan ini selalu saja diyakini sebagai bersumber pada realitas kerohanian.
Tak terkecuali krisis menyeluruh yang melanda bangsa Indonesia, pusatnya pun pada kualitas kerohanian kita. Para mubalig menyebut penyebab krisis bangsa adalah rendahnya keimanan bangsa.
Diagnosa spiritualistik ini membingungkan karena dua hal. Pertama, bagaimana mungkin bangsa Indonesia yang 100 persen penduduknya mengaku beragama, 90 persen di antaranya umat Islam, yang di hampir tiap kampung ada tempat ibadahnya, bisa dituding sebagai lemah iman? Kedua, jika diagnosa yang absurd itu diterima, apalagi yang harus dibuat bangsa ini untuk mengatrol "rendahnya keimanan"? Haruskah proyek santapan rohani yang sudah over dosis itu dilipatgandakan?
"Iman" adalah cahaya ilahi yang terberikan Allah sejak kita masih di rahim sang ibu (Al-A?raf [7]: 172). Boleh saja ia disebut melemah. Tetapi, jika iya, penyebabnya pasti bukan pada berkurangnya voltase cahaya itu sendiri yang bersifat spiritual. Faktor itu justru sepenuhnya bersifat material, yakni kemiskinan atau kefakiran. Itulah faktor dominan yang telah meredupkan cahaya keimanan orang-orang beriman, seperti diisyaratkan sabda Rasulullah, "Kaada al-fqr an yakuuna kufra", kemelaratan itu nyaris identik dengan kekufuran.
Kefakiran atau lebih populernya kemelaratan, meski bisa diperluas arti dan cakupannya, lazimnya mengacu pada kondisi kekurangan suplai material dibanding kebutuhan atau permintaan yang dirasakan. Jika kekurangan atau kelangkaan bersifat nyata, disebut kemelaratan obyektif, sementara jika kekurangannya lebih dalam perasaan hawa nafsu, disebut kemelaratan subyektif. Kemelaratan kategori pertama, yang paling akut hadir dalam ujud "kelaparan". Yang kedua, kemelaratan subyektif, tidak lain adalah apa yang disebut dengan "keserakahan".
Kedua jenis kemelaratan, yang obyektif (kelaparan) maupun yang subyektif (keserakahan), adalah problem kemanusiaan universal yang amat mendasar. Seperti diketahui, agenda utama agama-agama adalah mengangkat derajat manusia (human dignity) atas landasan spiritual dan moral yang tinggi. Sementara itu, survei membuktikan, spiritualitas dan moralitas tidak akan tegak di atas basis kemelaratan, baik yang obyektif maupun yang subyektif. Baik kelaparan maupun keserakahan sama-sama dapat membutakan mata hati manusia terhadap kebenaran dan keluhuran.
Dalam Al Quran dikatakan: "... Fal ya?buduu rabba hadzal bait alladziy ath?amahum min ju? wa aamanahum min khauf?. Hendaknya mereka menyembah Allah, Tuhan pemilik Kabah; Dialah yang telah membebaskan mereka dari kelaparan dan menjamin mereka dari ketakutan (takut lapar, keserakahan). Artinya, kemampuan untuk menyembah Allah, dalam arti menjunjung tinggi kebenaran dan keluhuran, hanya dimiliki oleh mereka yang terbebas dari kedua penyakit itu: kelaparan dan keserakahan. Maka, ketika Allah menyuruh manusia menyembah-Nya, Ia lebih dulu membebaskan manusia bersangkutan dari kedua kondisi kemelaratan itu.
Agama sebagai pembawa seruan Tuhan untuk kebenaran dan keluhuran seharusnya berpijak pada kondisi obyektif kemanusiaan ini, yakni jika manusia mengabaikan seruan Tuhan, bukanlah karena bakat kekufuran dalam hati mereka. Tetapi, karena kondisi material-obyektif yang membuat mereka demikian. Kondisi material-obyektif yang menghalangi manusia tunduk pada kebenaran dan kemuliaan tidak lain adalah kemelaratan, kafakiran. Bukan yang lain!
BAGAIMANA kemelaratan bisa diatasi atau diperangi? Apa yang bisa diperbuat umat beragama? Sebenarnya, berbagai ideologi besar yang pernah hadir dalam sejarah telah berlomba menjawab pertanyaan itu, atau hanya pertanyaan itu, terutama komunisme dan kapitalisme. Tetapi, apa yang mereka perangi ternyata tidak lain hanya kemelaratan kategori pertama, kelaparan. Tidak satu pun dari ideologi itu yang berbicara bagaimana memerangi kemelaratan kategori kedua, yakni keserakahan.
Bahkan, ada indikasi, khususnya dari kapitalisme, untuk memanjakannya. Tidak pernah disadari, kelaparan merajalela di mana-mana bukan karena kelangkaan, tetapi karena keserakahan. Inilah mengapa akhir dari kisah ideologi-ideologi itu bukannya kesejahteraan manusia, tetapi kemelaratan yang kian merata dan mendalam di mana-mana.
Agama, semua agama, sebagai ajaran spiritual dan moral, sebenarnya melihat problem kemiskinan paling serius justru pada kemelaratan kategori kedua (keserakahan). Itu sebabnya kecaman yang lazim dari agama terkait dengan endemi kemelaratan tidak pernah dialamatkan kepada kaum fakir miskin yang lapar dan terpinggirkan. Bahkan, pemihakan paling kuat yang pernah diberikan agama adalah terhadap mereka yang lapar itu.
Sebaliknya, tidak satu agama pun yang memberi penghargaan terhadap pengidap keserakahan. Karena sebenarnya mereka yang lapar menjadi lapar karena serakahnya orang-orang yang serakah. Karena itu, kaum pendosa, seperti para koruptor, adalah mereka yang serakah, sama sekali bukan mereka yang lapar.
Bagaimanakah keserakahan dikendalikan sehingga kelaparan dihindarkan?
Pertama, agama-agama harus meneguhkan kembali pemihakannya terhadap nasib orang-orang lapar (kaum fakir miskin), dengan melancarkan kampanye besar-besaran untuk menyadarkan kembali umat masing-masing tentang dosa dan bahaya keserakahan.
Kedua, melakukan praksis bersama membangun kesepakatan publik (melalui sistem hukum, perundang-undangan, atau regulasi sejenis) yang bertujuan ganda: (a) memerangi nafsu keserakahan jangan sampai mendestruksi tata kehidupan sosial dan keseimbangan alam; (b) menjamin proses redistribusi pendapatan dan kesejahteraan secara radikal bagi semua, terutama mereka yang lapar dan kekurangan.
Untuk itu, agama-agama harus mendefinisi kembali posisinya; dengan tanggung jawab kemanusiaannya, agama- agama harus keluar dari persembunyiannya di ruang privat yang hening dan damai, untuk kemudian merangsek hadir di ruang publik yang gaduh dan ramai. Bukan untuk membangun kebesaran simbolik komunalistik, tetapi untuk menyingkirkan kemelaratan-keserakahan, musuh utama spiritualitas dan kemanusiaan. Inilah titik temu dan arena jihad bersama paling sejati untuk semua agama.
Masdar F Mas?udi Katib Syuriah PBNU, Ketua Perhimpunan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Pengasuh Pesantren Al-Bayan, Sukabumi.
* Makalah ini pernah disampaikan dalam "Dialog Agama Mengatasi Kemiskinan" oleh Majlis Jemaat GKI, Bandung, 12 Juli 2003.
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment