Tuesday, March 31, 2009

Islam dan Postmodernisme

MELAMPAUI NAMA-NAMA

Islam dan Postmodernisme

Oleh Komaruddin Hidayat


Terdapat perbedaan aksentuasi makna dan semangat ketika postmodernisme difahami sebagai periode kesejarahan dan mode pemikiran, meskipun keduanya memiliki keterkaitan yang amat erat: yang pertama mengajak kita untuk memusatkan pada kajian sosiologis terhadap kehidupan masyarakat postmodern, sedang yang kedua pada analisa konseptual-filosofis.


Ketika postmodernisme dikaitkan dengan Islam, kita juga bisa meniliknya dari dua arah tersebut. Tapi di sini kita sulit mencari sosok pemikir yang secara spesifik dan intens terlibat dalam wacana postmodernisme sebagai sebuah agenda filosofis-intelektual. Barangkali hanya dua nama yang mudah disebutkan, yakni Mohamed Arkoun dan Hassan Hanafi. Yang pertama seorang intelektual muslim kelahiran Aljazair yang tinggal di Perancis, dan yang kedua berasal dari Mesir yang juga banyak mengenyam pendidikan di Perancis. Keduanya memiliki keterlibatan intelektual secara langsung dengan isu dan gerakan postmodernisme di Eropa. Dari keduanya itu kelihatannya Arkoun lebih terlibat jauh. Berbagai karyanya, yang sebagian besar masih dalam edisi Perancis, memang secara eksplisit memperkenalkan konsep "dekonstruksi" dari Derrida dalam memahami Al-Qur'an, meskipun dalam segi yang amat fundamental Arkoun berbeda dari Derrida dan pemikir postmodernis yang lain.

Dalam analisa sosiologis-historis, kaitan antara postmodernisme dan Islam sampai sejauh ini sedikit sekali mendapat perhatian. Di antara yang sedikit itu adalah karya Akbar S. Ahmed Postmodernism and Islam (1992) dan Ernest Gellner Postmodernism, Reason and Religion (1992). Meskipun keduanya secara eksplisit menyebutkan postmodernism dalam judul bukunya, tetapi sayang analisanya kurang masuk lebih dalam memasuki agenda diskusi yang dilakukan oleh kaum poststrukturalis. Namun begitu kedua buah buku ini setidaknya memberikan pengantar bagi kita untuk memasuki arena diskusi mengenai kaitan Islam dengan persoalan modernitas dan postmodernitas.

Ahmed memulai analisanya dengan terlebih dahulu mencirikan karakter sosiologis postmodernisme. Di sana terdapat delapan yang menonjol, yaitu:

Satu, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran.

Dua, meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistim indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media masa telah menjelma bagaikan "agama" atau "tuhan" sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi.

Tiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi, sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan.

Empat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan romantisisme dengan masa lalu.

Lima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat roda, negara maju sebagai "titik pusat" yang menentukan gerak pada "lingkaran pinggir".

Enam, semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.

Tujuh, era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif.

Delapan, bahasa yang digunakan dalam wacana postmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut "era postmodernisme" banyak mengandung paradoks.

Paradoks yang digaris bawahi Ahmed antara lain ialah: masyarakat mengajukan kritik pedas terhadap materialisme, tapi pada saat yang sama pola hidup konsumerisme semakin menguat; masyarakat bisa menikmati kebebasan individual yang begitu prima yang belum pernah terjadi dalam sejarah, namun pada saat yang sama peranan negara bertambah kokoh; dan masyarakat cenderung ragu terhadap agama, tetapi pada saat yang sama terdapat indikasi kelahiran metafisika dan agama.

Baik dari aspek kajian sosiologis maupun intelektual-filosofis, isu postmodernisme muncul sebagai agenda wacana masyarakat Barat. Sejak 6 abad terakhir praktis kepemimpinan dunia dipegang oleh Barat, setelah sebelumnya oleh dunia Islam. Dunia Islam jauh ketinggalan dalam menyumbangkan peradaban sains dan teknologi dan kreasi-kreasi lain. Islam sebagai paradigma syariat dan teologi memang kelihatan masih kokoh (untuk tidak mengatakan jumud atau beku), tetapi Islam sebagai paradigma peradaban berada di luar panggung permainan, dan cenderung sebagai penonton yang "cemburu".

Sejarah mencatat bahwa loncatan-loncatan kreasi dan inovasi intelektual dalam Islam terjadi justeru ketika terjadi kontak dan pergulatan dengan Barat. Hal ini terjadi begitu menyolok ketika Islam berjumpa dengan warisan intelektual Yunani. Karya-karya intelektual Islam terbaik dan amat monumental terbentuk pada abad-abad pertengahan di mana pergulatan berlangsung begitu intens antara filsafat Yunani dan pemikir-pemikir muslim Arab Persia khususnya.

Kontak kedua yang juga amat menentukan dalam perkembangan Islam terjadi pada awal abad ke-20 ini. Gerakan pembaharuan dan modernisasi dalam Islam merebak setelah Islam berjumpa dengan Barat modern. Hampir semua tokoh modernis dalam Islam adalah mereka yang memiliki apresiasi kritis terhadap intelektualisme Barat. Pada fase ini kontak dengan Barat memberikan pencerahan dalam pemikiran politik dan apresiasi teknologi. Pada penghujung abad 20 ini, setelah Perang Dunia I dan II kelihatannya pola hubungan Islam-Barat melahirkan nuansa-nuansa baru. Pada fase ketiga inilah postmodernisme masuk sebagai salah satu agenda, meskipun bagi mayoritas pemikir muslim, ia tetap merupakan bagian tak terpisahkan dari paradigma westernisme-modernisme.

Dengan mengamati buku-buku mutakhir yang berkenaan dengan hubungan Barat dan Islam, terdapat indikasi yang kuat bahwa respons dunia Islam, terdapat Barat lebih diwarnai dengan semangat politis-ideologis. Karya John Esposito The Islamic Threat: Myth or Reality? (1992), dengan bagus mencoba menjelaskan hubungan Barat dan Islam yang selalu ditandai konflik. Menurut Hassan Hanafi, sebagaimana dikemukakan oleh Kazuo Shimogaki dalam Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme (1993), Barat sekarang ini secara sadar dan gencar melakukan imperialisme kultural atas dunia Islam sehingga proyek modernisme Barat yang dikenalkan pada dunia Islam tak lain dari sebuah penaklukkan dan dominasi. Penaklukkan ini, kata Esposito, telah memporakporandakan bangunan sejarah tata nilai dan kelembagaan yang telah beratus tahun tegak dalam komunitas muslim. Namun demikian, meskipun secara sosial dunia Islam mengalami kelumpuhan akibat kolonialisme Barat, monoteisme Islam yang begitu kuat yang telah berakar ratusan tahun dalam sejarah sanggup menjadi benteng pertahanan dan ruh bagi dunia islam untuk mencoba bangkit melawan Barat.

Sebagai akibat dari penjajahan itu, jika dalam agenda percaturan peradaban mondial umat Islam berada di luar panggung permainan, hal itu--di samping karena kelelahan intelektual yang menimpa dunia Islam--dikarenakan Barat memang tidak ingin ada kelompok lain yang tampil menyainginya. Kelelahan intelektual dan psikologis akibat penjajahan ini telah menyebabkan umat Islam merasa kurang bertanggungjawab atas krisis dunia dan kemanusiaan yang sebagian besar disebabkan oleh perilaku masyarakat Barat.

Secara psikologis, tidaklah mudah untuk menghapus begitu saja pengalaman pahit akibat penjajahan Barat atas dunia Islam. Dengan meminjam istilah Josiah Royce, jika konsep komunitas itu ditentukan oleh kenangan bersama tentang masa lalu serta nilai-nilai yang dihayati bersama yang kemudian diproyeksikan ke masa depan, maka kenangan anti Barat merupakan nilai dan memori yang berkembang secara turun temurun dari generasi ke generasi umat Islam. Perkembangan ini bahkan oleh Samuel Huntington dinilai semakin menguat, karena Barat sendiri melihat dunia Islam sebagai ancaman terutama setelah jatuhnya komunisme. Penilaian Huntington ini, menurut hemat saya, bukan mengada-ada, karena dia sekedar membaca secara jeli terhadap denyut anatomi dan psikologi hubungan Barat-Islam. Implikasi sinyalemen Huntington ini bagaikan bahan bakar yang berfungsi mengawetkan api konflik atau "perang terbuka" antara Barat versus Islam. Dan oleh karenanya pihak diplomat dan beberapa intelektual Amerika lainnya dibuat sibuk berupaya "menutupi", "meralat" atau "membantah" deklarasi Huntington yang jujur dan bisa merugikan mereka sendiri.

Di dalam dunia Islam sendiri isu anti Barat ini kadangkala dijadikan semacam komoditi "legitimasi" untuk membangun popularitas dan keabsahan bagi munculnya "pahlawan pembela umat". Dengan cara melancarkan serangan terhadap Barat, meskipun secara retorik, seseorang akan mendapat applaus dari umatnya. Sebaliknya, seorang muslim yang dinilai begitu dekat dengan Barat akan diragukan ketokohan dan loyalitasnya pada kepentingan Islam. Di Indonesia, juga di beberapa negara di Timur Tengah, gejala ini tidaklah sulit untuk diamati.

Dari uraian di muka, satu hal yang ingin saya tegaskan di sini ialah, perasaan terancam dan luka historis dunia Islam akibat penjajahan cenderung menutupi bagi terciptanya wacana yang jujur antara Barat dan Islam untuk melihat proyek "modernitas" dan "postmodernitas". Hubungan antara keduanya lebih diwarnai dengan kepentingan politis-ekonomis, yaitu relasi kuasa untuk saling menaklukkan ketimbang dialog peradaban yang saling isi mengisi secara suka rela.

Di mata para pemikir postmodernisme, paradigma modernisme dan proyek modernisasi dinilai telah gagal atau--yang pasti--mempunyai cacat dan kelemahan mendasar sehingga dalam berbagai aspeknya harus didekonstruksi. Tatanan realitas yang dibangun oleh cara pandang modernisme harus dibongkar, mulai dari tataran epistemologinya. Mengapa? Karena dengan epistemologilah kita memandang dan mendefinisikan realitas, dan pada urutannya di atas definisi yang kita susun itulah kita bangun realitas kehidupan. Jika fondasinya sudah salah, maka fondasinya akan membahayakan kehidupan itu sendiri.

Demikianlah maka kalau kita membicarakan kaitan antara Islam dan postmodernisme, kita mau tak mau harus juga memeriksa kembali modus keberagamaan kita, pandangan kita tentang watak bahasa agama, dan bagaimana bahasa agama tersebut mesti kita sikapi.

Dekonstruksi Bahasa Agama

Dalam tradisi Islam, sejak awal diyakini bahwa teks itu tidak hanya terbatas pada kitab suci Al-Qur'an. Juga alam raya adalah teks, bahkan perilaku (tradisi) kenabian itu sendiri juga merupakan teks yang kesemuanya menyimpan dan hendak mengkomunikasikan makna dan pesan yang dikandungnya. Terdapat korelasi yang dialogis antara subyek (seorang muslim), teks Al-Qur'an, tradisi kenabian, dan realitas alam raya dengan hukum-hukumnya. Sejak pertama kali Al-Qur'an diwahyukan, ia sudah melakukan dekonstruksi radikal terhadap epistemologi serta syair-syair Jahiliyah waktu itu.

Ayat yang pertama diturunkan bunyinya adalah: "Bacalah! Bacalah atas nama Tuhanmu apa-apa yang telah Dia ciptakan" (Q.S. 96:1). Jadi, sejak pertama umat Islam sudah ditantang untuk membaca teks berupa alam raya. Alam itu sendiri artinya "tanda" yang menunjuk kepada realitas di luarnya. Kemudian Al-Qur'an memperkenalkan "Ada" (Being) yang mendasari "semua yang ada" (beings) dengan berbagai cara yang bersifat dialogis dan relasional, bukannya definitif positivistik. Dengan mendasarkan pada Al-Qur'an, Al-Ghazali dalam bukunya Sembilan Puluh Sembilan Asma Tuhan secara jelas membedakan antara name, naming dan the named. Tuhan sebagai Realitas Absolut tidak mungkin dipahami oleh manusia kecuali secara tidak langsung, parsial dan relasional, yaitu melalui "jejak-jejak" karya-Nya yang kemudian menghubungkan manusia untuk mengapresiasi Tuhan sesuai dengan tingkat intelegensianya serta situasi etis-psikologisnya. Jadi, fungsi 99 nama Tuhan itu kira-kira merupakan "jendela" ataupun "tangga" bagi orang yang beriman untuk mendekati dan menyapa Tuhan, bukannya mendefinisikan-Nya. Jika Tuhan sebagai Realitas Absolut bisa difahami secara "natural" atau bisa "dipresentasikan" sebagaimana kaum positivistik menghadirkan realita, maka berarti Tuhan telah "dikuasai" oleh yang relatif, dan berarti dia tidak lagi sebagai Ada Mutlak.

Beberapa alasan mengapa perlu melakukan dekonstruksi terhadap bahasa agama dan bagaimana bisa dilakukan, antara lain ialah:

Pertama, Kitab Suci sebagai firman Tuhan diturunkan dalam penggalan ruang dan waktu, sementara manusia yang menjadi sasaran atau "pemakai jasa" senantiasa berkembang terus dalam membangun peradabannya. Dengan warisan kulminasi peradaban yang turun temurun masyarakat modern bisa berkembang tanpa rujukan kitab suci sehingga posisi kitab suci bisa saja semakin asing meskipun secara substansial dan tanpa disadari berbagai ajarannya dilaksanakan oleh masyarakat.

Kedua, bahasa apa pun juga, termasuk bahasa kitab suci, memiliki keterbatasan yang bersifat lokal karena bahasa adalah realitas budaya. Sementara itu pesan dan kebenaran agama yang termuat dalam bahasa lokal tadi mempunyai klaim universal. Di sini sebuah bahasa agama akan diuji kecanggihannya untuk menyimpan pesan agama tanpa harus terjadi anomali atau terbelenggu oleh kendaraan bahasa yang digunakannya.

Ketiga, ketika bahasa agama "disakralkan", maka akan muncul beberapa kemungkinan. Bisa jadi pesan agama terpelihara secara kokoh, tetapi bisa juga justru makna dan pesan agama yang fundamental malah terkurung oleh teks yang telah "disakralkan" tadi.

Keempat, kitab suci--di samping kodifikasi hukum Tuhan--adalah sebuah "rekaman" dialog Tuhan dengan sejarah di mana kehadiran Tuhan diwakili oleh Rasul-Nya. Ketika dialog tadi dinotulasi, maka amat mungkin telah terjadi reduksi dan pemiskinan nuansa sehingga dialog Tuhan dengan manusia tadi menjadi kehilangan "ruh"-nya ketika setelah ratusan tahun kemudian hanya berupa "teks".

Kelima, ketika masyarakat dihadapkan pada krisis epistemologi, kembali pada teks Kitab Suci yang "disakralkan" tadi akan lebih menenangkan ketimbang mengambil faham dekonstruksi yang mengarah pada relativisme-nihilisme.

Keenam, semakin otonom dan berkembang pemikiran manusia, maka semakin otonom manusia untuk mengikuti atau menolak ajaran agama dan kitab sucinya. Lebih dari itu, ketika orang membaca teks kitab suci, bisa jadi yang sesungguhnya terjadi adalah sebuah proses dialog kritis antara dua subyek. Dengan demikian, orang bukannya menafsirkan dan minta fatwa pada kitab suci tetapi menempatkan kitab suci sebagai teman dialog yang bebas dari dominasi.

Dari berbagai pertimbangan di atas, dan tentu saja bisa diperpanjang, maka antara seorang muslim, kitab suci, sejarah kenabian, dan alam raya ini, terjadi semacam lingkaran hermeneutik yang berdiri secara sejajar. Semakin cerdas kita mengajak berdialog, maka akan semakin cerdas pula kitab suci, sejarah dan alam ini memberikan jawaban balik pada kita.

Tetapi, barangkali berbeda dengan Derrida, proses dialog dan dekonstruksi ini hanya mungkin dan bermakna jika di sana terdapat prinsip yang diterima bersama. Prinsip itu ialah adanya semua yang ada (beings) dan Ada (Being), adanya "ciptaan" dan "Pencipta". Secara konseptual kata "ciptaan" tidak bisa difahami kalau tak ada hubungan relasional dengan konsep "Pencipta", dan sebaliknya. Di sini pengakuan terhadap sesuatu yang bersifat "meta-eksistensi" memang mengesankan loncatan. Tetapi lebih sulit lagi kalau kita menolak pengakuan ini.

Demikianlah, tanpa dekonstruksi dan sikap kritis terhadap bangunan epistemologi dan bahasa agama, bisa jadi seseorang akan menjadi "tawanan" bahasa, yang pada hal bahasa mestinya sebagai "jembatan" (i'tibar) untuk menyeberang melampaui simbol dan teks.

Secara filosofis, oleh karenanya, menyembah "Allah" sebagai "nama" dan menyembah "X" sebagai Realitas Absolut yang kita panggil dengan nama Allah atau 99 nama lain adalah dua sikap yang amat berbeda. Dalam tradisi Islam, dekonstruksi bisa dilakukan, bahkan wajib, tetapi sebagai langkah untuk melakukan rekonstruksi konseptual dan pendakian rohani menuju Realitas Absolut di mana tak seorangpun bisa mendefinisikan kedirian-Nya.


Tulisan ini diambil dari Jurnal Kalam, edisi 1 - 1994.

No comments: