Agama, Perdamaian, dan Demokrasi
Ruslani
Dok Kompas/agus susanto
HUBUNGAN antara agama, perdamaian, dan demokrasi merupakan tema yang selalu menarik untuk dibicarakan mengingat agama hampir selalu terkait (atau dikaitkan) dengan persoalan konflik dan dialog, konfrontasi dan kerja sama, toleransi dan fanatisme, serta perang dan perdamaian. Demikian pula, cita-cita untuk mewujudkan demokrasi hampir selalu menyinggung persoalan agama dan perdamaian, karena demokrasi tidak mungkin diwujudkan dalam kondisi perang yang disebabkan oleh sentimen apa pun, termasuk sentimen keagamaan.
Selain itu, agama merupakan fenomena sosial yang tidak pernah selesai untuk dibicarakan dan ditafsirkan; agama selalu hidup dalam sejarah umat manusia dan mengikuti perkembangan zaman. Dari waktu ke waktu agama mengalami penafsiran dan penafsiran ulang yang kadang digunakan kelompok-kelompok tertentu untuk membela kepentingannya.
Tema di atas juga penting untuk dibahas mengingat gerakan penegasan kembali identitas keagamaan telah mengalami perubahan luar biasa antara tahun 1975 hingga kini. Kita bisa melihat fenomena mutakhir mengenai terorisme yang dikaitkan dengan agama. Gerakan ini muncul di dunia yang telah kehilangan kepastian akibat kemajuan sains dan teknologi sejak tahun 1950-an. Seiring dengan kendala kemiskinan, penyakit, dan kondisi pekerjaan yang tidak manusiawi, ledakan penduduk, penyebaran AIDS, polusi dan krisis energi yang merebak ke permukaan. Semua momok ini membuat manusia ingin kembali bersandar pada penjelasan-penjelasan apokaliptik (Gilles Kepel, The Revenge of God: The Resurgence of Islam, Christianity, and Judaism in the Modern World, 1994).
Selain itu, kenyataan pularisme agama dan budaya membuat umat beragama harus menegaskan kembali identitas keagamaan di tengah-tengah umat beragama lain yang juga eksis. Pluralisme keagamaan sudah menjadi kenyataan sejarah yang tidak mungkin bisa dihindari, menafikan pluralisme sama artinya dengan menafikan keberadaan manusia itu sendiri. Namun, pluralisme dan perbedaan (eksoterik) agama sering menjadi sumber konflik dan ketegangan di antara umat beragama. Bahkan umat beragama sebagian besar masih memandang agama lain dalam konteks "superior" dan "inferior".
Jika agama dipandang "superior" dan "inferior," maka hubungan-hubungan konfliktual tak bisa dihindarkan. Sebagian besar konflik antar-agama maupun budaya saat ini merupakan akibat penghinaan. Misalnya, banyak dari hal-hal yang terjadi di dunia Islam saat ini, yang secara simplistik dianggap sebagai fundamentalisme, merupakan penegasan terhadap identitas kultural yang selama ini dianggap inferior. Demikian halnya dengan berbagai konflik yang terjadi di Tanah Air, sebagian (atau mungkin seluruhnya) muncul sebagai akibat penghinaan dan sikap tidak adil yang dipraktikkan sekelompok orang atas kelompok lain yang justru jumlahnya lebih besar.
Oleh karena itu, menarik memperhatikan tesis Huntington (The Clash of Civilizations and the Remaking of the World Order, 1996) yang mendefinisikan "peradaban" sebagai pengelompokan terbesar masyarakat yang melampaui tingkat pembedaan manusia dari spesies lainnya. Sebuah peradaban ditentukan oleh anasir-anasir objektif bersama-bahasa, sejarah, agama, adat, dan lembaga-lembaga-juga oleh swa-identifikasi masyarakat. Huntington menyatakan, kini ada tujuh atau delapan peradaban besar di dunia: Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Kristen Ortodoks, Amerika Latin, dan "mungkin" Afrika.
Teori Huntington berusaha menentang skenario "akhir sejarah" pasca-perang dunia mengenai sebuah tatanan internasional berdasarkan penerimaan universal atas model ekonomi kapitalis, tanpa perubahan pada cakrawala sejarah manusia selanjutnya. Arti penting tesis Huntington ini terletak pada faktor-faktor kultural yang bisa dipertimbangkan sebagai perkembangan yang amat positif. Hingga kini, hubungan dan konflik antarnegara sudah terbiasa dijelaskan menurut analisis ekonomi. Lembaga-lembaga politik tumbuh di luar struktur kekuatan ekonomi, dan budaya adalah ekonomi, dalam arti, di Barat, sistem pasar menentukan kerangka nilai-nilai umum yang dalam teori seharusnya secara independen dimunculkan oleh budaya sendiri.
Namun, Huntington seolah melihat peradaban sebagai blok monolitik. Padahal, dalam kenyataan tidak demikian. Sebagian peradaban, misalnya peradaban Islam, terutama ditentukan oleh wahyu keagamaan; yang lain, seperti Konfusius, ditentukan oleh hubungan antara agama yang mengilhami mereka dan kekuasaan politik yang kurang jelas. Dalam peradaban Barat, versi Katolik atau Protestan dari agama Kristen membentuk bagian dari lanskap budaya mereka, meski masyarakat negara-negara Barat amat terbagi berdasar kepercayaan keagamaannya. Dalam setiap peradaban, ada beberapa tren pemikiran yang mengikuti garis-garis pengakuan, dan yang lain mengikuti garis-garis penempatan-subjek perdebatan yang kini hidup di negara-negara seperti Turki dan Italia.
***
OLEH karena itu, alih-alih dilihat sebagai sebab hubungan konfliktual, perbedaan di antara budaya-budaya dan agama-agama seharusnya bisa menjadi sumber pengalaman untuk saling melengkapi. Budaya-budaya dan agama-agama yang berbeda memiliki instrumen-instrumen intelektual, simbolik, dan eksistensial yang memberi pandangan spesifik tentang realitas personal, historis, dan kosmik, tetapi ia tidak harus menjadi pandangan yang dipaksakan. Tentu saja, saling memperkaya hanya mungkin dilakukan jika kelompok-kelompok yang berbeda mengorganisasi sifat mereka yang terbatas melalui dialog yang konstruktif. Dialog bukan berarti pengkhianatan; ia berarti pengakuan terhadap sudut pandang lain dan pengalaman lain dalam kejujuran dan koherensi mereka. Ia juga mengimplikasikan integrasi berbagai anasir berharga dari tradisi-tradisi lain, tanpa takut kehilangan identitas. Dalam mencari masa depan manusia yang lebih masuk akal, orang-orang Barat bisa belajar dari budaya-budaya lain mengenai perasaan untuk komunitas, yang bisa menjadi penyeimbang individualisme Barat, atau praktik-praktik ekologis dalam keselarasan bersama alam, yang bisa menyeimbangkan filsafat dominasi Barat.
Satu jaminan perdamaian di antara berbagai budaya dan peradaban adalah perdamaian antar-agama. Seluruh agama besar dunia menyeru pada perdamaian, kasih sayang, keselarasan, simpati, keadilan, kedermawanan, kepedulian, dan kelembutan. Agama-agama seharusnya tidak hanya mengajarkan nirkekerasan dalam komunitas mereka sendiri, tetapi juga mempraktikkan sebuah dialog yang penuh pengertian dan kesantuan dengan agama-agama lain, serta membela kebebasan beragama-legislasi yang menghormati kebebasan hati nurani dari setiap manusia, dan memungkinkan praktik setiap agama dalam teritori historis agama-agama lain. Dan agama-agama seharusnya bisa menyetujui serangkaian kriteria etik universal untuk memberikan basis bagi perdamaian di dunia, dengan membuka pintu selebar-lebarnya untuk kesepakatan antarbudaya dan politik berdasarkan nirkekerasan dan saling menghormati.
Pengakuan terhadap pluralisme budaya dan agama memerlukan pengembangan demokrasi lebih lanjut. Demokrasi bukan hanya merupakan partisipasi warga negara dalam administrasi struktur yang kaku; jenis demokrasi yang paling menarik adalah yang memungkinkan terjadinya berbagai perubahan dan transformasi dalam struktur birokrasi ini menurut berbagai aspirasi seluruh kelompok masyarakat. Demokrasi juga merupakan metode untuk berdialog dan memperoleh konsensus di antara kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan berbeda. Meski Huntington dan para analis lain percaya, perbedaan secara tak terhindarkan mengarahkan komunitas manusia pada kekerasan dan perang, tetapi ada bentuk-bentuk persetujuan yang menghormati identitas dan kebebasan dari seluruh kelompok budaya. Secara teoretis, kebebasan dari setiap kelompok tampaknya tidak lebih utopian ketimbang kebebasan setiap individu anggota komunitas manusia jika kita menerima aturan-aturan demokrasi. Tidak mungkin ada demokrasi yang maju tanpa kebebasan seluruh kelompok.
Pluralisme budaya memerlukan struktur internasional baru yang memungkinkan seluruh komunitas manusia berfungsi sebagai keseluruhan yang demokratis, berdasarkan konsensus atas nilai-nilai fundamental. Salah satu alasan munculnya perang di dunia adalah karena tidak adanya pengadilan internasional yang mendengarkan tuntutan dari kelompok-kelompok marjinal di Dunia Ketiga.
Jalan perdamaian menghendaki adanya pengembangan lembaga-lembaga arbitrase internasional di mana berbagai rekomendasi dan struktur yang lebih fair bisa ditegakkan. Opini publik, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, dan media bisa menggunakan tekanan kuat untuk menyerukan semangat toleransi, budaya konsensus dan apresiasi terhadap lembaga-lembaga arbitrase moral. Jika kita berusaha mengembangkan demokrasi pada tingkat internasional, maka kemungkinan-kemungkinan untuk perdamaian akan meningkat.
Perjuangan untuk perdamaian, hari demi hari dimenangkan dalam keragaman situasi lokal. Keragaman budaya yang demikian menakutkan Huntington adalah kenyataan hidup di banyak sekolah, lingkungan, dan tempat kerja, dan semuanya bisa dipertimbangkan sebagai persoalan atau sesuatu yang harus dinikmati. Bagi kita, kemenangan kecil dari sebuah dialog, penghormatan, dan kasih sayang untuk "orang lain" adalah benih-benih dari demokrasi multibudaya baru. Memang itu semua masih permulaan, tetapi ia merupakan jalan yang sangat penting menuju perdamaian universal.
* Ruslani Mahasiswa S-2 Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment