Sunday, March 29, 2009

Perubahan Nilai atau Budaya Politik

Perubahan Nilai atau Budaya Politik?

* Pertanyaan buat Ignas Kleden

Oleh Mohamad Muzamil

SOSIOLOG Ignas Kleden melalui tulisannya berjudul Budaya Politik atau Moralitas Politik? (Kompas, 12 Maret 1998) mengungkapkan adanya sinisme kalangan akademik terhadap budaya politik. Pasalnya, di tengah-tengah munculnya tuntutan reformasi terhadap sistem politik muncul argumentasi bahwa yang dibutuhkan bukan reformasi sistem politik melainkan pembaharuan terhadap budaya politik.

Budaya politik pada dasarnya adalah suatu kebiasaan perilaku yang dilakukan oleh elite politik. Dalam sebuah masyarakat yang bersifat patron klien, perilaku elite politik menjadi suri tauladan bagi pengikut-pengikutnya secara massif.

Namun demikian budaya politik juga bisa dilepaskan begitu saja dari nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh elite politik. Persoalannya adalah: Apakah budaya politik yang berlaku saat ini telah mencerminkan nilai-nilai politik yang berlaku di republik ini?

Nilai politik

Nilai-nilai politik yang berlaku di republik ini pada dasarnya adalah sebuah sistem nilai yang dibangun dan dikembangkan dari nilai-nilai leluhur bangsa yang tumbuh dan berkembang sejak dahulu kala. Nilai-nilai tersebut sangat beragam coraknya yang sesuai dengan keragaman adat istiadat dan budaya masyarakat Indonesia.

Sejak dahulu kala, bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh seluruh masyarakat. Misalnya, di negeri ini ada nilai agama, nilai budaya, dan nilai adat istiadat suku bangsa yang bermacam-macam jumlahnya.

Meskipun bangsa Indonesia memiliki keberagaman nilai, tetapi hal ini bukan merupakan kendala untuk membangun budaya politik yang bertumpu pada persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini terbukti dalam sejarah mulai dari Kerajaan Majapahit dengan sumpah palapa yang dikumandangkan oleh Patih Gajah Mada sampai pada peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1908 oleh Boedi Oetomo. Setelah Indonesia merdeka, keragaman nilai tersebut diikat oleh nilai Pancasila yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945.

Nilai-nilai yang telah tumbuh dan berkembang kini menjadi subkultur masyarakat Indonesia. Dari subkultur yang satu dengan yang lainnya memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap suatu perilaku politik. Misalnya tentang nilai sopan santun. Dalam tradisi kejawen, seseorang dianggap memiliki sopan santun bila dia merundukkan kepala atau membungkukkan badan di hadapan orang tua. Bila perlu dia harus mencium tangan orangtua. Pendek kata, dia harus sungkem kepada orang yang lebih tinggi derajat sosial politiknya. Jika tidak pernah sungkem, sekalipun dia memiliki kualitas keterampilan tertentu, belum tentu yang bersangkutan dapat diangkat menjadi punggawa-nya. Karena itu, dalam tradisi masyarakat Jawa, orang yang bertindak benar (bener) belum tentu tepat (pener).

Lain lagi dengan tradisi masyarakat modern, sopan santun seseorang bukan lagi menjadi pertimbangan utama dalam menentukan karier seseorang. Dalam masyarakat modern, profesionalisme dan intelektualisme menjadi barometer untuk menentukan jenjang karier dan jabatan politik.

Karena itu idealnya, untuk Indonesia saat ini dan masa depan, rekrutmen politik harus didasarkan pada dua ukuran pokok. Pertama, moralitas politik yang didasarkan pada nilai-nilai yang telah diyakini kebenarannya yaitu nilai-nilai yang bersumber pada agama, budaya, dan adat istiadat leluhur bangsa. Kedua, rekrutmen politik juga harus didasarkan pada profesionalisme dan intelektualisme yang dimiliki oleh seseorang.

Bila kedua patokan tersebut digunakan secara konsisten dalam rekrutmen politik di Indonesia, maka kepemimpinan politik Indonesia pada masa depan akan steril dari nepotisme, kolusi, korupsi, dan perilaku-perilaku negatif lainnya yang bertentangan dengan nilai-nilai politik yang berlaku di republik ini.

Sistem atau budaya politik

Jika budaya politik yang saat ini berlaku di Indonesia kurang selaras (koheren) dengan sistem nilai politik yang berlaku, maka yang perlu diganti atau diperbarui sistem nilainya ataukah budaya politiknya? Atau perlu diganti dua-duanya sehingga republik ini akan menjadi negara yang lepas sama sekali dari sejarahnya pada masa lampau?

Untuk alternatif yang kedua jelas tidak mungkin bisa dilakukan. Karena untuk melakukan hal ini diperlukan sebuah revolusi, politik, dan budaya yang sangat fundamental. Sedangkan untuk mengubah sistem politik yang berlaku di republik ini juga tidak mungkin bisa dilakukan. Sebab sistem nilai tersebut merupakan nilai-nilai dasar yang telah diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia secara turun-temurun.

Karena itu yang barangkali bisa diubah adalah hal-hal yang bersifat instrumental seperti tradisi atau budaya politik yang tidak selaras dengan sistem nilai politik yang fundamental. Di samping itu yang barangkali bisa diubah adalah nilai-nilai praksisnya.

Di Indonesia, sejak Indonesia merdeka, memang ada tiga kekuatan besar yang saling pengaruh mempengaruhi. Pertama, adalah kelompok yang menginginkan perubahan secara menyeluruh baik sistem atau budaya politiknya. Dalam sejarah bangsa, hal ini tidak berhasil karena baik sistem atau budaya politik yang berlaku telah dipraktekkan secara turun-temurun dari nenek moyang sampai generasi sekarang.

Kedua, kelompok yang menginginkan status quo. Kelompok ini menghendaki agar sistem maupun budaya politik tetap berlangsung terus tanpa adanya perubahan sama sekali. Kekuatan kelompok ini sudah berkurang karena Indonesia telah menggunakan sistem Republik dan bukan lagi sistem kerajaan.

Dan ketiga, adalah kelompok yang hanya menginginkan perubahan budaya politik, sedang sistem politik yang berlaku saat ini perlu dipertahankan. Kelompok yang terakhir ini adalah kelompok mayoritas.

Belajar dari pengalaman sejarah, revolusi yang dilakukan oleh bangsa Indonesia pada tahun 1966 memang sebuah revolusi. Tetapi revolusi yang dilakukan bukan revolusi untuk mengubah nilai-nilai dasar yang telah diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia, melainkan sebuah revolusi untuk menghancurkan sistem nilai dan budaya politik yang merupakan bentuk pengkhianatan (penyimpangan) yang dilakukan oleh PKI dan antek-anteknya dari nilai-nilai dasar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.

Yang perlu saya tanyakan kepada Ignas Kleden: Apakah sistem nilai politik yang berlaku saat ini menyimpang dari sistem nilai yang telah diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia sehingga perlu adanya perubahan menyeluruh terhadap sistem nilai? Ataukah yang terjadi saat ini adalah penyimpangan budaya dari nilai-nilai dasar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia?

Jika yang terjadi adalah pertanyaan yang pertama maka yang perlu dilakukan memang sebuah reformasi seperti reformasi yang dilakukan oleh bangsa Indonesia pada tahun 1966. Tetapi bila yang terjadi adalah pertanyaan yang kedua, maka yang diperlukan adalah perubahan secara bertahap (evolusi) terhadap budaya yang berkembang untuk disesuaikan dengan nilai-nilai dasar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.

*(Mohamad Muzamil, alumnus Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, mantan Ketua Umum PMII Jawa Tengah.)

No comments: