Skripsi Itu Sudah Dimulai Sejak TK
SKRIPSI itu sudah dimulai sejak taman kanak-kanak (TK)? Rasanya tak mungkin dan tak berguna. Universitas Indonesia saja hendak menghapusnya, untuk apa kini TK mempromosikannya? Tapi itulah yang saat ini - dan sudah lama - dilakukan TK Al Izhar di Pondok Labu, Jakarta. Betul, anak-anak TK di situ sudah mulai belajar membuat (tepatnya, memproses) sebuah skripsi, yang menurut Ignas Kleden, sosiolog, adalah "suatu bentuk tulisan khusus yang telah mengalami formalisasi karena harus memenuhi beberapa syarat formal" (Kompas, 13/4/1996).
Formalisasi memang setiap kali terjadi ketika anak-anak TK Al Izhar berusia 5 sampai 6 tahun itu mulai "mengerjakan" skripsi mereka. Dan formalisasi itu kemudian menjelma menjadi sebuah teks, yang dapat dibaca, dipelajari, dipertimbangkan, disetujui, atau ditolak, yang semuanya bisa dilihat secara terbuka di perpustakaan perguruan tersebut.
Hari itu - hari membuat skripsi - ibu guru Lestari Dewi asal Purworejo mengajak anak-anak didiknya dari TK B untuk duduk melingkar. Ia bercerita tentang kerang. Tidak monolog. Dengan selang seling tanya jawab dan komentar, terciptalah sebuah diskusi ramai di antara anak-anak usia 5 dan 6 tahun itu. Banyak macam yang dibicarakan, dikomentari, dan sekadar diobrolkan. Ada tentang pantai, tentang laut, tentang pasir, tentang rumah, dan bahkan tentang orang jahat. Akhir "diskusi" itu, ibu Lestari bilang, "Anak-anak sekarang kita mulai menggambar bagaimana seandainya kamu menjadi penghuni kerang?"
Ramai lagi. "Ya tak mungkin, itu kan khayalan," kata Naning (6 tahun) dengan semangat. "Tapi kalau punya rumah kerang, enak juga karena rumahnya gede dan tak bisa diganggu," menjawab komentar Aida temannya. "Kalau kerang rumah saya, enak juga ya. Bisa berenang di air terus tapi juga bisa di pasir. Lagian nggak usah takut, kalau dikejar masuk aja ke laut yang dalam. Di rumah saya sudah lihat kerang," begitu celetuk Oki, juga 6 tahun.
Diskusi baru itu tak kurang pula riuhnya. Tapi akhirnya anak-anak itu juga mau duduk atau bersila berkelompok menggambar kerang menurut hasil pikiran yang mereka peroleh selama diskusi tadi. Oki dan temannya Tio masih saja berdebat mengenai di mana letak kerang itu seharusnya. Sebaliknya, Nandya, Aida, dan Naning, sudah lebih dahulu menulis "Seandainya ..." di bawah bidang gambar kerang yang akan dibuatnya.
Itulah awal proses skripsi mereka, begitu komentar Nyonya Anggani Sudono MA, ketua Bidang Pendidikan Perguruan Islam Al Izhar, yang juga ikut melihat anak-anak didiknya berdiskusi dan menggambar. "Formalitas olah pikir dan emosi itu memang lalu diwujudkan dalam bentuk gambar dan juga tulisan satu kata yang masih sangat sederhana," begitu kata Nyonya Anggani. "Di SD, tradisi mengubah olah pikir dan emosi dalam bentuk tulisan atau gambar itu dikembangkan menjadi sebuah 'penulisan' buku. Dan di SMP, anak-anak di sini kebanyakan sudah mampu membuat sebuah tulisan atau karangan ilmiah populer. Tradisi proses diskusi sebelum membuat tulisan - selalu dengan bimbingan guru - tetap dipertahankan," begitu tambahnya.
PERPUSTAKAAN SD Al Izhar memang menjadi bukti proses diskusi-dan-menulis itu. Di dalam, setelah pintu masuk, terpampang karya para murid. Judulnya, ada yang biasa dan unik. Tercatat misalnya judul-judul seperti Monster Semut vs Cibond 197, karya Emir Ashari (4B), 8 halaman; Pedang Harimau, Buku 2, penulis: Tuan, ilustrasi: Addhi (keduanya dari kelas 5B), 5 halaman; Pencuri yang Aneh, penulis dan ilutrasi: Sinda (5A), 10 halaman; Main Bola, oleh Ryan (2A), 3 halaman. Lalu ada juga Ringkasan Buku Yang Kubaca, oleh Iko (3A), 3 halaman, dan Ringkasan Cerita yang Kubaca, oleh Laras (3A), 3 halaman. Yang menjadi "best-seller" - cirinya sudah kumal karena dibolak-balik - adalah sebuah buku cerita komik bersambung dengan setiap halaman ada 4 episode yang dikarang dan digambar oleh anak-anak kelas 1!
"Tentu tujuan kegiatan tulis menulis atau karang mengarang ini hanyalah sebuah sarana untuk mengembangkan kemampuan bahasa anak-anak," kata Anggani, yang juga melatih guru-guru TK dari beberapa sekolah untuk pelajaran mengarang ini. "Dengan cara diskusi dan tradisi saling mengisi pengetahuan sejak awal ini, kami ingin mengembangkan kemampuan mendengar, berbicara, membaca, dan menulis, sejak dini. Dan ini semua tidak bisa ditunda terlalu lama. Kalau itu baru dikembangkan waktu kelas 3 atau 4 itu sudah terlambat," tambahnya.
Anggani memang sangat menekankan bahwa proses itu yang paling penting. Diskusi, tukar pengalaman, dan di tingkat yang lebih tinggi membuat daftar, pengelompokan, serta analisa masalah, dijadikan syarat mutlak. "Peranan guru sangat penting. Untuk itu penilaian prestasi guru juga ditentukan oleh hasil karangan para muridnya," begitu ungkap Anggani yang sebelum bergabung dengan Al Izhar mengajar di Jakarta International School, Terogong, Jakarta Selatan.
Kelihatannya apa yang diungkapkan Anggani sederhana. Tapi kenyataannya cukup sulit dilakukan. Sekurang-kurangnya Al Izhar sudah mengawalinya, dan sejak TK pula.
BEBERAPA TK di Jakarta, ketika "dilihat-lihat" juga ada yang telah melakukan apa yang di Al Izhar sudah biasa. Rata-rata mereka mengungkapkan apa yang sudah dimulai di TK itu tidak dilanjutkan di jenjang SD, SMP, maupun SMA. "Mungkin makin tinggi jenjang sebuah pendidikan, makin rendah tingkat kebebasan dan spontanitas yang dimilikinya. Kebebasan kreatif dan spontanitas, tanpa banyak pesan sponsor yang berlebih, adalah picu kemampuan berdiskusi, meneliti, menulis, dan nantinya membuat sebuah skripsi," begitu rata-rata pendapat para guru TK Jakarta yang ditamui itu.
Lalu mau apa? Mungkin jawabannya sangat sederhana. Biarkan proses kebebasan itu berkembang secara bebas. Pada usia 12 tahun kemampuan bahasa Einstein sangat buruk. Tapi itu tidak memasung kreativitas otaknya. Situasi remaja Churchill juga seperti Einstein. Tapi rangsangan lingkungan di sekitarnya telah menjadikan pidato-pidatonya menjadi kutipan sastra klasik. Dari sisi brain science, dua genius itu mungkin sudah terlambat. Apa jadinya bila mereka sudah memperoleh rangsangan intelektual, emosional, dan motorik, sejak balita? Entah. Yang jelas, anak-anak TK dengan pendidikan dini adalah harapan. Terwujud atau tersia-sia, itu juga soal saat ini, bukan soal nanti.***
No comments:
Post a Comment