Mengantisipasi Kembalinya Kekerasan
Oleh Ignas Kleden
SEMENTARA seluruh dunia sedang mati-matian berusaha mencegah aksi militer Amerika Serikat (AS) ke Irak, di Jakarta, kita dengan sedih mengikuti berita penyerangan kantor majalah berita mingguan Tempo pada Sabtu 8 Maret. Dua peristiwa itu niscaya tak dapat dibandingkan dalam skala dan besarannya, tetapi sesungguhnya mempunyai persamaan dalam watak. Yaitu, ikhtiar mencari penyelesaian soal ancaman dan paksaan fisik.
Semua orang kiranya paham bahwa dalam suatu negara modern yang berdasarkan hukum dan dalam suatu masyarakat yang sopan dan beradab, tidak setiap warga negara diperbolehkan menggunakan kekuatan fisiknya untuk mencapai semua maksud atau memanfaatkan paksaan fisik untuk mencapai penyelesaian soal. Seorang warga hanya diperkenankan menggunakan kekuatan fisiknya dalam keadaan dia harus membela diri terhadap ancaman kekerasan fisik dari pihak lain. Selebihnya, seluruh wewenang penggunaan kekuatan fisik dan kekerasan fisik didelegasikan kepada negara. Sosiolog Max Weber menyebutnya Gewaltmonopol, yaitu keadaan di mana negara menjadi satu-satunya lembaga yang secara resmi mempunyai hak monopoli untuk menggunakan kekuatan fisik dan kekerasan.
Meski negara mempunyai monopoli yang sah dalam hal penggunaan kekerasan, namun kekerasan fisik yang menjadi wewenangnya tak dapat digunakan sesuka hati. Kekerasan seperti itu akan digunakannya untuk melindungi negara dari serangan negara lain, atau melindungi warga dari kekerasan dan serangan fisik oleh warga negara lain. Demikian juga, kekerasan itu dapat digunakannya untuk memaksa warga negara agar tunduk pada hukum yang berlaku.
Sebaliknya, bila kekerasan itu digunakannya untuk mencapai tujuan-tujuan politik, maka di sana negara telah berubah wataknya dari negara hukum yang demokratis menjadi negara kekuasaan yang otoriter. Watak otoriter negara adalah sesuatu yang dipandang bertentangan dengan hukum, menyalahi prinsip-prinsip demokrasi dan melanggar hak-hak asasi manusia yang menetapkan bahwa setiap warga dapat menjalankan hak-hak politiknya tanpa harus terancam secara fisik. Kalau setiap warga harus siap sedia melindungi dirinya secara fisik dan harus sanggup membela keselamatan diri dan keluarganya dengan kekuatan fisiknya sendiri, maka kita terjatuh lagi ke dalam kondisi hukum rimba, di mana yang kuat boleh memangsa yang lemah, dan yang lemah harus meningkatkan kekuatannya sendiri supaya dapat bertahan hidup.
DEBAT yang sekarang sedang berlangsung di Jakarta tentang rancangan RUU TNI tak dapat dilepaskan dari keengganan publik terhadap kemungkinan kembalinya otoritarinisme negara. Yang dicemaskan ialah bahwa suatu penilaian dan keputusan politik akan diubah sifatnya menjadi penilaian dan keputusan teknis-militer. Dengan demikian penilaian mengenai tingkat kegawatan politik nasional, atau tingginya risiko terhadap keutuhan wilayah dan kedaulatan negara, atau mengenai terancamnya keamanan umum dalam masyarakat, adalah masalah politik yang harus dibicarakan secara politik, diperdebatkan secara politik, dan kemudian diputuskan secara politik.
Kalau keputusan politik sudah diambil dan keputusan itu membenarkan dilakukan suatu tindakan militer, barulah panglima dapat menjalankan tugasnya lebih lanjut dengan menetapkan langkah-langkah operasi yang harus diambil. Adalah sangat berbahaya kalau panglima sendiri yang mengambil keputusan yang bersifat politik dan kemudian dia sendiri juga yang mengambil tindakan militer. Semua orang belum lupa bagaimana kepentingan stabilitas nasional pernah menjadi alasan yang membenarkan demikian banyak kekerasan politik dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selama Orde Baru.
Kenyataan bahwa para politisi sipil Indonesia sekarang ini belum memenuhi harapan dan terlalu lambat dalam mendesakkan keputusan-keputusan politik yang penting, tidaklah dapat menjadi alasan bahwa sebagian wewenang politik harus dikembalikan lagi ke tangan militer, yang terkenal rapi organisasinya dan efektif garis komandonya. Ketika debat Konstituante berlangsung cukup lama akhir tahun 1950-an Presiden Soekarno merasa harus membubarkannya, kemudian mengambil seluruh kekuasaan eksekutif ke dalam tangannya melalui dekrit 5 Juli 1959.
Ketika itu barangkali perasaan sebagian besar warga ikut mendukung tindakan darurat itu. Tetapi tindakan itu telah mengakhiri suatu politik demokratis pada awal perkembangannya, dan menjadi preseden suatu politik yang otoriter yang kemudian diteruskan dalam masa Orde Baru. Kesalahan yang sama tidak perlu diulangi sekali lagi pada saat sekarang ini, hanya karena politik sipil ternyata belum memuaskan dan belum memenuhi harapan banyak orang.
Sudah jelas bahwa dengan cara yang otoriter suatu keputusan politik dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan lebih cepat. Akan tetapi sekaligus dengan itu harga yang harus dibayar juga terlalu tinggi, karena kita tidak pernah belajar untuk melakukan pembentukan konsensus secara efektif tetapi dalam suasana bebas tanpa paksaan, yang menjadi ciri tertinggi dari demokrasi.
Ketidaksabaran dalam mencari penyelesaian soal melalui hukum dan negosiasi politik ternyata bukan saja menimpa perilaku negara dan para pejabatnya, tetapi juga menimpa perilaku para warga dan anggota masyarakat sendiri. Karena itu, dalam pengalaman Indonesia, perjuangan menentang kekerasan negara tak dapat dilepaskan dari perjuangan menentang kekerasan yang dilakukan oleh satu atau sekelompok warga negara terhadap satu atau sekelompok warga negara lainnya. Kasus penyerangan majalah berita mingguan Tempo, memperlihatkan adanya asumsi bahwa penyelesaian cepat melalui paksaan fisik lebih berguna sekali pun tidak dibenarkan oleh sistem hukum yang ada, daripada penyelesaian melalui jalan hukum yang pasti memakan waktu, tetapi lebih sesuai dengan asas-asas demokrasi yang kita anut.
MEMANG negara hukum adalah suatu konsep yang bukan hanya harus dipahami tetapi harus dialami. Secara pribadi saya mengalaminya pertama kali mungkin pada awal 1980-an ketika belajar filsafat di kota Muenchen, Jerman Barat (waktu itu). Suatu hari ketika sedang berjalan menuju universitas saya lihat terjadi tabrakan dua mobil sedan. Dengan pengalaman dari Jakarta saya menunggu terjadinya pertengkaran yang hebat atau bahkan perkelahian di antara dua pengemudi. Ternyata, semua di luar dugaan saya, kedua pengemudi turun dari mobilnya, membersihkan bajunya dari pecahan kaca, bersalaman satu sama lain, menelepon polisi, lalu pergi ke sebuah kafe untuk minum kopi bersama sambil menunggu datangnya polisi.
Dalam sengketa antara Tomy Winata dan majalah Tempo saya mencoba membayangkan bahwa Tomy Winata yang merasa nama baiknya dirugikan oleh pemberitaan majalah berita ini, datang ke kantor polisi untuk menyerahkan laporan atau bahkan gugatannya. Setelah meninggalkan kantor polisi dia akan menelepon pemimpin redaksi majalah Tempo, Bambang Harymurti, untuk minum kopi bersama di sebuah coffee shop. Ini tentu mimpi dan utopia. Tetapi demokrasi dan peradaban selalu bertumbuh dan mendapatkan tenaganya dari mimpi dan harapan untuk mewujudkan apa yang sekarang tampak sebagai utopia. Tomy Winata memang tidak menelepon Bambang Harymurti untuk minum kopi bersama, setelah dia melaporkan majalah Tempo ke kantor polisi. Tetapi siapa tahu, beberapa tahun lagi seorang pengusaha atau penguasa lain yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers akan mempunyai jiwa besar untuk melakukannya. Pada saat itu demokrasi sudah lebih maju karena keberanian menggunakan tenaga fisik telah diganti oleh suatu civil courage yaitu keberanian moral.
DR Ignas Kleden Sosiolog, Direktur Center for East Indonesian Affairs/CEIA (Pusat Pengkajian Indonesia Timur), ಜಕಾರ್ತ
No comments:
Post a Comment