Sunday, March 29, 2009

Praksis Politik

Minggu, 3 Februari 2002

Menulis Politik sebagai Praksis Politik

Judul: Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia, Penulis: Ignas Kleden, Penerbit: Kompas, 2001, Tebal: (xli + 291) halaman.


SEANDAINYA saja menulis dan berbicara atau berpidato tidak mempunyai kekuatan praksis yang serius dan hanya dianggap sebagai sekadar teori atau "omong doang", tentu Sokrates tidak akan dianggap sangat berbahaya bagi penguasa Athena sehingga diadili sampai ia memilih meneguk racun untuk mati. Demikian pula, Bung Karno tidak akan ditangkap dan dipenjara kolonialis Belanda, hanya karena pidatonya yang berapi-api.Ignas Kleden dengan sangat sadar mengafirmasi kebenaran tersebut, ketika ia mengatakan dalam kata pengantar buku Menulis Politik: Indonesia sebagai Utopia ini. Katanya: "Menulis adalah suatu bentuk praksis dalam arti sebenarnya."

Dengan pernyataan itu Ignas tidak hanya memaksudkan bahwa menulis adalah sebuah bentuk praksis menulis. Di situ ia menegaskan bahwa menulis adalah mempraktikkan pesan yang menjadi isi utama tulisan tersebut. Maka, dalam kaitan dengan buku yang berisi tulisan politik Menulis Politik, Ignas telah mempraktikkan politik dalam arti yang sebenarnya dengan menulis politik.

Setiap karangan dalam buku ini "lebih menjadi refleksi dari situasi saat tulisan itu dibuat" dan bukannya merupakan "indeks dari apa yang menjadi fokus pemikiran dan pusat perhatian intelektual" penulisnya. Kendati begitu-atau justru karena itu-tulisan-tulisan itu telah menjadi praksis keberpihakan politik Ignas terhadap nilai-nilai umum tertentu semacam demokrasi, perlunya budaya politik, keadilan sosial, perlakuan yang sama, penghargaan atas hak asasi manusia, pembelaan terhadap yang tertindas dan menderita, dan lain sebagainya.

Dalam praksis keberpihakan itu, penulis mau tidak mau telah mengambil sikap politik yang sangat praksis terhadap "kepentingan soal"-demikian bahasa Ignas-dengan bergabung bersama simpati atau antipati masyarakat atau kelompok tertentu dalam masyarakat atas dasar nilai-nilai tertentu atau kepentingan soal tadi.

Atas dasar itu, ketika Ignas mengatakan bahwa seorang penulis-khususnya penulis surat kabar-tidak mewakili rakyat atau siapa-siapa, dia sebenarnya telah mewakili kelompok tertentu atau bahkan rakyat, yaitu mereka yang berpihak pada nilai yang sama seperti dibela oleh penulis.

Pada tataran itu, menulis politik sebagai praksis politik tanpa sengaja telah membangun konstituen, bahkan konstituen yang sangat fanatik, bukan untuk memenangkan sebuah pemilu, melainkan untuk memenangkan perjuangan nilai atau 'kepentingan soal' dalam masyarakat politik yang majemuk ini.

Dalam hal seperti itu, penulis lalu tidak lagi berperan sebagai seorang yang netral. Ia telah berperan sebagai orang yang membela dan memperjuangkan nilai tertentu, membela "kepentingan soal". Dalam arti itu ia telah menjadi seorang penulis non-partisan, tetapi mau tidak mau ia partisan. Partisan karena ia selalu "akan memilih untuk membela kepentingan soal dan bukannya kepentingan kelompok tertentu" (hlm. xvii).

Karena itu, kendati hanya sekadar tulisan, "Apa yang ditulis dalam esai ini adalah keyakinan penulis tentang apa yang dilakukan dan harus dilakukannya" (hlm. xli).

Dengan itu sesungguhnya ia melaksanakan praksis politik sebagai seorang provokator (dalam bahasa Orde Baru), seorang penghasut (dalam bahasa pemerintah Hindia Belanda), atau memainkan peran profetis (dalam bahasa ilmiah dan religius): menggugah kesadaran pembaca untuk melihat realitas, fenomena, dan situasi politik secara kritis; bahkan dari sudut pandang berbeda dan sekaligus tanpa perlu disengaja, membuat pembaca mengambil sikap secara tertentu terhadap situasi politik tadi: antipati atau simpati, membela atau menentang berdasarkan sejauh mana situasi politik itu sesuai atau berlawanan dengan nilai atau kepentingan soal yang dibela.

***

SEBAGAI sebuah praksis politik, buku ini mempraktikkan secara sadar "apa itu demokrasi". Demokrasi dalam buku ini tidak pertama-tama dilihat dalam arti menjelaskan, menguraikan, dan menuliskan maknanya.

Demokrasi dalam buku ini pertama-tama dipraktikkan sebagai sebuah cara pandang atau paradigma yang kemudian mempengaruhi sikap yang dihayati dan dipraktikkan secara sadar. Cara pandang dan sikap demokratis yang mau diperlihatkan di dalam buku ini adalah bahwa realitas, fenomena, dan situasi politik, tidak harus dibaca secara tunggal perspektif dan tunggal makna.

Realitas, fenomena dan situasi politik, perlu juga dibaca secara berbeda, secara lain. Karena itu sikap demokratis yang benar adalah menerima adanya cara pandang, perspektif, dan makna yang berbeda itu, tanpa berarti mengafirmasi substansi yang terkandung di dalamnya (karena substansi tersebut terbuka juga untuk ditolak dan dikritik, tapi bukan karena tidak boleh ada cara pandang berbeda melainkan karena tidak bisa dijustifikasi).

Dengan cara pandang dan sikap politik seperti itu, selain berbagai tema lain yang sangat bervariasi, satu tema sentral yang terungkap dalam sekitar setengah dari 34 artikel dalam buku ini-semuanya pernah dimuat di Kompas, sejak Maret 1982 sampai November 2000, adalah soal demokrasi.

Dalam tak kurang dari 17 artikel, Ignas berbicara soal-soal sekitar demokrasi seperti oposisi, sumber kekuasaan, kepemimpinan, dan elite politik, legitimasi dan legalitas kekuasaan, kontrol sosial terhadap kekuasaan/kepemimpinan nasional, pembagian kekuasaan, partai politik, dan sistem multipartai, pembedaan antara private sphere dan public sphere, kemerdekaan dan pemerdekaan sebagai rakyat yang berdaulat, kekerasan oleh negara, makar, dan sebagainya.

Dengan sikap dasar di atas, dan dengan tema dominan tentang demokrasi, Ignas dengan leluasa mengajak pembaca untuk mencoba melihat realitas, fenomena dan situasi politik, dari perspektif atau sudut pandang yang lain dari yang mungkin umum diterima. Ignas mengajak pembaca untuk tidak boleh "melakukan one-factor-explanation."

Hal itu terutama dilakukan dengan mengajukan pertanyaan secara lain tentang realitas politik tersebut, bahkan tentang cara pandang dan pemahaman umum yang berlaku. Dalam kaitan dengan itu, yang menarik adalah kepiawaian Ignas membuat distingsi baik secara sosiologis maupun filsofis, sehingga realitas politik tidak perlu selalu dipahami secara tunggal makna.

Akan tetapi, yang menarik, perspektif berbeda tadi tidak disodorkan sebagai sebuah tanda seru untuk diafirmasi. Justru sebaliknya, dalam membaca tulisan-tulisan dalam buku ini, perspektif berbeda yang disodorkan mengajak pembaca untuk mempertanyakan dan berpikir lebih lanjut tentang validitas perspektif dan argumen tersebut.

Dengan sikap dasar yang sama, kita bisa melihat dan memahami secara berbeda setiap realitas, fenomena, atau situasi politik yang disoroti dalam buku ini. Bahkan, terbuka pula bagi kita untuk memberikan catatan kritis terhadap semua tulisan dalam buku ini.

Sebagai contoh, demi membangun demokrasi kita membutuhkan kontrol sosial, termasuk melalui pers, LSM, dan pembentukan opini umum (artikel pertama tentang "Oposisi dalam Politik Indonesia," juga artikel 25 tentang "Demokratisasi Kepemimpinan Politik", dan artikel 28 "Kontrol atas Kepemimpinan Nasional").

Akan tetapi, yang perlu pula dicermati adalah bahwa kontrol sosial oleh pers, LSM, dan opini umum, juga tidak bisa tanpa kontrol. Kalau kontrol sosial yang dilakukan oleh pers, LSM, dan opini umum tadi dilakukan tanpa kontrol, yang terbangun bukan lagi demokrasi yang sehat melainkan tirani oleh pers, LSM, dan opini umum.

Bagaimana menjamin bahwa pers, LSM, dan opini umum tidak menjadi totaliter, otoriter, dan menang sendiri, bukan demi kepentingan soal, tapi demi kepentingan kelompok tertentu? Siapa yang menjamin bahwa pers, LSM, dan opini umum adalah bebas kepentingan?

Dalam kaitan dengan itu, jangan-jangan otoritarianisme negara yang kita kritik selama ini karena mematikan demokrasi, malah kita ganti dengan otoritarianisme civil society - kalau istilah ini bisa kita pakai. Maka, perlu pula dipikirkan bagaimana membangun kontrol sosial yang sehat demi mewujudkan demokrasi yang sehat.

Ini tidak berarti kekebasan pers perlu dikekang kembali, LSM perlu diatur-atur dan dibatasi, opini umum diintervensi, dan semacamnya. Yang dibutuhkan adalah sebuah kondisi yang memungkinkan kontrol sosial itu berjalan secara positif dan sehat sebagaimana yang kita butuhkan dalam rangka membangun demokrasi yang sehat.

Salah satu kontrol atas kontrol sosial yang dilakukan oleh pers, LSM, dan opini umum-dan kontrol sosial lainnya-adalah dengan melihat sejauh mana kontrol sosial itu dilakukan atas nama dan demi nilai atau "kepentingan soal". Sejauh kontrol sosial itu bisa dipastikan dilakukan demi kepentingan nilai yang diterima umum demokrasi, keadilan, pemerintahan yang baik, dan semacamnya-kontrol sosial bisa diterima dan dibenarkan sebagai hal yang positif dan konstruktif.

Dengan ini saya mau mengatakan bahwa artikel-artikel dalam buku tersebut tidak hanya membuka perspektif kita, melainkan juga membuka wacana untuk bisa berdiskusi lebih lanjut, tidak hanya demi kepentingan teoretis, melainkan juga demi kepentingan praksis membela "kepentingan soal," membela nilai yang kita junjung tinggi dalam rangka membangun kehidupan bersama, dalam rangka mewujudkan "Indonesia sebagai Utopia" kita.

(A Sonny Keraf, staf pengajar Univeritas Katolik Atma Jaya Jakarta )

No comments: