Sunday, March 29, 2009

Hermeneutika

                  Hermeneutika, Proyek Menghidupkan Teks-teks Keagamaan

Oleh Ahmad Najib Burhani

JOHN L Esposito, ketika menjelaskan aspek teoretis dan praktis kehidupan agama dalam
bukunya Islam The Straight Path (1991), mendapat kesan bahwa dalam kristen, teologi
adalah 'ratu semua ilmu', sementara dalam Islam, sebagaimana dalam Yahudi, ilmu
hukum ditempatkan dalam kedudukan yang dibanggakan. Menurut ahli agama ini, fiqih
adalah perwujudan penerimaan pada atau penyesuaian diri terhadap hukum-hukum
Tuhan, atau perwujudan dari Islam sendiri, yang artinya "penyerahan diri pada
hukum-hukum Tuhan."

Fenomena kecenderungan yang mengkristal itu sering dianggap sebagai nilai plus dari
umat beragama. Namun dominasi intelektual tertentu, seperti fiqih dalam trend
"intelektual" Islam, pada proses selanjutnya tidak hanya menjadi sudut yang patut
diagungkan, tapi justru perlu direnungkan ketika ia membatu. Islam yang mengklaim
dirinya "rahmat bagi seluruh alam" menjadi sangat elitis, legalistis, formalistis, hitam-putih,
muslim-kafir, dan memunculkan dar al-Islam dan dar al-harb (wilayah Islam dan wilayah
perang). Fiqih sebagai penafsiran teks bukan lagi dinilai sebagai sebuah proyek ijtihadi,
tapi sebagai doktrin satu-satunya yang mutlak benar dan kekal. Penafsiran lain terhadap
ayat-ayat Tuhan selain penafsiran fiqhiyyah dianggap tidak sah. Dalam tragedi ini banyak
aspek Islam, yang semestinya tidak masuk dalam link fiqih, terpaksa berhenti pada fiqh
judgement. Spiritualitas sebagai problem teologis, misalnya, akan menjadi bentuk mandul
ketika diberlakukan kategori-kategori fiqhiyyah yang formalistis dan legalistis.

Proses hermeneutis

Untuk menjadi firman yang hidup, firman Tuhan perlu terus berevolusi dengan tidak
berhenti pada dimensi kajian hukum semata. Ia tidak bisa parkir pada problem teologis
saja. Ia perlu mengembangkan daya adatif, elastis, dan fleksibilitasnya pada proses
perjalanan maju seiring dengan tuntutan perkembangan zaman. Ia tidak boleh diberi
makna sempit dengan kebakuannya. Dalam proses dan proyek inilah, hermeneutika
menawarkan alternatif untuk menghidupkan teks-teks keagamaan.

Menurut Paul Ricoeur, filsuf kontemporer Perancis, tema simbol seperti yang terdapat
dalam teks-teks keagamaan - tidak dapat didekati secara sempurna dengan metode
fenomenologis. Ayat-ayat Tuhan itu hanya dapat berfungsi dan diperluas perspektifnya
bila dikaji dengan metode hermeneutis yang memberi kupasan terhadap makna
tersembunyi. Ricoeur menyebutkan, "di satu pihak tugas utama hermeneutik adalah
mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja di dalam sebuah teks, dan di lain
pihak mencari daya yang dimiliki kerja teks itu untuk memproyeksikan diri ke luar dan
memungkinkan "hal"-nya teks itu muncul ke permukaan". (E Sumaryono, 1996). Dalam
kaitan ini, interpretasi lalu merupakan usaha akal budi untuk menguak misteri makna
tersembunyi di balik bentuk lahiriah, atau menyingkapkan tingkat makna yang diandaikan
di dalam makna harfiah.

Secara struktural sebuah teks adalah otonom. Ia tidak bergantung kepada maksud
pengarang, pada situasi historis di mana teks tercantum dan pada pembaca-pembaca
pertama. Inilah yang disebut dengan sifat intrinsik atau sifat "bahasawi" (the lingual
character) teks. Pemahaman tidak lagi mencari makna tersembunyi di balik teks, tetapi
mengarahkan perhatiannya kepada makna obyektif sebuah teks, terlepas dari subyektivitas
pengarang. Menginterpretasikan teks bukan berarti mengadakan suatu relasi intersubyektif
antara subyektivitas pengarang dan subyektivitas pembaca, melainkan hubungan antara
dua diskursus: diskursus teks dan diskursus interpretasi. Interpretasi selesai, bila "dunia teks"
dan "dunia interpretator" bercampur baur menjadi satu (K. Bertens, 1996).

Namun bagi Ricoeur, teks bukan semata-mata realitas tertutup pada dirinya dengan hanya
memperhatikan relasi-relasi internnya. Teks juga berbicara tentang sesuatu. Teks memiliki
referensi kepada suatu dunia. Sikap ini lahir oleh sikap strukturalisme, tetapi realitas itu
tidak diakui atau tidak dipentingkannya. Ricoeur mengatakan bahwa simbol adalah setiap
struktur penandaan yang di dalamnya ditunjukkan makna harfiah, primer, dan langsung.
Bersamaan dengan itu ditunjukkan pula makna lain yang tidak langsung, sekunder dan
bersifat kiasan dan yang hanya dapat dipahami berdasarkan makna pertama. Dengan
demikian, maka struktur simbol memiliki intensionalitas ganda, pertama untuk menunjuk
pada makna harfiah, dan kedua untuk menunjuk kepada makna yang tersembunyi atau
yang bersifat tidak langsung.

Dalam kerangka ini, menurut kritik Ricoeur, strukturalisme terlalu berat sebelah dan tidak
adil dalam melihat bahasa. Ada empat fenomena penting yang diabaikan, yaitu pertama,
hakikat bahasa sebagai suatu wacana yang menempatkan tindak berkata sebagai suatu
yang individual dan sebagai suatu penciptaan bebas dari ungkapan-ungkapan baru;
kedua, faktor historis dari bahasa yang merupakan suatu proses di mana manusia
menciptakan kemanusiaannya dan kebudayaannya melalui produk bahasa mereka;
ketiga, tujuan pertama dari bahasa untuk mengatakan sesuatu tentang sesuatu; dan
keempat, komunikasi dalam bahasa di mana seseorang mengatakan sesuatu kepada
seseorang lain tentang sesuatu. (lihat Bambang Triatmoko, dalam majalah Driyarkara, XVI).

Pendekatan struktural dan pemahaman hermeneutik berhubungan secara dialektik dan
saling melengkapi. Sebuah teks mempunyai tempat di antara penjelasan struktural dan
pemahaman hermeneutik. Teks memiliki struktur imanen yang membutuhkan cara
pendekatan struktural. Sebuah teks pada dasarnya bersifat otonom untuk melakukan
"dekontekstualisasi", baik dari sudut pandang sosiologis maupun psikologis, serta untuk
melakukan "rekontekstualisasi" secara berbeda di dalam tindakan membaca. Teks juga
memiliki referensi luar yang sering disebut sebagai dunia teks atau being yang dibawa ke
dalam bahasa oleh teks.

Struktur imanen dari teks itu membuat teks menjadi sesuatu yang otonom. Dan itu
dimungkinkan oleh apa yang disebut sebagai proses distansiasi (jauh, terpisah). Distansiasi
menjamin otonomi teks dalam hubungan dengan pengarangnya, dengan situasi awal dan
dengan sidang pembaca awalnya, serta membantu pelestarian makna dari teks dan
menghindarkannya dari menghilangnya dalam waktu. Namun dengan berbuat demikian
distansiasi juga mencabut teks dari konteks aslinya, dari situasi awal. Konsekuensinya
adalah teks menjadi terbuka untuk interpretasi-interpretasi lanjutan yang barangkali amat
bertolak belakang dengan maksud dari penulisnya. Konsekuensi itulah yang menjadi
lahan bagi proses appropriasi (tepat, cocok) untuk membuat apa yang asing menjadi
miliknya sendiri.

Appropriasi itulah yang menjadi ujung dari konsep Ricoeur tentang rentang hermeneutik
(hermeneutical arch) yang membentang dari kutub obyektif ke kutub subyektif, atau dari
sisi metodologis Erklaren ke sisi ontologis Verstehen (lihat Bambang Triatmoko, 1989).
Yang dituntut dalam appropriasi adalah 'empati' atau kemampuan menempatkan diri
dalam kerangka berpikir orang lain, yang perilakunya mau dijelaskan dan situasi serta
tujuan-tujuannya mau dilihat menurut perspektif itu. Dengan demikian prapengandaian
yang mendasari hermeneutika adalah kemampuan orang untuk 'transposisi historis'
dengan apa yang disebut Dilthay sebagai historical understanding, atau menurut istilah
Richard Palmer sebagai 'kesadaran sejarah' (historical consciousness), yaitu melepaskan
diri dari konteks historisnya dan masuk dalam situasi historis pengarang. (Richard E Palmer,
Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer,
1969).

Membaca teks agama

Untuk membedah ayat-ayat Tuhan tertentu seperti makna Islam, tiga langkah pemahaman
bahasa seperti yang dikemukakan Ricoeur bisa dilakukan, yaitu: pertama, tahap semantik,
semisal pemahaman dari simbol atau dari teks ke teks yang memiliki asal sama dengan
Islam. Kedua, lewat validasi dari model struktural (tahap refleksi), yakni penggalian yang
cermat atas makna. Dan ketiga, tahap eksistensial atau ontologis, yaitu berpikir dengan
menggunakan pemikiran pertama dan kedua sebagai titik tolaknya, atau pemahaman pada
tingkat being atau keberadaan makna itu sendiri.

Dalam Al -Quran terdapat 134 ayat yang mengandung kata dengan susunan huruf
sin-lam-mim yang menjadi dasar pembentukan kata Islam. Dua contoh yang membedakan
Islam sebagai nama sebuah agama dan Islam dalam arti penyerahan diri kepada Allah kita
angkat. Bandingkan antara bunyi ayat Al Quran Surat al-Baqarah, "Barangsiapa
menyerahkan dirinya kepada Allah dan ia berbuat baik, maka mendapat pahalanya pada
Tuhannya dan tidak ada ketakutan kepadanya dan tidak ia berduka cita." (Qs. 2;112),
dengan Al Quran Surat Ali Imran, "Sesungguhnya agama pada sisi Allah ialah Islam," (Qs.
3;19) dan "Pada hari ini, Aku sempurnakan bagimu agamamu dan Kulengkapkan atasmu
kurnia-Ku dan aku memilih bagimu Islam sebagai agama." (Qs. 5;3).

Pendekatan seperti yang dilakukan oleh Dr Nurcholis Madjid, sebelum melangkah kepada
kesimpulan sudah memiliki tujuan atau arahan seperti yang dipaparkan bahwa substansi
Islam adalah penyerahan diri. Ini tidak terlepas dari misi Cak Nur untuk mengembangkan
gagasan tentang sistem keberagamaan inklusif primordial. Dengan cara semantik,
struktural, dan hermeneutik selanjutnya akan terlihat, apakah Islam itu seperti yang
diungkapkan Cak Nur? Apakah Islam dalam sistem kemasyarakatan seperti al-Madinah
al-Fadhilah (The Virtuous City) sebagaimana dikemukakan oleh filosof Muslim al-Farabi
(w. 950), atau Islam yang memiliki model mendekati sistem civil society, bagaimana
keterkaitan Islam dengan demokrasi dan lain sebagainya.

Bernard Lewis, ahli sejarah Islam terkemuka, dalam ceramahnya di Departemen Agama
beberapa waktu lalu, seperti dikutip M Dawam Rahardjo, menjelaskan apa yang disebut
Islam itu. Ada tiga persepsi mengenai Islam, katanya. Pertama, Islam sebagai terwujud
dalam Al Quran dan hadis. Sebagai "konsep," Islam dalam wujud ini dinyatakan oleh
kaum Muslim sebagai tidak berubah. Persepsi kedua, Islam sebagaimana diinterpretasikan
para ulama. Dalam kenyataannya, kaum Muslim memahami Islam, apalagi di kalangan
awam, dalam wujud ajaran atau doktrin yang disistematisasikan melalui proses interpretasi
terus-menerus untuk mencapai kesepakatan (ijma'), dalam jangka waktu yang cukup lama.
Persepsi ketiga mengenai Islam adalah apa yang disebut Islam-sejarah (historical Islam)
atau Islam sebagaimana yang diwujudkan dalam sejarah.

John L Esposito dalam buku yang telah disebut di atas menyatakan, "Walaupun semua
Muslim bertahan pada pendapat hanya ada satu Islam yang dimandatkan dan merupakan
wahyu Ilahi, namun selama ini telah dan akan terus berkembang berbagai interpretasi
mengenai Islam." (Dawam R., 1996). Berbagai penafsiran tentang Islam sangat berkaitan
dengan persoalan politis atau kepentingan atau, meminjam istilah Derrida, problem of
relevance. Jadi apa yang dikemukakan Cak Nur adalah demi kepentingannya dan
kepentingan umat Islam menurutnya, dan penggalian makna dan mencari legitimasi dari
ayat-ayat suci yang memiliki kata dasar dengan huruf sin-mim-lam bahwa makna Islam
adalah civil society adalah demi kepentingan tertentu pula.

(* Ahmad Najib Burhani, alumnus Pondok Pesantren Salafiyah Mahayjatul Qurra' Blitar
Jawa Timur; tinggal di Jakarta).
--------------------------------------------------------------------------------


No comments: