Sunday, March 29, 2009

Ruang Publik dan Warganegara yang Hilang

Ruang Publik dan Warganegara yang Hilang

Irsyad Zamjani

Berita tentang bencana banjir yang melanda ibu kota beberapa hari yang lalu senantiasa diliputi oleh pertanyaan yang tak pernah ditemukan jawabannya; siapa yang bertanggung jawab atas musibah itu? Banyak orang menudingkan telunjuk kepada pemerintah yang dianggap kurang tanggap; tapi tak kurang pula yang menyalahkan masyarakat yang dituduh tidak memiliki kesadaran menjaga lingkungannya sendiri. Yang paling “bijak” di antara mereka adalah mereka yang meminta baik pemerintah maupun masyarakat melakukan refleksi atas perilaku masing-masing.

Memperuncing perdebatan ini tentu lebih banyak membuang energi daripada memungut solusi. Persoalannya bukan pada perdebatannya, tapi pada kecenderungan saling menyalahkan satu sama lain. Masalahnya menjadi semakin parah manakala dalam ketegangan itu semangat politisnya lebih beraroma daripada spirit moralnya. Ini merupakan persoalan penting dalam ruang publik kita.

Ruang publik tidak lagi menjadi arena pertukaran, tapi telah menjadi ladang persengketaan bahkan, dalam banyak hal, manipulasi. Ruang publik hanya “dimiliki” oleh segelintir kelas menengah, sehingga seringkali perdebatan yang berlangsung di dalamnya hanyalah tontotan semu.

Menurut filsuf Jerman Jurgen Habermas, dunia mengenal ruang publik pertama kali pada abad kedelapan belas. Masa itu adalah masa kemunculan kapitalisme liberal dan masa bertumbuhnya negara-negara bangsa di Eropa. Kombinasi dari gagasan Pencerahan, transformasi pemerintahan dari feodalisme kepada negara-bangsa dan munculnya kapitalisme menciptakan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah: ruang publik.

Ini adalah pertama kalinya dikenal apa yang disebut warganegara menggantikan konsep feodal tentang rakyat. Warganegara memiliki hak dan tanggung jawab dan terlibat penuh dalam proses-proses demokrasi. Ruang publik adalah tempat di mana demokrasi ini hidup.

Habermas melihat bahwa ruang publik berada di antara seperangkat institusi dan praktik budaya di satu sisi, dan kekuatan negara di sisi lain. Fungsi dari ruang publik adalah menengahi persoalan-persoalan warganegara yang bersifat pribadi dan kepentingan negara yang berdimensi publik. Dua prinsip dasar dari ruang publik adalah akses pada informasi yang tak terbatas dan partisipasi yang setara.

Ruang publik mencakup organisasi-organisasi kultural seperti jurnal dan surat kabar yang menyebarkan informasi kepada masyarakat; ia juga mencakup organisasi politik dan komersial di mana diskusi publik bisa berlangsung seperti rapat-rapat publik, warung kopi, bar, partai politik dan sebagainya. Tujuan dari ruang publik, menurut Habermas, adalah konsensus pragmatik.

Dominasi opini publik

Bagaimana ruang publik kita? Setelah reformasi, kita menikmati iklim kebebasan tiada tara. Dulu, di masa orde baru, kita hampir tidak berani mengutarakan unek-unek politis kita. Artinya, kita tidak punya ruang publik yang ideal. Sekarang, di mana keran kebebasan terbuka lebar, kita seolah menemukan bahwa ruang publik juga terbentang demikian luas. Tapi, benarkah demikian?

Kendatipun kebebasan telah diperoleh, nyatanya selama ini belum pernah terjadi konsensus bersama antar-orang-orang yang berstatus warganegara yang saling menguntungkan satu sama lain (pragmatic consensus). Kalaupun konsensus itu pernah ada tapi implikasinya tidak selalu menyenangkan keduabelah pihak. Ruang publik yang sedianya menjadi perantara bagi kepentingan negara dan kepentingan individu-individu dalam masyarakat, telah dimanipulasi sekelompok tertentu lewat apa yang seringkali disebut opini publik. Model-model opini publik inilah yang sekarang ini mengendalikan karakter dari ruang publik kita.

Opini publik adalah suara-suara dominan yang menjadi arus wacana publik. Opini publik diciptakan oleh kalangan kelas menengah dan elite; ia muncul baik dalam perdebatan-perdebatan eksklusif kalangan ini maupun dikreasi dari suara masyarakat umum yang diambil lewat metode ilmiah semacam polling atau survey. Sarana penyebaran opini publik paling efektif tak lain adalah media massa. Media massa lah yang memodifikasi ruang publik menjadi kontestasi opini publik.

Karena ruang publik yang hilang, maka tiada muncul pula semangat kewarganegaraan (citizenship) di kalangan masyarakat. Warganegara (citizen) hanya kelas menengah yang beropini, selebihnya adalah rakyat biasa (people). Sebagai pelegitimasi dari konsep demokrasi, istilah yang terakhir ini secara politis bahkan lebih populer daripada istilah yang pertama. Padahal, sejak berdirinya negara-bangsa modern dan berkembangnya demokrasi itu sendiri, peran-peran kerakyatan yang menghamba telah digantikan peran-peran kewarganegaraan yang partisipatif.

Sekarang, rakyat yang berkarakter massa hanya bermakna dalam event-event besar seperti pemilu. Di luar itu, mereka sehari-hari terlihat di tengah-tengah macetnya jalan ibu kota, berjejalan dalam gerbong-gerbong kereta api, berteduhan di kolong jembatan, berpeluhan dalam deru mesin industri atau belepotan dalam kubangan lumpur sawah.

Rakyat bukanlah publik. Sebagian besar mereka bukanlah kelas terpelajar sehingga tidak bisa mengutarakan unek-uneknya secara elegan sebagaimana kelas menengah. Mereka muncul di media, tapi sebagai figuran opini yang diskenario atau sebagai korban-korban penghakiman citra karena menjadi pelaku tindak kriminal.

Sementara itu, kelas menengah yang haus popularitas menghiasi media dengan dandanan eksentrik. Mereka dengan lugas berdebat, bertarung opini dan berebut pengaruh. Jikapun mereka tampil sebagai pelaku kriminal, sejumlah pengacara mahal bersiap membela mereka.

Ruang publik memang telah terbeli. Kita sekarang telah melihat membuncahnya penerbitan media massa. Tapi, media telah menjadi bagian dari industri. Pada akhirnya, industri media telah mengomodifikasi semuanya menjadi tontonan dan hiburan. Kapitalisme yang dahulu turut melahirkan ruang publik, sekarang telah merenggutnya kembali.

Depok, Mei 2007


No comments: