Dua Globalisasi
| ||
Oleh: B Herry-Priyono
| ||
| ||
KETIKA berkeliling Eropa Barat untuk mempromosikan karyanya, The End of History and the Last Man (1992), Francis Fukuyama kecewa. Bukan karena bukunya tak laris, juga bukan karena orang tidak membacanya. Alasannya, banyak intelektual Eropa Barat menjamunya dengan sedikit tertawa. Mereka tertawa bukan karena tidak sopan, tetapi karena melihat gagasan "akhir sejarah" sebagai diagnosa menggelikan. Seperti kita tahu, salah satu gagasan pokok Fukuyama dalam buku itu adalah demokrasi-liberal kapitalis merupakan bentuk definitif masa depan manusia dan dunia. Sebagai pemikir, mungkin ia tidak menghendaki karyanya dibajak para demagog. Celakanya, para demagog selalu haus gagasan pembenaran. Dan Fukuyama mengerti soal seperti itu. Kita tidak tahu apakah ia merayakan atau meratapi, saat gagasannya tentang "demokrasi-liberal kapitalis sebagai akhir sejarah" lalu dipakai luas sebagai pembenaran bagi corak globalisasi yang sedang berlangsung dewasa ini. Globalisasi Davos Ketika diterapkan pada soal globalisasi, gagasan "akhir sejarah" itu biasanya berubah menjadi argumen berikut. Corak globalisasi yang sedang berlangsung saat ini adalah keniscayaan sejarah. Ia tak terelakkan (inevitable), dan masa depan dunia adalah urusan merawat serta memaksimalkan potensi kekuatan yang terlibat di dalamnya. Seperti apa corak globalisasi yang berlangsung dewasa ini? Tentu saja ia lebih dari sekadar lonjakan volume lalu lintas ekspor dan impor. Ia menyangkut perubahan mendalam pada cara mengalami hidup. Sebagaimana komunikasi Semarang-Kupang kini bisa dilakukan dalam sekejap, begitu pula komunikasi antara Paris-Manila tidak lagi membutuhkan waktu berbulan. Dan itu terjadi pada migrasi, transportasi, media, perdagangan, dan sebagainya. Maka dunia tidak lagi sunyi karena jarak waktu ruang, tetapi riuh rendah dengan lalu lintas pertukaran barang, gagasan, perasaan, sampai perkara-perkara maya (virtual). Sebagai arena tindakan, dunia kian menjadi satu unit. Sebagai rentang wawasan, dunia kian menjadi satu arena. Dari sekian banyak faktor yang terlibat corak globalisasi, mungkin tak ada yang lebih menentukan dari revolusi teknologi dan uang. Tentang uang, tahun 1971, 90 persen transaksi finansial terkait ekonomi riil berbentuk perdagangan dan investasi jangka panjang, dan hanya 10 persen menyangkut spekulasi. Di tahun 1990, pola itu sudah terbalik. Tahun 1995, sekitar 95 persen dari 1,2 trilyun dollar AS transaksi finansial per hari berupa spekulasi, 80 persen di antaranya transaksi spekulatif bolak-balik dalam 1-7 hari. Di situlah kita bertemu dengan inti corak globalisasi yang sedang terjadi saat ini. Globalisasi tidak hanya menyangkut finansial dan ekonomi, tetapi juga kultural, psikologis, sosial, hukum, dan sebagainya. Tetapi, dengan menyebut begitu banyak faktor dan pelaku yang terlibat, kita cenderung menghaluskan gejala dengan nama yang kehilangan makna. Let s be honest, corak globalisasi dewasa ini disangga perkawinan antara uang dan teknologi yang digerakkan terutama para pemilik modal finansial. Fakta bahwa kinerja mereka melibatkan hidup kita semua sama sekali tak berarti kita penentu jalannya globalisasi. Begitu pula, fakta bahwa kinerja mereka tak dimaksudkan untuk menciptakan watak globalisasi seperti yang ada dewasa ini, tidak berarti mereka bukan pelaku globalisasi. Inilah model globalisasi yang terutama dibangun di sekitar kekuasaan uang. Memang, kekuasaan tidak jatuh dari langit. Sekali lagi, untuk tidak menutup-nutupi, muasal kekuasaan adalah rentetan proyek untuk melepaskan uang dari kekangan waktu, ruang, peraturan, regulasi, dan tujuan lain selain akumulasi. Ringkasnya, kebebasan gerak modal finansial bagi akumulasi laba. Tetapi, tekanan tidak terletak pada nilai "kebebasan" (freedom) sebagaimana dibicarakan para filsuf. Maksudnya, "kebebasan" bernilai bukan karena ia kebebasan, tetapi karena menyangkut mobilitas uang. Lalu untuk apa mobilitas uang? Terutama untuk akumulasi laba. Fakta bahwa modal finansial berguna untuk membuat jembatan atau membeli berlian bukanlah soal utama. Sebagaimana tidak ada yang aneh dengan uang dan modal, juga tak ada yang aneh pada kinerja pencarian laba. Pada tataran filosofis, mungkin semua orang setuju. Tetapi, bawalah perkara itu ke dataran gejala sehari-hari, akan ditemui riuh rendah perdebatan. Sebabnya sederhana. Kebebasan gerak modal finansial tidak berlangsung di ruang kosong. Ia berlangsung dalam setting kian keramatnya hak milik dan hak guna pribadi (the sanctity of private property). Seperti diketahui, kian keramatnya hak milik pribadi atas modal finansial, berbanding lurus dengan kian pudarnya "misi" sosial modal finansial bagi kesejahteraan bersama (common welfare). Itulah mengapa bisa dikatakan, yang terjadi saat ini merupakan corak globalisasi yang berdiri di atas agenda untuk melepas kinerja kekuasaan dan mobilitas modal finansial dari proses survival mayoritas warga dunia yang tidak memiliki uang. Itu pula kritik yang dilancarkan terhadap model globalisasi World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss, 23-28 Januari 2003. Seperti sebelumnya, di sana berkumpul para menteri ekonomi, bankir, financiers, akademisi, pengusaha, dan mereka yang lebih mewakili model globalisasi seperti di atas. Di belah Samudra Atlantik, pada waktu yang sama, versi globalisasi alternatif sedang dibangun di Porto Alegre, Brasil. Globalisasi Porto Alegre Versi globalisasi alternatif itu disebut World Social Forum (WSF). Istilah "sosial" (the social) dipakai bukan dalam pengertian latah yang beredar di dunia bisnis, yaitu sebagai lawan "ekonomi" (the economic). Ia dipakai untuk menunjuk agenda globalisasi inklusif yang seharusnya terjadi, termasuk globalisasi ekonomi. Di forum itu berkumpul jaringan gerakan akademisi, intelektual, lingkungan hidup, buruh, petani, pengusaha, dan sebagainya yang melihat kejanggalan corak globalisasi dewasa ini. WSF sulit dipahami di luar corak globalisasi yang sedang terjadi saat ini. Seperti ditunjuk Paul Davidson, ekonom AS, soal utama yang terlibat dalam corak globalisasi ini bisa diringkas: pasar modal finansial kini menjadi likuid (liquid). Tetapi menjadi likuid tidak berarti lebih efektif. Statistik di atas bisa bersaksi tentang ketidaksamaan keduanya. Sebelumnya, John Maynard Keynes, ekonom raksasa itu, mengingatkan: pasar modal (finansial) ada sebagai sumber investasi para entrepreneurs, bukan obyek judi. Karena itu, mengapa masalahnya amat serius saat bisnis menjadi gelembung buih di permukaan badai spekulasi. Dan saat perkembangan modal di suatu negara sekadar merupakan produk sampingan perjudian kasino, raison d etre modal finansial itu lenyap. Namun, persis itulah yang terjadi dalam corak globalisasi dewasa ini. Stiglitz (2002), pemenang Nobel Ekonomi 2001 lugas menunjuk: "Jika para spekulan hanya saling mengeruk, itu riskan dan tak menarik. Yang membuat spekulasi dilakukan dengan penuh nafsu dan dibantu IMF adalah, karena uang yang diincar itu milik pemerintah. Ketika tahun 1998 IMF dan Pemerintah Brasil menghabiskan 50 milyar dollar AS untuk mengungkit nilai tukar, ke mana uang itu lenyap? Bukan ke angkasa, tetapi ke kantung orang-orang tertentu, kebanyakan para spekulator". Apa yang makin kencang berlangsung tentu saja penguasaan modal finansial sebagai target utama gerak globalisasi. Jelas, hal itu terjadi dalam kombinasi dengan penguasaan industrial dan teknologi. Semakin kencang proses berlangsung, semakin terbentuk globalisasi yang bertumpu pada oligarki modal. Istilah "pasar modal" (capital market) terlalu sopan untuk menyebut realitas yang sebenarnya brutal. Seperti yang selalu terjadi dalam urusan kekuasaan, lalu terbentuk pola berikut: para tuan besar finansial memetik hasil terbanyak globalisasi, kaum miskin memunguti remah-remahnya, dan mereka yang ada di antaranya bingung dengan ambivalensi. Itulah kritik utama WSF atas riuh rendah globalisasi yang kini berlangsung. Corak globalisasi kini bukan sesuatu yang niscaya dan tak terelakkan. Ia bukan gejala alam, ia melibatkan para pelaku nyata, juga bukan "akhir sejarah". Karena kritik itu, media massa dengan serampangan menyebut WSF sebagai gerakan antiglobalisasi. Itu rancu. Dengan itu media justru mengesahkan ketidakmungkinan perubahan. WSF bukan gerakan antiglobalisasi, tetapi gerakan yang mau mengarahkan globalisasi sebagai proses mondial penggunaan dan perkembangan sumber daya dunia bagi kesejahteraan bersama, bukan hanya bagi para tuan besar finansial. Mungkin lebih tepat dikatakan, WSF adalah model globalisasi "demokrasi-sosial" yang sedang coba melancarkan koreksi terhadap model globalisasi "neoliberal". Salah satu pesan dari neoliberalisme ekonomi adalah, tak ada alternatif untuk bentuk globalisasi yang terjadi dewasa ini, dan gerak dunia telah menemukan "konklusi sejarah". Para pembawa pesan ini biasanya menuntut para pengkritik untuk mengajukan alternatif. Namun mereka lupa, tata globalisasi yang terjadi saat ini bukan hasil genius mereka, tetapi hanya sekadar penjelmaan insting-monopolistik kekuasaan mereka. Benar, model globalisasi demokrasi-sosial masih berupa pencarian. Ia harus mencari cara bagaimana mobilitas uang tidak menjadi orgi spekulasi. Ia juga harus menemukan cara menerapkan mekanisme demokrasi pada kekuasaan bisnis. Karena tidak sederhana, itu semua terdengar seperti utopia. Tetapi, sejarah sudah mengajar, setiap kemajuan peradaban seperti pengatasan perbudakan dan kolonialisme formal satu atau setengah abad silam, mesti menaklukkan perasaan "ketidakmungkinan", hanya karena belum pernah terjadi sebelumnya. Gagasan "akhir sejarah" adalah obat bius menidurkan. Mungkin itulah mengapa di pertengahan tahun 1999, saat berkeliling Eropa Barat untuk mempromosikan bukunya The Great Disruption (1999), Fukuyama dengan lugas mengakui kelemahan gagasan "akhir sejarah". Selama kita tetap melakukan penemuan dan refleksi baru di segala bidang, sejarah tidak akan berakhir. Untuk kita, watak globalisasi yang sedang berlangsung saat ini juga bukan suatu konklusi. B Herry-Priyono, peneliti, tinggal di Jakarta
|
Sunday, March 29, 2009
Dua Globalisasi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment