ANTARA YANG BERDAULAT DAN YANG DIDAULAT
PENGANTAR REDAKSI
MENYAMBUT pesta Indonesia Emas 17 Agustus 1995, tanggal 11
Agustus lalu Kompas menyelenggarakan diskusi panel dengan
topik Mencari Format Politik Kerakyatan yang Baru. Para panelis itu
adalah: Prof Sutandyo Wignjosoebroto (dosen FISIP Unair), Prof Dr
Taufik Abdullah (ahli peneliti utama LIPI), Laksamana Madya Abu
Hartono (ketua Fraksi ABRI), Drs Yusuf Syakir (anggota Fraksi PPP
DPR RI), Iskandar Manji (anggota FKP DPR RI), Drs Kwik Kian Gie
(Ketua Balitbang PDI), Dr Heru Nugroho (dosen Fisipol UGM), Dr Ignas
Kleden (ketua Yayasan SPES), Muslim Abdurrachman MA (aktivis LSM),
dan Dr Onghokham (sejarawan). Moderator: Aswab Mahasin SH (aktivis
LSM).
Hasil diskusi ditulis wartawan Kompas, Elly Roosita,
Manuel Kaisiepo, M. Syafe'i Hassanbasari dan Trias Kuncahyono,
dimuat di halaman I, dan tiga lainnya di halaman Suplemen B-C.
SAAT negeri ini berusia 50 tahun, masih tersisa sepotong
pertanyaan yang terus-menerus mencari jawaban. Apa dan siapa yang
dimaksud dengan "rakyat" itu? Pertanyaan itu terasa semakin mendesak
untuk dijawab masa kini, apalagi pasal 1 b UUD 1945 secara tegas
menyatakan, "kedaulatan berada di tangan rakyat".
Konsep tentang rakyat dari masa ke masa selalu berbeda. Di
zaman Revolusi Perancis (1789-1793), yang dimaksud rakyat adalah
mereka yang membayar pajak. Bung Karno malah berpendapat rakyat itu
identik dengan massa. Konsep rakyat semacam itu digunakan untuk
mendobrak elitisme.
Banyak konsep rakyat dulu -- bahkan hingga kini -- bersumber
dari kultur Jawa, yakni priyayi dan wong cilik. Dalam pemahaman
seperti itu, yang terlihat adalah setiap kali berbicara tentang
kerakyatan di dalam dirinya ada pembeda antara yang di atas dan yang
di bawah; ada garis yang bertentangan antara apa yang diimpikan oleh
yang di bawah sebagai yang baik, dan apa yang diinginkan yang di
atas sebagaimana seharusnya. Barangkali itu merupakan bagian dari
budaya kita.
Tetapi dengan demikian, berarti rakyat adalah bagian yang lain
dari sebuah masyarakat dalam suatu negara. Dari dulu hingga kini,
dalam banyak karikatur yang dimuat di koran atau majalah, rakyat
selalu digambarkan sebagai orang desa, bercelana kolor dan tambalan,
bercaping atau peci, bukan digambarkan sebagai sosok orang yang
berbaju dan bercelana bermerek, berjas, berdasi dan pegang telepon
genggam. Bahkan tidak jarang rakyat diartikan sebagai "rakyat kecil"
(wong cilik), "rakyat gembel" atau kaum miskin.
Pemahaman seperti ini jelas berbeda dengan arti rakyat yang
terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikeluarkan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan cetakan Balai Pustaka. Dalam
kamus itu disebutkan rakyat adalah segenap penduduk suatu negara.
Jadi, siapakah rakyat dalam pikiran orang Indonesia sekarang ini?
Dari pertanyaan itu meluncur lagi pertanyaan lain: Siapa
sebenarnya yang dinamakan "wakil-wakil rakyat"? Apakah mereka bukan
lagi rakyat? "Wakil" tentunya menduduki peringkat di bawah yang
diwakilinya, dalam hal ini "wakil rakyat" ada di bawah "rakyat".
Tetapi, kenyataan sehari-hari yang terjadi adalah seringnya "rakyat"
menghadap "wakil-wakil"-nya.
Pertanyaan lainnya, apakah sudah terjadi semacam hegemoni makna
kata rakyat. Kata yang sama, rakyat, dipakai oleh orang yang berbeda
dan diletakkan dalam konteks yang lain, menjadi lain maknanya. Dalam
kondisi semacam itu, rakyat menjadi lapisan sosial yang tidak
berdaya secara politik, ekonomi, bahkan secara budaya.
Bila demikian, lantas apa yang disebut sebagai demokrasi? Apa
yang dimaksud dengan "kedaulatan berada di tangan rakyat"?
Demokrasi
Bila diartikan secara harafiah, demokrasi adalah suatu tatanan
politik di mana kekuasaan memerintah (kratein) harus dan akan berada
di tangan rakyat (demos). Dengan pengakuan terhadap hak-hak rakyat
ini, pemerintahan demokrasi dapat disebut sebagai pemerintahan dari
rakyat untuk rakyat. Demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan di
tangan rakyat yang mengandung pengertian bahwa semua manusia pada
dasarnya memiliki kebebasan dan hak serta kewajiban yang sama.
Namun, bila sampai pada pamahaman seperti tersebut, pertanyaan
di atas akan muncul lagi: siapa yang dimaksud rakyat itu.
Pertanyaan lainnya adalah menyangkut masalah bagaimana kekuasaan
dari/oleh/untuk rakyat itu diimplementasi dan direalisasi sehingga
efektif dalam praktek dan dalam kenyataan. Debat-debat dalam
masalah demokrasi itu umumnya juga berkisar di seputar -- atau
setidak-tidaknya pada salah satu dari -- kedua masalah itu.
Apakah itu berarti bahwa pemerintahan (kekuasaan) dari/oleh/
untuk belum terwujud? Pertanyaan tersebut tidak perlu terburu-buru
dijawab. Sebab, demokrasi adalah masalah kadar atau gradasi. Karena
itu, demokrasi harus dipahami, tidak sebagai tumbuhnya demokrasi
dari suatu kekosongan dalam arti keadaan tanpa demokrasi sama
sekali, melainkan sebagai proses semakin berkembang dan meningkatnya
kehidupan demokrasi. Hal itu berarti bahwa perjuangan untuk
menegakkan demokrasi merupakan suatu usaha yang tidak kenal lelah,
yang tanpa henti, ada kalanya maju dan lancar, ada kalanya
tersendat-sendat, bahkan kadang kala mandek atau malahan mundur.
Berangkat dari pengertian seperti tersebut di atas, demokrasi
tidak bisa tidak membutuhkan suatu pembaruan terus-menerus, tentu
saja sesuai dan seiring tuntutan zaman. Dari sejarah kita mengetahui
bahwa upaya untuk mewujudkan sebuah negara demokrasi terus
dilakukan untuk mencari sebuah demokrasi yang cocok dan pas bagi
Indonesia. Kita mengenal mulai dari sistem demokrasi liberal Barat
(presidensiil dan parlementer), lalu demokrasi terpimpin, dan
kemudian (kini) demokrasi Pancasila.
Yang menarik adalah dari semua bentuk sistem demokrasi yang
dicoba untuk diterapkan itu peran elite senantiasa kuat. Akibatnya,
politik kerakyatan (kalaupun itu ada) tetap tertafsir sebagai
politik kaum elite for the people. Hal itu juga berarti bahwa
government by the people belumlah sampai.
Barangkali, memang, potret demokrasi kita baru sampai pada
tahap demikian. Bahkan tidak jarang proses itu berjalan tidak dari
for the people ke by the people melainkan by me on behalf the
people. Hal semacam itu yang dikhawatirkan banyak pihak.
Itulah sebabnya, dari waktu ke waktu apa yang disebut sebagai
arus tuntutan demokratisasi semakin kuat. Barangkali dalam bahasa
lain akan sama artinya dengan yang dikemukakan Presiden Soeharto
dalam pidato kenegaraan di gedung DPR-RI (16/8/1995) bahwa "Hanya
dengan pembangunan yang berakar kerakyatan kita mampu meningkatkan
kesejahteraan rakyat seluruhnya". Tentu kata "pembangunan" itu tidak
hanya diartikan sebagai pembangunan ekonomi melainkan juga sosial,
budaya dan politik. ***
No comments:
Post a Comment