Oleh: Irsyad Zamjani
Demonstrasi besar-besaran kaum buruh menolak revisi UU No. 13 tahun 2003 beberapa waktu lalu adalah kado bagi peringatan hari buruh awal Mei ini. Bagaimana tidak, ini adalah gerakan buruh pertama yang terorganisir secara nasional dan ditunjukkan vis a vis negara sejak reformasi. Tapi, adakah ini merupakan awal dari kebangkitan gerakan buruh yang layu pasca reformasi? Kita belum tahu jawaban pastinya.
Jika kita tengok sejarah, buruh memang menjadi salah satu kelompok sosial yang paling aktif dalam menyuarakan hak-haknya. Dari kelompok inilah di antaranya bangsa kita menemukan elan revolusioner awalnya. Serikat-serikat buruh yang berdiri pada awal abad 20 memiliki andil yang kuat dalam menyuntikkan semangat revolusi ke dalam diri organisasi bermassa besar seperti Sarekat Islam. Kendatipun sebagian besar digerakkan oleh ideologi komunis, gerakan perlawanan kaum buruh tidak mendapat tentangan berarti. Lemahnya borjuasi nasional sebagai akibat dikuasainya perusahaan-perusahaan besar oleh asing, mempertemukan mereka dengan gerakan nasionalisme.
Pasca-kemerdekaan, “hutang budi†ini berbalas. Soekarno begitu memfasilitasi berdiri bebasnya serikat-serikat buruh. Di parlemen, fraksi buruh juga dibentuk. Undang-undang perburuhan yang sangat pro-buruh banyak pula dibuat. Sederet UU itu di antaranya UU No.33 tahun 1947 tentang kecelakaan kerja; UU No. 23 tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan; UU No. 21 tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan; UU No. 18 tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 98 mengenai Berlakunya Dasar-Dasar daripada Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama; UU No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan; dan UU No. 12 tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.
Orde Baru menjadi titik awal bagi suramnya perjuangan buruh. Soeharto dengan sekutu militernya berkepentingan mengeliminasi pertumbuhan organisasi-organisasi radikal, terutama yang beraliran kiri, yang berpotensi merusak stabilitas. Organisasi buruh pun ditertibkan, dan yang berwatak radikal disingkirkan. Kongkalikong penguasa-pengusaha sangat efektif menekan berbagai manuver kaum buruh.
Tapi, kelompok buruh kembali menjadi salah satu garda terdepan gerakan perlawanan dan gerakan prodemokrasi. Di tengah situasi negara yang represif dan hegemonik itu muncul figur-figur dari kalangan buruh yang merepresentasikan simbol perlawanan terhadap penindasan negara. Seorang martir demokrasi paling terkenal pada dekade akhir kekuasaan orde baru adalah Marsinah, buruh sebuah perusahaan jam di Sidoarjo. Di saat gerakan mahasiswa bersifat sporadis dan meletup hanya pada moment tertentu, gerakan klandestin di kalangan buruh prodemokrasi justru lebih berkelanjutan dan bahkan ideologis.
Terpinggir
Saat reformasi bergulir, peran kaum buruh seperti ditelan bumi. Mereka tertutup oleh dominasi peran kelompok menengah lain yang lebih bermodal, terpelajar dan lebih pandai bermain dengan kekuasaan. Upaya mereka mendirikan partai juga tidak laku di pasar konstituen. Berbagai aksi unjuk rasa yang mereka gelar tak ubahnya aksi-aksi dari kalangan lain yang di alam demokrasi sangat lumrah. Aktivisme dan ideologisasi yang begitu kentara di era orde baru juga luntur. Ada apa gerangan?
Jawabannya bisa dibagi dalam dua pendekatan; sosiologis dan antropologis. Pada tataran sosiologis, oligarkhi yang semakin menjadi kecenderungan sosio-politik masyarakat kita pascareformasi telah menempatkan kelompok ini kembali ke â€habitatnya†sebagai kelompok sosial pinggiran.
Dalam ruang publik yang semakin terbuka, kontestasi memperebutkan dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan tentu dimenangkan oleh kelas menengah yang lebih mapan baik secara ekonomi maupun intelektual. Di sini, kelompok pengusaha dan akademisi lebih cepat meraih akses kekuasaan daripada kelompok buruh yang secara ekonomi minim dan secara intelektual pas-pasan.
Macetnya regenerasi di kalangan aktivis buruh memang berdampak luar biasa terhadap kualitas kader buruh. Dahulu, gerakan buruh dan semangat intelektual aktivisnya adalah dua sisi mata uang. Dunia buruh pernah menjadi laboratorium hidup bagi pengembangan minat akademik para aktivis itu. Suatu kelompok yang disebut sebagai kaum intelektual kiri banyak lahir dari rahim gerakan buruh in.
Krisis legitimasi
Sebuah kajian antropologi buruh yang dilakukan Nicholas Warrow (2003) menunjukkan terjadinya banyak paradoks di internal buruh sendiri pasca-1998. Menurutnya, di kalangan buruh telah terjadi lompatan pemahaman eksistensial tentang status mereka sebagai pekerja kasar (blue-collar worker). Para pekerja yang sebagian besar datang dari pedesaan ke pusat-pusat industri di perkotaan lebih memahami pergi ke kota adalah bagian dari proses ambil bagian dalam modernisasi.
Bagi mereka, kerja bukan sekadar karena alasan ekonomi, tapi juga karena alasan mencari kesenangan dan petualangan mengakses teknologi modern. Mereka lebih senang berdiskusi tentang produk-produk telpon seluler terbaru daripada berdiskusi kritis tentang kondisi politik dan ekonomi. Mereka juga lebih senang memanfaatkan waktu luang mereka di tempat-tempat belanja dan hiburan daripada menghadiri forum-forum serikat buruh.
Maka, alih-alih mendapatkan dukungan dari para aktivis luar seperti zaman orba, gerakan buruh lambat laun mengalami delegitimasi di kalangan mereka sendiri. Para pegiat serikat-serikat buruh sekarang juga lebih lihai bermain mata dengan perusahaan dan penguasa. Isu bancakan uang panas Gubernur Jawa Timur senilai Rp. 50 juta oleh para aktivis buruh di Surabaya beberapa waktu lalu menjadi satu contoh kecil.
Negara juga nampak sangat acuh dalam memberi perlindungan pada buruh. Negara memang semakin lemah di hadapan kepentingan pemodal. Negara dipaksa membuat kebijakan liberalisasi, termasuk dalam soal hubungan buruh-majikan. Kebebasan berserikat diakui, tapi buruh dibiarkan berhadapan sendiri dengan perusahaan di meja pengadilan.
Gerakan buruh kini telah menjadi gerakan massa yang hampir tanpa visi, ideologi dan kepemimipinan. Kita seringkali melihat demonstrasi buruh di berbagai tempat selalu ramai. Tapi, di balik keriuhan itu, veteran gerakan kebangkitan nasional di era penjajahan dan gerakan prodemokrasi di masa kemerdekaan ini sedang mengalami masa-masa kesepiannya.
No comments:
Post a Comment