Otonomi Semantik dan Intervensi Pengarang
Oleh Ignas Kleden
SEBUAH teks yang sudah dipublikasikan, sebuah cerpen di Kompas misalnya, patutlah dianggap sanggup berdiri sendiri dengan kekuatan sendiri dan menghadapi pembaca atas namanya sendiri, dan tidak perlu lagi dituntun dan dibela melalui intervensi pengarangnya. Dalam teori teks, setiap teks yang sudah ditulis dan diumumkan dianggap mempunyai semacam kemerdekaan tekstual atau otonomi semantik.
Otonomi semacam itu membebaskan teks tersebut dari tiga ketergantungan. Pertama, dia membebaskan teks dari ketergantungan kepada maksud pengarang. Maksud teks tidak lagi identik dengan maksud pengarang. Sebab maksud pengarang sangat tergantung dari situasi psikologis pengarang dan bersifat intensional, sedangkan maksud teks terbentuk berdasarkan hubungan kebahasaan (khususnya hubungan gramatikal) dan bersifat proposisional.
Selain itu, ide pengarang tentang teks yang sudah ditulis dapat berubah-ubah, namun maksud teks yang sudah dibakukan secara semantik melalui tulisan tidak berubah lagi, dan hanya dapat disingkapkan berbagai dimensinya dengan berbagai pendekatan. Scripta manent (tulisan tak akan berubah lagi), kata orang-orang Romawi dulu.
Ini tidak berarti, pengarang sendiri tidak lagi berhak menafsirkan dan menjelaskan teksnya. Hal itu boleh dilakukan, seperti yang dilakukan Afrizal Malna terhadap cerpennya Usaha Membuat Telinga yang dimuat dalam Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan: Cerpen Pilihan Kompas 1997. Namun demikian tafsiran pengarang, sama sekali bukan suatu otoritas yang harus dipegang atau diikuti, karena hanya menjadi salah satu tafsiran di antara tafsiran-tafsiran lain yang diberikan pembaca. Tentu tidak ada salahnya bahwa pengarang berusaha mempertanggungjawabkan teks cerpennya itu, tetapi pada dasarnya teks cerpen itu sendiri sanggup mempertanggungjawabkan dirinya sendiri: menarik atau tidak, bermakna atau tidak.
Kedua, sebuah teks juga membebaskan dirinya dari ketergantungan kepada kelompok sasaran, atau audiens yang semula dituju. Kumpulan surat-surat HB Jassin yang sekarang dibukukan, tadinya hanya ditujukan kepada orang-orang tertentu. Namun setelah diterbitkan sebagai buku, teks itu terbuka untuk pembacaan dan penafsiran umum, dan tidak lagi hanya menjadi hak dari orang yang tadinya dituju dan menjadi penerima surat-surat tersebut.
Ketiga, sebuah teks juga membebaskan dirinya dari konteks semula dimana teks itu diproduksi. Sebuah teks akan selalu sanggup mendekontekstualisasikan dirinya, dan merekontekstualisasikan dirinya kembali, karena kalau tidak demikian maka dengan konteks yang begitu berbeda kini, apa gunanya kita membaca Shakespeare, Plato atau Ronggowarsito? Untuk mengambil contoh, beberapa bahan cerpen Usaha Membuat Telinga diambil dari sajak-sajak seorang penyair Nigeria. Namun demikian, setelah bahan itu diolah oleh Afrizal menjadi sebuah cerpen, maka cerpen itu harus berbicara atas namanya sendiri, tidak mesti melarikan diri kepada sajak-sajak penyair Nigeria itu untuk berlindung atau menyelamatkan dirinya.
APA yang ditulis Afrizal Malna dalam artikel Vampir Kebudayaan dan Tabrakan Wacana (Kompas, Minggu, 3/8, 1997), adalah pembelaan pengarang terhadap cerpennya itu, yang menurut pendapat saya, tidak berhasil mengutarakan dalam komunikasi semantik makna tekstual yang hendak disampaikan. Afrizal menyebut pendekatan yang saya gunakan telah mengakibat suatu tabrakan wacana. Istilah "tabrakan wacana" membingungkan baik dalam konsep maupun dalam istilah. Istilah tabrakan menunjuk suatu kecelakaan yang tak disengaja. Padahal teori teks itu saya gunakan dengan kesadaran penuh. Tidak ada tabrakan di sana, karena yang ada hanyalah semacam kontes pemaknaan, suatu contest of meaning dan contest of interpretation.
Tidak ada juga klaim otoritas akademik seperti dicemaskan Afrizal, yang dikiranya dapat menggilas dan menimbulkan kecelakaan pada sebuah teks. Sebuah teks yang kuat akan menghadapi teori dengan tenang dan tak akan tergilas oleh teori itu. Hal itu hanya mungkin terjadi bila sebuah teori diterapkan secara sembrono atau semu.
Dalam pandangan saya, teori apa pun tidak dapat menyulap sebuah teks yang berhasil menjadi gagal, atau mengubah sebuah rombengan menjadi masterpiece. Karena teori pada dasarnya tidak membentuk teks, dia hanya mengartikulasikan secara diskursif, apa yang diungkapkan secara literer. Menerapkan teori pada teks kesusastraan hanya mengubah bentuk artikulasi makna, bukan menciptakan makna yang belum ada atau menghilangkan makna yang sudah ada, atau mendistorsikan makna itu.
Kalau pun ada yang perlu dipersoalkan, maka pertanyaannya adalah apakah pendekatan dengan teori tekstual Ricoer cukup relevan untuk meninjau dan memahami teks kesusasteraan umumnya, dan teks cerpen khususnya. Saya akan sangat berterimakasih bila Afrizal misalnya dapat menunjukkan bahwa penggunaan pendekatan itu untuk cerpennya adalah suatu aplikasi teori terhadap persoalan yang sebetulnya tidak dapat didekati dengan teori tersebut (yaitu bahwa teori tidak sesuai dengan masalah), bagaikan kita menggunakan gergaji kayu untuk menggunting kain baju.
Suatu uraian seperti itu lebih bermanfaat dan lebih produktif, dan kita semua termasuk pembaca dan saya sendiri, dapat belajar sesuatu dari sana, daripada sekadar membuat sebuah generalisasi yang sulit dipertanggungjawabkan bahwa penggunaan sebuah teori teks akan berakibat "meletakkan peralatan teori sebagai otoritas ilmiah yang berada di atas karya sastra". Ini suatu pernyataan yang hebat bunyinya tetapi akan limbung sekali kalau diusut secara metodologis.
SAYA mengalami dua kesulitan dalam menghadapi artikel Afrizal. Pertama, apakah dia masih mengajukan keberatan yang sama sekiranya teori Ricoeur kebetulan membenarkan cerpennya dan membuktikan bahwa cerpennya berhasil? Di sini ada dua hal yang dicampuradukkan: pembelaan terhadap cerpennya sendiri telah mengakibatkan penolakannya terhadap teori tekstual, yang kebetulan sekali ini tidak menunjang dan tidak menguntungkan cerpennya. Ini mengingatkan saya akan sikap terhadap penelitian. Kalau seorang ahli ilmu sosial ditugaskan menyelidiki stratifikasi sosial di Indonesia, kemudian dengan teori stratifikasi menemukan membesarnya kesenjangan sosial yang memang ada, maka teori itu kemudian kita tolak karena dianggap tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia.
Kedua, seandainya pun tanpa teori Ricoeur, saya tetap berpendapat, cerpen itu bukan sebuah cerpen yang baik. Memang harus dihargai usaha pengarang untuk memperkenalkan sesuatu yang tidak konvensional dalam penulisan cerpen. Tetapi baru dan lama dalam penulisan adalah kategori sejarah sastra, sedangkan berhasil dan tidaknya sebuah penulisan adalah kategori kritik sastra. Apalagi saya berpendapat, sebuah pembaruan baru diperhitungkan bila pembaruan itu pun berhasil dari segi literer. Sutardji berhasil sebagai pembaharu karena sajak-sajaknya merupakan sajak yang berhasil. Seandainya dia menghasilkan sajak-sajak kacangan dalam bentuk baru, dia tidak akan diperhitungkan sebagai pembaharu.
Teori dalam hal ini bukanlah penyebab saya menganggap sebuah cerpen berhasil atau tidak, tetapi lebih membantu mengartikulasikan pandangan dan penilaian saya, yang memang sudah ada, dengan atau tanpa teori. Kalau saya menyenangi sebuah cerpen atau sebuah sajak, saya akan berusaha menjelaskan kesenangan saya itu untuk diri saya sendiri. Demikian pula bila saya tidak menyukainya. Ini adalah hal yang biasa, supaya sebuah makna yang tertangkap secara implisit dapat dibuat eksplisit dan dengan demikian dapat dikomunikasikan.
TETAPI marilah kita kembali kepada cerpen Usaha Membuat Telinga. Apakah yang diceritakan di sana? Tidak lain dari pertemuan antara "saya" dan Ogaga, penyair asal Nigeria yang banyak menulis tentang telinga, dan hal itu dilakukan karena dia telah kehilangan kepercayaannya pada mulut yang dianggapnya "keranjang sampah buat kata-kata". Ada sebuah ide yang sangat menjanjikan di sana. Tetapi ide itu kemudian ditinggalkan sama sekali, dan kita tak melihat lagi jejaknya dalam delapan kali pertemuan antara "saya" dan Ogaga. Tidak ada pengolahan literer dari ide itu, dan apa yang kemudian diceritakan adalah suasana pertemuan antara keduanya yang tidak ada sangkut-pautnya lagi dengan telinga dan mulut yang merupakan ide yang melahirkan cerpen tersebut.
Afrizal bertanya "apakah tidak ada makna referensial dari langit yang tidak lagi berbau darah, yang terdapat dalam telinga Ogaga?" Saya kira ada kekisruhan konseptual di sini. Langit yang referensial adalah langit dengan awan dan matahari atau langit berbintang. Langit dalam telinga Ogaga hanya mungkin merupakan langit tekstual. Tetapi apa hubungannya dengan ide bahwa dia lebih suka mendengar daripada berbicara? Di sinilah menurut saya, bahkan dalam sastra pun rupanya dibutuhkan semacam disiplin naratif.
Dalam pandangan saya, cerpen ini disiapkan dengan baik untuk sebuah makna tekstual yang kuat, karena berbagai referensi deskriptif memang disuspendir secara surealis. Tetapi yang terjadi adalah, lapangan sudah disediakan dengan cermat, tetapi permainannya gagal dipertunjukkan. Yang dilakukan dalam teks hanyalah bolak-balik menceritakan pertemuan antara "saya" dan Ogaga di sebuah kota pada suatu pagi, dalam sebuah bangunan di de Doelen, di depan gedung Schouwburg, di lobi hotel, di atas sebuah jam kota, di tepi kanal dekat stasiun kereta api, atau di sebuah ladang gandum. Ibarat bermain bola, Afrizal menggiring bolanya dengan asyik kian kemari sampai terengah-engah tetapi tanpa konsep penyerangan atau konsep bertahan yang bisa dibaca dan dinikmati penonton.
Bisa saja pengarangnya mengatakan bahwa dia memang hanya ingin memperlihatkan berbagai panorama dalam setiap pertemuan, tidak lebih tidak kurang. Tetapi apa hubungan panorama itu dengan ide telinga dan mulut? Pengarang memang mempunyai kebebasan penuh, tetapi saat dia bercerita, dia pun akan berhadapan dengan disiplin naratif, dengan literarische Notwendigkeit, dengan beberapa keharusan literer. Tanpa itu, cerpennya tidak akan make sense. Perasaan saya ketika membaca cerpen itu adalah bagaikan diajak untuk makan malam yang enak, dan kemudian hanya dibawa berputar ke segala gang di kota untuk akhirnya terdampar di sebuah tempat main gaple.
AFRIZAL juga bertanya apakah tidak sebaiknya sebuah teori digunakan dengan fleksibilitas. Menurut pendapat saya, pertanyaan itu tidak lagi menyangkut kritik sastra, tetapi menyangkut epistemologi teori ilmu pengetahuan. Apakah sebuah teori harus digunakan secara fleksibel atau secara ketat?
Menurut hemat saya, sebuah teori hanya dapat diterapkan secara ketat (secara rigorous), supaya dengan itu dapat diuji kemudian semua konsekuensi teori tersebut dalam penerapannya. Karena sahnya sebuah teori tergantung dari apakah konsekuensi yang ditarik menimbulkan kontradiksi atau tidak, atau sesuai dengan kenyataan atau tidak. Dalam hal pertama terjadi kontradiksi logis. Dalam hal kedua, terjadi kontradiksi literer dalam sebuah karya sastra, dan kontradiksi empiris dalam sebuah karya ilmu sosial misalnya.
Penerapan sebuah teori secara fleksibel akan membawa orang kepada eklektisisme, yang dalam banyak hal dapat membawa kita lebih lanjut kepada oportunisme epistemologis. Akibatnya, kalau penerapan teori itu menguntungkan maksud kita, teori tersebut diterapkan, tetapi kalau merugikan (misalnya kalau dengan penerapan teori sense and reference sebuah cerpen akan kelihatan jeleknya), maka teori tersebut tidak lagi diterapkan atau bahkan dihindari.
Sebuah teori adalah suatu kerangka berpikir. Kalau kita tidak setia kepada kerangka itu, pikiran kita sendiri akan menjadi kacau, sulit didisiplinkan dan tak tentu arahnya. Sebagai contoh, Afrizal mengutip teori arsitektur Blondel untuk membuktikan bahwa kritik saya "bukanlah kerja penafsiran yang sah". Tetapi apa kata Blondel sebenarnya? Bahwa ada ruang interior ada pula ruang eksterior. Distingsi ini justru mempunyai korespondensi tinggi dengan pengertian sense sebagai makna yang diproduksi oleh hubungan-hubungan dalam teks (ruang interior ala Blondel) dan reference sebagai makna yang diproduksi oleh hubungan antara teks dan dunia luar-teks (ruang eksterior dalam pengertian Blondel). Jadi Afrizal mengritik (tanpa disadari) apa yang sebetulnya dibenarkannya, dan hal ini terjadi karena tidak jelas kerangka-berpikirnya.
Yang diharapkan bukanlah penggunaan teori secara fleksibel, tetapi penggunaan sebanyak mungkin jenis pendekatan teoretis, untuk melihat berhasil tidaknya usaha pemaknaan sebuah teks berdasarkan pendekatan-pendekatan itu. Hanya pada tingkat itulah dapat dibenarkan harapan Afrizal tentang kesejajaran antar-wacana.
Kesejajaran itu bukan berarti tidak-sentuh-menyentuhnya suatu pendekatan dengan pendekatan lain. Kesejajaran itu berarti, setiap jenis wacana punya hak hidup, tetapi hak hidup itu harus dibela dan dipertahankan oleh kekuatan wacana itu sendiri, bukan dengan memaki-maki wacana lainnya. Pada tingkat itulah dibutuhkan kontes pemaknaan, sedangkan "tabrakan wacana" tidak akan terjadi karena setiap wacana merupakan suatu sistem tertutup yang tidak memungkinkan unsur wacana lainnya dapat menerobos masuk, tanpa menjadi elemen asing di dalamnya. Sebagai contoh, atau kita memilih melakukan pendekatan strukturalisme ahistoris atau strukturalisme historis. Bila seorang memahami struktur ahistoris dalam makna strukturalisme historis, maka hal itu bukannya tabrakan wacana tetapi salah pengertian atau ketidaktahuan. Sedangkan kedua pendekatan itu sama sahnya untuk dipakai juga untuk mendekati sebuah karya sastra.
Prinsip itu berlaku untuk sebuah teori yang baru lahir minggu lalu, atau sebuah teori yang berasal dari 2000 tahun lampau.
*) Ignas Kleden, sosiolog, tinggal di Jakarta.
No comments:
Post a Comment