Sunday, March 29, 2009

Diskusi 50 Tahun Indonesia Merdeka Bidang Politik

Diskusi 50 Tahun Indonesia Merdeka Bidang Politik<br /> ANTARA YANG BERDAULAT DAN YANG DIDAULAT<br /><br /> PENGANTAR REDAKSI <br /> MENYAMBUT pesta Indonesia Emas 17 Agustus 1995, tanggal 11 <br />Agustus lalu Kompas menyelenggarakan diskusi panel dengan <br />topik Mencari Format Politik Kerakyatan yang Baru. Para panelis itu <br />adalah: Prof Sutandyo Wignjosoebroto (dosen FISIP Unair), Prof Dr <br />Taufik Abdullah (ahli peneliti utama LIPI), Laksamana Madya Abu <br />Hartono (ketua Fraksi ABRI), Drs Yusuf Syakir (anggota Fraksi PPP <br />DPR RI), Iskandar Manji (anggota FKP DPR RI), Drs Kwik Kian Gie <br />(Ketua Balitbang PDI), Dr Heru Nugroho (dosen Fisipol UGM), Dr Ignas <br />Kleden (ketua Yayasan SPES), Muslim Abdurrachman MA (aktivis LSM), <br />dan Dr Onghokham (sejarawan). Moderator: Aswab Mahasin SH (aktivis <br />LSM). <br /> Hasil diskusi ditulis wartawan Kompas, Elly Roosita, <br />Manuel Kaisiepo, M. Syafe'i Hassanbasari dan Trias Kuncahyono, <br />dimuat di halaman I, dan tiga lainnya di halaman Suplemen B-C.<br /><br /><br /> SAAT negeri ini berusia 50 tahun, masih tersisa sepotong <br />pertanyaan yang terus-menerus mencari jawaban. Apa dan siapa yang <br />dimaksud dengan "rakyat" itu? Pertanyaan itu terasa semakin mendesak <br />untuk dijawab masa kini, apalagi pasal 1 b UUD 1945 secara tegas <br />menyatakan, "kedaulatan berada di tangan rakyat".<br /> Konsep tentang rakyat dari masa ke masa selalu berbeda. Di <br />zaman Revolusi Perancis (1789-1793), yang dimaksud rakyat adalah <br />mereka yang membayar pajak. Bung Karno malah berpendapat rakyat itu <br />identik dengan massa. Konsep rakyat semacam itu digunakan untuk <br />mendobrak elitisme. <br /> Banyak konsep rakyat dulu -- bahkan hingga kini -- bersumber <br />dari kultur Jawa, yakni priyayi dan wong cilik. Dalam pemahaman <br />seperti itu, yang terlihat adalah setiap kali berbicara tentang <br />kerakyatan di dalam dirinya ada pembeda antara yang di atas dan yang <br />di bawah; ada garis yang bertentangan antara apa yang diimpikan oleh <br />yang di bawah sebagai yang baik, dan apa yang diinginkan yang di <br />atas sebagaimana seharusnya. Barangkali itu merupakan bagian dari <br />budaya kita.<br /> Tetapi dengan demikian, berarti rakyat adalah bagian yang lain <br />dari sebuah masyarakat dalam suatu negara. Dari dulu hingga kini, <br />dalam banyak karikatur yang dimuat di koran atau majalah, rakyat <br />selalu digambarkan sebagai orang desa, bercelana kolor dan tambalan, <br />bercaping atau peci, bukan digambarkan sebagai sosok orang yang <br />berbaju dan bercelana bermerek, berjas, berdasi dan pegang telepon <br />genggam. Bahkan tidak jarang rakyat diartikan sebagai "rakyat kecil" <br />(wong cilik), "rakyat gembel" atau kaum miskin.<br /> Pemahaman seperti ini jelas berbeda dengan arti rakyat yang <br />terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikeluarkan <br />Departemen Pendidikan dan Kebudayaan cetakan Balai Pustaka. Dalam <br />kamus itu disebutkan rakyat adalah segenap penduduk suatu negara. <br />Jadi, siapakah rakyat dalam pikiran orang Indonesia sekarang ini?<br /> Dari pertanyaan itu meluncur lagi pertanyaan lain: Siapa <br />sebenarnya yang dinamakan "wakil-wakil rakyat"? Apakah mereka bukan <br />lagi rakyat? "Wakil" tentunya menduduki peringkat di bawah yang <br />diwakilinya, dalam hal ini "wakil rakyat" ada di bawah "rakyat". <br />Tetapi, kenyataan sehari-hari yang terjadi adalah seringnya "rakyat" <br />menghadap "wakil-wakil"-nya.<br /> Pertanyaan lainnya, apakah sudah terjadi semacam hegemoni makna <br />kata rakyat. Kata yang sama, rakyat, dipakai oleh orang yang berbeda <br />dan diletakkan dalam konteks yang lain, menjadi lain maknanya. Dalam <br />kondisi semacam itu, rakyat menjadi lapisan sosial yang tidak <br />berdaya secara politik, ekonomi, bahkan secara budaya.<br /> Bila demikian, lantas apa yang disebut sebagai demokrasi? Apa <br />yang dimaksud dengan "kedaulatan berada di tangan rakyat"? <br /> <br />Demokrasi<br /> Bila diartikan secara harafiah, demokrasi adalah suatu tatanan <br />politik di mana kekuasaan memerintah (kratein) harus dan akan berada <br />di tangan rakyat (demos). Dengan pengakuan terhadap hak-hak rakyat <br />ini, pemerintahan demokrasi dapat disebut sebagai pemerintahan dari <br />rakyat untuk rakyat. Demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan di <br />tangan rakyat yang mengandung pengertian bahwa semua manusia pada <br />dasarnya memiliki kebebasan dan hak serta kewajiban yang sama. <br /> Namun, bila sampai pada pamahaman seperti tersebut, pertanyaan <br />di atas akan muncul lagi: siapa yang dimaksud rakyat itu. <br />Pertanyaan lainnya adalah menyangkut masalah bagaimana kekuasaan <br />dari/oleh/untuk rakyat itu diimplementasi dan direalisasi sehingga <br />efektif dalam praktek dan dalam kenyataan. Debat-debat dalam <br />masalah demokrasi itu umumnya juga berkisar di seputar -- atau <br />setidak-tidaknya pada salah satu dari -- kedua masalah itu.<br /> Apakah itu berarti bahwa pemerintahan (kekuasaan) dari/oleh/ <br />untuk belum terwujud? Pertanyaan tersebut tidak perlu terburu-buru <br />dijawab. Sebab, demokrasi adalah masalah kadar atau gradasi. Karena <br />itu, demokrasi harus dipahami, tidak sebagai tumbuhnya demokrasi <br />dari suatu kekosongan dalam arti keadaan tanpa demokrasi sama <br />sekali, melainkan sebagai proses semakin berkembang dan meningkatnya <br />kehidupan demokrasi. Hal itu berarti bahwa perjuangan untuk <br />menegakkan demokrasi merupakan suatu usaha yang tidak kenal lelah, <br />yang tanpa henti, ada kalanya maju dan lancar, ada kalanya <br />tersendat-sendat, bahkan kadang kala mandek atau malahan mundur.<br /> Berangkat dari pengertian seperti tersebut di atas, demokrasi <br />tidak bisa tidak membutuhkan suatu pembaruan terus-menerus, tentu <br />saja sesuai dan seiring tuntutan zaman. Dari sejarah kita mengetahui <br />bahwa upaya untuk mewujudkan sebuah negara demokrasi terus <br />dilakukan untuk mencari sebuah demokrasi yang cocok dan pas bagi <br />Indonesia. Kita mengenal mulai dari sistem demokrasi liberal Barat <br />(presidensiil dan parlementer), lalu demokrasi terpimpin, dan <br />kemudian (kini) demokrasi Pancasila. <br /> Yang menarik adalah dari semua bentuk sistem demokrasi yang <br />dicoba untuk diterapkan itu peran elite senantiasa kuat. Akibatnya, <br />politik kerakyatan (kalaupun itu ada) tetap tertafsir sebagai <br />politik kaum elite for the people. Hal itu juga berarti bahwa <br />government by the people belumlah sampai.<br /> Barangkali, memang, potret demokrasi kita baru sampai pada <br />tahap demikian. Bahkan tidak jarang proses itu berjalan tidak dari <br />for the people ke by the people melainkan by me on behalf the <br />people. Hal semacam itu yang dikhawatirkan banyak pihak. <br /> Itulah sebabnya, dari waktu ke waktu apa yang disebut sebagai <br />arus tuntutan demokratisasi semakin kuat. Barangkali dalam bahasa <br />lain akan sama artinya dengan yang dikemukakan Presiden Soeharto <br />dalam pidato kenegaraan di gedung DPR-RI (16/8/1995) bahwa "Hanya <br />dengan pembangunan yang berakar kerakyatan kita mampu meningkatkan <br />kesejahteraan rakyat seluruhnya". Tentu kata "pembangunan" itu tidak <br />hanya diartikan sebagai pembangunan ekonomi melainkan juga sosial, <br />budaya dan politik. ***<br /><br />&#26;

No comments: