Tuesday, March 31, 2009

Al-Qur'an Sebagai Parole dan Langue

Arkoun: Al-Qur'an Sebagai Parole dan Langue
SUHADI
SEJARAH pengujaran Al-Qur'an dimulai pada tahun 610 M, yakni ketika Muhammad secara teologis (imani) diyakini "diangkat" oleh Allah menjadi Rasul (perantara)-Nya pada usia empat puluh tahun.

Peristiwa ini terjadi selama kurang lebih 23 tahun, berakhir ketika menjelang Muhammad wafat sekitar tahun 632 M. Hari yang diperingati oleh sebagian besar umat Muslim, termasuk Indonesia, sebagai nuzul Al-Qur'an (turunnya wahyu) merupakan peristiwa pertama kali ayat Al-Qur'an 'diturunkan' yaitu surat al-'Alaq (gumpalan gading) ayat 1-5.

Seharusnya peringatan nuzul Al-Qur'an menjadi momentum untuk merefleksikan secara lebih substantif makna Al-Qur'an. Karena sejak pengkodifikasian Al-Qur'an pada masa Khalifah 'Utsman bin Affan maka Al-Qur'an dalam sebuah mushaf (Korpus Resmi Tertutup) terus-menerus digunakan untuk memandu sejarah umat Islam. Jadi, hitam-putih sejarah Islam sangat dipengaruhi bagaimana Muslim memandang Al-Qur'an.

Sampai di sini benar apa yang dikatakan Nasr Abu Zayd bahwa Al-Qur'an pada tingkat tertentu merupakan produsen kebudayaan (muntij as-saqafi) bagi Muslim. Kebudayaan yang dilahirkan dari interpretasi Al-Qur'an tidak berpersoalan ketika memang secara substantif selaras dengan semangat Al- Qur'an sebagai pembebas manusia dari budaya patriarkhis, budaya kekerasan dan sikap ahumanis.

Mengenai hal ini kita dapat bercermin kepada sifat revolusioner dan liberatif Nabi Muhammad. Kondisi masyarakat Arab tempat Muhammad dilahirkan dan dibesarkan antara lain sangat tidak menghargai perempaun. Perempuan tidak dapat memainkan peran yang independen dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik. Misalnya, status perempuan dalam perkawinan sangat buruk, mereka harus hidup dengan seorang suami yang mempunyai lebih dari duabelas istri. Wanita dianggap sebagai beban hidup dan banyak kasus penguburan bayi perempuan hidup-hidup dalam tradisi Arab jahiliyah.

Lalu Muhammad datang dengan membawa misi pembebasannya dengan seruan larangan mengubur bayi perempuan hidup-hidup (QS 81-89), memberikan batasan jumlah perempuan yang boleh dinikahi (Q.S 4:3), dan perempuan diberi hak waris (Q.S 4:7). Sikap liberatif Muhammad yang lain dalam bidang pengentasan kemiskinan, anak yatim, pemerdekaan budak, seruan berpengetahuan, dan lain-lain, merupakan bukti upaya revolusionernya dalam membebaskan problem kemanusiaan.

Tetapi, tidak jarang sebagian golongan Muslim menginterpretasikan Al-Qur'an secara teks- tual sehingga melahirkan interpretasi yang jauh dari semangat pembebasan Al-Quran.

Eksploitasi ayat-ayat Al-Qur'an untuk melegitimasi bentuk kekerasan semisal konsep jihad yang lebih dimaknai sebagai perang suci (holly war) akhir-akhir ini di Indonesia cukup marak. Kasus-kasus eksploitasi ayat Al- Qur'an seperti konsep tentang negara Islam dan anjuran sikap tidak kompromi dengan agama lain tidak jarang mengemuka di masyarakat kita belakangan ini.

Sampai di sini sebenarnya umat Muslim memiliki problem yang cukup serius bagaimana seharusnya memak- nai Al-Qur'an dan bagaimana membacanya.

***
PEMAHAMAN seorang Muslim atas Al-Qur'an yang paling umum adalah wahyu itu terberi (given/tanzil), yakni wahyu yang diturunkan dalam struktur gramatika dan wacana (discourse) Al-Qur'an. Inilah yang menyebutkan adanya sakralisasi yang berlebihan atas Al-Qur'an di kalangan umat Muslim. Al-Qur'an dipersepsikan sebagai teks suci dari Allah yang sacred dan transenden, sehingga makna tekstualnya harus ditaati dan dijadikan petunjuk dalam segala aspek kehidupan tanpa melihat wacana sosio-historis-nya terlebih dahulu.

Tidak pelak lagi diskursus yang muncul adalah truth claims (klaim-klaim kebenaran) tanpa mempedulikan pergeseran budaya.

Baik kiranya kita belajar dari pemikiran seorang intelektual postmodernis Muslim yang mendapat gelar sarjana sastra dari Universitas Sorbonne Perancis, Mohammed Arkoun. Ia memandang wahyu tidak bisa hanya dipahami secara simplistis. Harus ada pengklasifikasian yang jelas mengenai tingkat-tingkat pemaknaan atas wahyu.

Arkoun menyebutkan adanya tiga tingkat makna wahyu. Pertama, wahyu sebagai parole (firman, sabda, kalam) Allah yang transenden, tak terbatas (infinite), untuk menunjuk realitas semacam ini biasanya Al-Qur'an menggunakan terma al-lauh-al-mahfudz (the well preserved table) atau umm al-Kitab (the Archetype Book).

Tingkat kedua, menunjuk penampakan wahyu dalam sejarah. Berkenaan dengan Al-Qur-an, konsep wahyu tingkat kedua ini menunjuk realitas firman Allah sebagaimana diwahyukan dalam bahasa Arab kepada Muhammad selama dua puluh tiga tahun.

Secara original, wahyu pada tingkat ini berbentuk oral (lisan): ia dimemorisasikan dan ditransmisikan secara lisan selama masa yang lama sebelum kemudian ditulis. Dalam penjelasan Komaruddin Hidayat, di sini Al-Qur-an bukan lagi dipahami sebagai kalam Tuhan in toto dan verbatim, melainkan sudah merupakan "produks bersama" yang di dalamnya terdapat gagasan Tuhan yang kemudian dipahami dan diterjemahkan oleh Muhammad ke dalam lisan Arab (Komaruddin; 1996; 86).

Meminjam analisis tokoh linguistik Perancis Ferdinand de Saussure (1857-1913), jika pada tingkat pertama wahyu mengacu pada parole Tuhan, pada tingkat kedua ini bisa kita katakan sebagai dimensi langue dari Al- Qur'an.

Tingkat ketiga, menunjuk wahyu dalam bentuk Korpus Resmi Tertutup atau wahyu yang sudah tertulis dalam mushaf (jilidan) dengan huruf dan berbagai tanda baca yang ada di dalamnya. Pengertian wahyu di sini menunjuk pada mushaf utsmani, yang darinya pada tahun 1924 diterbitkanlah edisi standar Al-Qur-an di Kairo, Mesir. Wahyu pada tingkat ketiga ini merupakan rekaman dari langue Tuhan yang menye-jarah pada tingkat kedua, dan pada saat yang sama dalam beberapa hal, telah mereduksi kekayaan sifat oral yang dimilikinya.

Menurut Saussure, fenomena bahasa secara umum ditunjukkan dengan istilah langage. Dalam langage terdapat dikotomi antara parole dan langue. Parole adalah bagian dari bahasa yang sepenuhnya individual. Satu hal yang menjadi kharakteristik dari parole adalah adanya keunikan bahasa dari tiap pribadi. Demikian pula yang terjadi pada Al-Qur-an, parole Allah itu sangat individual yang tak mungkin makna mutlaknya dapat digapai manusia. Manu- sia hanya sampai menggapai makna relatif-Nya. Sedangkan langue adalah suatu sistem kode yang diketahui oleh semua anggota masyarakat pemakai bahasa tersebut, seolah-olah kode-kode tersebut telah disepakati bersama di masa lalu di antara pemakai bahasa tersebut.

Langue merupakan suatu institusi sosial dan sekaligus sistem nilai. Sebagai sistem sosial langue tidak direncanakan sendiri, menurut Roland Barthes, itulah sisi soail dari langage.

Satu hal yang penting dicatat bahwa Al-Qur-an yang berupa langue, tentunya bersifat sosiologis-historis karena sudah masuk sistem budaya, sosial dan politik Arab pada tahun 610-632 M. Al-Qur'an yang ada dalam bentuk mushaf saat ini tidak serta merta menunjuk pada parole Tuhan, tapi lebih pada kondisi sosio-historis tersebut. Arkoun mengatakan "This is extremely important: it (mushaf) refers to many historical facts depending on social and political agents, not on God. (Arkoun: 1989:3).

Karena berupa langue seharusnya kita menempatkan Al-Qur'an sebagai praktek wacana dan bersifat sosiologis. Makna-makna darinya, khususnya yang bersifat relasi kemanusiaan, yakni apa yang dihasilkan oleh pengalaman Madina (tajribah Madinah/ l'experience de Medine) tidak mutlak transenden, tapi malah bersifat sosiolog- is. Keterlibatan Nabi Muhammad dan para Sahabat Nabi turut memberi bentukan atas konstruksi wahyu yang dihasilkan. Mohammad Arkoun sering menyebutnya dengan istilah angan-angan sosial (l'imaginaire social) bersama antara Muhammad dan Sahabat serta peran antagonis para musuh Nabi turut memberi kontribusi atas wacana apa yang dihasilkan oleh Al-Qur'an.

***
ARKOUN memandang bahasa wahyu yang primer sebenarnya adalah bahasa lisan (oral) atau kata yang diujar. Dalam perjalanan sejarahnya, Al-Qur'an yang semula bahasa lisan ini kemudian dibakukan dalam bentuk tulis. Pembakuan tersebut dimulai sejak abad ke-4 H atau 10 M, yakni ketika mayoritas umat Muslim sepakat bahwa ujaran-ujaran yang dikumpulkan dalam pembakuan resmi di zaman Khalifah 'Utsman merupakan totalitas wahyu. Akibat pembakuan ini, menurut Arkoun, mengantarkan Al-Qur'an yang semula berupa tradisi lisan menjadi sebagai Korpus Resmi Tertutup (Corpus Officiel Clos).

Disebut korpus (corpus), untuk menunjukkan pengertian satuan besar teks-teks yang dihimpun dalam sebuah jilid buku. Korpus itu resmi (officiel) karena pembuatannya ditentukan dan diawasi oleh sebuah kekuasaan politik yang telah terlibat dalam pertikaian. Adapun disebut tertutup (clos) karena tak satu kata, tidak juga satu vokal pun yang dapat ditambahkan, dihapus atau di- ubah setelah terwujudnya konsensus kaum Mukminin tentang keutuhan dan kelengkapan wahyu.

Akibat pemahaman bahwa wahyu Tuhan direpresentasikan oleh mushaf 'utsmani adalah utuh, lengkap, dan transenden, membuat cara berpikir umat Muslim didominasi oleh nalar grafis (tulis). Inilah yang menjadi cara berpikir Muslim selama ini, bahkan hingga sekarang dalam memandang wahyu. Teks (grafis) kemudian sering beralih fungsi menjadi preteks (dalih) yang sering hanya diulangi dan berfungsi sebagai pengabsahan kekuasaan kelompok tertentu.

Padahal, perubahan bentuk wahyu yang semula bahasa lisan kemudian dibakukan ke dalam bentuk tulis seharusnya membawa pergeseran pula dalam memandangnya. Dengan cara pandang inilah baru dimungkinkan keberanian membaca Al-Qur'an secara lebih kritis.

Lantas pertanyaan yang muncul adalah bagaimana seharusnya membaca Al-Qur'an? Bagi Arkoun, jawabannya terpusat pada apa yang ia sebut mengacu pada wacana Al-Qur'an. Jadi, pembacaan terhadap Al-Qur'an seharusnya selalu diproyeksikan pada tingkat pengertian wahyu yang menyejarah dan masih menjadi wacana yang "hidup" pada defenisi wahyu tingkat kedua sebagaimana dijelaskan di muka. Apa yang dimasudkan Arkoun ini mungkin menjadi lebih jelas lagi bila kita bandingkan dengan apa yang selama ini diperbuat oleh para penafsir Al- Qur'an.

Sebagian atau malah hampir seluruh penafsir Al-Qur'an bila kita amati menafsirkan wahyu pada tingkat Korpus Resmi Tertutup. Pada tingkat ini sebenarnya proses interpretasi bergerak pada produktivitas teks dan tidak lagi pada produktivitas wacana. Secara linguistis, sehingga pemahaman yang diperoleh adalah bahwa teks tertulis-lah yang ditafsirkan dan bukan lagi wacana semula. Sehingga, interpretasi yang dihasilkan selalu terkungkung pada batas-batas grafis-tekstualis dan tidak pernah dapat beyond text (melampaui teks).

***
TIDAK mengherankan apabila model pembacaan terhadapo Kitab Suci masih diselimuti nalar grafis tekstua- lis, Islam dan agama-agama wahyu (non arkhais) lainnya akan selalu menghadapi problem serius dalam merespons perkembangan masyarakat.

Kita bisa lihat bagaimana agama-agama sangat keteteran baik secara teologis maupun metodologis merespons problem seperti HAM, gender, pluralis-me, perkawinan beda agama dan lain-lain yang tidak bisa dibendung lagi. Karena memang teks Kitab Suci tidak merekam perkembangan budaya semisal itu, ataupun kalau merekam malah bertentangan dengan semangat perkembangan.

Kita meski menyadari betul ada distansi pengalaman budaya dan kemanusiaan antara pengalaman yang dihasilkan dalam Kitab Suci dan progresivitas budaya dan kemanusiaan kita saat ini. Sebagai orang yang masih mengidentifikasi diri beriman, tesis yang dikemukakan untuk menjembatani seharusnya adalah menjadikan hubungan keduanya dialektis. Perlu adanya dialektika antara tradisi (at-turats) dan mo- dernitas (al-hadatsah). Dengan nuzul Al-Qur'an semestinya kita mulai menggagas Al-Qur'an sebagai pembebas yang sesuai dengan semangat profetis (nubuwwah) para Nabi, bukan sebagai pengungkung budaya manusia. (*)
Suhadi, staf peneliti di LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) Yogyakarta

No comments: