Sunday, March 29, 2009

Moral, Agama, dan Negara

>Jumat, 21 Juli 2000

Moral, Agama, dan Negara
Oleh Ignas Kleden


KRISIS ekonomi sekarang ini menurut beberapa ekonom Indonesia sudah berada di luar daya-penjelas (explanatory power) ilmu ekonomi. Sebab, berbagai perubahan dalam nilai rupiah terus terjadi, walaupun indikator ekonominya tidak banyak berubah. Persoalan ialah apakah ilmu ekonomi harus dipandang sedemikian statisnya sehingga indikator konvensional itu harus tetap dipegang dan bukannya dirumuskan indikator baru yang lebih sesuai dengan perkembangan ekonomi sekarang ini, khususnya setelah meluasnya pasar modal dan pasar uang?

Atas cara yang sama mungkin saja ada pemikiran bahwa politik Indonesia sekarang sudah berada di luar daya-penjelas ilmu politik, karena indikator politik tak banyak berubah (dukungan terhadap presiden tetap besar, tidak ada percobaan untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi RI, parlemen tetap bekerja seperti biasa, dan pers relatif bebas), tetapi gonjang-ganjing politik berlangsung dengan tempo tinggi dan membuat stabilitas politik turun-naik seperti gelombang lautan. Mengapa gerangan? Apakah Indonesia demikian misterius masyarakat dan negaranya sehingga ilmu-ilmu sosial menyerah kalah menghadapinya?

***

TULISAN ini hanya ingin mengajukan sebuah caveat bahwa kesulitan dalam menjelaskan dan memahami perkembangan masyarakat, separuhnya lahir dari isi kepala kita sendiri. Setiap krisis cenderung membuat kita melakukan penyederhanaan soal melalui suatu uraian dan keterangan pukul rata yang sangat dipergampang tetapi lebih menyesatkan daripada menolong. Memang, dalam keadaan kritis tidak banyak waktu untuk melakukan uraian yang sistematis, canggih dan terinci. Pemikiran dengan alasan yang rinci lebih dimungkinkan dalam keadaan tenang kalau orang berada dalam situasi normal.

Dalam arti itu, menghadapi krisis politik dan ekonomi sekarang ini besar sekali godaan untuk melakukan one-factor explanation atau penjelasan hanya berdasarkan satu perkara saja yang memudahkan impian tentang penyelesaian. Sering terdengar, misalnya, bahwa berbagai kesulitan ini timbul karena moralitas umum merosot pada saat ini, baik di kalangan pemimpin maupun di kalangan masyarakat. Tentu saja tidak bisa disangkal bahwa moralitas merupakan hal yang amat penting, bukan saja dalam kehidupan negara tetapi juga dalam kehidupan manusia pada umumnya.

Demikian pun atas cara yang sama diandaikan bahwa kehidupan moral itu dapat ditingkatkan, kalau kehidupan beragama diperbaiki melalui pendidikan agama yang lebih teratur, baik dalam keluarga maupun di sekolah. Semua pemikiran ini tidak salah dalam substansinya, tetapi menjadi tidak seluruhnya benar, karena dikemukakan tanpa distingsi yang mencukupi. Uraian berikut ini mencoba menjabarkan beberapa distingsi termaksud, yang mungkin berguna untuk memperbaiki kesalahan tersebut, yang lebih bersifat metodologi daripada substansial.

***

PERTAMA, perlu diingat bahwa kehidupan negara mengandaikan adanya suatu moralitas publik yang amat berbeda dari moralitas pribadi atau perorangan. Apa yang diajarkan dalam agama-agama, secara umum, lebih menyangkut moralitas pribadi. Karena agama tidak mengajarkan secara langsung kewajiban memperhatikan lalu lintas, menjaga kebersihan taman kota, membayar rekening telepon dan listrik, menjaga lingkungan hidup, menghormati para pejalan kaki di trotoar, atau boleh-tidaknya melakukan demonstrasi politik. Semua hal tersebut di atas menyangkut moralitas publik yang berada dalam wilayah kenegaraan.

Persoalan adalah bahwa tidak semua orang yang terdidik dengan baik dalam komunitas agamanya, dengan sendirinya juga berkembang menjadi warga negara yang baik dalam moralitas publik tersebut. Civic education berbeda dari religious education. Contoh soal yang gamblang ialah korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) yang terus merajalela secara liar, sekalipun kehidupan agama dalam berbagai komunitas agama di Indonesia boleh dikatakan subur dan tidak menurun. Sama halnya, sekalipun agama-agama mengajarkan penganutnya untuk menghormati orang lain, masih terlihat dalam kehidupan politik betapa sulitnya menghormati pendapat dan pendirian politik golongan lain yang tidak sejalan dengan pendirian partai yang dianut seseorang.

Hal ini menjadi lebih jelas dalam pendidikan agama-agama di sekolah. Tidak bisa disangkal bahwa di Indonesia terdapat berbagai agama yang secara teoretis mempunyai hak hidup yang sama menurut hukum RI. Namun demikian, dalam pendidikan agama-agama (termasuk di sekolah), dapat diperkirakan bahwa setiap komunitas agama, dalam pelajaran agama mereka masing-masing, tidak begitu menyadari heterogenitas agama ini. Pendidikan agama yang diberikan oleh suatu komunitas agama cenderung menimbulkan kesan pada anak didik bahwa penduduk Indonesia seakan-akan hanya terdiri dari anggota komunitas agama bersangkutan saja, sehingga anak-anak itu memang dididik untuk menghormati penganut agama sendiri, tetapi sedikit sekali memberi perhatian kepada penghormatan kepada penganut agama lainnya.

***

DISTINGSI ini rupanya perlu dipertegas, agar supaya kita tidak terjebak ke dalam moralist fallacy yang mengelirukan, bahwa kalau departemen-departemen dan DPR diisi oleh orang-orang yang saleh secara religius dan mempunyai moralitas pribadi yang tinggi, maka dengan sendirinya politik dan pemerintahan negara menjadi efektif dan bersih. Persoalan bukanlah bahwa pendidikan moral dalam agama tidak ada gunanya, untuk kehidupan sebagai warga negara. Kegunaannya jelas ada, karena seseorang yang terlatih menahan diri dan nafsu-nafsu pribadinya dalam agama mungkin lebih mudah menahan diri dalam kehidupan publik sebagai warga negara terhadap godaan kekuasaan atau godaan untuk mendapatkan hak-hak istimewa misalnya.

Sekalipun demikian, moralitas pribadi itu lebih merupakan persyaratan yang perlu (necessary condition), tetapi belumlah merupakan persyaratan yang mencukupi (sufficient condition). Hal ini disebabkan karena sifat moralitas pribadi dan moralitas publik adalah berbeda meskipun tidak bertentangan. Seorang pemimpin agama, yang menaruh simpati kepada orang-orang dalam komunitasnya, mungkin dapat memberi harta miliknya begitu saja kepada orang-orang yang kekurangan, tanpa harus mempertanggungjawabkan dalam pembukuan. Sebaliknya, seorang pejabat tinggi tidak dapat lagi berbuat yang sama. Dia harus memenuhi asas akuntabilitas, dengan menunjukkan bahwa dia mempunyai hak melakukannya, apa alasannya, dan siapa-siapa saja yang menjadi penerima dari sumbangannya, serta mengapa justru orang-orang inilah yang harus diberi bantuan dan bukan orang lain. Kalau hal ini tidak dilakukan, maka pejabat tersebut melakukan kesalahan sebagai pejabat negara, meskipun kalau hal yang sama dilakukan dalam komunitas negaranya, bisa saja menjadi hal yang terpuji.

***

KEHIDUPAN dalam komunitas agama dan kehidupan sebagai warga suatu negara moderen merupakan dua hal yang berbeda. Perbedaan itu menjadi jelas karena alasan-alasan berikut ini.

Dalam kehidupan komunitas-komunitas agama, setiap agama mempunyai hak penuh untuk berbeda dari agama lain. Atau dengan lain perkataan, setiap agama adalah benar untuk penganutnya. Perbedaan ini bukan saja diperbolehkan menurut hukum, tetapi juga harus dihormati. Dipandang secara sosiologis, agama adalah bahagian kehidupan budaya, dan setiap kelompok budaya mempunyai hak untuk hidup menurut nilai-nilai budaya mereka masing-masing, sedangkan negara tidak mempunyai wewenang untuk mengintervensi nilai-nilai tersebut, sejauh nilai-nilai tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Hal yang sebaliknya terlihat dalam kehidupan negara. Dasar utama di sana ialah persamaan hak dan kewajiban di antara semua warga negara. Tidak mungkin seorang warga negara mengatakan bahwa lampu merah di jalan raya tidak berlaku buat dia, karena menurut nilai-nilai budayanya, jalanan umum tidak perlu diatur. Hal ini masih mungkin dalam kehidupan komunitas di desa, di mana semua orang boleh memakai jalanan ke kebun, misalnya, tanpa ada peraturan yang mengaturnya. Akan tetapi, dalam kehidupan publik, jalanan adalah public space yang harus diatur menurut ketentuan perundangan negara dan tidak bisa diatur menurut nilai budaya masing-masing kelompok.

Perbedaan kedua yang asasi antara agama dan negara ialah bahwa antara agama yang satu dan agama yang lain tidak mungkin dilakukan negosiasi tentang nilai-nilai dan tingkah laku keagamaan dalam kelompok masing-masing. Pada titik itu agama menjadi suatu bidang yang ditandai oleh kondisi unnegotiable. Tidak mungkin kita membayangkan seorang Kristen bernegosiasi dengan seorang penganut Hindu, misalnya, agar supaya beberapa ritual dalam agama Hindu diubah. Kalau hal ini dicoba dilakukan, maka kita telah melanggar wilayah the unnegotiable, dan hasilnya hanyalah konflik dan barangkali juga kekerasan.

Sebaliknya dalam negara, politik adalah bidang di mana negosiasi bukan saja dimungkinkan, tetapi malahan diharuskan, yaitu negosiasi antara kepentingan yang satu dengan kepentingan lain, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, atau antara keinginan yang satu dan keinginan lainnya. Politik otoriter ditandai pertama-tama oleh hilangnya kemungkinan dan kesempatan bernegosiasi, sedangkan politik demokratis mengandaikan bahwa kehidupan bersama akan menjamin kepentingan umum, kalau dimungkinkan negosiasi.

***

MENERJEMAHKAN nilai-nilai komunal ke dalam nilai-nilai publik bukanlah sesuatu yang mudah. Contoh untuk ini sangat banyak. Penduduk negeri ini dikenal sebagai orang-orang yang berbudi halus, ramah dan santun. Sekalipun demikian kehalusan dan kesantunan ini dalam praktik hanya hidup dan terlihat dalam lingkup komunal. Kalau ada acara makan bersama di rumah, maka setiap orang saling mempersilahkan untuk mengambil makanan duluan. Demikian pun kalau lewat di depan orang, kita selalu minta permisi.

Kesopanan dan kesantunan dalam lingkungan komunal ini, sayang sekali, tidak tercermin sama sekali dalam ruang publik. Kalau Anda menyetir mobil lalu kepepet di sebuah sudut, dan memberi tanda dengan lampu sein untuk minta jalan, maka sulit sekali untuk mendapatkan jalan itu, kecuali kalau Anda memberanikan diri menerobos begitu saja. Demikian pun kalau antri karcis atau antre telepon umum, sama sekali tidak terlihat lagi sopan santun yang begitu dimasyhurkan, padahal menerobos antrean di negara-negara maju dianggap sebagai perbuatan yang amat kurang ajar, dan menimbulkan amarah orang banyak.

Saudara Asmara Nababan dan Komnas HAM pernah bercerita bahwa seorang pengamat yang baru pertama kali masuk ke Indonesia, merasa amat aneh bahwa orang Indonesia begitu sering memakai istilah "maaf" (misalnya kalau mulai bicara harus minta maaf), padahal mereka tidak melakukan kesalahan apa pun. Uniknya, kalau mereka betul melakukan kesalahan, maka sulit sekali kita mendengarkan perkataan maaf dari mereka. Jadi perkataan maaf itu hanyalah sopan santun, tetapi bukan suatu kejujuran untuk mengakui bahwa seseorang menyadari kesalahannya. Belum pernah terdengar bahwa seorang pejabat tinggi, misalnya, minta maaf karena telah melakukan sesuatu kekeliruan, seakan-akan begitu menjadi pejabat, dia dengan sendirinya can do no wrong.

***

WILAYAH publik barangkali bukanlah sesuatu yang sudah akrab dalam pengertian umum di Tanah Air kita. Buat sebahagiannya, hal ini disebabkan karena integralisme dalam paham kenegaraan sudah semenjak semula membawa alam pikiran umum kepada anggapan bahwa negara dan kehidupan politik dapat diatur berdasarkan asas kekeluargaan. Padahal, ada perbedaan yang demikian asasi antara kehidupan keluarga dan kehidupan negara. Keluarga adalah private sphere (wilayah privat) sedangkan negara adalah public sphere (wilayah publik).

Mengatur urusan negara dengan pendekatan privat bukanlah sesuatu yang dapat dibenarkan oleh teori negara moderen. Wilayah privat diatur oleh kebudayaan, sedangkan wilayah publik diatur oleh hukum. Sudah jelas tidak ada pertentangan antara keduanya, karena berbagai nilai budaya dapat mendukung proses law enforcement, apabila diterapkan dengan benar. Namun, ada perbedaan yang amat asasi. Kalau keadilan atau korupsi uang negara ditafsirkan secara privat atau secara budaya, maka jelas hal ini akan menimbulkan kebingungan luar biasa, karena setiap lingkup komunal dapat mempunyai tafsirannya sendiri. Kita, sebagai misal, dapat mengatakan bahwa seorang koruptor tidak boleh dihukum, karena dalam agama kita percaya bahwa Tuhan itu Maha Pengampun yang mengampuni juga seorang koruptor yang menyesali kesalahannya. Kalau tafsiran ini dimasukkan ke dalam urusan publik, maka hukum positif tidak akan berjalan, karena urusan kepercayaan kepada kebaikan dan kemurahan Tuhan seharusnya dikembalikan kepada urusan privat setiap orang beragama, tetapi korupsi uang negara adalah persoalan hukum positif dengan ketentuannya sendiri.

Mudah-mudahan maksud karangan ini tidak disalahtafsirkan. Tidak ada niat untuk me-ngecilkan peranan agama. Yang dicoba dikemukakan adalah prinsip put the right thing in the right place. Kalau ini tidak dilakukan maka kita akan kelabakan terus-menerus dengan tata negara, karena menempatkan hal yang benar di tempat yang salah.

* Ignas Kleden, sosiolog, Direktur The Go-East Institute (Lembaga Lintas Timur) Ja-
karta
.


No comments: