Sunday, March 29, 2009

The End of Ideology"

Politik dan "The End of Ideology"

Oleh: Irsyad Zamjani

ISTILAH the end of ideology dipopulerkan Daniel Bell tahun 1962 saat ia memublikasikan bukunya, The End of Ideology: On The Exhaustion of Political Ideas in the Fifties. Ia menyatakan, ideologi-ideologi humanis tua dari abad ke-19 hingga awal abad ke-20 telah limbung dan ideologi-ideologi kecil akan bermunculan.

Pada edisi yang terbit tahun 2000, ia menambahkan dalam suatu pengantar The Resumption of History in the New Century, bangkrutnya negara-negara sosialis kian meneguhkan kosongnya terms dikotomis semisal "kanan" dan "kiri" dalam politik.

Dikotomi "kiri" dan "kanan" tidak pernah sesuai dengan kompleksitas kehidupan politik, ekonomi, dan budaya. Telah lama berlaku, misalnya, liberalisme dalam isu-isu sosial-mulai hubungan ras, kontrol senjata, hingga hak-hak aborsi-tidak harus berkorelasi dengan liberalisme ekonomi. Kenyataan, term "liberalisme ekonomi" memiliki makna berlawanan di Eropa dan Amerika Serikat, menandakan kategorisasi kiri dan kanan telah lama mengandung ketakpastian.

Di bekas Yugoslavia, bukan hanya para oportunis Marxis yang lalu menjadi oportunis nasionalis, bahkan Milhajo Markovic, seorang humanis Marxis yang sebelumnya aktif dalam kelompok kerja sosial negara itu, akhirnya menjadi seorang nasionalis fanatik dan agitator utama dalam kampanye etnic cleansing. Di Polandia dan Hongaria, kelompok oposisi sayap kiri menjadi penyokong utama transisi ke arah ekonomi pasar, sementara di Republik Czechnya kelompok sayap kanan adalah pendukung utama kebijakan semacam itu. Di Amerika pengertian umum kiri atau kanan tidak lagi dipusingkan.

Lepas dari itu semua, kehancuran dalam dikotomi lama kanan atau kiri memang cukup menggembirakan. Ia memberi kita kesempatan untuk berpikir tentang-meminjam Jean Bethke Elshtain- "politik tanpa alur" (politics without cliches). Kita bisa menyikapi berbagai masalah baru tanpa prakonsepsi dan tanpa distorsi ideologis. Kita dimungkinkan untuk berpikir tentang prinsip dasar dan tujuan akhir tanpa kekakuan partisan.

Ketika kanan jelas adalah kapitalis dan kiri adalah sosialis, masing-masing memberikan penjelasan lengkap tentang bagaimana penataan fundamen ekonomi bisa membawa pada kebaikan bersama. Bagi kanan, dari Hayek hingga Friedman, pasar bebas adalah kunci kebebasan politik, budaya dan masyarakat yang dikukuhkan lewat kemerdekaan individu. Menurut kiri, sejak Marx hingga Sweezy, penghapusan hak milik pribadi adalah kunci kebebasan politik, budaya, dan kebebasan masyarakat tanpa kelas. Penghapusan (dalam versi kiri) atau kontrol (menurut term kanan) terhadap irasionalitas pasar adalah jalan menuju masyarakat yang baik.

Ini adalah jalan realistis. Dan, inilah akhir ideologi atau setidaknya titik perjumpaan ideologi-ideologi. Berbagai ideologi semacam komunisme, eksistensialisme, atau keyakinan agama ingin hidup pada titik ekstrem tertentu dan mengkritik manusia biasa (ordinary man) karena gagal untuk hidup pada puncak kebesaran (level of grandeur). Menurut Bell, orang akan berusaha melakukan itu jika terdapat kemungkinan sejati bahwa momen selanjutnya memang benar-benar ada. "Sebuah ̢۪momen perubahan̢۪ ketika penyelamatan atau revolusi atau hasrat sejati mampu diraih. Namun, semua itu adalah ilusi. Yang ada di depan kita hanyalah kehidupan sehari-hari yang sama sekali tidak heroik (the unheroic day-to- day routine of life)." Sudah saatnya kita memasuki politik yang rasional.

Skizofrenia politik

Di Indonesia, the end of ideology juga telah terjadi. Iklim politik sejak tahun 1998 memang menyemarakkan kembali sekaligus mempercepat berakhirnya politik aliran di Indonesia. Waktu itu hampir semua eks-orsospol yang pernah berkiprah di jagat perpolitikan Orde Lama dan membentuk massa ideologis tertentu ramai-ramai mendirikan parpol dan berkompetisi dalam Pemilu 1999. Namun, waktu berjalan begitu cepat. Sekarang kita tidak lagi menyaksikan kuatnya ideologi sebagai basis dari sebuah organisasi politik.

Beberapa parpol lama yang tidak lolos electoral threshold tergusur dan beberapa di antaranya membangun aliansi membentuk parpol baru. Beberapa parpol besar sebelumnya juga mengalami perpecahan internal yang cukup serius. Para "pembangkangnya" mendirikan partai baru atau bergabung dengan partai lain. Kita memang telah memasuki era politics without cliches. Para elite berpolitik secara kreatif dan rasional. Tidak ada lagi jangkar ideologis.

Dua ideologi dominan, nasionalis dan Islam, juga sudah cukup rapuh. Partai-partai berasas Islam atau nasionalis bertebaran dan memperlihatkan peta koalisi yang acak. Masing-masing tidak bisa lagi disebut sebagai representasi ideologi politik tertentu. Tidak ada lagi poros-poros ideologis, seperti nasionalis (PNI), komunis (PKI), sosialis (PSI), atau Islam (Masyumi), yang pernah determinan di Orde Lama.

Namun, dengan berakhirnya ideologi kita dihadapkan pada dua persoalan pelik. Pertama, perilaku politik yang mengarah pada pragmatisme dan oportunisme akut. Hal ini adalah akibat logis dari pendekatan elitis yang menghinggapi paradigma politik masyarakat kontemporer. Jean L Cohen dan Andrew Arato dalam karya mereka yang berjudul Civil Society and Political Theory (1994), mengungkapkan, dominasi pendekatan ini dalam sistem demokrasi mengambil suatu pola ekonomi pasar yang berbasis pada logika produsen-konsumen.

Logika ini mengandaikan bahwa segala pergulatan politik bergantung pada kreativitas elite dalam menggiring massa politik larut dalam jajanan politik yang mereka jual. Akibatnya, elite politik sangat leluasa melakukan apa pun tanpa keterlibatan yang berarti dari massa politik. Atas nama kalkulasi rasional sepihak, para elite bisa menempuh langkah-langkah politik yang menguntungkan posisi mereka. Dalam logika ini keuntungan adalah segala-galanya.

Di Indonesia, elite politik dalam era mencairnya ideologi politik dapat berpindah-pindah dengan leluasa tanpa beban ideologis apa pun. Figur-figur seperti Subardja atau Amir Syarifudin yang sangat luar biasa di era Soekarno kini sangatlah biasa. Terlepas dari pertimbangan idealistis atau pragmatis, sekarang para elite dengan mudahnya bisa berpindah dari partai A ke partai B atau kemudian ke partai C. Kreativitas politik dengan sangat arbitrer dimaknai sebagai keleluasaan menempuh langkah apa pun demi kekuasaan. Padahal, semestinya ia terbingkai dalam suatu principled politics. Ada landasan etis dan kerangka visioner yang diidealkan.

Cohen dan Arato menawarkan suatu pendekatan partisipatoris di mana masyarakat politik semestinya mengembangkan diri dalam wadah-wadah otonom civil society. Kelompok- kelompok yang bekerja secara kolektif dan mandiri ini diharapkan akan melakukan kontrol yang efektif terhadap perilaku para elite.

Sayangnya, sekarang semua orang telah masuk dalam pusaran arus politik praktis. Semuanya telah menjadi massa politik. Organ-organ civil society yang justru pernah berperan sangat efektif di saat abnormalitas politik era Orde Baru dahulu kini semakin melemah. Hampir semuanya terseret dalam pusaran kelompok-kelompok partisan. Dua organ civil society terbesar saat ini, NU dan Muhammadiyah, misalnya, kini telah menjelma menjadi wadah elite-elite politik baru.

Persoalan kedua adalah kecenderungan berlangsungnya skizofrenia politik. Di beberapa negara demokrasi yang masih labil seperti Indonesia kecenderungan itu sangat besar. Hal itu terutama didukung oleh masih tersimpannya kultur paternalis yang begitu mengakar. Sistem pemerintahan negara- negara semacam itu terjebak pada oligarki di mana elite-elite politik, baik di lembaga eksekutif maupun parlemen, berkolaborasi dalam kekuasaan.

Skizofrenia politik terjadi saat elite politik berperilaku dalam koridor creative politics atau politics without cliches, sementara massa politik masih memiliki imajinasi ideologis. Di India, kaum nasionalis masih melihat Gandhi dan keturunannya sebagai patron ideologi abadi, seperti halnya figur Soekarno di Indonesia. Pilahan-pilahan ideologis yang ada di masyarakat hanya berlaku bagi mereka dan tidak bagi elite. Beberapa faksi ideologis lain, seperti Islam tradisional, Islam modernis, atau kaum buruh, masih menyimpan imajinasi ideologi mereka dalam berpolitik.

Akibatnya, terjadi kesenjangan dan miskomunikasi yang berkelanjutan antara elite politik dan massa mereka. Dalam keberlangsungan ini, pembodohan politik masyarakat akan leluasa dilakukan. Beberapa partai akan merawat dan memanfaatkan dengan baik massa ideologis ini. Tentu saja ini adalah persoalan penting yang harus diselesaikan dalam proses demokratisasi yang sedang kita lewati bersama. Diperlukan kedewasaan para elite untuk terus-menerus aktif dalam melakukan pencerdasan politik terhadap warganya.

(Source: Kompas, 23 Juni 2004)

No comments: