Sunday, March 29, 2009

Kekeliruan Paradigma Islam Liberal

Kekeliruan Paradigma Islam Liberal
Oleh: Doni Riyadi

INI adalah kali kedua saya menulis tanggapan untuk penulis yang
sama -Mohammad Nasih- dengan tema yang sama pula, yaitu wacana pemikiran
Islam liberal.
Pada mulanya, saya juga sama dengan Nasih, sangat enjoy dalam pengembaraan
alam pemikiran saya, mengasah rasionalitas dan mengkritisi dogmatis dari
dien yang saya yakini kebenarannya ini. Namun, semakin saya merenungi
hasil-hasil pemikiran dari para kontributor Islam liberal, baik melalui
makalah, buku, diskusinya di Radio 68H maupun website-nya, semakin saya
mengalami kegelisahan intelektual yang melahirkan perasaan keraguan akan
kebenaran pemikiran ini. Salah satu keraguan utamanya mengenai orisinalitas
atau kemurnian ide dan metode Islam liberal.
Padahal, kemurnian merupakan suatu jaminan bahwa sesuatu itu mendekati
kesempurnaan atau tidak. Semakin tidak murni sesuatu, maka semakin jauh ia
dari sempurna. Semakin jauh dari sempurna tidak mungkin ia dapat menjadi
pegangan hidup atau solusi permasalahan. Bahkan malah lebih tepat bila
dikatakan sebagai sampah. Kemurnian ini bukanlah hal yang sepele, gara-gara
menggugat kemurnian, maka timbul gerakan protes dari penganut Katolik Roma
yang kemudian membuat komunitas baru yang dikenal sebagai Kristen Protestan.
Keraguan itu kemudian menemukan kejelasan ketika Ulil Absar Abdalla sebagai
kontributor Jaringan Islam Libe ral, dalam sebuah diskusi mengatakan dengan
objektif bahwa pemikiran Islam liberal ini memang tak memiliki orisinalitas.
Dengan alasan rasionalitas, di dalamnya kaya akan wacana pemikiran-pemikiran
berpengaruh di dunia, dari pemikiran peradaban awal manusia hingga pemikiran
abad modern seperti Charles Kurzman (sebagai ideolog kontemporer Islam
Liberal).
Lebih jauh bahkan dikatakan menjalankan agama secara sempurna akan menemui
banyak benturan dan memberikan hasil yang kontraproduktif terhadap kemajuan
zaman, justru yang tidak sempurnalah yang akan mampu menjawab tantangan
zaman dengan baik.
Bahkan Nasih pun berkeyakinan ide-ide alternatif Islam liberal, yang
dikatakannya cemerlang dapat digunakan menjawab problem kekinian yang
multikompleks, sehingga ia merasa tidak rela jika penolakan ide Islam
liberal ini lebih dikarenakan kesalahan persepsi dan tidak substansial.
Di luar kearoganan Nasih yang menganggap orang yang anti-Islam liberal
sebagai orang yang salah dalam melakukan persepsi, maka ternyata memang ada
banyak substansial Islam liberal yang diragukan kesahihannya, apalagi jika
digunakan sebagai solusi permasalahan.
Kekeliruan Paradigma
Metode terbaik dalam memberi kritikan adalah dengan berusaha menggunakan
cara pandang penganut yang kita kritik. Berangkat dari pemikiran di atas,
setidaknya ada sepuluh kekeliruan paradigma yang layak diperhatikan dalam
menghadapi Islam liberal.
Pertama, dengan jargon keterbukaan, pluralisme, dan demokrasi, Islam liberal
justru kehilangan orisinalitasnya, karena pemikiran-pemikirannya memiliki
banyak spektrum, bergradasi, dan bervarian.
Kedua, semangat yang tumbuh pada Islam liberal semangat pembaharuan atau
semangat antikeusangan. Namun terjadi kesalahan konsep dalam memahami
prasyarat lahirnya ijtihad, yaitu standardisasi keilmuan seorang mujtahid
(pembaharu) yang dianggap terlalu idealis.
Dalam konteks perubahan zaman, pembaharuan seharusnya dapat dilakukan para
pelaku perubahan zaman itu sendiri tanpa harus menunggu suatu bilangan
waktu, seperti 100 tahun, yang diyakini kebanyakan umat. Sehingga hak tafsir
atas sebuah nash tak melulu dimiliki segelintir orang. Meminjam istilah
Nirwan Arsuka, nash (teks) keagamaan itu seperti suatu fiksi besar, yang
terbuka untuk terus-menerus ditafsirkan, sebagaimana orang kini menafsirkan
karya Shakespeare.
Ketiga, kultur kebebasan berpikir ilmiah yang cenderung tak terbatas, harta
hasil pemikirannya itu kadang bersifat dekonstruksi dan menabrak norma-norma
yang sudah pasti. Konsekuensi dari keilmiahannya itu juga, hasil
pemikirannya tak pernah bersifat final, bernilai tentatif, dan tentu saja
menjadi terbuka dari revisi-revisi sesuai perkembangan wawasan keilmuan dan
ilmu pengetahuan.
Keempat, penyalahgunaan referensi, khususnya yang berupa nash. Biasanya nash
digunakan sebagai kalimat sekunder yang didesain untuk menguatkan kalimat
primer yang lahir dari pemikiran pribadi kontributor JIL. Sehingga, kadang
nash diartikan secara tekstual dan kali lain diartikan secara kontekstual.
Dalam menukil hadis pun, jarang dinukilkan perawinya, sehingga secara tidak
langsung dapat mencerminkan sejauh mana kedalaman ilmu sang kontributor.
Kelima, dalam melakukan analogi, agar dikatakan ilmiah, aktivis JIL me
mandang segala sesuatu dari fakta empirik saja. Ketertinggalan negara-negara
berkembang yang kebetulan berpenduduk mayoritas muslim dibandingkan kemajuan
negara-negara besar yang bukan muslim menjadi contoh riil yang senantiasa
dijadikan dasar argumentasi. Pengagungan masa keemasan Islam di masa silam
disebut sebagai romantisme idealisme yang hanya patut dijadikan cerita
sejarah.
Keenam, kecenderungan untuk selalu memberi makna sesuatu secara
terminologis. Sebagaimana hermeneutika, aktivis JIL gemar mengembalikan
makna ke asalnya seperti yang biasa dilakukan Ibn 'Arabi, kemudian
ditafsirkan sebebasnya sesuai tingkat pengetahuan yang dimiliki olehnya.
Nasih pun melakukan hal ini ketika mencoba mendekonstruksi pemikiran pembaca
tentang makna adjektif liberal dan liberalisme.
Ketujuh, menjunjung tinggi modernitas dengan menafikan nilai-nilai klasik,
sehingga analisanya bersifat ahistoris atau dengan kata lain
antisalafussholeh. Meminjam argumen Haidar Bagir, opini para ulama masa
lampau memiliki peluang lebih besar untuk kehilangan relevansi dengan masa
kita sekarang akibat perbedaan tantangan, budaya, dan psikologi. Sebuah
pernyataan yang sangat melawan arus, mengingat bahwa kesepakatan ulama
mengaku salafussholeh adalah generasi terbaik pascamangkatnya Nabi SAW dan
pada diri merekalah sebaik-baiknya teladan.
Menentang Fitrah
Kedelapan, sebagai konsekuensi antitotalitarian dan otoritarian, aktivis JIL
berkeyakinan pluralitas dan inklusivitas agama merupakan sebuah keniscayaan.
Pemikiran yang kelihatannya konstruktif namun sesungguhnya destruktif ini
semakin banyak dijumpai menjangkiti masyarakat. Pemikiran ini menentang
fitrah kebenaran tunggal dan melahirkan paradigma bahwa semua agama sama
benarnya hanya metode yang berbeda, sehingga salah satu akibatnya maraknya
perkawinan lintas agama dan kawin campur.
Kesembilan, mendukung konsep sekulerisasi dan sekulerisme. Islam liberal
berkeyakinan sesuatu yang sifatnya profan harus dikembalikan pada haknya
sebagai sesuatu yang profan, begitu juga dengan hal akhirat. Politik harus
dipisahkan dari agama, sehingga dalam hal ini, mereka mendukung kebebasan
warga negara dalam urusan beragama tanpa adanya campur tangan pemerintah
yang mewakili kekuatan politik. Pemikiran tersebut, sebenarnya merupakan
pelecehan secara tidak langsung terhadap penyempurnaan Islam sebagai agama
(dien) yang melingkupi seluruh dimensi kehidupan manusia, termasuk politik
sekalipun.
Kesepuluh, Islam liberal mendukung feminisme, namun dalam perspektif gender
ketertindasan perempuan. Sehingga tuntutan emansipasi yang dimaksud
penyetaraan antara laki-laki dan perempuan secara total. Domestikasi wilayah
kerja perempuan dianggap sebagai pelecehan martabat perempuan sebagai
manusia yang memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Salah satu akibat yang
ditimbulkan dari pemikiran ini semakin banyaknya keluarga yang tidak lagi
dapat memainkan perannya sebagai pranata pendidikan dan pembangunan moral,
mengingat keluarga dianggap sebagai sebuah penjara yang mengekang hak
berkarier perempuan.
Poin-poin di atas tentu saja sangat debatable, baik substansi maupun
jumlahnya yang sepuluh bukan sebelas atau dua belas. Akan tetapi satu hal
objektif yang hendak saya katakan kepada Nasih bahwa sangat naif jika
menganggap orang yang apriori dengan Islam liberal hanya karena mereka tidak
mempelajari Islam liberal secara komprehensif dan tidak substansial. Dan
juga sangat tidak bijaksana jika beranggapan Islam an sich tidak cukup
memberi kelonggaran dalam berpikir dan bereksperimen lalu melekatkan kata
liberal kepadanya, mengingat cukup banyak ilmuwan-ilmuwan besar Islam yang
menciptakan peradaban di muka bumi ini.
Akhirnya jika saya analogikan sesungguhnya Islam liberal ini hampir sama
dengan seorang dalang yang melanggar pakem pewayangan, dengan menghidupkan
tokoh yang seharusnya mati, misalnya.
Dengan pelanggaran pakem pewayangan itu saja, aliansi para dalang klasik
sudah marah besar dan memberikan julukan "dalang edan" untuk dalang
pelanggar pakem. Apalagi Islam liberal yang berani melanggar pakem, yang
aslinya bukan bikinan manusia.(33)
-Doni Riyadi, pegiat Komunitas Bedah Wacana (KBW) KAMMI Daerah Semarang

No comments: