Sunday, March 29, 2009

Globalisasi Dan Peradaban Islam

Globalisasi Dan Peradaban Islam:

Merancang Masa Depan*)

There is no secret in the World. Ungkapan tadi mungkin ada benarnya untuk menggambarkan kehidupan kita sekarang. Dunia sudah tidak mengenal lagi sekat-sekat jarak dan waktu. Apa yang terjadi di belahan timur, saat itu pula bisa disaksikan oleh penduduk dunia belahan barat. Orang bilang, dunia kini telah menjadi “desa buana”. Semua peristiwa—apalagi yang menyangkut kepentingan umum—sudah menjadi “menu harian” bagi setiap penduduk bumi. Tidak ada yang tersimpan, semua serba transparan dan terbuka.

Fenomena di atas adalah indikasi dari keberhasilan-keberhasilan manusia dalam bidang sains dan tehnologi, terutama bidang infomatika. Maka, disepakatilah bahwa informasi adalah kebutuhan dlarary setiap insan, sehingga era sekarang dikenal dengan era informasi. Sigmund freud mengatakan, mereka yang akan menguasai dunia dan akan menjadi pemimpin di masa mendatang adalah mereka yang mengusai informasi. Contoh kecil kemajuan ini adalah adanya telepon, TV, telegram, radio, hingga internet.

Ke-serbaterbuka-an inilah yang kemudian melahirkan tren peradaban baru yang kemudian kita kenal dengan istilah “Globalisasi” (‘Aulamah).

Menurut Dr. Jalal Amin, sebetulnya gejala dari globalisasi sudah lama muncul. Hanya istilah globalisasi saja yang baru muncul ke permukaan. Ia mengatakan: “Jika kita memahami globalisasi sebagai gerak cepat terkikisnya jarak antar masyarakat—baik di bidang ekonomi, transportasi, informasi, pemikiran atau budaya—maka itu bisa kita lihat di era kebangkitan peradaban manusia dahulu.”[1]

Adapun kalimat “globalisasi” diambil dari terjemahan bahsa Inggris “globalization”, yang muncul pertama kali di Amerika, dan mempunyai arti: menyebarluaskan dan memperluas jangkauan sesuatu agar menyentuh semua lapisan. Dari makna tersebut, bisa kita pahami lebih dalam lagi, bahwa globalisasi tidak hanya sekedar digunakan di bidang ekonomi atau gerakan kapitalisme saja, tapi juga merupakan “ajakan” untuk mengadopsi paradigma tertentu. Hal inilah yang kemudian banyak disorot oleh para pengamat, bahwa globalisasi tidak jauh beda dengan “Amerikanisasi”.[2]

Dengan tegas Dr. Yusuf Qardlawy mengatakan, globalisasi sama artinya dengan “westernisasi”, atau dengan kata lain “Amerikanisasi”. Globalisasi hanyalah termenologi baru yang menyimpan “semangat” kolonialisme. Ia adalah usaha memperkuat hegemoni Amerika (dan barat) terhadap dunia. Negara-negara yang dianggap “nakal” harus diberi pelajaran, sangsi, atau “teguran langsung”. Hal tersebut bisa kita lihat dari peristiwa Irak, Sudan, Iran, Libya dan Aljazair. Globalisasi, masih menurut Qardlawy, juga berarti usaha untuk menguasai roda perekonomian dunia lewat lembaga-lembaga dunia seperti IMF dan Bank Dunia.[3]

Mendefinisikan globalisasi secara tepat bukanlah hal yang mudah, karena berkaitan dengan kompleksnya sisi-sisi yang berhubungan dengan globalisasi, dan beragamnya interpretasi tentang glabalisasi.[4] Namun, ada satu kesepakatan—setidaknya untuk sebagian besar dari kita—bahwa globalisasi dimaksudkan untuk merobohkan dinding pemisah ruang dan waktu, budaya, politik, ekonomi, dan berusaha dengan berbagai cara untuk menerapkan (kalau tidak memaksakan) nilai-nilai atau peradaban tertentu (baca:barat) pada masyarakat dunia.[5]

Menyadari “penyimpangan” dari makna hakiki globalisasi di atas, kita dituntut untuk bisa memilah dan memilih mana yang baik dan yang buruk, agar tidak terjebak dalam “jaring-jaring” hegemoni barat.

Sikap Muslim Terhadap Globalisasi

Kita menyadari bersama, globalisasi adalah tren baru sekaligus produk sejarah yang telah terjadi dan kita alami. Kita tidak punya kekuatan untk menolak atau lari dari kenyatan sejarah ini. Yang harus kita lakukan adalah bergerak dinamis bersama arus ini, dan menjaga diri agar tidak kehilangan kendali dan jati diri, lalu terbawa arus.[6]

Bagi Dr. Hamdi Zaqzuq, globalisasi bisa kita sikapi--secara eksplisit--sebagai “anjuran” untuk mentradisikan budaya kritis pada masing-masing individu muslim, selalu introspeksi diri dan—dalam istilah dia—“memperbaiki rumah dari dalam”.[7] Hal ini selaras dengan pandangan Malik Ben Nabi dalam melihat problematika umat Islam; lebih berkonsentrasi ke dalam. Ia menyebutkan beberapa penyebab kekalahan kaum muslimin, sepertri keterbelakangan pemikiran sehingga tidak mampu memahami esensi peradaban sendiri, malas berfikir, kurang berpegang teguh pada agama sebagai sumber inspirasi peradaban.[8]

Ada tiga sikap umum di kalangan umat Islam mengahdapi globalisasi (dan penetrasi peradaban di dalamnya). Pertama, mengikutinya secara mutlak. Mereka meyakini bahwa apa yang ada di balik globalisasi dan berbau westernisasi adalah standar, ideal, dan perlu ditiru. Golongan inilah yang disinggung Rasul dalam sebuah haditsnya “Mereka mengikuti tingkah laku orang sebelum mereka (tanpa berpikir), setapak demi setapak, hingga walau orang-orang itu masuk ke lubang buaya, merek akan ikut (masuk) pula.”

Kedua, mereka yang menolak 100%. Golongan inilah yang disebut Qardlawy sebagai “penakut”. Mereka takut untuk berhadapan langsung dengan orang (baca:peradaban) lain. Menutup pintu rapat-rapat terhadap hembusan angin globalisasi, karena takut terkena debu dan polusi peradaban, padahal mereka membutuhkan udara.[9]

Ketiga, golongan moderat (wasathiyah). Kelompok ini mencerminkan sikap ideal seorang muslim. Mereka sadar bahwa menutup diri dan mengisolasi diri dari dunia luar tidak banyak gunanya. Mereka sadar, sikap eksklusif bertentangan dengan ajaran-ajaran universal Islam. Risalah Muhammad tidak menolak peradaban tertentu hanya karena ia adalah produk luar. Tapi, menyikapinya dengan kritis dan sikap netral, mengambil yang baik untuk kemudian dipraktekkan dalam realita sejarah. Rasul bersabda: “Hikmah adalah milik orang mukmin yang hilang, ambillah di mana ia berada.”[10]

Islam adalah agama humanisme, yang diturunkan untuk kemaslahatan manusia secara umum. Al Qur’an mengatakan: “Dan tidak kami utus kamu, kecuali sebagai rahmat untuk sekalian manusia”. Dan Rasulullah bersabda: “Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang paling banyak memberikan manfaat bagi manusia”. Spirit untuk selalu berbuat yang terbaik dan bermanfaat ini bisa kita lihat juga dalam ayat “Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”[11]

Sisi Globalisasi Dan Tinjauan Islam terhadapnya

Secara global Islam memandang globalisasi sebagai sunnatullah yang tidak bisa kita tolak. Globalisasi adalah produk sejarah masa kini yang selalu bergerak dinamisdan menyentuh segala aspek kehidupan. Globalisasi adalah fenomena. Dan tidak akan berubah (lebih baik), jika umat Islam tidak punya niat (internal power) untu merubahnya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”[12]

Globalisasi mempunyai dua unsur penting dalam gerakannya; unsur inti (jauhariyah) dan unsur pendamping (mushahabah). Dalam tatanan reaalita unsur pendamping ini justeru terlihat lebih menonjol dan mengepung manusia dari berbagai arah. Sebagai contoh menjamurnya makanan dan minuman siap saji, warung-warung waralaba ( Mc Donals, KFC, Coca-Cola dan lain-lain ), tren mode pakaian ( jeans, kaos funki,...), film-film Holywood, pesta ala barat, dan sebagainya.[13]

Berbicara mengenai pandangan Islam terhadap globalisasi, kita tentu tidak bisa membahasnya disini secara detail dan menyeluruh, mengingat kompleksnya unsur-unsur di atas. kita hanya akan menitikberatkan pada tiga unsur inti yang menjadi mainstream gerakan globaisasi; ekonomi, politik dan budaya.

Ekonomi. Gerak globalisasi dalam bidang ini bisa kita rasakan secara jelas, seperti pasar bebas, kerjasama ekonomi antar negara dan "organisasi pasar" lainnya. jika umat islam menyikapi gejala ini secara positif, maka satu pelajaran yang dapat dipetik adalah; kesatuan dan persatuan umat (negara) Islam adalah sebuah keniscayaan. Negara-negara Islam harus bersatu untuk membangun kekuatan ekonomi baru, meningkatkan produktifitas, memperbaiki kualitas agar bisa bersaing dan mengarungi belantara globalisasi dengan dada membusung.

Persoalan selanjutnya adalah; bagaimana cara terbaik untuk menghadapi tren ini dan saling bekerja sama dengan baik dan safety ?. Tidak selayaknya kita membanggakan kekayaan alam yang dimiliki oleh negara Islam. Yang diperlukan adalah kemauan, semangat baja dan spirit yang membara untuk mewujudkan kebangkitan ekonomi negara-negara Islam.

Politik. Ada tiga permasalahan yang akan kita bahas; demokrasi, HAM, dan "pluralisme politik" (ta'addudiyah siyasiyah).

Sejak empat belas abad yang lalu, Islam telah membahas tiga hal diatas, jauh sebelum globalisasi menyentuhnya. Ketika Islam berbicara tentang syuraa, sebetulnya ia sedang membangun pondasi dan landasan kokoh menuju kemerdekaan berpikir dan kebebasan berpendapat yang menjadi inti ajaran demokrasi. Hanya saja, kaum muslimin saat itu menutup "gerak" syuraa dalam mencari bentuk idealnya sesuai dengan kondisi dan tuntutan zaman.

HAM sudah menjadi perbincangan hangat dalam wacana pemikiran Islam sejak dulu. Ini tercermin dalam ajaran Islam yang menghormati hak semua unsur manusia tanpa membedakan ras, suku dan agama.[14] Meletakkan keadilan sebagai tujuan akhir dalam kasus-kasus kemanusiaan. Allah berfirman: "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."[15]

Pluralisme politik. Islam memberikan ruang ijtihad bagi kita dalam masalah keagamaan, juga dalam hal keduniawian. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda: "kamu lebih tahu tentang urusan-urusan duniamu."

Ijtihad berarti adanya keragaman pendapat dan ide. Islam memberikan iming-iming "dua pahala" bagi mereka yang benar berijtihad, dan "satu pahala" bagi mereka yang salah dalam berijtihad. Hal itu di maksudkan sebagai tasyji' agar kita selalu berijtihad, berinovasi dan improvisasi.

Berangkat dari kenyataan ini, berbeda politik bukanlah hal terlarang dalam Islam. Ia adalah sarana untuk mencapai sesuatu yang lebih baik dan optimal dalam mewujudkan kemaslahatan bersama. namun perlu di garisbawahi bahwa hal tersebut harus berada dalam koridor-koridor keislaman.[16]

Budaya. Jika tujuan akhir globalisasi adalah menciptakan satu budaya sentral yang dianut oleh seluruh penduduk bumi, maka yang diperlukan adalah kesadaran yang tinggi pada masing-masing individu muslim, dan sikap antisipatif terhadap bahaya multi dimensial (melalui penitrasi budaya) yang mengancam; sosial, medis, pidana, lingkungan dan sebagainya. Hal tesebut akan berujung pula pada "pemaksaan" budaya, dimana budaya mayoritas akan menjajah budaya menoritas.[17]

Islam adalah agama inklusif. Menjaga identitas peradaban Islam bukan berarti menutup diri untuk berinteraksi dengan peradaban lain. Peradaban Islam adalah peradaban yang dinamis dan aktif, yang tidak menginginkan adanya status quo. Kita dituntut untuk memilih jalan terbaik dan sesuai dengan identitas keislaman kita.

Masa Depan Islam: Optimistis atau pesimistis?

Merancang masa depan umat (peradaban) Islam adalah tugas setiap individu muslim. Berpikir untuk selalu memperbaiki diri, mengaktualisasikan diri dengan perubahan zaman. Allah berfirman: “Dan hendaknya setiap individu memikirkan apa yang akan ia berikan untuk hari esok”.[18] Namun perlu diingat, bahwa hal tersebutbukanlah persoalan gampang. Kita harus belajar dari sejarah, karena kehidupan manusia pada hakikatnya adalah sejarah yang diulang-ulang.

Ada dua cara pandang global tentang masa depan islam. Pertama, sikap pesimistis. Hal ini dilandasi oleh realita yang ada dalam tubuh umat Islam sekarang. Kita ketahui bersama, saat ini umat Islam berada dalam posisi paling bawah dan marginal.[19] Permasalahan umat Islam masih kocar-kacir; dekadensi moral, kesenjangan sosial, keterbelakangan, kebebasan publik, dan HAM yang memprihatinkan. Masalah-masalah ini setidaknya memerlukan waktu lama untuk memperbaikinya. Padahal orang non-Islam (barat) sudah melangkah sejuta tapak ke depan.

Kedua, sikap optimis. Islam selalu menekankan arti penting dari optimisme. Orang yang pesimis dalam ajaran Islam dikategorikan dalam kelompok orang-orang kafir.[20] Optimisme ini lahir dari pengamatan sejarah, bahwa kemajuan peradaban akan terus berputar bergantian di antara umat manusia. Allah berfirman: “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim,”.[21] Tidak ada alasan bagi kita untuk “malu” menatap masa depan. Mereka yang sedang memegang peradaban dunia sekarang tidak jauh beda dengan kita dari sudut pandang sama-sama manusia. Mereka makan, kita makan, mereka minum, kita juga minum.

Pertanyaan berikutnya: Apa yang harus dilakukan umat Islam? Banyak langkah yang seyogyanya ditempuh untuk meraih kembali kejayan masa lalu. Antara lain: (1) Mengembalikan kesadaran umat Islam yang selama ini “tertidur”. Ajaran universal Islam harus disampaikan. Umat Islam adalah kaum yang Ukhrijat li al-Naas, untuk kebaikan, kemaslahatan dan pencerahan manusia.[22] (2) Bersikap inklusif terhadap budaya luar. Sikap mengisolasi diri berarti bertentangan dengan dasar agama. Allah berfirman: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”[23] (3) Berpegang teguh pada ajaran agama sebagai sumber inspirasi peradaban, serta merealisasikannya dalam hidup keseharian.

Jika beberapa poin di atas terwujud, insyaallah masa depan peradaban Islam akan mengulang masa keemasannya, walaupun kita tidak tahu kapan hal itu akan terjadi. Waallahu a’lam.

Katameyaa, 09 Agustus 2001



*) Disampaikan pada kajian eksklusif “BHINDARA” Forum Studi Keluarga Madura (FOSGAMA) di Madinat el Katameya, 11 Agustus 2001.

[1] Lihat pengantar Dr. Jalal Amin dalam bukunya “Al-‘Aulamah wa al-Tanmiyah al-‘Arabiyah min Napoleon ila Jaulah Uruguway”, Markaz Dirasat al-Wahdah al-Arabiyah.

[2] Mohamad Abid al-Jabiry, “Qadlayaa al-Fikri al-Mu’ashir”, markaz dirasat al-Wahdah al-Arabiyah, hal:136-137.

[3] Dr. Yusuf Qardlawy, “Ummatuna Baina Qarnain”, Dar el-Syuruq 2000, Cairo, cet.I hal:232.

[4] Dr. Ahmad Fuad Basya, “Al-Islam wa al-‘Aulamah: Mafaahim wa Qadlaya”, Dar el-Jumhuriyah 2000, hal:134.

[5] Dr. Hamdi Zaqzuq, “Al-Islam fi al-‘Ashr al-‘Aulamah”, Maktabah el-Syuruq 2001, cet.I hal:12

[6] Qardlawy, op.cit. hal:238.

[7] Hamdi Zaqzuq, op.cit. hal:13.

[8] Makih Ben Nabi, “Syuruth al-Nahdlah”, Dar el-Fikr, Beirut, cet.IV hal:71.

[9] Qardlawy. Op.cit. hal:237. Bandingkan dengan Hamdi Zaqzuq, op.cit. hal:11.

[10] Hamdi Zaqzuq, op.cit. hal:17.

[11] QS. Al-Taubah:105.

[12] QS. Al-Ra’du:11.

[13] Hamdi Zaqzuq, op.cit. hal:13.

[14] Lihat QS. Al-Isra’:70.

[15] QS. Al-Mumtahanah:08.

[16] Hamdi Zaqzua, op.cit. hal:15-16.

[17] Menurut Samuel P. Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization, benturan peradaban akan terjadi di masa mendatang, untuk kemudian mengukuhkan siapa yang berhak “hidup” dan menguasai peradaban dunia. Ada tujuh (delapan?) peradaban yang ia munculkan; barat, konfusius, Jepang, Islam, India, Ortodok klasik, Amerika Latin, dan Afrika. Lihat Qardlawy Ummatuna Baina Qarnain hal:252.

Teori Huntington ini banyak mendapat kritik dan serangan dari pemikir-pemikir barat. Di antaranya James Kuart, yang mengatakan bahwa benturan peradaban yang sebenarnya akan terjadi di dalam tubuh peradaban barat. “Sesungguhnya benturan peradaban yang sebenarnya tidak akan terjadi antara barat dan non-barat. Tapi akan terjadi antar entitas dalam peradaban barat itu sendiri.....Ini tercermin dalam dua kekuatan besar yang menguasai politik Amerika; kaum liberal dan kaum tradisional kristen. Keduanya tidak lagi percaya pada “keampuhan” peradaban barat.” Zaki Al- Milad, Mihnah al-Mutsaqqaf al-Dieny ma’a al-‘Ashr, Dar el-Jadied cet.I 2000, hal:85-86.

[18] Qs. Al-Hasyr:18.

[19] Cak Nur mengatakan, umat Islam sekarang berada pada urutan kedua dari bawah, setelah (sebagian) negara-negara Afrika.

[20] Lihat QS. Yusuf:87, al-‘Ankabut:23, al-Zumar:54.

[21] QS. Ali Imran:140.

[22] Qardlawy, op.cit. hal:240.

[23] QS. Al-Hujurat:13.


No comments: