Argumen Fikih Mengoreksi RUU KUB
Oleh Ahmad Baso
SEWAKTU Dinasti Abbasiah abad 2 H menggelar penataan birokrasi keagamaan di Baghdad demi konsolidasi politik, sekretaris negara Ibn al-Muqaffa? mengusulkan kepada Khalifah Abu Ja?far al-Manshur untuk membuat undang-undang keagamaan (kitaban jami?an). Ini ditujukan sebagai acuan mengukur yang benar dan sesat, serta untuk kepentingan mencapai kesatuan hukum yang benar dan absah (hukman wahidan sawaban).
Sang khalifah segera mensosialisasikan UU tentang kesatuan hukum itu. Ia meminta Imam Malik, salah seorang ulama besar dalam fikih Islam pada masa itu, untuk membantu perumusan kesatuan hukum yang benar dan sah. Namun, sang imam menolak dengan tegas.
Menurut dia, perbedaan pendapat dan aliran keagamaan harus dihargai. Khalifah tidak bisa menentukan dengan seenaknya mana ajaran yang benar dan mana yang keliru atau sesat. Karena masing-masing diakui hak hidupnya dalam Islam. Ada hadis yang menyatakan bila seseorang berijtihad, dan ijtihadnya benar akan mendapat dua pahala. Kalau keliru, akan mendapat satu pahala. Sikap ini dicontohkan oleh pribadi beliau sendiri. Meski tergolong dalam kelompok ahlul hadits (yang menggunakan argumen teks keagamaan), tetapi ia tidak mendesak penguasa untuk melibas kelompok rivalnya, ahlul-ra?y (seperti al-Nakhai dan Rabiah al-Ra?y yang menggunakan rasio dalam penalaran keagamaan). Akhirnya, karya Imam Malik, al-Muwaththa?, yang diusulkan khalifah sebagai pegangan dan rujukan satu-satunya, kemudian tidak menjadi kesatuan hukum yang benar dan absah di lingkungan dunia Islam.
SERIBU tahun lebih, kini di Indonesia, Departemen Agama menggodok draf Rancangan Undang Undang tentang Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB). Yang kontroversial, ada kriminalisasi penafsiran atau kegiatan keagamaan yang dianggap menyimpang. Dalam Pasal 17 Ayat (1) disebutkan: "Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan aneka kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu". Masalahnya, siapa akan menentukan penafsiran atau kegiatan keagamaan menyimpang. Semuanya akan dikembalikan kepada negara (Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia/MUI).
Bila diundangkan, klausul ini jelas bertentangan semangat fikih yang dianut mayoritas umat Islam karena akan mengabsolutkan kebenaran agama di tangan aparat negara. Yang ada hanya satu kebenaran, yang lain akan dianggap sesat dan wajib dihukum. Bukan karena bertentangan dengan detail-detail ajaran agama, tetapi karena UU mengharuskan demikian. Jelas ini berseberangan dengan yang pernah dicontohkan Imam Malik yang menolak tiap proyek penyeragaman dan unifikasi hukum agama.
Selain itu, ada argumen fikih yang pernah dikemukakan Izzuddin ibn Abd al-Salam, seorang juris mazhab Syafii abad 7 H, dalam buku yang termasyhur, Qawa?id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam (Kaidah-kadiah Hukum untuk Kemaslahatan Umat Manusia). Menurut dia, tashwib (menjadikan semua pendapat benar secara keseluruhan) adalah tidak mungkin pada semua orang yang berijtihad dalam agama (mujtahid). Namun, kebenaran itu ada pada salah satunya meski kita tidak tahu di mana karena susahnya melakukan verifikasi dan memang tidak terelakkan.
Lalu, bagaimana dengan yang lain, yang berbeda? Apakah dianggap sesat dan menyimpang? Ia tetap dinilai keliru namun termaafkan (bahasanya Izzuddin, ma?fuwan anhu). Soalnya, sulit menentukan siapa yang benar dan keliru. Dengan kata lain, perbedaan dan keragaman praktik dan penafsiran keagamaan ditolerir sebagai "sesuatu yang dimanfaatkan". Maka, proyek unifikasi dan penyeragaman fatwa- fatwa agama tidak akan mendapat tempat dalam Islam. Karena yang lebih dikedepankan adalah keterampilan mengelola perbedaan dan keragaman aliran dan paham keagamaan dalam bingkai "pemaafan" tadi. Bukan malah dikriminalisasi.
Ketiga, ada sejumlah aturan dalam RUU KUB yang dengan tegas mengabaikan realitas masyarakat yang sudah terbiasa hidup dengan keragaman dan perbedaan. Misalnya, perkawinan beda agama, keterlibatan penganut berbagai agama dalam perayaan keagamaan, dan pemakaman lintas agama. Dalam draf RUU ini, segala interaksi sosial yang melibatkan penganut lintas agama akan dibatasi berdasar agama bersangkutan. Kalau mau kawin, harus seagama. Mau menguburkan jenazah, harus seagama dalam satu pemakaman, dan seterusnya. Ini logika RUU KUB yang mau mematok sekat-sekat pemisah di antara penganut agama.
Ini berbeda dengan logika fikih yang cara beragamanya sangat fleksibel, tidak hitam putih. Menurut satu kaidah fikih, al-tsabit bil-?urf ka al-tsabit bil-nash. Artinya, yang berlaku karena kebiasaan dan adat akan ditempatkan sama status hukumnya dengan ketentuan yang berlaku karena teks-teks agama. Bila suatu masyarakat menganggap menghadiri ritual keagamaan yang melibatkan agama yang berbeda adalah sebuah tradisi yang mereka amalkan dalam kehidupan sehari- hari, maka yang sebagai landasan hukum fikih adalah kebiasaan masyarakat setempat.
Demikian pula kebiasaan menikah beda agama, atau kebiasaan menguburkan jenazah beda agama dalam satu wilayah pemakaman tertentu (seperti pemakaman keluarga yang anggota-anggotanya menganut beragam agama). Inilah yang dimaksud dalam fikih dengan al-?adah al-muhakkamah, yakni adat kebiasaan bisa menjadi landasan hukum fikih Islam.
Karena kepentingan fikih adalah la dlarar wa la dlirar, tidak boleh mendatangkan bahaya, membahayakan, dan merugikan orang lain.
Terakhir, draf RUU KUB tidak membawa keuntungan bagi umat Islam Indonesia. Bahkan, lebih banyak mendatangkan mudlarat atau bahaya bagi umat Islam sendiri yang menginginkan kedamaian, kerukunan, dan keharmonisan. Perbedaan pendapat dalam praktik dan penafsiran keagamaan akan diberangus institusi negara yang berkepentingan dengan penyeragaman. Pintu ijtihad jelas akan ditutup dan dimonopoli oleh orang-orang ambisius dalam kekuasaan.
Praktik keagamaan yang selama ini sudah sering dijalankan umat di kampung-kampung, yang tradisional dan akomodasionis dengan budaya lokal, akan digiring menjadi seragam dan puritan. Ikatan simbolis dan kultural yang selama ini sudah dibangun umat Islam dengan penganut agama lain, seperti di Minahasa, Maluku dan Kalimantan (seperti instrumen pela gandong atau baku bae) akan terganggu dengan adanya RUU KUB ini.
RUU KUB berpotensi memicu konflik baru ketika identitas keagamaan yang parokial lebih ditonjolkan dalam interaksi warga negara daripada identitas kultural atau identitas kebangsaan yang jamak-budaya (multikultural).
Ahmad Baso Ketua Madrasah Emansipatori DESANTARA Institute for Cultural (Policy) Studies, Depok, dan Koordinator Jamaah Persaudaraan Sejati (JPS) untuk Advokasi RUU KUB
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment