Dua Model Tradisi Keberagamaan
Akh Muzakki; Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya; sedang studi di ANU, Canberra, Australia
HAMPIR semua agama mesti memiliki dua model tradisi keberagamaan secara bersamaan, intelektualisme dan komonalisme (commonalism). Munculnya dua tradisi ini menemukan konteks sosiologisnya dari kecenderungan pemeluk agama yang sebagian menjadikan agama sebagai bagian dari dinamika keilmuan, dan sebagian lainnya mendekati agama sebagai sebuah ajaran praktis kehidupan.
Ada perbedaan mencolok dari dua model tradisi tersebut. Minimal, pada tiga tingkatan, pertama, pada level cara berpikir keagamaan. Model tradisi intelektualisme mendorong agama ke arah lebih diskursif yang cenderung memperkenankan dan menerima pertanyaan ulang atas ketentuan-ketentuan agama. Sedangkan model tradisi komonalisme menarik agama ke arah yang lebih didaktis sebagai sebuah ajaran praktis kehidupan.
Dengan cara berpikir keagamaan seperti ini, penyikapan terhadap dampak yang mungkin timbul dari sebuah pemikiran keagamaan terhadap kehidupan pemeluk agama cenderung berbeda. Dalam kaitan ini, pertanyaan yang kerap kali muncul, apakah pemikiran itu ada manfaatnya buat umat? Tradisi intelektualisme cenderung abai terhadap persoalan ini, sementara tradisi komonalisme cenderung terlalu kuat memegangi prinsip ini sehingga cenderung konservatif terhadap tradisi yang sudah ada.
Perseteruan yang tajam antara Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Media Dakwah (MD), seperti terlihat dalam konstelasi pemikiran Islam Indonesia belakangan ini, salah satunya bisa dilihat dari perbedaan perspektif dalam penyikapan atas prinsip 'kemanfaatan' buat umat. Bagi JIL, produksi pemikiran Islam adalah satu hal dan dampak 'kemanfaatan' buat kehidupan praktis umat adalah hal lain. Akibatnya, JIL kurang hirau terhadap dampak pemikiran yang diproduksinya atas kehidupan keberagamaan masyarakat secara kebanyakan.
Sedangkan MD cenderung terlalu kuat merengkuhi prinsip 'kemanfaatan' tersebut seraya sensitif terhadap pemikiran baru. Akibatnya, dengan memegangi prinsip dimaksud secara kuat, MD tampak menjaga jarak terhadap pemikiran-pemikiran pembaruan.
Perbedaan penyikapan terhadap dampak sosial bagi keberagamaan umat di atas terkait sekali dengan tuntutan kebutuhan agama yang menjadi level kedua, perbedaan dua model tradisi keberagamaan di atas. Pada level ini, model tradisi intelektualisme lebih banyak menuntut adanya dinamika dan alternatif-alternatif dalam berpikir keagamaan. Akibat dari tuntutan kebutuhan ini, tradisi intelektualisme cenderung enggan untuk sampai pada pemberian sebuah kepastian bagi pemeluk agama dalam menjalankan praktik kehidupan keagamaannya. Sedangkan yang dibutuhkan oleh tradisi komonalisme adalah adanya sebuah kepastian bagi praktik kehidupan keagamaan. Faktor kepastian ini cenderung mengakibatkan model tradisi ini abai terhadap tuntutan dinamika keagamaan.
Ketiga, perbedaan kecenderungan pemuasan keagamaan. Pada level ini, kecenderungan model tradisi intelektualisme untuk bergerak ke arah pemuasan kebutuhan intelektual-kognitif lebih besar daripada kecenderungan serupa ke arah pemuasan kebutuhan praktis-psikomotorik. Hal ini berbeda dengan model tradisi komonalisme. Karena, kecenderungan model ini ke arah pemuasan kebutuhan praktis-psikomotorik lebih besar daripada pemuasan kebutuhan intelektual-kognitif.
***
Dalam konteks dua model tradisi keberagamaan, pemahaman yang literal-didaktis pada tataran tertentu mempunyai kelebihan untuk bisa diterima oleh masyarakat kebanyakan daripada pemahaman yang liberal-diskursif. Hal ini terkait dengan penyebab bahwa terlepas dari berbagai kekurangan yang ada padanya, pemahaman literal-didaktis lebih bisa memberikan kepastian (certainty) kepada masyarakat kebanyakan. Nilai kepastian ini muncul karena pemahaman model seperti ini ditransformasikan dan ditransmisikan kepada masyarakat umum melalui ajaran yang mudah dicerna oleh mereka dan 'siap saji'.
Ajaran demikian dirupakan oleh kelompok pemahaman literal-didaktis dalam bentuk petunjuk-petunjuk praktis (manuals) untuk menjalankan kehidupan beragama. Nah, bentuk manuals seperti ini kerap absen dari kelompok pemahaman liberal-dikursif. Ajaran dan model pengomunikasian agama ala literal-didaktis seperti dimaksud sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakat kebanyakan terhadap ajaran agama yang mudah dicerna dan sarat dengan kepastian.
Nah, dua kecenderungan tradisi keberagamaan di atas dapat tersambungkan secara efektif oleh sebuah entitas yang, meminjam istilah Gramsi (1971), disebut dengan organic intellectual. Keberadaan apa yang disebut terakhir ini berfungsi untuk mentransformasikan dan mentransmisikan produk tradisi keberagamaan intelektualisme, dan sekaligus juga mengabstraksikan tradisi komonalisme. Posisi ini biasanya ditempati oleh para juru dakwah.
Orang seperti Zainuddin MZ dan Aa Gym adalah dua contoh dari organic intellectual. Kedua figur ini dengan berbagai kelebihan model komunikasi serta transmisi Islam yang dimiliki mampu mengundang ketertarikan masyarakat kebanyakan pada masanya masing-masing.
Lalu, bagaimana figur yang menjadi organic intellectual ini bisa mempertahankan otoritasnya sebagai transmitter produk tradisi intelektualisme kepada tradisi komonalisme, dan sebaliknya? Persoalan ini sangat bergantung pada tingkat pertahanan yang bersangkutan sendiri dalam menjaga posisinya sebagai 'penjaga umat' serta tidak hanyut dalam tarikan-tarikan politik partisan.
Nah, terkait dengan figur-figur organic intellectual tersebut, Ramadan adalah event yang penting sebagai uji publik atas otoritas mereka di samping bagi transmisi Islam. Penting untuk transmisi Islam karena mereka secara intensif dan dalam jangkauan publik yang luas selama sebulan penuh akan langsung melakukan dakwah agama. Dan, penting sebagai uji publik karena Ramadan akan menguji sebuah tesis penting bahwa begitu politik partisan menguat pada diri seorang pendakwah, bergeserlah otoritas kepemilikan yang bersangkutan itu.
Terlepas dari posisi penting organic intellectual sebagai transmitter Islam untuk masyarakat umum, kedua model tradisi keberagamaan di atas, intelektualisme dan komonalisme, akan selalu hadir menghampiri kehidupan keberagamaan pemeluk agama. Keduanya selalu berinteraksi dengan pengikutnya masing-masing. Hadirnya organic intellectual bukan berarti kemudian menurunkan dinamika kedua model tradisi keberagamaan dimaksud. Hanya saja, posisi organic intellectual dimaksud bisa menjadi penyambung kedua model tradisi tersebut secara maksimal jika yang bersangkutan bisa bersikap simpati terhadap keduanya.***
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment