Sunday, March 29, 2009

Subversif

Tidak Melupakan agar Tidak Mengulang

Kompas/julian sihombing

KALAU masa lampau tetap hadir secara aktif sebagai faktor yang selalu mengikat seseorang dan tidak membebaskan orang yang bersangkutan untuk melangkah ke masa kini dan masa depan, maka di sana terjadi tragedi. Suatu tragedi terjadi bukan saja karena ada peristiwa pahit yang terjadi di masa lampau, tetapi juga dan terutama karena peristiwa pahit tersebut tetap bertahan sebagai masa kini dalam kesadaran seseorang.SEPERTI dikemukakan sosiolog dan Direktur Lembaga Lintas Timur, Dr Ignas Kleden yang menanggapi kesaksian Nani Nurrachman-Sutojo dan Lohjinawi-dalam seminar bertema "Tragedi, Refleksi hingga Rekonsiliasi: Menuju Kebangkitan Kembali Jiwa Bangsa" di Universitas Atma Jaya, Jakarta, Senin (20/11)-tanpa disadari, konsep seperti ini telah diterapkan dan berlaku dalam bidang politik di Indonesia.

"Selama masa Orde Baru, peristiwa G30S, misalnya, selalu dihidup-hidupkan sebagai bagian dari masa kini oleh Pemerintahan Soeharto. Dengan cara yang sama, dalam masa reformasi, berbagai akibat kekerasan politik dan ketidakadilan di masa Orde Baru tetap hadir dalam diri kelompok-kelompok masyarakat yang dirugikan, sebagai bagian dari masa kini mereka," papar Ignas.

Ini terbukti dari munculnya berbagai protes dan tuntutan ganti rugi, baik harta maupun nyawa, yang meningkat menjadi kekerasan dan bahkan dalam bentuk gerakan untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia, sebagaimana terjadi pada tiga wilayah bekas Daerah Operasi Militer (DOM), yaitu, Timor timur, Aceh, dan Irian Jaya.

"Dendam dan kekerasan akan menghasilkan kekerasan dan dendam dan kekerasan yang lain," ujar Mohamad Sobary, antropolog. Ia menceritakan kisah Rama Parasu, yang keluarganya dihabisi ksatria jahat ketika ia sedang di rumah. Kemarahan dan dendam membuat ia menuntut balas. Semua ksatria yang ia temui ditantang berkelahi semua tewas. Lama-lama ia merasa terusik: Aku antikaum ksatria karena tugas ksatria berperang dan membunuh serta menebar kematian demi kematian, Aku antikematian dan prokehidupan. Akan tetapi, mengapa aku diam-diam malah melanggengkan kemarahan, dengan dendam dan kekerasan?

Jiwanya goyah. Rasa keadilan dan gagasan tentang damai mulai menyala di dalam jiwanya. Sejak itu ia mencari kedamaian. Ia ingin menebus kesalahan dan mencari kematian yang paling indah: mati di tangan Wisnu. Ia pun bertemu Prabu Rama, titisan Wisnu yang memancarkan jiwa dan nilai keadilan.

Dr Anhar Gonggong pun mengalami peristiwa tragis dalam hidupnya. Ayah dan beberapa saudaranya mati di tangan Westerling. "Setiap tanggal 11 Desember diperingati dengan emosional. Pada tanggal itu, kebencian terhadap Belanda dihidupkan kembali," ujarnya.

Kalau ditanyakan kepadanya bagaimana perasaannya kehilangan ayah dan beberapa anggota keluarganya dalam peristiwa itu, Anhar mengatakan, "kenyataannya adalah ayah saya kalah dalam menjalankan tugasnya, dan ia mati. Westerling pun melakukan hal itu karena tugasnya."

***

SETIAP orang sebenarnya tak lepas dari peristiwa tragedi dan penderitaan. Psikolog HD Bastaman mengisahkan suatu kearifan yang sejalan dengan asas Logoterapi, suatu aliran psikologi/psikiatri modern yang ditemukan Viktor Franki, seorang survivor dari empat kamp konsentrasi maut kaum Nazi, yakni Dachau, Maidek, Treblinka dan Auschwitz.

Gotami adalah seorang ibu muda yang anak tunggalnya meninggal saat berusia tiga tahun. Dalam kebingungan dan keputusasaan, Gotami membawa jenazah anaknya ke mana-mana dan mendatangi maharesi yang pandai, meminta bantuannya agar menghidupkan anaknya kembali.

Seorang maharesi yang paling bijaksana menyatakan sanggup menghidupkan kembali anak Gotami asal saja Gotami berhasil membawa segenggam bumbu dapur yang berasal dari rumah tangga yang belum pernah ada kematian salah seorang anggota keluarganya. Dengan penuh harapan Gotami berjalan berkeliling negeri mencari bumbu dapur itu, tetapi ia tidak berhasil mendapatkannya. Bukan karena bumbu dapur itu tidak ada, tetapi setiap rumah yang ia masuki ternyata pernah mengalami kematian salah seorang anggota keluaga yang mereka cintai.

Menghadapi kenyataan itu, Gotami seperti mendapat pencerahan; ia menyadari tak seorang pun terbebas dari penderitaan. Bersamaan dengan itu, ia dapat menerima sepenuhnya kematian anaknya dan menjalani kehidupan seperti adanya.

Secara umum pula, tragedi merupakan bagian sejarah Indonesia merdeka yang tidak dapat dilupakan atau dianggap tidak ada. Seperti dikemukakan Ignas, penjajahan dan kekuatan bangsa asing merupakan tragedi, tetapi dalam ingatan kolektif bangsa hal ini diperlakukan sebagai tidak begitu tragis, lebih merupakan kecelakaan dan nasib sial. Sebaliknya, peristiwa G30S dianggap sebagai suatu tragedi nasional yanag besar dengan akibat yang mendalam.

Tragedi ini menjadi pahit antara lain karena korban yang jatuh amat banyak, menurut estimasi diduga membawa korban terbesar setelah Perang Dunia II; akibatnya ditanggungkan pada para korban untuk waktu amat lama, yakni lebih dari dua dasawarsa; sebab musabab munculnya tragedi masih serba gelap, penuh kontroversi yang misterius, sementara dokumen-dokumen dan narasumber-narasumber yang dapat membantu menjelaskannya mungkin sudah ditiadakan.

Peristiwa itu, menurut Ignas juga mengandung berbagai masalah HAM yang sebagian besar belum terpecahkan sampai hari ini. Para korban yang dirugikan hak-haknya belum mendapatkan pemulihan dan keadilan secara wajar menurut hukum yang berlaku. Peristiwa itu juga menyebabkan perubahan politik dan perubahan sikap politik yang belum pernah diuji seluruh kebenarannya melalui suatu wacana publik.

***

TRAGEDI semacam itu terjadi lagi saat ini dengan munculnya konflik dan kekerasan yang berlangsung antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Ignas mengamati, kekerasan vertikal yang dilakukan oleh negara terhadap masyarakat dan kelompok masyarakat lainnya, digantikan oleh kekerasan horizontal antara kelompok masyarakat satu dengan lainnya, sebagaimana terjadi di Kupang, Sambas, Mataram, Poso, Ambon, dan Maluku. Sebaliknya, peristiwa Aceh dan Irian Jaya lebih menunjukkan pembalasan terhadap kekerasan vertikal oleh suatu keinginan untuk melepaskan diri dari negara RI.

Dari segi sosiologis, Ignas juga melihat, peralihan politik di Indonesia belum dapat diterima sebagai hal biasa dan normal, tetapi cenderung kepada munculnya tragedi. Peristiwa G30S, misalnya, adalah awal keruntuhan Presiden Soekarno dan beralihnya kekuasaan ke tangan Presiden Soeharto.

Peristiwa Trisakti, kerusuhan Mei, Semanggi I, dan II, adalah beberapa peristiwa berdarah yang menyertai peralihan kekuasaan dari tangan Presiden Soeharto kepada Presiden BJ Habibie. Peristiwa Ambon yang muncul dalam masa pemerintahan Presiden Habibie dan masih diteruskan dalam masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Demikian pula peristiwa Atambua sebagai susulan pemisahan Timor Timur dari wilayah RI.

Pengalaman ini menunjukkan perubahan politik dalam bentuk peralihan kekuasaan politik belum dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa. Sebaliknya, berakhirnya kekuasaan politik dilihat sebagai sesuatu yang tragis.

Tragedi merupakan pengalaman sosial dan pengalaman historis yang ditanggapi dengan berbagai cara berbeda. Para pemikir sejarah dari aliran post-modernis berulang kali menyatakan, bahwa sejarah bukanlah segala apa yang dikenang dan dilupakan dari masa lampau, melainkan apa yang dipilih secara selektif untuk dikenang dan dilupakan dari masa lampau.

"Tidak segala sesuatu dari masa lalu bisa diingat, dan kalaupun diingat, tidak semuanya diingat dengan intensitas yang sama," ujar Ignas. Sifat dari suatu peristiwa di masa lampau amat tergantung pada persepsi pihak yang mengalaminya.

"Apa yang dialami Tommy Soeharto saat ini barangkali dianggap oleh keluarga Soeharto sebagai tragedi besar. Tetapi, oleh para pejuang reformasi dianggap sebagai awal tegaknya hukum dan berlakunya prinsip kesetaraan di depan hukum."

***

TUNTUTAN terhadap perubahan sikap para pelaku tragedi mengalami tiga tahap. Disharmoni, rasa sesal dan kemudian tobat atau conversion. Tahap ketiga ini merupakan keputusan yang dibuat oleh orang yang bersangkutan untuk tidak mau mengulang kembali kejahatan sama di masa datang. Ini merupakan fase terpenting dalam pengalaman seseorang terhadap kejahataan karena tobat yang benar akan menghasilkan perubahan sikap di masa datang.

"Sepintas dapat dikatakan, politik Indonesia selalu penuh penyesalan, tetapi sulit sekali melihat seseorang menunjukkan tobat yang sebenarnya. Reformasi baru berhasil kalau disertai tobat yang sebenarya, dan bukannya hanya menyesali semua kesalahan Orde Baru." Rekonsiliasi menuntut penyesalan dan tobat dari pelaku tragedi. "Sesal tanpa tobat adalah hipokrisi belaka, sedang tobat tanpa sesal akan sulit sekali dilakukan. Perubahan sikap hanya tejadi kalau ada kesadaran penuh tentang celakanya kejahatan yang sudah dilakukan," sambungnya.

Sedangkan dari pihak yang mengalami tragedi ada sedikitnya tiga pilihan.

Pertama, menurut Ignas, adalah tidak melupakan dan tidak mengampuni, seperti dilakukan Pemerintah Orde Baru terhadap mereka yang dianggap terlibat dan bersangkut paut dengan PKI.

Kedua, melupakan sekaligus mengampuni, seperti diusulkan Abdurrahman Wahid. Usul ini, menurut Ignas, sebaiknya tak usah diikuti karena seseorang hanya dapat mengampuni kejahatan yang diketahuinya. Tidak diungkapkannya kejahatan masa lampau akan mengakibatkan pembenaran tidak langsung terhadap kejahatan itu dan mereka yang dirugikan akan menderita akibat kejahatan tersebut karena hak-haknya diabaikan.

Ketiga, mengampuni tetapi tidak sekali-kali melupakannya. Dengan demikian, orang akan belajar dari masa lampau untuk tidak mengulang kembali kejahatan itu.

"Yang diperlukan untuk reformasi dan rekonsiliasi bukanlah sesal yang berlarut-larut mengenai masa lampau yang gelap," ujar Ignas, Tetapi rencana dan tekad untuk membangun masa depan yang lebih baik." (nmp/mh)

No comments: