Sunday, March 29, 2009

Negara dan Agama

Selasa, 20 Juli 1999

Masalah Negara dan Agama, Bagian Pengembangan Masyarakat Madani

Jakarta, Kompas

Membicarakan dan mengembangkan masyarakat madani atau masyarakat warga (civil society) tidak lepas kaitannya dengan persoalan sekularisasi, sekularisme, agama, dan pemahaman yang benar tentang negara.

Demikian kesimpulan yang ditarik oleh moderator Dr Daniel Dhakidae dalam diskusi panel dengan pembicara Dr Mochtar Pabottingi, Dr Komaruddin Hidayat, dan Dr Ignas Kleden di Hotel Santika, Jakarta, Senin (19/7). Diskusi dengan topik "Format Masyarakat Warga (Civil Society), Kontroversi Religius dan Sekuler" ini merupakan pengantar dua hari lokakarya "Sumbangan Masyarakat Katolik untuk SU MPR 1999" yang diselenggarakan Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik se-Indonesia bekerja sama dengan Forum Masyarakat Katolik Indonesia.

Selama ini sudah terjadi salah pengertian tentang sekularisasi dan sekularisme, kata Komaruddin Hidayat. Kedua istilah itu sudah berkonotasi negatif. Keduanya dipertentangkan dengan agama, padahal di Turki dulu yang dikembangkan bukan anti-Islam melainkan anti-sultan.

Sementara menurut Mochtar Pabottingi, sekularisasi berkembang semasa Orde Baru karena politisasi agama. "Agama dijadikan sarana melakukan kezaliman. Agama dijalankan untuk mempertahankan status quo," kata peneliti politik LIPI tersebut.

Dipikir ulang

Mengenai kedudukan agama, Komaruddin Hidayat berpendapat, peranan variabel agama harus dipikir ulang. Agama tidak lagi sebagai problem solver, sebaliknya agama menjadi part of the problem. Karena itu dosen Universitas ParamadinaMulya ini membayangkan adanya satu lembaga yang berwibawa untuk memberikan berbagai klarifikasi tentang hubungan agama-agama di Indonesia.

Para pemeluk agama di Indonesia, kata Komaruddin, saat ini terkeping-keping. Mereka bingung antara mempertahankan loyalitas pada negara, loyalitas pada agama, loyalitas pada masyarakat. Keadaan ini terjadi di Irian Jaya, Aceh, maupun Timor Timur.

"Dan kalau tak segera diatasi, akan memperparah konflik antar-agama sendiri," tegasnya. Ia pun merasa sulit mencerna adanya partai-partai yang berlogo agama, sebab itu berarti mereka memaksakan kebenaran atas dasar agama.

Ketiga pembicara berpendapat sama, bahwa negara harus netral terhadap agama. Mereka sependapat, bahwa ketika pemerintah lewat instansinya, katakan Departemen Agama, dimanfaatkan untuk kepentingan politiknya dan demi kelompok agama tertentu, maka kehadirannya harus dipersoalkan. Sebaliknya, kalau departemen itu memberi fasilitas bagi semua agama, kehadirannya sesuai dengan tugas pokok sebagai penyelenggara kepentingan publik yang subsidier.

Bukan sebuah teori

Disimpulkan juga, bahwa masyarakat madani bukanlah sebuah teori, tetapi satu kerangka kerja, sehingga dalam masyarakat tumbuh kemampuan mengorganisasi diri memperjuangkan hak-hak mereka. Masyarakat madani dari sisi lain berarti juga penerjemahan nilai-nilai agama, dari persoalan ruang privat menjadi ruang publik, dan itu berarti menuntut satu kesadaran etik politik.

"Diperlukan satu solidaritas yang mungkin terwujud sejauh ada pengertian bersama. Kalau tidak, agama-agama hanya berjalan bersama-sama seperti sekarang, dan belum sebagai kerja sama," tandas Ignas Kleden.

Menurut sosiolog itu, dalam pengembangan masyarakat madani, mestilah dibedakan dengan tegas paham tentang ruang privat, ruang publik, dan ruang negara. Selama ini ketiganya dicampur-aduk. Pernyataan Kleden diberi contoh bagus oleh moderator, bahwa solidaritas membangun masyarakat sipil tak akan terjadi dalam sebuah masyarakat yang didominasi militer.

Hadir sekitar 75 peserta, di antaranya Frans Seda, Harry Tjan Silalahi, Dr Mely G Tan, sejumlah rektor dan utusan-utusan perguruan tinggi Katolik di Jawa. (sts)


No comments: