Sunday, March 29, 2009

Kebangkrutan Moral
- Atau Ketakutan Politik?

Oleh Ignas Kleden

SERUAN para tokoh agama dalam pertemuan di Jakarta (16/01/2002) tentang dekadensi dan kebangkrutan moral di Indonesia, rupanya menimbulkan shock besar bagi berbagai kalangan masyarakat Ibu Kota dan mungkin tempat-tempat lain, seakan-akan di sana diungkapkan suatu kenyataan baru. Padahal, kita semua tahu proses menuju kebangkrutan moral itu berjalan sejak lama dengan akselerasi yang makin meningkat dari hari ke hari, tanpa ada keputusan politik yang nyata untuk mengakhirinya. Seruan itu merupakan suatu statement of fact dan dapat berfungsi sebagai peringatan keras. Akan tetapi, hal itu tidak cukup bila tidak disertai analisa mengenai keadaan sosial-politik, dan keputusan politik yang tegas untuk memperbaiki keadaan.

Sebagai ancang-ancang mungkin baik untuk dikatakan sambil lalu, moralitas bukanlah sesuatu yang harus dipahami hanya secara normatif (sebagai urusan para ahli teologi dan filosof moral), tetapi juga, dan khususnya untuk Indonesia saat ini, terutama sebagai sesuatu yang fungsional (sebagai urusan para sosiolog dan ahli ilmu politik). Secara normatif, moralitas diwajibkan (karena tanpa moralitas seseorang sulit bertumbuh menjadi seorang individu manusia yang dapat menyempurnakan diri terus-menerus). Dari sisi ini, moralitas adalah prinsip yang harus dijalankan tanpa tawar-menawar agar seseorang dapat menjadi manusia, dan bukan kadal berkaki dua. Sebaliknya, secara fungsional, moralitas amat dibutuhkan, karena tanpa beberapa pedoman mengenai baik dan buruk, kehidupan bersama tak dapat diatur. Dari sisi ini, moralitas adalah suatu fungsi yang amat penting. Tanpa ada peraturan mengenai penghormatan kepada hak hidup dan hak milik orang lain, kehidupan dalam sebuah desa yang terpencil atau pekerjaan dalam sebuah kantor kecil menjadi centang-perenang dan tak dapat diatur.

***

DALAM sifatnya yang normatif, moralitas dianggap melekat pada diri setiap orang sebagai bakat dan watak etisnya (kita tak dapat menuntut pertanggungjawaban moral dari seekor monyet atau seekor kambing). Seterusnya, sebagai sesuatu yang fungsional moralitas adalah konsensus sosial mengenai nilai-nilai yang disepakati. Kawanan kambing tidak diatur oleh etos yang bersifat sosial, tetapi oleh insting yang bersifat biologis. Permainan sepak bola tidak bisa diatur dengan prinsip-prinsip moral para filosof dan teolog, tetapi dapat diatur para pemain, pelatih, dan ahli sepak bola melalui konsensus tentang nilai-nilainya yang kita kenal sebagai etos sportivitas. Bahkan, di kalangan pencuri, pencopet, dan perampok pun ada berbagai peraturan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, yang bila dilanggar akan mendapat hukuman amat keras. Peraturan-peraturan itu menyangkut daerah operasi, siapa saja yang boleh dicopet dan siapa yang tidak boleh, atau apakah sasaran operasi boleh dicederai atau tidak. Berbagai peraturan ini jelas bukan sesuatu yang bersifat etis (imperatif yang bersifat mutlak), tetapi suatu etos (konsensus sosial mengenai apa yang boleh dan tidak boleh) yang mengatur kehidupan bersama dan kerja sama para pencuri dan pencopet.

Pertanyaan yang kita hadapi kini, bagaimana kita menghadapi masalah baik dan buruk ini dalam politik Indonesia? Menurut saya, masalah moral dalam politik Indonesia saat ini harus dihadapi dan dipecahkan, pertama-tama sebagai suatu persoalan pembentukan etos menyangkut konsensus-konsensus sosial yang harus dibuat mengikat dengan imbalan dan sanksi (reward and punishment), melalui praktik yang diulang-ulang secara konsisten. Baru kemudian dapat dimantapkan dan disempurnakan melalui ketentuan-ketentuan etika yang memberi pendasaran terhadapnya. Bila tingkat pertama pembentukan moral habit ini tidak dilaksanakan secara cukup berhasil, kita akan sia-sia mengerahkan pemikiran tinggi tentang hati nurani, tanggung jawab, atau kemuliaan martabat manusia yang tidak mempunyai dasar apa pun untuk diterapkan.

***

DILIHAT secara filosofis, kondisi dekadensi moral membawa orang kepada keadaan immoral (yaitu sadar tentang norma-norma moral, tetapi bertindak menentangnya) atau keadaan amoral (yaitu hilangnya kesadaran tentang adanya nilai-nilai baik dan buruk). Seseorang yang immoral adalah seorang manusia yang berniat dan berbuat jahat, tetapi seorang yang amoral sama tinggi tarafnya dengan badak atau cacing tanah, yang masih manusia secara fisik, tetapi tidak lagi secara kejiwaan, karena masalah baik-buruk tidak lagi relevan untuk dirinya. Sebaliknya, dilihat secara sosiologis, dekadensi adalah situasi anomi di mana norma-norma yang ada tidak efektif lagi, karena tenaga normatif yang ada pada norma-norma itu dibuat menjadi tidak aktif. Ibaratnya, para mahasiswa dididik untuk berpikir dan bersikap kritis dalam ruang kuliah, tetapi tidak boleh mengambil sikap berdasarkan sikap kritisnya bila menghadapi situasi politik sehari-hari. Energi kritik itu dibentuk sekaligus dibuat mandul.

Perlu dikatakan dengan segera, argumentasi ini tidak mengusulkan suatu pendapat yang melihat dan memperlakukan moralitas secara pragmatis dan instrumental, seakan moralitas dibutuhkan semata-mata karena kegunaannya saja, bukan karena nilai-nilai intrinsik yang ada padanya. Dalam perbandingan dengan bidang estetika, suatu lukisan Popo Iskandar tidak menjadi indah dan berharga, karena bermanfaat sebagai hiasan yang bagus untuk ruang tamu dalam rumah, tetapi karena keindahan intrinsik yang ada pada lukisan itu sendiri, apakah dia dipakai sebagai hiasan dinding atau disimpan di gudang. Atas cara yang sama, moralitas tidak dibutuhkan hanya karena dapat membantu kehidupan bersama, tetapi karena nilai-nilai intrinsiknya tentang baik-buruk yang bersifat etis.

***

APA yang menjadi fokus tulisan ini adalah bagaimana menegakkan kembali nilai-nilai moral itu dalam praktik sehari-hari. Jalan yang diusulkan di sini ialah dengan memperhatikan kembali moral habit formation atau pembentukan kebiasaan-kebiasaan yang menerjemahkan nilai-nilai baik-buruk ke dalam tingkah laku sosial anggota masyarakat. Pembentukan kebiasaan itu hanya dapat dilakukan melalui proses sosial yang didukung mekanisme imbalan dan sanksi, yang dijalankan berulang-ulang dengan cara konsisten. Kebiasaan moral itu terbentuk bila timbul kepercayaan secara publik, berusaha melakukan perbuatan yang benar dan adil, adalah tindakan yang mendapat imbalan sosial dan politik, sedangkan menyembunyikan atau turut dalam kejahatan akan mendapat hukuman dan sanksi secara publik.

Gerakan antikorupsi akan amat diperkuat misalnya, bila publik percaya, seseorang yang melaporkan kasus korupsi seorang pejabat tinggi, akan dilindungi secara hukum, naik statusnya secara sosial, dan dihargai keberaniannya secara politis. Yang sering kita alami ialah, yang melapor justru dikejar-kejar dan diperiksa polisi dan pejabat, yang dilapor justru tidak diapa-apakan. Kasus Dr Jeffrey Winters dan Ginandjar Kartasasmita masih segar dalam ingatan kita.

Besarnya sanksi dan imbalan harus seimbang dan proporsional dengan besarnya kejahatan dan kebaikan yang dilakukan. Bila seorang yang hanya diduga mencuri sandal pabrik di Tangerang dihukum beberapa bulan penjara, sedangkan seseorang yang diduga menggelapkan Rp 40 milyar tetap dilindungi secara politik, dan diselamatkan secara hukum, maka pembentukan moral habit akan hancur, meski 1.000 jam pelajaran ditambah tiap tahun untuk mengajarkan nilai-nilai moral. Keberanian para koruptor di Indonesia meningkat antara lain karena pengalaman, para pencuri kecil mudah ditangkap dan dihukum (sebagai bukti pelaksanaan negara hukum), tetapi para pencuri uang negara dalam jumlah ratusan milyar atau trilyunan dilindungi ketat oleh asas praduga tak bersalah (juga sebagai suatu bukti bahwa kita hidup dalam negara hukum).

Dikatakan secara ringkas, penyadaran moral baru berguna bila sudah ada dasarnya, berupa pembentukan moral habit. Sedangkan pembentukan kebiasaan ini baru mungkin bila didukung proses sosial yang disertai mekanisme yang konsisten melalui pranata-pranata sosial yang ada. Selain itu, suatu kejahatan tidak selalu muncul karena sebab-sebab moral, tetapi karena sebab-sebab sosial, ekonomi atau politik. Sebaliknya, suatu penyelewengan sosial dapat menimbulkan implikasi moral. Narkotik adalah suatu penyele-wengan sosial, tetapi dapat segera menghancurkan moralitas penggunanya. Sebaliknya, kenakalan remaja tidak selalu muncul karena hilangnya nilai-nilai moral, tetapi karena sebab-sebab yang semata-mata sosial sifatnya. Tawuran anak-anak SMU di jalanan, karena mungkin itulah satu-satunya cara mereka mengungkapkan diri dan aspirasi, karena di sekolah mereka tidak boleh berpendapat, di rumah orangtuanya tidak ada waktu untuk mendengarkan mereka.

***

PERSOALAN lemahnya pembentukan moral habit dalam politik Indonesia disebabkan tidak bekerjanya sistem imbalan dan sanksi, bukan hanya karena ketiadaan model di antara para pemimpin politik. Apakah mereka yang terbukti melakukan korupsi besar dihukum dengan hukuman seberat-beratnya? Apakah mereka yang melakukan provokasi di berbagai daerah, menyulut konflik, dan pembunuhan, dengan segera ditangkap, diadili, dan dihukum? Apakah seorang pemuda yang babak belur karena membela seorang gadis yang hendak diperkosa, mendapat insentif sosial dan perhatian pemerintah?

Ketiadaan penerapan sistem imbalan dan sanksi untuk pembentukan moral habit ini, dan kecenderungan untuk menganggap moral dibentuk dengan imbauan dan penyadaran semata-mata, kira-kira sama dengan berpidato setiap pagi selama setengah jam di depan para pemain bola tentang pentingnya menendang dengan tepat ke sasaran atau pentingnya menerima bola dengan efektif, tanpa memberi mereka kesempatan untuk berlatih di lapangan dan turut serta dalam pertandingan.

Efeknya, moralitas hanya akan menciptakan kesadaran palsu, yang menghibur hati kita bahwa masih ada nilai-nilai luhur yang kita percayai dan dengan sendirinya menyelamatkan kita, sementara sehari-harinya orang menutup mata terhadap nilai-nilai itu karena berbagai desakan keadaan. Kita bukannya ada di pinggir kehancuran hati nurani sebagaimana dikatakan para pemimpin agama, tetapi ada di puncak hilangnya keberanian politik untuk memperbaiki keadaan, karena ketakutan bahwa perbaikan ini mendatangkan terlalu banyak risiko untuk kekuasaan politik, yang sementara ini tidak begitu jelas hendak dipergunakan untuk tujuan apa.

* Dr Ignas Kleden MA Phil, sosiolog, Direktur Pusat Pengkajian Indonesia Timur (The Center for East Indonesian Affairs), Jakarta.

Artikel ini pernah dimuat di harian kompas,Kamis 24 Januari 2002

No comments: