konflik dan Patologi Sosial, karena Formalisme atau Politisasi Agama?
Abd Rohim Ghazali
DI harian ini, Jumat, 16 November lalu, ada dua penulis yang menggugat tajam formalisme agama. Pertama, Benny Susetyo: Menafsirkan Kembali Cara Beragama Kita (halaman 4); dan kedua, Muhtadi Abdul Mun'im: Menuhankan Agama? (halaman 5). Dengan pendekatannya masing-masing, keduanya memosisikan agama sebagai tersangka atas segala patologi dan konflik sosial yang terjadi di negeri ini. Menurut Benny, jika keberagamaan kita terjebak pada bentuk formalisme beragama, akibatnya agama menjadi terasing dengan persoalan kehidupan manusia. Agama yang seharusnya menjadi pembebas, malah terjebak pada aspek romantisme formal (alinea VI). Lebih jauh dia menganggap bahwa cara keberagamaan yang formal seperti itu akan menghasilkan manusia yang buas, picik, korup, dan gila segalanya (alinea XIII).
Dalam bahasa yang lebih lunak, Muhtadi melihat bahwa ketika agama melembaga menjadi institusi suatu komunitas, terjadilah reduksi sesuai paham kelompok. Sikap yang muncul dari eksklusivisme ini menumbuhkan fanatisme dan alih-alih menuhankan agamanya. Dari sinilah muncul fundamentalisme agama yang ikut menanamkan di alam bawah sadar para pengikutnya akan sesuatu yang tidak bisa diterima, selain paham yang mereka anut (alinea XI).
Pendapat kedua penulis ini bisa jadi merupakan instrospeksi, melihat sejujurnya apa yang tengah terjadi dalam ruang batin umat beragama. Sayangnya, mungkin karena terlalu jujur, keduanya kurang komprehensif dalam melihat realitas obyektif persoalan sosial politik yang terjadi di negeri ini. Menurut saya, menganggap segala bentuk kerusakan di negeri ini, terutama yang menyangkut kejahatan kemanusiaan, semata-mata disebabkan karena persoalan keagamaan, adalah naif. Cara Muhta-di misalnya, membandingkan antara Selandia Baru yang "kurang beragama", namun lebih jujur dari Indonesia yang dianggapnya lebih beragama (alinea I), saya rasa tidak relevan sama sekali.
Agama bukanlah "panacea"
Agama, menurut Islamolog terkemuka Indonesia Prof Dr Harun Nasution, berasal dari bahasa Sankrit yang terdiri dari dua kata: a=tidak, gam=pergi, jadi tidak pergi, diam di tempat, dan diwarisi turun-temurun. Dalam bahasa Eropa, agama disebut religi yang berasal dari bahasa Latin: relegere, yang berarti mengumpulkan/kumpulan, atau religare, yang artinya mengikat/ikatan. Dalam bahasa Arab, agama disebut din, yang berasal dari bahasa Semit, yang artinya undang-undang atau hukum (Nasution, 1984:9-10).
Banyak cendekiawan muslim (antara lain Menteri Agama pertama Republik Indonesia Prof Dr HM Rasyidi) yang mengkritik tajam pendapat ini, namun sayangnya tidak mampu memberikan alternatif pemahaman yang lebih mengena dan bisa diterima semua kalangan.
Tampaknya, seideal apa pun interpretasi manusia terhadap agama, pada ujungnya tetaplah berkesimpulan bahwa agama berisi ajaran-ajaran, doktrin, dan peraturan mengenai bagaimana tata cara hidup yang baik. Artinya, bisa dikatakan bahwa agama sama saja, misalnya dengan perundang-undangan, atau doktrin yang menjadi asas negara. Bedanya, jika undang-undang atau doktrin asas negara dibuat manusia, agama diyakini bukan buatan manusia, melainkan berasal dari sesuatu yang transenden, yakni Tuhan Yang Serba Maha.
Oleh karena berasal dari Yang Serba Maha inilah maka banyak orang salah kaprah, menganggap agama sebagai makhluk serba bisa. Padahal, sebagai doktrin, ajaran, atau aturan main-seperti yang lainnya-berfungsi atau tidaknya sangat tergantung pada siapa yang mengaktualisasikannya.
Betul bahwa agama memiliki kebenaran serba ideal karena berasal dari Tuhan sebagai Pemilik Kebenaran Mutlak. Tetapi, kebenaran agama bukanlah berada dalam ruang hampa yang bebas nilai. Meminjam istilah Clifford Geertz, agama tidaklah sesuatu yang otonom, melainkan berada dalam suatu realitas obyektif yang secara signifikan mempengaruhi, baik interpretasi maupun aktualisasi dari agama tersebut.
Memang, idealnya, agama harus tampil sebagai kritik kebudayaan, atau bahkan sebagai pemusnah segala bentuk ideologi yang destruktif bagi kemanusiaan. Tetapi, pada faktanya, antara agama dan budaya saling mempengaruhi satu sama lain, atau bahkan saling memperalat satu sama lain.
Memisahkan atau mengontraskan agama dengan budaya suatu masyarakat, sama artinya dengan mengangkat agama tinggi-tinggi sehingga tidak tersentuh manusia; atau, kalaupun bersentuhan dengan manusia, niscaya agama akan tampil menjadi doktrin antikebudayaan. Betapa ahistorisnya.
Dari uraian ini saya ingin mengungkapkan, bahwa meskipun agama bukanlah candu masyarakat-sebagaimana anggapan Karl Marx-bukan berarti menganggap agama sebagai obat mujarab bagi segala macam penyakit (panacea). Mengharapkan tegaknya supremasi hukum; berkurang atau terhapusnya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); terciptanya kehidupan harmonis dan saling tolong menolong satu sama lain; dan lain-lain, hanya semata-mata bergantung pada perbaikan pola hidup beragama (se-perti pembaruan, penafsiran kembali, dan semacamnya), bukanlah jalan keluar yang tepat.
Fenomena patologi sosial bukanlah semata-mata disebabkan karena kesalahpahaman dan atau disfungsi agama, tetapi lebih karena faktor-faktor sistemik, terutama sistem politik yang secara signifikan sangat berpengaruh dan (bahkan) bisa mengintervensi dan memaksakan kehendak pada semua warga masyarakat.
Suatu sistem politik (negara) yang tiranik dan koruptif misalnya, sangat potensial atau bahkan dipastikan bisa menyebabkan seluruh aspek kemanusiaan-termasuk agama -menjadi tercemar. Hal ini bisa dipahami karena negara, seperti kata Thomas Hobbes, bisa menjelma menjadi "Tuhan" yang di samping memiliki kekuasaan mutlak, namun suatu saat juga bisa menjelma menjadi "leviathan", sejenis monster air yang jahat.
Formalisme agama
Berdasarkan pemikiran di atas, jalan keluar yang lebih tepat (meskipun bukan ideal) dari fenomena maraknya patologi sosial seperti KKN, konflik sosial, dan kekerasan, baik secara vertikal maupun horisontal seperti yang terjadi sekarang ini, bukan dengan menghindari formalisme, atau formalisasi agama.
Jika dilihat dari maknanya sebagaimana diuraikan di atas, agama bisa dikatakan sebagai bentuk formalisasi (berupa kumpulan=relegere, atau ikatan=religare agar tidak pergi=agam) dari serangkaian doktrin, etika, dan aturan main yang diyakini berasal dari Tuhan untuk kesejahteraan dan keharmonisan manusia seluruhnya-melalui seorang Nabi yang disebut umat Kristiani sebagai juru selamat, dan disebut umat Muslim sebagai pembawa rahmat.
Pada dataran implementasinya, tentu saja aspek formalisme merupakan bagian dari agama. Dalam Islam, aspek formal dari agama itu disebut ibadah mahdhah, yakni suatu aktivitas keagamaan yang harus mengikuti aturan main yang baku, seperti shalat, puasa, haji, zakat, tata cara menikah, dan mengurus jenazah.
Di luar aspek yang mahdhah ini, semua aktivitas yang konstruktif bagi kehidupan kemanusiaan pada hakikatnya bisa juga disebut ibadah. Artinya, aspek formal (mahdhah) dari agama merupakan bagian yang sedikit saja dari seluruh aspek kemanusiaan. Meskipun demikian, justru aspek yang formal inilah yang signifikan dari agama, yakni suatu aspek yang bisa membedakan pada batas mana suatu komunitas disebut umat beragama atau bukan.
Tanpa adanya aspek formal ini misalnya, kita tentu akan kesulitan membedakan sepasang suami-istri yang hidup berumah tangga, antara yang diikat dengan tali perkawinan/pernikahan dengan yang sekadar kumpul kebo (tanpa ikatan perkawinan). Singkat kata, aspek formalisme merupakan raison de et're dari suatu agama. Jadi, salahkah formalisme agama?
Akibat politisasi
Yang salah dari formalisme agama adalah ketika aspek kemanusiaan yang luas itu (yang bukan ibadah mahdhah) diformalisasikan sebagai bentuk ibadah dengan menyertakan simbol-simbol keagamaan, apa pun agamanya. Mengapa hal itu terjadi? Penyebabnya, bukan karena agama yang rakus ingin memformalkan semuanya, melainkan karena aspek di luar agama yang secara dominan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia termasuk agama.
Yang sangat berpengaruh itu, apalagi kalau bukan negara. Dalam suatu masyarakat di mana peran negara sangat dominan, akan dengan sendirinya terjadi persaingan untuk memperebutkan posisi-posisi penting dalam negara (kekuasaan). Dan, inilah yang sekarang terjadi di Indonesia.
Sialnya, dalam setiap persaingan, semua pihak niscaya mengerahkan bukan saja potensi kemampuan profesional yang ada pada dirinya, tetapi juga semua aspek yang memungkinkan bisa dijadikan komoditas untuk memenangkan persaingan itu.
Bahkan dalam kasus Indonesia, aspek yang sangat irasional sekalipun, seperti klenik, perdukunan, dan ajian kesaktian (ingat kasus dukun santet dan pasukan berani mati yang kebal itu!) ikut dikerahkan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan.
Lantas, bisakah agama melarikan diri dari jeratan kepentingan kekuasaan? Inilah persoalannya!
Menurut para peletak dasar ilmu sosial, seperti Max Weber, Erich Fromm, dan Peter L Berger, agama merupakan aspek yang sangat penting (meskipun tak selalu dominan-penulis) dalam kehidupan manusia. Sementara para agamawan pasti menganggap agama sebagai aspek yang paling besar pengaruhnya, bahkan sampai pada aspek yang terdalam (seperti kalbu, ruang batin), dari kehidupan kemanusiaan.
Tentu, para politisi yang mabuk kekuasaan akan melihat dengan jeli dan tidak akan menyia-nyiakan sisi potensial dari agama ini. Maka, jadilah agama sebagai komoditas yang sangat potensial untuk merebut kekuasaan.
Yang lebih sial lagi, di antara elite agama (terutama Islam dan Kristen yang ekspansionis), banyak di antaranya yang berambisi ingin mendakwahkan atau menebarkan misi (baca, mengekspansi) seluas-luasnya keyakinan agama yang dipeluknya. Dan, para elite agama ini pun tentunya sangat jeli dan tidak akan menyia-nyiakan peran signifikan dari negara sebagaimana yang dikatakan Hobbes di atas. Maka, kloplah, politisasi agama menjadi proyek kerja sama antara politisi yang mabuk kekuasaan dengan para elite agama yang juga mabuk ekspansi keyakinan.
Namun, perlu dicatat, dalam proyek "kerja sama" ini tentunya para politisi jauh lebih lihai dibandingkan elite agama. Dengan retorikanya yang memabukkan, mereka tampil (seolah-olah) menjadi elite yang sangat relijius yang mengupayakan penyebaran dakwah (misi agama) melalui jalur politik. Padahal sangat jelas, yang terjadi sebenarnya adalah politisasi agama.
Mereka yang termakan tipuan ini akan serta merta menuduh agama sebagai biang kerok, karena pada faktanya proyek politik ini senantiasa berdampak sangat buruk bagi kemanusiaan. Wallahu a'lam bishshawab!
* Abd Rohim Ghazali Analis politik Lembaga Hikmah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mahasiswa pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia .
Monday, March 30, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment