Sunday, March 29, 2009

Benturan Peradaban, Multikulturalisme,

Benturan Peradaban, Multikulturalisme, dan Fungsi Rasio

Alois A Nugroho

POSTMODERNISME sering dikatakan "membunuh rasio". Namun, sebenarnya tidak, ia hanya memecah belah dan membiarkannya tetap terpecah belah. Dampak pecah belah itu pun tak perlu diartikan sebagai adu domba. Benturan peradaban sering kali dianggap merupakan ekses dari postmodernisme. Sebenarnya tidak.

BENTURAN peradaban barangkali lebih harus menjadi tanggung jawab modernisme daripada postmodernisme. Dalam bentuknya yang lebih moderat, postmodernisme masih menjanjikan keberlangsungan hidup dan bahkan keberlangsungan dari hidup yang sejahtera. Bentuk moderat dari postmodernisme ini akan kita sebut sebagai "multikulturalisme".

Multikulturalisme memuat banyak kelebihan etis maupun praktis, namun dia mengandung kekurangan dalam satu hal besar, yakni membatasi fungsi rasio hanya sebagai sebuah strategi untuk mempertahankan hidup dan hidup lebih sejahtera. Rasio sebenarnya dapat beroperasi dengan bertolak dari pangkalan yang sama sekali tak berhubungan dengan pengalaman langsung, berkelana di wilayah-wilayah abstrak dan berhenti pada oasis-oasis abstrak dari gurun abstrak tanpa tepi. Rasio adalah operasi imajinasi, namun imajinasi itu adalah imajinasi rasional, artinya imajinasi yang memiliki disiplin diri.

Retorika "mockery"

Postmodernisme pada akhirnya ialah pengakuan pada adanya multirasionalitas. Dengan begitu, setiap klaim rasionalitas perlu menimbulkan syak wasangka sebagaimana diajarkan oleh Alasdair MacIntyre. Kalau kita berbicara tentang rasionalitas harus jelas lebih dahulu rasionalitas siapa atau rasionalitas yang mana (MacIntyre: 1988).

Apalagi, rasionalitas-rasionalitas dari kultur-kultur besar dan kuat selama ini cenderung mengklaim diri sebagai "universal" dan mengindoktrinasikan diri kepada kaum pinggiran. Mungkin dapat dijadikan sebagai sekadar contoh, bagaimana kultur-kultur non-Jawa di sebuah republik modern masih harus memiliki satuan administrasi yang bernama "kelurahan" atau "kabupaten". Contoh lain yang dapat diambil dari khazanah feminisme radikal ialah bagaimana kaum perempuan terpaksa harus mempelajari sejarah sebagai history dan bukannya her-story.

Dalam arti ini, salah satu nilai lebih dari postmodernisme ialah bahwa ia mendorong terjadinya konsientisasi. Kaum pinggiran diberanikan untuk membongkar atau mendekonstruksi rasionalitas-rasionalitas opresif dan mengubah sejarah serta masyarakat melalui "kata-kata" mereka sendiri. Postmodernisme dapat dengan gegap-gempita menawarkan pembebasan ini.

Pembebasan itu tentu saja tidak harus digambarkan dengan pembebasan yang mendasarkan diri pada rasionalitas sebuah conviction yang mapan. Pembebasan itu dapat juga hanya berupa penggembosan berbagai conviction melalui olok-olok (mockery).

Di bawah pengaruh iklim postmodern semacam ini, tak ada hal yang memiliki privilese untuk terlindung dari olok- olok. Upacara pengukuhan seorang guru besar filsafat, misalnya, ternyata dapat bertaburan dengan olok-olok (Kompas, 11/3/ 2003). Benar apa yang dikatakan Rorty, filsafat dan kerja rasional lainnya tidak perlu diberi privilese (Rorty, 1980: 3-13).

Akan tetapi, kita ingat bagaimana seorang tokoh pemikir pembebasan yang bernama Ivan Illich bahkan pernah bertanya "after deschooling, what?". Pertanyaan itu dilontarkannya sesudah dirinya sendiri dan banyak tokoh lain semisal Paulo Freire menelanjangi sekolah sebagai sambungan tangan dari penindasan budaya. Pada tempatnya pula bila kepada postmodernisme orang bertanya after deconstruction, what?

Postmodernisme

Namun postmodernisme dapat amat serius. Sebagian dari yang serius ini memasukkan tesis yang bernama incommensurability. (Rorty, 1980: 313-394 dan Rorty, 1989: xiii-xvi). Model dari pelbagai aktivitas kebudayaan, termasuk sains, adalah permainan, atau bahasa, atau-dalam bahasa Wittgenstein- permainan-bahasa (language-game).

Setiap permainan dan setiap bahasa memiliki aturan main masing-masing. Tidak mungkin kita menilai aturan permainan bulu tangkis dari sudut aturan permainan sepak bola.

Tidak mungkin juga kita menilai tata bahasa Inggris dari tata bahasa Belanda. Apa yang salah bagi sepak bola merupakan tindakan yang wajib bagi bola basket. Apa yang salah bagi bahasa Inggris dapat merupakan cara berbahasa yang benar bagi bahasa Belanda.

Selebihnya, apa yang dianggap penting dalam suatu bahasa dapat sama sekali tidak relevan bagi bahasa-bahasa lain. Dalam menggunakan kata ganti kedua, apa yang dianggap penting bagi orang Jerman dan Perancis dianggap tidak relevan bagi orang berbahasa Inggris, kecuali bila pihak kedua itu Tuhan.

Apa yang dianggap penting dalam suatu permainan dapat sama sekali tidak relevan bagi permainan-permainan lain. Orang dapat saja bermain kartu di atas meja ping-pong, namun tidak bermain ping-pong di atas meja kartu.

Begitu pula dalam hal kebudayaan. Ada kebudayaan yang menilai tinggi otentisitas dan menganggap hina peniruan. Ada kebudayaan yang menganggap meniru itu wajib, asalkan tiruannya dimanfaatkan bagi masyarakat banyak dan memiliki mutu lebih baik dari yang ditiru. Ada kebudayaan yang menghalalkan tiru-meniru, mengatakan bahwa tiruan itu bukan tiruan, padahal memiliki mutu lebih buruk.

Kasus sengketa dagang yang melibatkan IBM dan Fujitsu pada akhir tahun 1980-an, seputar persoalan intellectual property right, menunjukkan hal itu (Stewart: 1996, 270-285). "Caux Roundtable Principle" yang di dalamnya termuat kebajikan-kebajikan yang mendasarkan diri pada nilai-nilai human dignity dan kyosei dimaksudkan untuk mengatasi perbedaan budaya itu ( Nugroho: 2001, 38-53).

Tesis incomensurability tidak mengatakan bahwa kita tidak dapat melakukan studi perbandingan antar rasionalitas. Ia hanya mengatakan bahwa pada akhirnya tak ada impartiality atau obyektivitas untuk mengatakan suatu bahasa, permainan atau rasionalitas itu "lebih" dari rasionalitas lain. Setiap putusan muncul dari suatu sistem rasionalitas. Setiap sistem membenarkan dirinya sendiri dalam apa yang disebut "lingkaran hermeneutik" (hermeneutic circle).

Tak perlu berarti bahwa sintesis tidak mungkin diikhtiarkan. Bahasa Esperanto dibuat dan diperkenalkan biarpun tak banyak yang menuturkan. Bahasa Jawengdonesia ("miksyurr besok jadi yoo, tengkyu berat lhoo") sengaja atau tak sengaja semakin banyak dituturkan.

Namun sintesis itu tidak akan menjadi sebuah "supra bahasa". Ia hanya bahasa di antara bahasa-bahasa lain. Hasil dari sintesis antara permainan-permainan adalah juga sebuah permainan di antara permainan-permainan. Ketika orang mau membuat sintesis antara agama- agama, hasilnya juga berupa sebuah agama di antara agama-agama.

Dengan kacamata pemikiran seperti ini, masihkah kita akan berbicara tentang "moralitas" sesungguhnya atau "realitas" sesungguhnya atau "pengetahuan" sebenarnya? Kesungguh-sungguhan hanya bersifat lokal, partikular, komuniter, primordial, parokial.

Tidak penting apa referensi dari reagan dalam wacana bangsa Amerika, namun dalam wacana yang telah melahirkan karya-karya almarhum Umar Kayam dia telah menjadi rigen, tekun dan rajin (di Banyumas kata "rajin" malah juga berarti "rapi"). Tak ada yang menganggap "mister Rigen" versi Umar Kayam sebagai bentuk inferior dari Reagan "asli".

Dunia bisnis semula juga mengolok-olok McDonald’s Paris sebagai sebuah restoran fast food yang turun derajat menjadi sebuah gerai slow food, karena latar belakang kultural dan karena itu juga perilaku konsumen yang berbeda. Ketika gerai-gerai slow food MacDonald’s Paris justru secara pragmatis menyesuaikan diri dengan lingkungan kultural dan bahkan merias diri menjadi gerai-gerai yang chic, dunia bisnis sekarang sedang berdebar-debar menanti apakah gerai-gerai McDonald’s di pelosok dunia lain akan mengikuti gerai "asli" atau malah akan merias diri a la McDonald’s Perancis (Nugroho dan Cahayani, 2003).

Benturan peradaban?

Karena adanya tesis incommensurability orang kadang-kadang mengaitkan postmodernisme dengan "benturan peradaban". Spesies manusia akan mati tercekik karena dengan klaim "universal" peradaban-peradaban lokal akan saling mengerkah.

Yang terjadi adalah drama bellum omnium contra omnes yang bukan lagi sekadar the war of every man against every man seperti dikatakan oleh Hobbes, tetapi lebih berupa the war of every civilization against every civilization. Karena tidak ada "rasionalitas universal" untuk menghakimi siapa yang "benar", maka kompetisi klaim harus diselesaikan dengan kekuatan lain.

Muncullah pemeo might is right, kekuatanlah yang akan menentukan siapa-siapa yang pantas disebut "universal", yang dalam perkembangan sejarah lazimnya berhubungan dengan klaim kebenaran "final" (Huntington/Ruslani, 2000: 597).

Polarisasi yang terjadi di panggung global sekarang ini menyangkut "krisis Irak" tak jarang diartikan sebagai salah satu contoh benturan peradaban. Ketakmampuan elite politik nasional untuk bersikap sebagai "negarawan", dengan mengambil jarak dari "kepentingan kaum" atau dengan kata lain bersifat impartial, mungkin juga punya hubungan dengan mustahilnya mengambil sikap impartial dalam kerangka pikir postmodern ini.

Tetapi sebenarnya tidak adil kalau tanggung jawab atas benturan peradaban begitu saja dilemparkan kepada postmodernisme. Postmodernisme berhenti pada local wisdom dan memustahilkan universal truth.

Artinya usaha untuk membuktikan siapa lebih benar atau lebih baik atau lebih universal kebenaran atau kebaikannya, dengan cara-cara rasional maupun tidak, adalah usaha yang berlebihan, superfluous. Menganggap benturan peradaban sebagai konsekuensi logis dan praktis dari postmodernisme mencederai postmodernisme secara tidak adil, karena baginya rasionalitas setiap peradaban tidak perlu dibentur-benturkan dan klaim "global" atau "universal" hanyalah bunyi angin dari ban kempes modernitas.

Bagi postmodernisme, kompetisi antarperadaban untuk menentukan kelebih-beradaban merupakan kekeliruan bukan hanya pada caranya, tetapi sudah sejak titik tolak berpikirnya.

Multikulturalisme

Oleh karena itu, kenyataan yang sangat relevan bagi postmodernisme adalah multikulturalisme. Begitupun kewajiban yang sangat relevan bagi postmodernisme adalah kewajiban untuk menghormati hak-hak untuk berbeda secara budaya (the right of cultural diversity).

Lebih lagi, postmodernisme yang sangat menggarisbawahi sekat-sekat yang ditimbulkan oleh incommensurability pun sama sekali tidak menganjurkan "benturan peradaban". Sebaliknya yang dianjurkan ialah "toleransi" dalam bentuk norma "non-cruelty" antarmanusia dan dengan demikian juga antarperadaban (Rorty, 1989: 189-198).

Artinya, biarkan setiap komunitas hidup dengan wacana lokal dan dengan rasionalitas lokal masing-masing yang selama ini sudah "jalan" sebagai bentuk kehidupan yang diakrabi, menjadi custom atau tradisi. Malahan kerja ilmiah sebenarnya juga "tradisi" semacam itu dengan "rasionalitas lokal" masing-masing yang oleh Kuhn disebut sebagai "paradigma". Juga di antara paradigma ilmiah sebenarnya perlu ada toleransi yang oleh Feyerabend dikalimatkan menjadi anything goes (Lakatos and Musgrave, 1970: 197-230).

Multikulturalisme menganggap bahwa etnosentrisme, xenosentrisme maupun xenofobia bukan tutur kata dan sikap yang relevan. Yang relevan ialah kewajiban untuk menghormati hak-hak atas keanekaan budaya atau hak-hak untuk berbeda secara budaya. Multikulturalisme dengan demikian memproklamasikan emansipasi budaya-budaya kecil yang masing-masing juga memiliki "hak hidup" yang wajib dihormati.

Keanekaan budaya yang masing-masing duduk sama rendah berdiri sama tinggi ini merupakan konsientisasi berikut yang disodorkan oleh multikulturalisme. Pada tingkat praktis, multikulturalisme juga menunjuk kemungkinan "penyesuaian budaya" atau "dialog budaya" dalam pengalaman individual maupun kelompok.

Perusahaan retail Wal- Mart, yang baru saja memperoleh predikat "perusahaan paling dikagumi" (most admired company) versi Fortune, merupakan perusahaan dengan kultur kuat namun mampu memodifikasi diri dalam dialog-dialog dengan beraneka budaya nasional yang menjadi tempat operasinya (host country) (Fortune, 2003, No 4, hal 32).

Fungsi rasio

Namun permasalahan yang tetap membayang-bayangi multikulturalisme ialah sifatnya yang pragmatis. Sikap pragmatis itu membuatnya berhenti pada konvensi, pada kultur lokal, pada rasionalitas komuniter dan menolak untuk berkelana lebih jauh (Singer, 1981: 87-124).

Rasio memang punya fungsi instrumental untuk mempertahankan hidup dan untuk membuat hidup menjadi lebih sejahtera. Untuk itu, rasio mengambil jarak dari pengindraan-pengindraan dan pengalaman-pengalaman faktual dan menyusun "strategi" budaya untuk menyiasati lingkungan lokal.

Karakteristik dari rasio ialah kemampuan mengambil jarak dari pengalaman langsung (Singer, 1981: 88). Rasio pragmatis merupakan aktualisasi diri dari rasio yang diterapkan untuk menyelesaikan tekanan lingkungan lokal dan langsung. Dalam pergaulan komuniter, rasio ini melibatkan proses belajar masyarakat, mempelajari warisan local wisdom, menemukan cara baru untuk menghadapi tantangan baru dan mewariskannya pada generasi berikut (Whitehead/Nugroho, 2001: 60).

Namun rasio tidak menuntaskan dirinya dengan aktivitas-aktivitas memecahkan masalah-masalah mendesak saja. Rasio juga menjelajahi wilayah-wilayah abstrak, pangkalan jelajahnya pun bukan lagi persoalan konkret, dan perhentian-perhentian yang ditemukannya juga berupa oasis-oasis dalam gurun abstraksi tanpa tepi.

Inilah rasio dalam kepenuhan aktualisasi hakikatnya. Rasio teoretis semacam ini dapat bersifat konsisten dan impartial, tanpa harus dikompromikan dengan kebutuhan mempertahankan hidup dan kebutuhan hidup sejahtera secara sosial (Whitehead/Nugroho, 2001: 95-104).

Ia bertolak dari pangkalan abstrak, menjelajahi wilayah bentuk-bentuk abstrak atau kemungkinan-kemungkinan abstrak dan menyimpulkan penemuan- penemuan abstrak. Rasio teoretis tidak beroperasi dalam hitung dagang, pada akuntansi, pada kalkulasi proyek, pada ekonomi kuantitatif. Rasio teoretis bermain-main, misalnya, dengan bilangan irasional.

Memang pada masa depan yang jauh penemuan-penemuan rasio teoretis dapat saja bersentuhan dengan operasi rasio pragmatis, namun tujuan operasi rasio teoretis bukan pertama-tama mencari kegunaan praktis (Whitehead/Nugroho, 2001: 105). Tujuan operasi rasio teoretis bukanlah sekadar untuk mempertahankan hidup atau hidup sejahtera, melainkan hidup lebih baik dalam arti memiliki pengertian komprehensif tentang realitas yang koheren, konsisten, dapat menjelaskan semua yang lokal dan partikular berdasarkan pengertian komprehensif itu.

Hidup berdasarkan adat istiadat dan tradisi yang selama ini menjamin kesejahteraan memang penting namun tidak cukup. "Hidup yang tidak dikaji," demikian kata Socrates, "adalah hidup yang tidak layak untuk dihidupi" (Singer, 1981: 96-100).

Multikulturalisme, dengan segala kelebihan berupa pembebasan dari hegemonisme modernitas dan hormatnya kepada sikap toleran dan hak atas keanekaan budaya, pada kenyataannya telah mengekang gerak hakiki dari rasio. Multikulturalisme adalah belenggu kehidupan sejahtera dan tembok-tembok istana bagi gelisah Sang Buddha.

Multikulturalisme memuat ketidakmampuan untuk melihat bahwa ada sesuatu yang lebih bernilai yang membuat seseorang dari kultur Samaria menjadi lebih baik daripada "tetangga" satu kultur. Multikulturalisme mengandung bahaya kompromi dengan Zaman Jahiliah (Whitehead, 1926: 43).

Kerinduan pada universalitas paling abstrak, pada realitas yang ultim, yang ada di balik semua lokalitas dan partikularitas, adalah kerinduan rasio teoretis-baik itu pada agama, pada sains, pada seni maupun pada kebudayaan secara umum. Rasio teoretis lebih enak bila disebut sebagai rasio imajinatif. Rasio pragmatik maupun teoretik pada hakikatnya adalah imajinasi, namun imajinasi yang memiliki disiplin yang oleh budaya Yunani disebut logic of discovery.

Memang benar, rasio teoretis sebagai manifestasi kerinduan pada yang universal dan ultim itu harus bekerja dengan peralatan-peralatan linguistik yang bersifat lokal dan partikular beserta keterbatasan-keterbatasan lain yang mengikutinya. Memang benar, bahwa juga matematika yang paling abstrak pun adalah sebuah bahasa di antara bahasa-bahasa lain.

Bahkan logika masih harus dibebaskan dari korespondensi-korespondensinya dengan fakta dan kultur lokal. Namun imajinasi yang rindu akan universalitas abstrak dan realitas ultim adalah sesuatu yang dapat diamati dalam banyak kasus dalam pelbagai kebudayaan.

Berdasarkan hukum termodinamika, gabungan antara hukum termodinamika yang pertama dan kedua, alam fisik ditandai oleh "anak panah waktu" yang mengarah pada sistem-sistem yang semakin tidak kompleks dan akan berpuncak pada "heat death". Namun evolusi biologis juga menunjukkan geliat yang memunculkan sistem-sistem atau orders yang kian kompleks yang merupakan hasil kerja dari rasio yang berusaha mempertahankan hidup dan hidup sejahtera.

Dalam arti ini, rasio pragmatis dapat juga kita artikan sebagai "rasio biologis". Dan karena dalam sistem kosmologis Whiteheadian, entitas subatomik juga merupakan "setetes pengalaman" yang bersifat organis, maka rasio pragmatis bahkan dapat disebut pula "rasio kosmis".

Namun dengan cepat rasio biologis ini menjadi rasio rutin yang tidak menimbulkan kompleksitas dan kemungkinan baru. Dengan demikian, membatasi diri pada rasio pragmatis adalah menolak gerak naik semesta. Membatasi diri pada rasio pragmatis yang bekerja dalam custom yang rutin mematikan gerak evalusi untuk "naik".

Artinya, multikulturalisme dalam jangka panjang membuai kita, menggantikan daya-daya manusiawi kita dengan hidup yang sejahtera. Memang, multikulturalisme dapat merupakan opium bagi masyarakat,

Tetapi multikulturalisme yang moderat juga mengajarkan pada kita kenaifan modernisme. Kerinduan universal itu ternyata dieja dengan bahasa yang selalu lokal dan modernisme selama ini telah memberhalakan yang partikular sebagai universal, yang lokal sebagai ultim.

Apa yang sepantasnya menjadi "stasiun", kita klaim sebagai "stasiun terakhir". Kerinduan dan kesadaran akan keterbatasan itu tidak seharusnya memasung geliat rasio imajinatif.

Kemungkinan lain ialah menyadari keterbatasan dan kerinduan itu dan dengan rendah hati mendengarkan dan mencoba memahami yang ultim dan universal yang dicoba gapai oleh parti- kularitas yang lain. Mungkin suatu kali pada masa depan yang jauh, kita dapat merumuskannya secara bersama-sama dalam formulasi yang dapat kita pahami bersama.

Alois A Nugroho Direktur Pascasarjana Unika Indonesia Atma Jaya, Jakarta

1. Fortune, 2003, edisi No 4.

2. Huntington, Samuel P alih bahasa Ruslani, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, Yogyakarta: Qalam, 2000.

3. Lakatos, Imre and Musgrave, Alan, Criticism and The Growth of Knowledge, Cambridge: Cambridge University Press, 1970.

4. MacIntyre, Alasdair, Whose Justice. Which Rationality, London: Ducksworth, 1988.

5. Nugroho, Alois A, Dari Etika Bisnis Ke Etika Ekobisnis, Jakarta: Grasindo, 2001.

6. Nugroho, Alois A, dan Cahayani, Ati, Multikuturalisme dalam Bisnis, Jakarta: Grasindo, 2003.

7. Rorty, Richard, Philosophy and the Mirror of Nature, Oxford: Basil Blackwell. 1980.

8. Rorty, Richard, Contingency, Irony and Solidarity, Cambridge: Cambridge University Press, 1989.

9. Singer, Peter, The Expanding Circle, New York and Scarborough: New American Library, 1981.

10. Stewart, David, Business Ethics, New York etc: McGraw-Hill, 1996.

11. Whitehead, Alfred North alih bahasa, komentar dan kata pengantar oleh Alois A Nugroho, Fungsi Rasio, Yogyakarta: Kanisius, 2001.

12. Whitehead, Alfred North, Religion in the Making, New York and Scarborough: New American Library, 1926.

No comments: