Sunday, March 29, 2009

Terorisme on Indonesia

Terorisme dan Sosiologi Pesantren


Oleh: Irsyad Zamjani

Hampir semua pihak yakin bahwa kematian Dr. Azahari bukan akhir dari terorisme di Indonesia. Sebagai gembong, sangatlah mustahil bagi Azahari untuk tidak mempersiapkan kader-kader terbaik dalam organisasi jaringan terorisnya. Kematian Azahari sebaiknya tidak disikapi dengan lega hati, tapi, sebaliknya, semakin memacu sikap waspada.
Tidak seperti di Timur Tengah di mana organisasi jaringan teroris bersikap sangat ekspresif, di Indonesia atau Asia Tenggara, umumnya, organisasi semacam itu bersifat relatif tertutup dan sporadis. Mereka tidak menciptakan institusi sosial baru atau, setidaknya, mandiri, tapi meleburkan diri dalam lembaga-lembaga sosial dan kultural lama.

Beberapa waktu lalu, muncul wacana dari Wapres Jusuf Kalla tentang adanya beberapa pesantren yang disinyalir melakukan aktivitas “pencucian otak dan mengajarkan makna perjuangan dan jihad secara keliru” (Kompas, 21 Oktober 2005).

Jika mengamati tesis yang dikemukakan di awal tulisan ini, lembaga-lembaga tua seperti pesantren memang cukup rawan dijadikan ajang penyusupan aktivitas teroris. Sebagai lembaga tradisional yang telah memiliki reputasi di masyarakat, pesantren menjadi lahan strategis untuk memproduksi legitimasi keagamaan terhadap perilaku-perilaku sosial tertentu, termasuk teror.

Tulisan ini hendak menguji bagaimana kekuatan pesantren (tradisional) di hadapan raksasa terorisme dan sejauh mana kemampuan ideologi terorisme ini melakukan penetrasi ke dalamnya.

Dunia sosial pesantren

Dalam kaitan dengan diskursus terorisme ini, materi ajaran atau cara ajar dalam pesantren bukan sesuatu yang penting. Budaya paternalisme, indoktrinasi, penafsiran ajaran agama yang formal dan monopolis adalah makanan sehari-hari dunia pesantren tradisional.

Yang terpenting adalah karakter sosiologis pesantren. Hal itu bisa dirumuskan dengan pertanyaan-pertanyaan berikut ini: Apakah dunia pesantren masih terbangun secara integral dengan dunia sosial dan kultural masyarakat sekitarnya atau tidak. Apakah pesantren sekarang tetap menjadi – meminjam Gus Dur – subkultur yang merupakan varian dari kultur induk yang lebih besar (Jawa, Madura, Aceh, atau Indonesia misalnya). Ataukah justru dunia pesantren sekarang telah membangun poros sosial dan budayanya sendiri?

Pesantren-pesantren klasik tradisional berdiri dan berkembang mengikuti denyut nadi perkembangan masyarakat sekitarnya. Maka, kendatipun para santri didoktrin habis-habisan mengenai ajaran keagamaan formal, mereka memiliki wahana sosio-kultural di luar teks formal untuk memaknai ajaran-ajaran itu.

Kehidupan masyarakat sekitar yang digumuli warga pesantren sehari-hari menimbulkan penghayatan yang “lain” tentang teks-teks seperti jihad, negara Islam, jilbab dan lain sebagainya. Seorang kiai NU, misalnya, menyebutkan bahwa jihad dapat diartikan sebagai “perjuangan untuk menikahi janda-janda miskin” (Moesa, 2005).

Kenyataan bahwa banyak perempuan desa yang bertani, misalnya, juga memungkinkan suatu pemahaman tentang jilbab yang lebih “ramah” kultural. Seorang perempuan petani muslimah yang tiap hari bergelut dengan panas dan lumpur sawah sungguh tidak mungkin untuk berjilbab seperti dituntut oleh teks kitab suci. Dan, pesantren mengamini hal itu.

Etos transformatif

Zamakhsyari Dhofier dalam karyanya, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (1982), menyatakan bahwa “keramahan” kyai pesantren tidak hanya ditunjukkan terhadap dunia sosio-kultural sekitarnya. Keramahan itu juga ditunjukkan pada penguasa yang mewakili realitas politik obyektif waktu itu.

Pada masa kolonial, para kiai, dalam batas tertentu, memiliki hubungan yang sangat baik dengan para penguasa. Di masa Jepang, misalnya, kyai Hasyim Asy’ari adalah pemimpin sebuah organisasi Islam bentukan Jepang, Masjumi.

Tapi, sikap kooperatif itu tidak bersifat mutlak. Ketika ketidakadilan menjadi kondisi obyektif masyarakat, pesantren juga menyediakan diri sebagai pusat di mana keresahan-keresahan rakyat ditumpahkan.

Sartono Kartodirjdo (1966), APE Korver (1985), dan Kuntowijoyo (1990) mencatat bahwa pesantren-pesantren menjadi penggerak utama dari berbagai pemberontakan rakyat sejak akhir abad XIX hingga awal abad XX. Kyai Hasyim Asy’ari sendiri adalah aktor utama di balik lahirnya fatwa jihad melawan Belanda di era revolusi fisik 1945-1949.

Benteng anti-terorisme

Belakangan ini bermunculan lembaga-lembaga pendidikan Islam berlabel pesantren yang “melangkahi” tradisi pesantren. Mereka membangun batas yang eksklusif dari masyarakat. Mereka menahbiskan diri sebagai entitas yang lebih tinggi sembari menistakan tradisi masyarakat.
Secara ekstrem, orang-orangnya bahkan memamerkan diri sebagai “polisi agama” dengan melakukan razia tempat-tempat, aktivitas-aktivitas, dan simbol-simbol budaya yang dianggap bertentangan dengan paham mereka. Menurut penulis, modus-modus di atas bukanlah cermin dari etos pesantren


Inilah yang harus diwaspadai sebagai penyemai bibit-bibit terorisme. Ketika kaum teroris gagal melakukan penyusupan institusional ke dalam dunia pesantren (tradisional), mereka melakukan penyusupan kultural dengan membangun lembaga quasi pesantren baru.Karena telah menarik diri dari keterlibatan sosial-emosional dengan masyarakatnya, lembaga ini dengan tanpa beban menilai dan menghakimi masyarakat.Padahal, dalam menjalankan peran transformatifnya, pesantren selalu menyentuh masyarakat lewat sumberdaya sosial dan kearifan kultural mereka sendiri. Pesantren selalu mengafirmasikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat. Sehingga, sangatlah mustahil jika pesantren seperti ini meneror masyarakatnya sendiri. Justru, pesantren adalah benteng terakhir perlawanan terhadap terorisme.

Surabaya, Agustus 2006

No comments: