Sunday, March 29, 2009

Pendidikan Nasional,

Pendidikan Nasional, antara Aset Hidup dan Aset Mati

Oleh Ignas Kleden
SALAH satu tujuan pendidikan dan pengajaran di sekolah (dilihat dari sudut mobilitas sosial) ialah membuka kesempatan bagi peserta didik untuk lebih maju dalam hidupnya, memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan kepandaian yang telah dipelajarinya, mendapatkan pembayaran yang seimbang dengan keahliannya, dan karena itu dapat meningkatkan statusnya secara sosial.

Seorang petani di daerah Wates, Yogya, niscaya berbahagia melihat anaknya kini menjadi seorang peneliti kemasyarakatan di LIPI, atau seorang ibu penjual teh botol di Cirebon tentu senang dan bangga melihat anaknya dapat menjadi manajer pemasaran di sebuah perusahaan minuman di Jakarta. Dengan kata lain, pendidikan dan pengajaran berfungsi juga sebagai sarana untuk mendorong seseorang naik dalam mobilitas vertikal, dengan menempati status yang semakin tinggi dalam hierarki sosial.

Anggapan itu didasarkan beberapa kepercayaan umum, yang sebaiknya diperiksa kembali, karena tidak selalu sesuai kenyataan, khususnya dalam ekonomi dan politik Indonesia sekarang ini.

Pertama, ada kepercayaan umum bahwa mereka yang melewati suatu jenjang pendidikan akan mendapat nilai-tambah dalam hidupnya berupa kepandaian atau keahlian yang tidak akan diperolehnya, kalau dia tak sempat memperoleh pendidikan dan pengajaran tertentu.

Kedua, ada pula kepercayaan yang sudah diterima begitu saja bahwa semakin tinggi tingkat kepandaian seseorang, semakin terbuka pula kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang dapat dipilih sesuai dengan keahlian dan bakat-bakat pribadinya.

***

DUA jenis kepercayaan itu selayaknya ditinjau kembali saat ini agar supaya tidak memperbesar ilusi orang-orang yang ingin masuk dalam suatu tingkat pendidikan tertentu. Pengandaian bahwa setiap tingkat pendidikan, pengajaran, dan pelatihan memberikan suatu kepandaian tertentu, selayaknya harus diuji dan dibuktikan dengan beberapa kriteria yang dapat dilihat dan diamati oleh masyarakat luas. Sebagai contoh soal, apakah dengan mempelajari bahasa Inggris di SMP dan SMU, sebanyak rata-rata empat jam setiap minggu selama enam tahun, seorang tamatan SMU dapat menulis surat pendek berbahasa Inggris secara korek, dapat menerima telepon dalam bahasa Inggris tanpa kesulitan, atau dapat membaca sebuah novel ringan dalam bahasa Inggris? Kalau hal ini secara rata-rata tidak tercapai (dan dalam kenyataan jauh panggang dari api), mengapa pemerintah kita (dalam hal ini Departemen Pendidikan) tidak merasa cemas dan perlu untuk meninjau kembali pelajaran bahasa Inggris dengan tingkat pencapaian seperti ini, dan berdasarkan petunjuk itu, meninjau pula pelajaran-pelajaran lainnya? Mengapa anak-anak kita disuruh menghabiskan waktu, dan orangtua diharuskan membayar demikian banyak uang, untuk sesuatu yang tidak kelihatan manfaatnya?

Dalam diskusi seperti ini yang selalu dihebohkan adalah metode, buku teks, modul, dan semua hal lain di luar faktor manusianya, yaitu guru dan murid. Berilah kepada para siswa buku teks yang terbaik sekalipun, tetapi dengan seorang guru yang lemah pengetahuan dan rendah pengabdiannya, maka dapat dipastikan hasilnya akan tetap jelek. Sebaliknya, berilah kepada para siswa buku teks yang sedangan saja, tetapi dengan guru yang benar-benar mahir dan tinggi komitmen mengajarnya, maka hasilnya akan bagus. Persoalan ini jelas bagaikan siang hari bolong, tetapi dalam berbagai diskusi pendidikan kita, dibuat seakan-akan faktor guru ini sama sekali tidak menentukan, dibanding dengan semua gimmicks (tongkrongan) tentang kurikulum, modul, sistem ujian, dan buku teks.

***

KENYATAAN ini rupanya hanya dapat diterangkan dengan teori kepentingan, yaitu vested interest, karena tidak mungkin orang Indonesia demikian rendah inteligensinya sehingga tidak memahami bahwa faktor yang paling menentukan dalam pembelajaran adalah faktor manusianya, yaitu guru dan murid sebagai aset hidup dan bukan semua asset mati lainnya. Soal sebenarnya ialah kalau kondisi kerja para guru dibenahi dengan gaji yang pantas, tunjangan yang mencukupi, dan jaminan lain, maka para profiteur pendidikan tidak mendapat apa-apa meski kualitas pendidikan meningkat. Tetapi, dengan mengutak-atik buku teks, modul dan kurikulum, maka ada berbagai bisnis dapat dikembangkan dari sana seperti pencetakan buku teks beserta distribusi dan penjualannya, penyusunan modul, atau seminar dan lokakarya perencanaan kurikulum, yang semuanya memerlukan biaya besar meski nasib para peserta didik bagaikan layang-layang putus talinya. Menyerahkan hal ini kepada pertimbangan dan perjuangan swasta semata-mata rupanya amat sulit karena di sini dibutuhkan faktor kekuasaan yang hanya dipunyai negara.

Menetapkan kembali hierarki kepentingan, mengutamakan apa yang paling pokok, memotong dan membuang kegiatan-kegiatan yang membawa untung materiil tetapi merugikan mutu pendidikan, hanya dapat dilakukan instansi yang mempunyai kekuasaan sah, karena berimplikasi pada pertentangan kepentingan dari pihak-pihak yang selama ini menikmatinya. Masalahnya menjadi lain, bila pihak yang harus melakukan quality control tidak bisa mengontrol vested interest-nya sendiri dan kemudian menjadi bagian dari penyimpangan yang justru harus diawasinya.

***

PERSOALAN ini amat rumit, tetapi dengan sedikit kemauan politik dan pengorbanan bersama, dapat disederhanakan dan diuraikan, kalaupun belum dapat dipecahkan seluruhnya. Dengan mengambil contoh soal pelajaran bahasa Inggris, tulisan ini ingin mengajukan usul bahwa untuk setiap pelajaran sebaiknya ditetapkan target minimum dan bukannya target maksimum. Kalau seorang anak masuk SMP kelas 1, sebaiknya dia dan orangtuanya dapat memperoleh gambaran mengenai apa yang akan dikuasainya setelah mempelajari bahasa Inggris selama satu tahun dengan empat jam pelajaran setiap minggu.

Apakah setelah satu tahun di SMP dia diharap menguasai 400, 500, atau 600 kosakata bahasa Inggris? Apakah dia dapat menyusun kalimat tunggal (dalam present tense) dalam bahasa Inggris dengan benar? Ukuran-ukuran ini harus ditetapkan oleh para ahli pendidikan dan pengajaran untuk setiap bidang, tetapi ukuran itu sebaiknya ada. Di Jepang, konon, untuk membaca koran berbahasa Jepang, seseorang harus menguasai minimal 1.940-an karakter dasar (huruf Kanji), sedangkan untuk membaca karya ilmiah seseorang dituntut menguasai 2.220-an karakter dasar, belum terhitung kombinasinya. Anak-anak Jepang yang menamatkan sekolah menengah dituntut menguasai 1.600 karakter, sedangkan orang asing yang belajar di universitas harus menguasai sekitar 2.000 karakter Kanji. Ukuran-ukuran ini tentu dapat berubah setiap masa, tetapi pokok soal ialah ada beberapa target minimum yang ditetapkan untuk tiap tingkat pendidikan dan pengajaran.

Bila sasaran-sasaran nyata ini ditetapkan pemerintah kita, maka jalan untuk mencapai sasaran-sasaran itu sebaiknya cukup terbuka untuk inisiatif dan kreativitas setiap sekolah dan para gurunya, dan tidak perlu mereka diikat dengan didaktik atau metodik yang sama.

Dengan adanya target minimum ini, lembaga-lembaga dalam lingkungan Departemen Pendidikan yang harus melakukan pengawasan, mempunyai pegangan dalam menentukan apakah sebuah sekolah memenuhi persyaratan minimum, dan karena itu mempunyai hak untuk tetap berkiprah sebagai lembaga pendidikan, atau harus dihentikan karena tidak sanggup memenuhi syarat-syarat yang dituntut. Kriteria ini sejauh mungkin hendaknya bersifat substansial dan materiil, dan jangan sekali-kali hanya bersifat formal belaka. Jadi, persoalannya bukan berapa buku pelajaran yang sudah diselesaikan dalam waktu tertentu, tetapi apakah para siswa dapat menulis surat berbahasa Inggris sepanjang setengah halaman dengan benar, setelah tiga tahun belajar bahasa Inggris di SMP, dan dapat menceritakan sebuah pengalaman akhir minggu selama tiga menit tanpa terlalu banyak kesulitan.

SEMUA ini amat tergantung dari kesediaan, kemampuan, perhatian, dan waktu para guru dalam mengawasi dan mengoreksi kesalahan-kesalahan yang dibuat para siswanya. Namun, di sinilah letak pokok persoalan yang hingga kini didiamkan saja dan tidak dibicarakan secara terbuka. Sudah bukan rahasia lagi bahwa di antara para guru Bahasa Inggris sendiri di SMP banyak pula yang tidak sanggup menulis sepucuk surat berbahasa Inggris dengan benar, dan rendah sekali kemampuan bahasa Inggrisnya. Kalau itu soalnya, maka dapat diusulkan bahwa untuk para guru sendiri perlu ditetapkan beberapa kriteria kompetensi minimum. Sekali lagi, kriteria-kriteria ini pun sebaiknya bersifat materiil dan substansial dan bukannya kriteria formal. Misalnya, apakah dia dapat menuliskan rencana pelajarannya untuk satu tahun dalam bahasa Inggris dan menyerahkannya kepada kepala sekolah untuk dipertimbangkan. Jadi, daripada menyerahkan laporan dan berbagai surat keterangan tentang pengalamannya mengajar sebelumnya, sebaiknya dia diberi kesempatan untuk menunjukkan secara konkret kompetensinya sendiri.

Patut dikemukakan, dengan seleksi yang keras seperti ini para guru yang akhirnya diterima mengajar selayaknya diberi pembayaran yang pantas sesuai pengalaman dan keahliannya, dan bila dia berhasil selama beberapa tahun, dia dapat diberi kesempatan oleh sekolah (misalnya dengan beasiswa) untuk menambah pengetahuan dan pengalamannya di negara-negara tetangga. Seorang guru SMU yang terbukti berhasil dalam mengajarkan pelajaran Matematika, sudah selayaknya diberi kesempatan dan biaya oleh sekolahnya untuk meninjau pengajaran Matematika untuk sekolah setingkat SMU di Australia, Malaysia atau Singapura, baik sebagai cara untuk meningkatkan kompetensinya maupun sebagai insentif untuk memberikan performa yang lebih baik.

***

TENTU saja motivasi para siswa untuk belajar dengan sungguh-sungguh amat tergantung dari apa yang dilihatnya sehari-hari di luar sekolah. Kalau berdasarkan pengamatannya mereka yakin bahwa mobilitas vertikal benar-benar ditentukan oleh meningkatnya pengetahuan dan keahlian, maka mereka akan belajar dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya, kalau mereka melihat bahwa kemajuan orang-orang dalam bisnis atau dalam karier tidak ada hubungan dengan tingkat pengetahuan dan keahlian, tetapi lebih berhubung dengan KKN, maka motivasi belajarnya akan menurun.

Pada titik itulah terletak titik api dari peranan pendidikan dan pengajaran. Bila sekolah-sekolah dengan guru-guru yang pandai dan tangguh dalam pekerjaannya berhasil membentuk pengetahuan, pengertian, dan watak para siswanya secara meyakinkan, maka para lulusan sekolah bukan hanya mereproduksi kebiasaan masyarakatnya, tetapi juga terdorong untuk mengoreksi keadaan masyarakatnya. Suatu masyarakat yang sudah aman tenteram dengan kemakmuran dan keadilan yang relatif stabil tidak lagi terlalu memerlukan pendidikan dan pengajaran yang kreatif, karena lingkungan sudah mengajarkan mereka berbagai kebajikan sosial yang harus ditaati. Tetapi suatu masyarakat dengan watak peralihan seperti Indonesia jus-
tru sangat memerlukan pendidikan dan pengajaran yang kreatif.

Ironisnya, pendidikan dan pengajaran itu kini justru digilas oleh kelemahan-kelemahan dari masyarakatnya sendiri. Korupsi dalam kalangan birokrasi berjangkit menjadi kebiasaan nyontek dalam sekolah; KKN dalam pemerintahan dan bisnis berkembang menjadi sogok-menyogok antara guru dan murid; atau hedonisme orang dewasa telah mendorong lahirnya kenakalan remaja, sedangkan kebiasaan berdusta dan menipu di kalangan politisi amat mempermudah para siswa menipu dan membohongi orangtua atau guru mereka sendiri.

***

DENGAN menerima semua kesulitan itu, harapan untuk masa depan yang lebih baik tidak dapat dibiarkan padam begitu saja, karena tanpa modal harapan itu, pendidikan dan pengajaran tidak mempunyai dasar berpijak. Reformasi telah diluncurkan, meski kini menghadapi banyak kendala, baik secara politik maupun ekonomi. Namun demikian, pemulihan ekonomi dan stabilisasi politik hanya akan merupakan selingan pendek dalam riwayat bangsa kita, bila tidak ditunjang langsung oleh reformasi yang lebih mendasar dalam pendidikan dan pengajaran.

Realisasi harapan itu dapat dilakukan bila kita sedikit membuka mata dan pikiran untuk melihat bahwa dalam analisa terakhir, persoalan Indonesia-politik, ekonomi, sosial budaya atau intelektual-adalah persoalan manusianya, sedangkan persoalan manusia Indonesia adalah persoalan pendidikan dan pengajaran. Tidak perlu diulang lagi bahwa pendidikan dan pengajaran adalah suatu proses interaksi yang hidup di antara guru dan murid, di antara dosen dan mahasiswa, di antara pelatih dan peserta latihan.

Buku-buku, alat peraga, gedung sekolah, sistem ujian, modul, dan buku teks, hanyalah aset mati yang sekadar berfungsi sebagai alat bantu dalam interaksi itu. Kalau kita menggantikan peranan interaksi di antara dua manusia sebagai aset hidup dengan hanya mengandalkan aset mati, maka cepat atau lambat pengajaran dan pendidikan telah dibunuh perlahan-lahan, tetapi pasti, justru dari dalam rumahnya sendiri.

DR IGNAS KLEDEN, Sosiolog, Direktur Pusat Pengkajian Indonesia Timur (Center for East Indonesian Affairs), Jakarta

No comments: