Mengembalikan 'Khittah' Emansipatoris Agama
BILA menengok fenomena keagamaan yang mengemuka akhir-akhir ini, umat Islam Indonesia mungkin layak berbangga. Selalu tak memadainya jumlah kuota haji yang tersedia, semakin mudahnya menjumpai tempat-tempat ibadat yang tak jarang dibangun dengan megah, selalu ramainya acara pengajian dengan para penceramah muda yang memiliki kecakapan retorika yang memukau, bahkan berbondong-bondongnya kalangan selebriti dan kelas menengah muslim perkotaan menunaikan umroh --sekedar merujuk beberapa di antaranya yang paling gamblang-- merupakan fenomena yang menggambarkan tengah pasangnya gelombang antusiasme keberagamaan.
Antusiasme keberagamaan itu, juga tampak jelas manifestasinya dalam ramainya wacana keagamaan yang jadi perbincangan kalangan terdidik muslim. Menariknya lagi, antusiasme itu tidak sekadar muncul di lembaga-lembaga (pendidikan) keagamaan seperti IAIN dan pesantren, tapi menjadi fenomena massif. Semakin banyaknya jumlah publikasi ilmiah dan besarnya animo masyarakat atas buku-buku seputar wacana keagamaan adalah parameternya yang paling jelas.
Tetapi, karena agama sejatinya bukan melulu sekumpulan ritus yang membeberkan acuan normatif bagaimana relasi manusia dengan Tuhan seharusnya dibangun, juga bukan sekadar teks suci tempat bertitik tolaknya perdebatan akademis yang rumit dan seolah tanpa akhir, tetapi sejatinya juga harus menjadi himpunan kekuatan simbolik untuk menegakkan tatanan sosial yang adil, maka antusiasme keagamaan di atas sebenarnya masih menyisakan beberapa persoalan.
Belum berjalan seiringnya antara gairah menggapai kesalehan ritual dan 'kesalehan akademis' tersebut, dengan upaya mentransformasikan pesan-pesan agama dalam wujud kesalehan sosial nyata merupakan pokok persoalan yang tidak mustahil akan melahirkan model 'kesalehan (akademik) eskapistik': kesalehan yang berhenti sebagai simbol dan wacana, tapi abai dan membisu saat memergoki beragam kemungkaran sosial.
Padahal, dengan meyakini bahwa latar belakang kelahiran agama sejatinya merupakan sebuah respon yang menggugat berbagai ketimpangan sosial, ekspresi keberagamaan pun seharusnya terangkai secara dialektis antara kesalehan ritual dan moralitas sosial. Aktivitas keagamaan, tegasnya, tidak lagi semata-mata cukup untuk menanamkan kesalehan pribadi yang menentramkan, atau menjadikan agama sebagai wacana akademis yang njlimet dan tak bertaut dengan persoalan konkret; tetapi justru harus menginspirasikan kerja-kerja transformatif dalam membongkar proses dehumanisasi dan mengampanyekan pemihakan atas nasib orang-orang yang tergilas di dalamnya. Agama, seperti tampak dalam judul buku Moeslim Abdurrahman ini, sudah saatnya menjelma jadi energi kritik sosial.
Absennya fungsi kritis dan 'khittah' emansipatoris agama dalam semaraknya ritual dan wacana keagamaan itulah, yang jadi sumber kerisauan Moeslim Abdurrahman sekaligus memunculkan gugatan yang membauri hampir semua tulisannya dalam buku berjudul Islam sebagai Kritik Sosial ini. Dan dengan tetap setia pada alur paradigmatik yang telah dirajutnya dalam gagasan 'Islam transformatif'-nya, Moeslim pun kembali berikhtiar melakukan pencarian 'bagaimana iman bisa bertaut dengan realitas sosial yang terus berubah'. Bagaimana orang-orang yang tertindas dalam subordinasi sosial, misalnya, dibela oleh agama(wan). Hal yang menurutnya mau tak mau sangat berhimpit erat dengan persoalan model interpretasi agama.
Pada titik inilah pembacaan terus-menerus atas persoalan yang dipergoki umat dan semua gejolak sejarah yang berlangsung guna memunculkan makna-makna baru dari teks-teks keagamaan menjadi niscaya. Sebab, absennya respon akurat atas proses marginalisasi sosial yang menimpa kaum mustadh'afun, misalnya, pada gilirannya tidak mustahil hanya akan memunculkan resistensi yang mengarah pada gerakan radikalisme dan fundamentalisme keagamaan.
Dari sinilah, tafsir transformatif tidak menekankan pada perebutan makna-makna yang hanya bertitik tolak dari teks-teks keagamaan tetapi lebih berupaya mencari dan menemukannya justru dari dan dalam proses sosial. Dan karena tujuan bertafsir tidak lain untuk menemukan konstruk yang mampu menggambarkan praktik persekutuan-persekutuan sosial hegemonis (politeisme sosial), maka langkah pertama yang harus ditempuh dalam tafsir transformatif adalah selalu bertolaknya tafsir dari pembacaan sosial. Sehingga, lewat pembacaan itu, akan tampak siapakah yang diyakini bersekutu dalam melakukan penindasan (mustakbirun), dan siapa pula yang secara struktural mengalami dehumanisasi karena ditindas (mustadh'afun).
Hasil pembacaan sosial seperti itulah yang kemudian dipertaut-hadapkan dengan pesan moral agama. Sebab hanya dengan cara begitu agama bisa diharapkan tetap mampu memberikan maknanya bagi kehidupan karena dibaca dengan tanpa memisahkannya dari kenyataan sosial. Bisa melahirkan resistensi atas praktik dehumanisasi (nahy 'anil munkar) dan membangkitkan semangat bagi praksis emansipasi (amar bi al-ma'ruf).
Melalui model tafsir seperti itu pula, menurut Moeslim, kita bisa mengharapkan lahirnya --apa yang diistilahkannya-- 'agamawan organik'. Yakni agamawan kritis yang bervisi progresif, bisa mengartikulasikan kondisi sosial, dan dapat menemukan religious voices (suara-suara agama) yang dijadikannya sebagai counter hegemony atas agama yang telanjur hanya dipakai sebagai pembenaran simbolik. Agama yang telah kehilangan 'khittah' emansipatorisnya karena lebih ditekankan pada kesalehan individu dan dijadikan semata-mata sebagai alat peneguhan identitas (identity reassertion).
Dengan mereposisi peran agamawan dari konotasi tradisionalnya, yakni dari sekadar produsen fatwa atau tafsir menjadi 'agamawan organik', agama pun semakin bisa diharapkan komitmen moralitasnya atas ketimpangan sosial dengan terus melakukan rekonseptualisasi pesan-pesan dasar agama, seperti memberikan makna baru atas konsep kesalehan yang tidak berhenti pada tataran individual tetapi juga meluas ke tataran sosialnya.
Damanhuri, penggiat Kelompok Kajian 48 Bandar Lampung
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment