Sunday, March 29, 2009

PERSOALAN INTEPRETASI METAFORIS

PERSOALAN INTEPRETASI METAFORIS
ATAS FAKTA-FAKTA TEKSTUAL AGAMA

Oleh: Nurcholish Madjid

Mukaddimah

Interpretasi Metaforis atau ta'wil ialah pemahaman atau pemberian
pengertian atas fakta-fakta tekstual dalam sumber-sumber suci (al-Qur'an
dan al-Sunnah) sedemikian rupa, sehingga yang diperhatilkan bukanlah mak-
na lahiriah kata-kata pada teks sumber suci itu, tetapi "makna dalam"
(bathin, "inward meaning") yang dikandungnya.

Metode pemahaman agama serupa itu telah muncul sejak masa-masa di-
ni sejarah Islam (jika tidak malah sejak masa Rasul Allah s.a.w. sendi-
ri, sebagaimana dikatakan oleh kalangan tertentu Islam). Oleh karena itu
persoalan interpretasi metaforis ini mempunyai saham yang cukup besar
dalam timbulnya perselisihan, kemudian perpecahan, di kalangan kaum Mus-
lim. Maka salah satu manfaat yang menjadi tujuan pembicaraan kita ini
ialah tumbuhnya keinsafan lebih besar tentang bibit-bibit perselisihan
faham dalam Islam, serta bagaimana seharusnya kita menempatkan diri da-
lam kancah perselisihan itu secara adil.

Sikap yang dapat memahami persoalan berkenaan dengan perselisihan
faham di kalangan ummat itu semakin dirasa semakin mendesak akhir-akhir
ini. Dalam abad telekomunikasi mondial yang serba cepat dan luas, setiap
pribadi orang modern mengalami bombardemen informasi yang seringkali me-
nyangkut segi-segi kesadarannya yang mendalam. Dari sekian banyak infor-
masi itu, untuk kalangan kaum Muslim, ialah yang berkenaan dengan keada-
an ummat sendiri seluruh dunia, termasuk informasi tentang adanya berba-
gai kelompok dan aliran pemikiran yang beraneka ragam. Terlintas dalam
pikiran, misalnya, kesadaran hampir tiba-tiba kaum Muslim Indonesia ten-
tang adanya golongan Syi'ah dan berbagai aliran fahamnya, antara lain
karena revolusi mereka di Iran 1979. Lepas dari masalah revolusi itu
sendiri (yang agaknya lebih baik dilihat sebagai gejala politik, seperti
halnya dengan revolusi-revolusi yang lain), kejadian di Iran pada peng-
hujung dasawarsa yang lalu itu dalam suatu sentakan telah melahirkan se-
jenis kesadaran baru di kalangan ummat Islam dunia, yaitu kesadaran ten -
tang pluralitas Islam dan potensi yang ada di balik setiap golongan.
Maka dengan menengok sejenak rnasalah ta w;l ini, sebagaimana telah
dikemukakan tadi, kita berharap dapat menempatkan diri lebih baik dalam
memandang berbagai aliran dan mazhab di kalangan ummat sendiri, untuk
kemudian sikap .yang sama itu sedapat mungkin kita bawa kepada persoalan
masyrakat secara keseluruhan.

Ayat-ayat Muhkamat dan Mutasyabihat

Salah satu pokok perselisihan di kalangan ummat Islam yang terkait
erat dengan masalah interpretasi metaforis atau ta'wil ini ialah adanya
ayat-ayat suci al-Qur an yang "bermakna jelas atau pasti" (muhkamat) dan
yang "bermakna samar atau tidak pasti" (mutasyabihat, yakni, "interperet-
able"). Adanya kedua jenis ayat itu disebutkan dalam Kitab Suci sendiri
sebagai berikut:

"Dia (Tuhan) yang telah menurunkan kepada engkau (Muhammad) Kitab
Suci, yang di dalamnya terdapat ayat-ayat muhkamat yang merupakan
induk Kitab Suci (Umm al-Kitab), dan ayat-ayat lain yang mutasya-
bihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya terdapat keserongan,
mereka akan mengikuti bagian-bagian yang tersamar (mutasyabihat)
daripadanya, dengan tujuan membuat fitnah (perpecahan) dan mencari
ta'w;l bagian-bagian tersamar itu. Padahal tidak mengetahui ta'-
wil-nya kecuali Allah. Sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya
maka akan menyatakan, 'Kami percaya kepada Kitab Suci itu; semua-
nya dari sisi Tuhan kami.' Dan tidaklah akan dapat merenung (me-
nangkap pesan) kecuali orang-orang yang berpengertian mendalam."

Masalah muhkamat dan mutasyabihat itu setidak-tidaknya menimbulkan
tiga jenis perbedaan pandangan: Pertama, perbedaan pandangan tentang ma-
na saja ayat-ayat suci yang muhkamat, dan mana pula yang mutasyabihat.
Karena perselisihan ini maka ada ayat-ayat suci yang bagi suatu kelompok
ummat Islam bersifat muhkamat, namun bagi kelompok lain bersifat muta-
syabihat. Firman-firman berkenaan dengan surga dan neraka, misalnya,
gi kebanyakan kaum Muslimin bersifat muhkamat, tapi bagi sebagian dari
mereka, seperti golongan al-Bathiniyyun ("Kaum Kebatinan--lihat penba-
hasan di bawah), bersifat mustasyabihat sehingga pelukisan tentang surga
dan neraka itu mereka fahami sebagai metafor-metafor atau kias-kias
yang tidak mesti menujuk kepada hakikatnya.

Kedua, perbedaan pandangan tentang boleh atau tidaknya melaku
interpretasi (metaforis) atau ta w^l teehadap ayat-ayat yang mutasya
hat itu. Sebagian kelompok Islam membolehkannya, sehingga dalam memahami
ayat-ayat mutasyabihat itu harus dilakukan interpretasi di balik ungkap-
an-ungkapan lahiriahnya; sebagian lagi tidak membolehkannya, berpendapat
dan dalam memahami ayat-ayat itu kita harus berhenti kepada makna-makna
seperti yang dibawakan oleh ungkapan lahiriah lafal dan kalimatnya. Ter-
masuk ke dalam permasalah ini ialah problema homonimi (Arab: ism musyta-
rak, kata-kata berserikat), seperti kata-kata "mendengar", "mengetahu
"melihat", "tangan", "marah", "senang", dan lain-lain yang dalam Kiitab
Suci disebutkan sebagai sifat-sifat Tuhan, padahal kata-kata atau sifat
sifat itu juga dapat diberlakukan kepada makhluk, khususnya manusia. Ma-
ka pelukisan itu mengesankan bahwa Tuhan dan manusia "berserikat" dalam
beberapa sifat dan kelengkapan, dan ini memimbulkan problema. Mereka
yang melakukan interpetasi (karena beranggapan bahwa Tuhan mustahil me-
miliki kualitas-kualitas yang sama dengan manusia) akan memandang
ayat-ayat yang bersangkutan dengan itu sebagai metafor-metafor belaka,
sedangkan kenyataan tidaklah seperti yang dikesankan oleh pengertian
lahir firman-firman itu. Mereka yang tidak membenarkan interpretasi akan
melihat firman-firman itu seperti adanya, dengan memberi penegasan bahwa
Tuhan memlliki kualitas-kualitas itu "tanpa bagaimana" (bi la kayfa).

Ketiga, bagi mereka yang membolehkan interpretasi, masih terdapat
perselisihan tentang siapa yang harus melakukan interpretasi itu. Karena
interptretasi bukanlah pekerjaan yang gampang, maka sangat masuk akal
bahwa hak untuk melakukannya harus dibatasi hanya kepada lingkungan yang
memenuhi syarat, antara lain syarat pengetahuan yang luas dan kemampuan
berfikir yang mendalam. Ini membawa konsekwensi terbaginya anggota ma-
syarakat manusia kepada kelompok-kelompok khusus (khawas, al-khawashsh)
dan kelompok-kelompok umum (awam, al- awamm). Yang pertama adalah "kaum
ahli", dan yang kedua terdiri dari "orang-orang kebanyakan."

Pandangan Para Failasuf

Seperti dapat diduga, para failasuf adalah kalangan orang-orang
Muslim yang paling banyak melakukan interpretasi metaforis. Disebabkan
oleh kuatnya pengakuan sebagai para pencari hakikat dan kebenaran de-
monstratif, yang terbuktikan secara tak terbantah, mereka dengan kua
cenderung memandang bahwa ungkapan-ungkapan kebahasaan dalam sumber-sum-
ber ajaran agama, baik Kitab Suci maupun Sunnah Nabi, adalah ungkap
an-ungkapan metaforis atau alegoris, yang tidak dimaksudkan seperti apa
adanya menurut Lahir makna ungkapan-ungkapan itu. Untuk dapat menangkap
makna sebenarnya ungkapan-ungkapan itu diperlukan memiliki disiplin dan
latihan berfikir yang tinggi, yang menurut mereka hanya diperoleh dalam
pemikiran kefilsafatan.

Sesuai dengan maknanya asal katanya dalam Bahasa Yunani, filsafat
adalah kecintaan kepada kearifan (wisdom), kemudian menjadi kearifan it
sendiri, sehingga falsafah pun disebut ai-hikmah. Mlaka para failasuf
Islam memandang diri mereka sebagai "penganut kearifan" (ahl al-hikmah
atau para orang arif-bijaksana (al-hukama ). Kadang-kadang juga disebut
ahl al-burhan ("para penganut kebenaran demonstratif atau apodeiktik,
yakni, kebenaran tak terbantah").

Karena kelebihan mereka itu, mereka adalah golongan khawas di ka-
langan ummat, dan mereka berhak, bahkan wajib, menggunakan metode inter-
pretasi metaforis terhadap teks-teks keagamaan. Failasuf Islam terkenal
dari Cordova, Spanyol, Ibn Rusyd Latin: Averroes), misalnya, berpandang-
an bahwa para failasuf selaku ahl al-burhan itulah yang dimaksudkan
dalam firman Ilahi (dikutip di atas) sebagai "orang-orang yang mendalam
ilmunya." Karena mereka ini berhak atau wajib melakukan ta'wil terhadap
bunyi teks-teks suci, maka bagi Ibn Rusyd firman Tuhan bersangkutan itu
harus dibaca oleh kaum khawas sedemikian rupa sehingga "orang-orang yang
mendalam ilmunya" tertmasukkan ke dalam yang mengetahui ta'w il ayat-ayat
mutasyabihat. Yaitu dengan memindah tanda baca berhenti (waqaf) sehingga
terbaca: "....Padahal tidak mengetahui ta wil-nya kecuali Allah dan
orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka ini berkata, 'Kami beriman ke-
pada Kitab Suci itu; semuanya dari sisi Tuhan kami..."', sebagai ganti
cara baca oleh kaum awam (lihat terjemah kutipan firman itu di atas).2
Jadi para failasuf, dengan kata-kata lain, memandang bahwa Nabi
mengutarakan sesuatu dengan ungkapan-ungkapan metaforis dan allegoris,
yang tidak memaksudkan makna-makna lahir ungkapan-ungkapan itu melainkan
makna-makna batinnya.3 Karena itu para failasuf rawan terhadap tuduhan
bahwa mereka sebenarnya menganut teori bahwa sesungguhnya Nabi telah me-
lakukan sejenis kebohongan. Sebab mengungkapkan sesuatu tanpa memaksud-
kan makna lahiriah ungkapan itu adalah sejenis kebohongan. Tetapi "kebo-
hongan" Nabi bukanlah kejahatan, karena bertujuan kebaikan, yaitu pendi-
dikan orang banyak atau kaum awam, agar mereka berbuat baik dan mening-
galkan keburukan. Dengan kata lain, para failasuf menganut teori bahwa
Nabi telah melakukan "kebohongan untuk kebaikan" (al-kidzb li al-mashla-
hah), seperti yang dituduhkan oleh Ibn Taymiyyah.4 Karena "pendidikan"
itu ditujukan kepada kalangan awam, maka kalangan khawas, yakni, para
failasuf sendiri, tidak seharusnya mengikuti cara awam dalam memahami
ajaran agama. Yaitu, para failasuf harus melakukan interpretasi metafo-
ris terhadap bunyi-bunyi teks suci, baik Kitab maupun Sunnah (lladits),
sedangkan orang awam harus menerimanya menurut apa adanya sesuai dengan
bunyi dan makna lahiriah lafalnya itu. Para failasuf akan menjadi kafir
jika tidak melakukan interpretasi (karena bagi mereka ajaran-ajaran aga-
ma tertentu seperti surga dan neraka dalam pengertian fisik itu tidak
masuk akal, jadi tertolak). Dan sebaliknya, orang awam akan menjadi ka-
fir jika melakukan interpretasi, disebabkan sulitnya pemahaman interpre-
tatif yang bastrak itu, yang tidak terjangkau oleh kemampuan akal mere-
ka. Disebabkan adanya bahaya ini (yaitu, bahaya kekafiran, baik dari pi-
hak khawas maupun awam), maka Ibn Rusyd berpendapat bahwa interpretasi
metaforis harus disimpan dan dirahasiakan dari kalangan awam, dan diba-
tasi sebagai hak yang hanya boleh beredar di kalangan kaum khawas saja.5
Karena itu sering dikatakan orang bahwa metode Ibn Rusyd yang membagi
manusia ke dalam golongan khawas dan awam itu akan melahirkan semacam
elitisme dalam kehidupan beragama.

Al-Bathiniyyun (Kaum Kebatinan)

Istilah al-Bathiniyyun, kadang-kadang juga Ahl al-Bawathin (Kaum
Kebatinan) digunakan secara longgar untuk mengidentifikasi kelompok-ke-
lompok Islam yang orientasinya berat ke arah faham keagamaan yang lebih
mengutamakan ajaran agama. Karena itu istilah tersebut berlaku untuk
hampir semua kelompok esoteris Islam, termasuk kaum Sufi.

Tetapi oleh kaum Sunni istilah itu juga secara khusus digunakan
untuk kelompok Islam tertentu, terutama kaum Isma ili, penganut aliran
Isma'iliyyah, yaitu suatu pecahan aliran Syi ah yang muncul sesudah wa-
fat Isma il ibn Ja far al-Shadiq sekitar yahun 148 H (765 M). Mereka
juga dinamakan kaum Syi ah Sab iyyah (Syi ah Tujuh), karena kepercayaan
mereka kepada imam-imam yang tujuh (yaitu sejak Hasan ibn 'Ali sampai
Muhammad ibn Isma'll (ibn Ja far al-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir). Dalam
hal faham keimaman itu mereka berbeda dengan umumnya golongan Syi ah
Itsna 'Asyariyyah (Syi'ah Duabelas, karena kepercayaan mereka kepada
imam-imam yang duabelas jumlahnya, sejak dari Hasan ibn 'Ali sebagai
imam pertama, melalui Ja'far al-Shadiq seperti kaum Isma'ili, tapi me-
nyimpang ke Musa al-Kadhim ibn Ja'far--dan bukannya ke Muhammad ibn Is-
ma'il--kemudian berakhir dengan Muhammad al-Muntadhar, yang dipercayai
sekarang sedang bersembunyi dan akan kembali sebagai Imam Mahdi).

Adalah al-Bathiniyyun ini yang menjadi salah satu sasaran karya-
karya polemis pemikir Sunni al-Ghazal; dalam rangka usahanya menghancur-
kan filsafat. Sebab dalam melakukan interpretasi metoforis terhadap fak-
ta-fakta tekstual agama, para pengikut Syi'ah Ismailiyyah ini memang
banyak sekali menggunakan sumber-sumber filsafat, khususnya Neo-Plato-
nisme. Mereka memang masih memiliki persamaan dengan orang-orang Muslim
yang lain, seperti pandangan tentang kewajiban melakukan ibadat-ibadat
tertentu. Tetapi mereka juga berpegang kepada faham tentang adanya ajar-
an-ajaran esoteris (bathin), yang membentuk sistem filsafat kaum Isma'i-
li. Dalam gabungannya dengan semangat keagamaan mereka, sistem filsafat
itu menyediakan penyingkapan kandungan batin ajaran-ajaran agama, yang
antara lain, bagi mereka, memberi dukungan kepada usaha pembuktian bahwa
lembaga imamat (keimaman) adalah langsung dari Tuhan.

Pembuktian itu diperoleh antara lain karena doktrin bahwa semua
ajaran agama (Islam) selalu mengandung makna lahir dan makna batin. Te-
tapi karena orang awam, seperti juga menjadi pandangan kaum failasuf,
tidak mampu menangkap makna batin yang sulit, malah berbahaya bagi mere-
ka, maka makna batin itu ditujukan hanya kepada orang-orang istimewa
tertentu saja. Makna dan kebenaran agama, khususnya kandungan al-Qur'an
yang tersembunyi dan dirahasiakan itu hanya diberikan oleh Nabi kepada
'Ali, kemenakan, menantu dan sahabat yang menjadi kepercayaan beliau.
Maka hanya mereka yang memiliki kemampuan spiritual yang tinggi saja
yang mampu mengakui peranan khusus Ali, dan hanya mereka ini saja yang
dapat menangkap makna-makna batiniah agama.

Unsur Neo-Platonis dalam faham Kaum Kebatinan kemudian muncul dc
lam karya kefilsafatan yang besar, yang ditulis oleh sekelompok sarjar
yang menamakan diri mereka Ikhwan al-Shafa (Persaudaraan Suci), berber
tuk sebuah kitab, Risalat Ikhwan al-Shafa .

Selain unsur Neo-Platonis, faham kebatinan ini juga menunjukkan
tanda-tanda adanya pengaruh Manicheanisme, yaitu suatu pecahan agama
Majusi (Zoroastrianisme). Diduga bahwa orang-orang Persi penganut Mani
cheanisme di zaman Abbasiyah secara rahasia masuk Islam dan memeluk fa-
ham kebatinan kalangan kaum Isma'ili. Faham Syi'ah Isma iliyyah bertemu
dengan Manicheanisme dalam ajaran yang hendak memberi pada penganutnya
"kearifan dan martabat kosmis" yang budi kasar orang umum tidak akan
mampu menggapainya. Sedikit sekali kemungkinan orang luar lingkungan
sendiri akan diberi pengakuan kemanusiaan yang penuh. Pandangan hidup
kaum Isma'ili yang sangat esoteris (bathinl) itu telah membuat mereka
salah satu kelompok yang paling eksklusifistik dalam Islam.

Tetapi lain dari Manicheanisme, kebatinan kaum Isma'ili sangat me-
nekankan pembangunan praktis susunan masyarakat dunia, sebagai bentuk
keterlibatan nyata mereka dalam sejarah kemanusiaan.6 Mereka itu kini
dipimpin oleh Aga Khan yang terkenal. Mereka tidak saja sponsor-sponsor
kultural dan ilmiah yang antusias, tetapi juga banyak mendorong
kemajuan masyarakat manusia pada umumnya, khususnya masyarakat Islam
sendiri. (Sebagai misal, mereka memberi award bidang arsitektur Islam
kepada Pesantren Pabelan, Megelang, Jawa Tengah, atas dasar konsep ten-
tang arsitektur Islam masa depan yang cukup revolusioner, yang menurut
penilaian mereka diwakili rintisannya oleh pesantren itu). Mereka juga
banyak mengadakan pameran benda-benda seni peninggalan Islam di kota-
kota besar dunia (1983 di New York), suatu bentuk kegiatan yang dimung-
kinkan oleh minat mereka yang besar kepada usaha memelihara warisan se-
jarah Islam. Mereka juga terdiri dari kaum bisnis dan wirausahawan yang
sukses, seperti nampak nyata di banyak kawasan Afrika timur.

Pandangan Kaum Sunni

Dari satu segi, pertumbuhan historis faham Sunni merupakan gabung-
an antara dua komponen, yang pertama komponen ideologis, dan yang kedua
komponen politik pragmatis. Yang ideologis ialah "Aliran Penduduk Madi-
nah" (Mazdhab Ahl al-Madinah) seperti dikemukakan oleh mereka yang tidak
mau terlibat dalam pertikaian-pertikaian politik saat itu, khususnya an-
tara Ali dan Mu awiyah beserta pengikut masing-masing. Mereka ini dipe-
lopori oleh Abdullah ibn Umar, Muhammad ibn Maslamah, Sa'd ibn Abl
Waqqash, Usamah ibn Zayd, Aba Bakrah, dan Imran ibn Hashin. Bahkan, me-
nurut Ibn Taymiyyah, mazhab Madinah itu juga didukung oleh sebagian be-
sar "para pelopor pertama" (al-sabiqun al-awwalun).7

Yang politik pragmatis ialah sikap mendukung sebagian terbesar
kaum Muslim kepada Mu'awiyah sebagai Khalifah yang sah berkedudukan di
Damaskus, Syria, khususnya yang terjadi pada tahun 41 Hijri, yang sering
disebut para ahli sejarah sebagai "Tahun Persatuan" ('Am al-Jama'ah).8
Mungkin disebabkan oleh latar belakang pertumbuhan historisnya itu
maka faham Sunni ditandai oleh semangat umum moderasi dan akomodasi. Sa-
lah satu wujud semangat itu nampak dalam bagaimana faham Sunni menghada-
pi masalah interpretasi metaforis. Yaitu bahwa kaum Sunni umumnya mene-
rima adanya interpretasi metaforis, tetapi dengan pembatasan-pembatasan
begitu rupa sehingga masih bisa dikuasai kaum Sunni, yang secara garis
besar perjalanan sejarahnya hampir selalu paralel dengan susunan mapan
masyarakat Islam, sangat menguatirkan pendekatan metaforis kepada agama
akan mempunyai efek melemahnya sendi-sendihukum dan kesadaran hukum ma-
syarakat banyak. Sebab jika pintu interpretasi metaforis itu ditenggang
dengan tidak hati-hati, maka, bagaikan membuka kotak Pandora, semua ba-
gian dari ajaran agama akan habis diinterpretasikan, sehingga tidak ada
lagi sisa yang bersifat pasti. Interpretasi metaforis atau ta wil tidak
saja selalu bersifat abstrak dan intelektualistik yang tidak tergapai
masyarakat banyak, tapi juga senantiasa menyediakan "lubang pelarian"
(loop hole) di bidang hukum bagi mereka yang kesadaran hukumnya lemah.
Tetapi, sebaliknya, menutup samasekali kemungkinan mengadakan ta'wil
akan menghadapkan orang-orang Muslim yang serius kepada kesulitan meng-
artikan berbagai pelukisan tentang Tuhan yang antropomorfis (yakni,
menyerupai manusia; misalnya, keterangan dalam al-Qur an bahwa Tuhan
mempunyai tangan, wajah dan mata, bahwa Dia bertahta di Singgasana,
rasa senang dan tidak senang, dst. dst.). Sebab pelukisan antropomorf
itu tidak sesuai dengan penegasan Kitab Suci sendiri bahwa Tuhan tidak
sebanding, dan tidak bisa disamakan, dengan sesuatu apapun juga. Paling
jauh, jika mereka tidak melakukan interpretasi, mereka tetap menolak an
tropomorfisme, dengan mengatakan bahwa sekalipun disebutkan Tuhan
mempunyai tangan, wajah, mata dll., namun tangan, wajall dan mata Tuhan
itutidak sama dengan yang ada pada makhluk seperti manusia, dan "tanpa
bagaimana" (bi-la kayfa). Inilah metode al-Asy ari, rujukan utama faham
Sunni dalam ilmu Ketuhanan atau aqidah. 9

Masih dalam konteks faham Sunni tentang ta wil ini, Ibn Taymiyyah
mengemukakan pandangan yang cukup menarik. Berdasarkan firman Allah
"Kitab Suci penuh barkah, yang telah Kami turunkan kepada engkau (Muham-
mad), agar mereka (manusia) merenungkan ayat-ayatnya, dan agar mereka
yang berpengetahuan mendalam menangkap pesannya"10 Ibn Taymiyyah meng
takan bahwa yang harus direnungkan itu ialah semua ayat-ayat al-Qur'an
baik yang muhkamat maupun yang mutasyabihat. Hanya hal-hal yang maknanya
tidak masuk akal saja yang tidak direnungkan, dan hal yang tidak masuk
akal itu tidak ada dalam al-Qur an. Maka Allah memuji mereka yang me-
renungkan firman-firman-Nya, baik yang muhkamaa maupun yang mutasyabi-
hat, sebagaimana perintah untuk itu dapat difahami dari firman-Nya,
"Apakah mereka (manusia) tidak merenungkan al-Qur an, ataukah sebenarnya
hati mereka telah tersumbat?"11 Karena itu, kata Ibn Taymiyyah, Allah
dan Rasul-Nya tidaklah mencela orang yang merenungkan makna di balik
ungkapan-ungkapan ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur'an kecuali jika
dilakukan dengan maksud menimbulkan perpecahan dan mencari-cari
interpretasinya yang tidak masuk akal. 12

Pandangan hampir serupa juga dianut oleh Abdullah Yusuf Ali, sar-
jana Muslim di zaman modern, penafsir al-Qur an terkemuka. Terhadap fir-
man Allah berkenaan dengan ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat yang di-
kutip di atas tadi, Abdullah Yusuf Ali memberi komentar sebagai berikut:

"Ayat ini memberi kita suatu kunci yang penting untuk interpretasi
al-Qur an. Secara garis besar al-Qur an itu dapat dibagi ke dalam
dua bagian, yang tidak diberikan secara terpisah, tetapi tumpang
tindih; yaitu, (1) inti atau dasar Kitab Suci, secara harfiah "In-
duk Kitab Suci", dan (2) bagian yang bersifat figuratif, metaforis
atau alegoris. Sangat menarik untuk menggarap yang kedua itu, dan
untuk mencoba kemampuan kita menangkap maknanya tersembunyi,-teta-
pi ia merujuk kepada persoalan ruhani yang begitu mendalam sehing-
ga bahasa manusia tidak mamadai untuknya, dan meskipun orang-orang
bijak mungkin dapat memperoleh pemahaman daripadanya, namun tidak
seorang pun boleh bersikap dogmatis, sebab makna yang mutlak hanya
diketahui oleh Allah sendiri saja. Para ahli tafsir umumnya mema-
hami ayat-ayat (bermakna pasti" (muhkam sebagai merujuk kepada
ketentuan-ketentuan kategoris Syari ah (atau hukum), yang jelas
maknanya bagi pengertian setiap orang. Tetapi barangkali artinya
lebih luas lagi: "Induk Kitab Suci" tentu mencakup inti fondasi
yang diatasnya Hukum ditegakkan, yaitu esensi pesan Tuhan, yang
berbeda dari berbagai kisah ilustratif, alegori dan penetap-
an-penetapan hukum.
Jika kita merujuk kepada surah xi (Hud) ayat 1 dan Surah xxxix
(al-Zumar) ayat 23, kita akan mendapati bahwa seluruh kandungan
al-Qur'an memiliki "makna pasti" (muhkamat) dan makna alegoris
(mutasyabihat). Pembagian itu tidaklah antara berbagai ayat (satu
sama lain), tetapi antara berbagai makna yang dikaitkan dengan
ayat-ayat itu. setiap ayat itu tidak lain ialah sebuah Tanda atau
Lambang: yang diketengahkan ialah sesuatu yang segera dapat dilak-
sanakan, dan sesuatu yang abadi dan lepas dari ruang dan wak-
tu,--"Bentuk-bentuk Ide" dalam Filsafat Plato. Orang yang bijaksa-
na akan faham bahwa ada suatu "esensi" dan bungkus ilustratif yang
dikenakan kepada esensi itu, di seluruh Kitab Suci. Kita harus
mencoba memahaminya sebaik mungkin, tetapi tidak boleh menyia-nyi-
akan energi kita dalam memperdebatkan sesuatu yang berada di luar
kedalaman diri kita.13

Seorang sarjana Muslim modern penafsir al-Qur an lain, Muhammad
Asad, juga berpegang kepada pandangan yang sama dalam masalah interpre--
tasi metaforis ini. Asad berpendapat bahwa al-Qur'n memang mengandung
ayat-ayat yang pasti maknanya tana samar, namun kebanyakan justru fir-
man-firman yang metaforis. Menurut sarjana ini, sifat alegoris atau me-
taforis keterangan-keterangan dalam Kitab Suci itu tidak dapat tidak
harus digunakan sebagai metodologi penyampaian pesan, sebab manusia ti-
dak akan dapat memahami sesuatu yang samasekali abstrak, yang tidak ada
asosianya dengan apa yang sudah ada dalam alam fikirannya. Namun manu-
sia, dalam usahanya memahami keterangan-keterangan suci itu, tidak dibe-
narkan untuk menganggap perolehannya sebagai mutlak dan final, sebab
"tidak ada kesalahan yang lebih besar daripada berfikir bahwa 'terjemah-
an-terjemahan' (yakni, ungkapan-ungkapan dalam bahasa manusia) itu dapat
memberi definisi kepada Sesuatu yang tidak mungkin didefinisikan.''14

Penutup

Telah dikatakan dalam mukaddimah bahwa tujuan kita membahas perso
alan interpetasi metaforis ini antra lain ialah untuk mendapatkan kesa
daran tentang suatu dimensi pemahaman keagamaan dalam Islam yang iku
memberi corak keanekaragaman kaum Muslim di dunia.
Dari uraian di atas diharapkan ada sedikit kejelasan bahwa ma
sing-masing kelompok atau aliran dalam Islam memiliki "reasoning" merek
sendiri dalam memilih suatu pemahaman agama. Sebagian dari "reasoning
itu tentu saja bersumber kepada atau bersifat murni keagamaan. Tetap
juga tidak sedikit daripadanya yang semata-mata merupakan hasil interaksi
antara sesama orang-orang Muslim sendiri atau antara orang-orang Muslim
dengan non-Muslim dalam sejarah. Dan sementara kita melihat orng lain
demikian, pada waktu yang sama kita harus menyadari bahwa orang lain pun
melihat kita demikian. Dari sudut pandangan inilah absurd-nya pengakuan
diri sendiri sebagai yang paling benar, meskipun dari sudut pandangan
lain--keyakinan, misalnya--pengakuan itu mungkin dibenarkan saja, atau
malah secara logis diperlukan. Namun, seperti dikatakan oleh Abdullah
Yusuf Ali yang telah dikutip, seorang yang bijaksana tidak boleh bersi-
kap dogmatis, sebab, seperti kata Muhammad Asad tadi, kita sebenarnya
hendak menggapai Sesuatu (Kebenaran Mutlak) yang tidak bakal tergapai.
Maka yang benar ialah menerapkan sikap "ragu yang sehat" (healthy
scepticism), atau memberi orang lain apa yang disebut "hikmat keraguan"
(benefit of doubt) dalam pergaulan sesama manusia, khususnya sesama Mus-
lim. Ini sejalan dengan yang dipesankan Tuhan sendiri dalam ajaran-Nya
tentang prinsip persaudaraan di antara orang-orang beriman dan bagaimana
memeliharanya:..."Wahai sekalian orang-orang yang beriman janganlah ada
suatu kaum di antara kamu yang memandang rendah kaum yang lain, ka-
lau-kalau mereka yang dipandang rendah itu lebih baik daripada mereka
yang memandang rendah....."15

Wallah a lam bi al-shawab

Catatan:

1 Q., s. Al 'Imran/3:7.

2 Ibn Rusyd, Fashl al-Maqal wa Taqr;r Ma bayn al-Hikmah wa al-Syar;'
min al-Ittishal. (Lihat terjemahnya, dalam buku kami, Khazanah Int
lektual Islam [Jakata: Bulan Bintang, 1984], khususnya hh. 217-8).

3 Tuduhan Ibn Taymiyyah itu dinyatakan dalam risalahnya, Ma'ar
al-Wushul f; Ma rifat anna Ushul al-D;n wa Furu a-hu qad Bayyana-
al-Rasul. Lihat dalam buku kami, Khazanah, khususnya, h. 249).

4 Pandangan seperti ini, misalnya, dianut oleh Ibn S;na (Avicenna
Lihat risalahnya, Itsbat al-Nubuwwat, yang kami terjemahkan dal
buku kami, Khazanah, hh. 137-51.

5 Ibn Rusyd, (dalam Khazanah), op. cit., hh. 230-1.

6 Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid, (Chicago: T
University of Chicago Press, 1974), jil. 1, hh. 378-9.

7 Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah f; Naqdl Kalam al-Sy
'ah wa al-Qadariyyah, 4 jilid, (Riyadl: Maktabat al-Riyadl al-Had
tsah, tt.), iil. 1, h. 193.

8 Al-Syaykh Muhammad al-Hudlar; Bek, Tar;kh al-Tasyr;' al-Islam; (Be
rut: Dar al-Fikr, 1387 H/1967 M). h. 110.

9 Abu al-Hasan al-Asy ar;, al-Ibanah 'an Ushul al-Diyanah (Idar
al-Thiba'at al-Mun;riyyah, 1348 H), hh. 8-9.

10 Q., s. Shad/38:29.
11 Q., s. Muhammad/47:24.

12 Ibn Taymiyyah, al-Ikl;l f; al-Mutasyabih wa al-Ta w;l (^airo: Dar
al-Mathba at al-Salafiyyah, 1973), hh. 8-9.

13 This passage gives us an important clue to the interpretation of the
Qur'an. Broadly speaking it may be divided into two portions, not
given separately, but intermingled; viz. (1) the nucleus or founda-
tion of the Book, literally "the mother of the Booki', and (2) the
part which is figurative, metaphorical, or allegorical. It is very
fascinating to take up the latter, and exercise our ingenuity about
its inner meaning, but it refers to such a profound spiritual mat-
ters that human language is inadequate to it, and though people of
wisdom may get some light from it, no one should be dogmatic, as the
final meaning is known to God alone. The Commentators usually under-
stand the verses "of established meaning" (muhkam) to refer to the
categorical orders of the Shar; at (or the Law), which are plain to
everyone's understanding. But perhaps the meaning is wider: the
"mother of the Book" must include the very foundation on which all
Law rests, the essence of God's message, as distinguished from the
various illustrative parables, allegoris, and ordinances.
If we refer to xi-1 and xxxix-23, we shall find that in a sense
the whole of the Qur an has both "esablished meaning" and allegoric-
al meaning. The division is not between the verses, but between the
meanings attached to them. Each verse is but a Sign or Symbol: what
it presents is something immediately applicable, and something eter-
nal and independent of time and space,--the "Forms of Ideas" in
Plato's Philosophy. The wise man will understand that there is an
"essence" and an illustrative clothing given to the essence,
throughout the Book. We must try to understand it as best as we can,
but not waste our energies in disputing about Matters beyond our
depth. (A. Yusuf Ali, The Holy Qur an, Translation and Commentary,
[Jeddah: Dar al-Qiblah, 1403 H , h. 123, catatan 347).

14 Muhammad Asad, The Message of the Qur an, apendix 1, h. 991.

15 Q., s. al-llujurat/49:11.


No comments: