Sunday, March 29, 2009

Globalisme Baru, Rekonstruksi, dan Dekonstruksi

Kritik Budaya di Masa Krisis
Globalisme Baru, Rekonstruksi, dan Dekonstruksi

REALITAS Indonesia hari ini adalah sebuah peta yang selama bertahun-tahun masyarakat tak pernah diajak membukanya. Ketika peta itu dipahami sebagai peta dari suatu kebudayaan, dengan seluruh fenomenanya yang mencemaskan hingga hari ini, maka pembacaan terhadapnya sungguh tidak akan begitu saja sanggup menjawab berbagai permasalahan. Di tengah itu semua, realitas Indonesia pun tak bisa disendirikan dari realitas yang lain yang akhirnya membuat semacam tumpukkan kebingungan dalam melakukan pembacaan terhadap diri sendiri. Peta itu adalah globalisme baru yang telah mengubah struktur lokal-nasional-global menjadi lokal-global. Di tengah tarik-menarik lokal-global serupa inilah, globalisme baru itu bisa dikatakan abortif ditating menjadi suatu ruang dialektika dalam membaca dan menanggapi berbagai realitas permasalahan yang muncul. Yang kemudian hadir, misalnya, justru adalah permasalahan berikutnya yang mengaburkan ruang pembacaan itu sendiri, yakni bahasa---kata dan istilah-istilah--- yang merepresentasikan kebingungan dalam memahami realitas yang terjadi. Seluruh peristilahan yang muncul akhirnya bisa diidentifikasi sebagai suatu fakta dari bagaimana masyarakat mengalami kebingungan dalam membaca peta permasalahan dan kebudayaan yang berlangsung di sekelilingnya. Di lain sisi, tarikkan dari seluruh kenyataan ini mengembang pada bagaimana budaya politik itu, dengan idealisasinya pada proses demokratisasi, memaktubkan realitas yang sesungguhnya tak lebih dari sekadar sebuah manipulasi. Oleh karena itu, soalnya kini, dalam kehendak melakukan kritik budaya terhadap sebuah realitas Indonesia adalah melakukan rekonstruksi di tengah dekonstruksi yang tak selesai. Salah satu rekonstruksi itu menyaran pada bagaimana nasionalisme itu dilepaskan dari citraan yang selama ini telah didekonstruksi oleh militer. Nasionalisme itu harus dikembalikan pada kesadaran tentang gagasan dan kesadaran demokrasi. Nasionalisme, ringkasnya, harus dilepaskan dari dekonstruksi militerisme. Karena itulah dalam konteks kritik budaya hari ini, sesungguhnya terdapat tugas berat antara merekonstruksi dan dekonstruksi dari berbagai permasalahan dan kenyataan yang tak selesai.

Sementara itu, budaya politik yang semata-mata melakukan pemujaan terhadap kekuasaan, seperti yang terus terjadi secara telanjang dalam budaya politik Indonesia telah menciptakan partai-partai politik manipulatif yang semata-mata mendudukkan masyarakat sebagai objek, bisa disebut sebagai suatu fakta dari wajah lain bagaimana dekonstruksi itu terjadi. Pendekatan parpol yang serba abstrak terhadap masyarakat telah menjadi sejumlah penjelasan bagaimana terdapat jurang yang besar antara kepentingan parpol dan persoalan-persoalan nyata masyarakat itu sendiri. Keadaan ini sekaligus menerangkan bagaimana masyarakat, sekali lagi, tak pernah diajak masuk ke wilayah pembacaan peta permasalahan dalam konstruksi dan konfigurasi kebudayaan. Parpol akhirnya bisa disebut hanya hidup dengan sejenis kecerdasan di bawah kecerdasan para perancang pop culture seperti McDonald, di mana masyarakat dihampiri lewat citraan-citraan yang konkret yang langsung mempengaruhi pemahamannya tentang ruang-ruang realitas.

Kritik kebudayaan semacam ini, ketika peta-peta kenyataan lebih didominasi oleh pola-pola kuasa, juga mengemuka dari budaya pembangunan yang terjadi. Budaya pembangunan semacam ini seakan-akan adalah represenstasi dari kekuasaan yang menegasikan proses perenungan dan pertumbuhan yang diajarkan oleh pepohonan. Pembangunan, sebagai personifikasi dari sosok kekuasaan, telah membuat seluruh kenyataan berlangsung seolah-olah dalam situasi yang serba darurat. Akhirnya, budaya pembangunan semacam ini juga tengah menjelaskan di mana sesungguhnya kemanusiaan itu diletakkan, ketika kekuasaan dan kekerasan hadir serta dirayakan sebagai sebuah institusi.

Demikian seluruhnya itu dikemukaan oleh Garin Nugroho, Harry Roesli, dan Tisna Sanjaya ketika ketiganya tampil sebagai panelis dalam diskusi Pekan Budaya Rumah Nusantara, (14/10) yang baru lalu di Rumah Nusantara Bandung. Ketiganya tampil lebih dulu seraya menunggu kedatangan budayawan dan Mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid yang juga hari itu hadir sebagai panelis. Diskusi yang dipandu oleh Aat Suratin yang berangkat dengan tema

Kritik Budaya di Masa Krisis ini. Di hadapan peserta diskusi yang memenuhi selasar Rumah Nusantara yang datang dari berbagai kalangan, diskusi ini hendak menawarkan suatu perbincangan kritis tentang pembacaan atas realitas Indonesia hari ini, dengan berkonsentrasi pada bagaimana sesungguhnya fenomena kebudayaan itu hendaknya ditafsirkan dengan kritis. Dari yang mulai menghampirinya dari wacana globalisme baru, seperti ditating oleh Garin Nugroho---yang lalu diperlebarnya hingga ke persoalan lokal-global dan keniscayaan melakukan rekonstruksi di tengah dekonstruksi yang tengah berlangsung---atau Harry Roesly yang memfokuskan amatan kritisnya pada relasi antara budaya politik parpol dan masyarakat dengan meminjam perbandingan sinismenya pada strategi kebudayaan McDonald; hingga Tisna Sanjaya yang "berorasi" membacakan makalahnya perihal politik pembangunan yang semata-mata hidup dengan identifikasi budaya kekuasaan dan kekerasan. Diskusi yang berlangsung beberapa hari setelah ledakkan bom di Bali itu, mau tak mau menggiring perbincangan ke arah persoalan-persoalan budaya kekerasan, dan bagaimana membaca keseluruhannya itu.

**

INDONESIA di tengah realitas yang transisional seperti sekarang, haruslah dilainkan dari apa yang selalu dinyatakan oleh sejarah ketika sebuah negara mengalaminya, baik yang bernama reformasi atau revolusi. Pelainan ini mendasar pada kenyataan bahwa pada tabiatnya, setelah mengalami reformasi atau revolusi, dalam lima tahun suatu negara telah memiliki tanda atau gejala-gejala ke arah kebangkitan. Untuk itulah, misalnya, Garin Nugroho menyebut bagaimana Revolusi Prancis dalam lima tahun telah menunjukkan gejala ke arah perubahan yang lebih baik. Baik perubahan yang teridentifikasi dari sistem ilmu pengetahuan, dengan munculnya teori Malthus. Demikian pula dalam perkembangan keseniannya. Revolusi yang menjatuhkan sistem monarkhi di Prancis, memang telah menjadi penanda sejarah penting bagi kebangkitan kesadaran kebudayaan negara itu.

"Sekarang mari berkaca pada Indonesia pasca Mei 1998, apakah ada tanda-tanda untuk kita menjawab permasalahan kita dalam bidang perburuhan, kepemimpinan, dan permasalahan lainnya?" katanya. Ia lalu menenggarai betapa persoalan besar yang tengah dihadapi bangsa ini sekarang adalah ketidakmampuan membaca globalisme baru yang tengah terjadi. Globalisme ini dalam batasan tertentu tidak lagi mempersoalkan nasional-global, namun menghadapkan dialektika antara kesadaran lokal dan global. Ketidakmampuan membaca tarik-menarik ini menyebabkan apa yang global memasuki wilayah lokal dan melahirkan kebingungan-kebingungan. Termasuk kebingungan dalam menggagas tafsir terhadap komunikasi, bahasa dan istilah-istilah. Dalam masa yang serba transisi kebingungan itu bisa disebut kian menjadi-jadi. "Istilah atau kata adalah perbuatan yang mengambil gerak badan dan mengandung senjata. Ia selalu membawa pada organisasi, cara berpikir dan cara menanggapinya. Ia membawa kita pada sejenis kebudayaan. Seluruh istilah pasca Mei 1998 adalah istilah-istilah yang bermasalah untuk dihidupkan di masyarakat," tuturnya, seraya mengambil contoh fakta pada istilah "Islam Liberal" dan "Islam Radikal". Kedua istilah ini, kata dia, sesungguhnya tak pernah dikenal, yang sekaligus juga telah menegasikan pluralitas seperti Muhammadiyah, NU atau Persis. Muncul kedua istilah seperti ini berkesan terbaginya bangsa ke dalam dikotomi seperti itu.

Dalam pandangannya kemudian ia melihat bahwa persoalan kritik kebudayaan Indonesia hari ini adalah bagaimana memahami ruang yang terletak di antara rekonstruksi dan dekonstruksi. Dalam konteks nasionalisme, rekonstruksi dimaksud haruslah melepaskan pengertian nasionalisme itu dari apa yang telah didekonstruksi oleh militerisme, dengan mendudukkannya pada proses demokratisasi.

Dengan sinisme yang berkesan berolok-olok, musikus Harry Roesly berangkat dengan tawaran kritik budaya yang melihat perangai dan strategi parpol, dan posisi masyarakat di seberangnya. Apabila meminjam pandangan Garin, tentang manipulasi demokratisasi sebagai suatu dekonstruksi yang terus berlangsung, sinisme Harry Roesly menemukan korelasinya. Demikian pula dengan apa yang dipresentasikan oleh Tisna Sanjaya, ketika dekonstruksi itu terjadi lewat strategi budaya pembagunan yang serba massif dan hegemonik.

Apa yang dikemukakan oleh ketiga panelis segera mendapat tanggapan dari forum diskusi. Di antaranya mencoba dengan kritis mempertanyakan sisi lain dari argumentasi yang disampaikan panelis, seperti mengemuka dari Heru Hikayat yang mencoba melakukan antitesis terhadap apa yang diuraikan Harry Roesly, atau juga provokasi pesimisme Arahmaiani yang menolak pandangan Garin Nugroho tentang harapan akan lahirnya budaya kepemimpinan yang baru pada masa datang. Demikian pula Khalid yang mencoba menawarkan pemikiran lebih realistis dan holistik dalam melihat budaya kekerasan, tanpa terperangkap menjadi romatisme para seniman. Meski lalu lintas perbedaan pandangan relatif tidak mengemuka sebagai suatu benturan yang ketat, bukan berarti perbincangan tidak menyimpan perbedaan-perbedaan yang menarik sebagai sebuah diskusi. Lebih lagi dengan beban tema yang penting seperti itu. (Ahda Imran)***

No comments: