Tuesday, March 31, 2009

Agama, Budaya Pop, dan Kapitalisme

Agama, Budaya Pop, dan Kapitalisme

Oleh Akh Muzakki

TULISAN Said Ramadan berjudul "Ideologi Pasar dalam Tayangan Ramadhan" (Kompas, 27/10/2003), menarik untuk diapresiasi lebih lanjut guna melihat dua hal penting, yakni kaitan agama dan media budaya pop serta ideologi media itu sendiri terhadap kapitalisme dengan memanfaatkan momen agama sebagai pendulang kapital.

Momen Ramadhan telah menstimulasi munculnya dua isu tersebut. Pada satu sisi, momen bulan Ramadhan telah menggerakkan media televisi untuk mengadakan perubahan signifikan terhadap program acaranya. Program acara bernuansa keagamaan menggeser program lainnya dari tayangan prime time. Program acara bernuansa agama itu pun berhasil menempati rating yang cukup tinggi.

Hanya saja, apakah fenomena ini merupakan kesadaran temporal atau tidak? Said Ramadan berkesimpulan dengan keyakinan atas kesadaran temporal itu. Menurut dia, euforia televisi atas tayangan bernuansa keagamaan setiap kali datangnya bulan Ramadhan adalah fenomena budaya pasar yang bersifat sementara.

Persentuhan agama-budaya pop

Bila agama bersentuhan dengan budaya pop (pop culture), hasilnya adalah kemasan hiburan keagamaan (religiotainment). Kemasan ini mempertautkan dua ekspresi penting, yakni hiburan yang bernuansa keagamaan dan agama yang dikemas menjadi bagian dari hiburan. Fenomena ini mudah dilihat terutama di media audio visual kita selama bulan Ramadhan ini. Berbagai bentuk religiotainment selalu menghiasi program tayangan sejumlah televisi. Mulai dari sinetron, kuis, hingga iklan.

Pertanyaannya kemudian, mengapa fenomena ini selalu menguat setiap kali datang bulan Ramadhan? Jawabannya bisa didapatkan dari dua perspektif, kekuatan budaya pop dan kekuatan Ramadhan. Budaya pop mengandaikan adanya komodifikasi gaya hidup tertentu. Ekspresi kebudayaan yang dicuatkan melalui budaya pop ini diinternalisasi para penikmatnya di berbagai kalangan sebagai kecenderungan baru dari gaya hidup yang populer. Kondisi yang demikian tidak aneh jika mampu membuat insan-insan yang menjadi pelaku dalam aktivitas kebudayaan pop tersebut lebih dikenal oleh masyarakat secara luas daripada pegiat aktivitas yang lain, seperti pendidikan.

Dua hal yang menjadi bagian terpenting ikon budaya pop adalah musik dan film. Kekuatan kedua industri penghasil budaya pop itu telah membius gaya hidup kelompok besar masyarakat. Produk hiburan dan budaya yang keluar dari dua ikon tersebut menjadi kiblat (trendsetter) bagi konsumsi budaya kelompok masyarakat itu.

Hal yang membuat pengaruh kebudayaan pop begitu kuat bagi masyarakat adalah karena ia terbangun dari sejumlah elemen penting. Di antaranya adalah globalisasi, komunikasi, informasi, hiburan, dan komersialisme. Kekuatan arus globalisasi telah mengikat berbagai aktivitas kehidupan dunia, dari perekonomian hingga hiburan, ke dalam suatu ikatan yang saling mempengaruhi. Oleh karena itu, terjalinnya komunikasi merupakan prasyarat penting untuk merespons arus globalisasi itu. Dan, budaya pop menyuguhkan komunikasi itu dalam kemasan hiburan dan informasi melalui komersialisasi produknya di tengah arus globalisasi.

Nah, akibat sosial dari arus ini adalah tergerakkannya kebudayaan menjadi salah satu subyek gerakan industrialisasi itu. Sebagai hasil ikutannya, pelaku budaya pop, seperti pegiat film dan penyanyi, menjadi figur baru di tengah konstelasi sosial politik yang terjadi di suatu negara. Kehadiran mereka di dunia budaya pop dengan berbagai gaya hidup yang dibawanya menginspirasi masyarakat untuk memimpikan kehadiran mereka pula dalam kehidupan praktis sebagai model. Kehadiran mereka sebagai patron dalam kehidupan budaya telah membius masyarakat untuk menjadikannya sebagai patron untuk aspek kehidupan yang lain.

Untuk kepentingan ini, momen Ramadhan bisa menjadi wahana subur bagi persentuhan agama dan budaya pop. Ramadhan mempunyai kekuatan untuk menggerakkan semua lapisan pemeluk agama Islam untuk menambah tingkat kedekatan mereka dengan agama. Untuk kepentingan ini, transmisi Islam menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat pemeluk agama ini.

Karena transmisi Islam ini dituntut untuk bergerak bagi kepentingan lapisan pemeluk agama seluas-luasnya, penurunan tradisi keberagamaan Islam dari level intelektualisme ke komonalisme (commonalism) menjadi keharusan utama. Dengan model transmisi seperti ini, Islam yang bisa menggerakkan dan dibutuhkan oleh masyarakat adalah Islam dalam bentuknya yang praktis, mudah dicerna (digest teaching), dan bisa memberikan kepastian untuk tindakan keagamaan.

Nah, tuntutan kebutuhan terhadap Islam yang praktis, mudah dicerna, dan sarat kepastian itu menemukan dukungannya dari keterlibatan para pegiat budaya pop, baik itu penyanyi, presenter, model iklan, ataupun pemain film. Para pegiat budaya pop ini bisa melakukan komodifikasi gaya hidup. Mereka bisa menarik dan membingkai tradisi Islam ke dalam suatu kemasan gaya hidup yang mereka perankan.

Karena peran yang dimiliki sebagai agen komodifikasi gaya hidup seperti ini, mereka bisa menjadi bagian baru dari penyampai ajaran Islam yang praktis, mudah dicerna, dan penuh kepastian, yang menjadi tuntutan kebutuhan masyarakat kebanyakan. Dengan bertemunya dua kepentingan dari sisi budaya pop dan agama ini, maka menguatnya religiotainment menjadi tidak bisa terelakkan.

Kapitalisme dan fenomena temporal

Mengharapkan media siaran televisi untuk secara konsisten melakukan promosi yang selalu bernilai positif bagi pendidikan moral adalah sama dengan mengharap langit untuk tidak berwarna biru. Bukan berarti tidak mungkin, tetapi dari kodratnya memang harus memantulkan warna biru. Begitu pula dengan media siaran televisi, yang hadir memang untuk menjadi pendulang kapital melalui komersialisasi produknya. Seperti dinyatakan Douglas Kellner (1981:33), industri siaran pertelevisian telah jatuh kepada jaringan kapitalisme maju (advanced capitalism).

Mengapa kapitalisme maju? Sebab, kata Kellner, media siaran memainkan peranan penting untuk menjual komoditas gaya hidup kepada masyarakat konsumen (consumer society). Ia selalu memproduksi program acara yang menjadi kegemaran masyarakat konsumen. Dan, untuk memenuhi tuntutan masyarakat konsumen terhadap komoditas hiburan ini, media siaran memanfaatkan budaya pop.

Dengan logika seperti ini, produksi siaran dan aspek moralitas pendidikan dalam perspektif industri media televisi adalah dua hal yang terpisah. Kalaulah ada aspek moralitas pendidikan yang muncul dari suatu produk siaran, itu adalah hasil ikutan semata yang tidak didasarkan pada kesadaran awal.

Maraknya kemasan agama dalam tayangan Ramadhan di berbagai televisi kita selama bulan Ramadhan ini, bagi saya, tidak lebih merupakan produk dari interaksi antara logika produsen dan masyarakat konsumen. Selama permintaan masyarakat konsumen terhadap program acara yang bernuansa religius tetap tinggi, selama itu pula produksi acara dimaksud akan terus berjalan.

Indikasi program acara televisi pascabulan Ramadhan adalah penting untuk dipakai memahami kaitan antara logika produsen dan konsumen di atas. Begitu hari meninggalkan Ramadhan, tayangan yang bernuansa keagamaan secara perlahan-lahan tamat pula. Yang tersisa adalah program acara rutin keagamaan, seperti kuliah pagi. Sementara sinetron, kuis, hingga iklan, kembali tidak lagi mendapat kemasan religius. Karena itu, tidak berlebihan jika disebut bahwa religiotainment yang hadir di televisi-televisi kita merupakan fenomena temporal khas bulan Ramadhan.

Meski temporal, fenomena maraknya religiotainment di atas menunjukkan bahwa momen Ramadhan telah menyatukan tiga kepentingan secara bersama-sama, yakni agama, budaya pop, dan kapitalisme.

Akh Muzakki Dosen IAIN Surabaya, sedang belajar di The Australian National University (ANU), Canberra

No comments: