Sunday, March 29, 2009

Naturalisme dalam Politik Indonesia

Sabtu, 12 Agustus 2000

Naturalisme dalam Politik Indonesia
Oleh Ignas Kleden


ISTILAH "naturalisme" digunakan di sini mengikuti pengertian yang dirumuskan filosof Karl Popper dalam bukunya The Open Society and Its Enemies, bahwa berbagai perkembangan sejarah dan proses-proses sosial akan berjalan secara alamiah, dan tidak perlu diatur oleh campur-tangan manusia secara sadar dan terencana. Dalam arti itu developmentalisme Orde Baru adalah suatu sikap naturalistis yang sempurna, karena keadilan sosial yang diwujudkan dalam pembahagian hasil-hasil pembangunan secara lebih merata, dianggap sebagai suatu proses alamiah yang dengan sendirinya akan terjadi, bila pertumbuhan ekonomi sudah melewati tahapan take-off.

Maka yang perlu direncanakan hanyalah mendorong pertumbuhan ekonomi, sedangkan keadilan akan muncul dengan sendirinya, bila pertumbuhan sudah cukup tinggi sehingga hasil-hasilnya secara alamiah akan menetes (trickle down) ke lapisan bawah. Tentu saja ini akibat pengaruh pemikiran Rostow, yang amat dominan saat perencana ekonomi Orde Baru generasi pertama selesai menuliskan disertasi mereka.

Hasilnya sudah diketahui, bahwa yang alamiah bukan terjadinya pemerataan pendapatan dan kemakmuran, tetapi konsentrasi dan penumpukan kekayaan pada suatu lingkaran kecil, sedangkan sebagian terbesar harus menanggung biaya kemewahan dengan mengalami proses pemiskinan dan kehilangan berbagai hak. Keadilan dan pemerataan bukan sesuatu yang harus direncanakan dengan sadar, tetapi harus diperjuangkan dengan tekad politik yang bulat. Ini mudah dipahami, karena yang alamiah pada manusia, orang per orang atau kelompok per kelompok, adalah kecenderungan memikirkan dan menyelamatkan dirinya, bukan kesediaan untuk menolong dan membela orang lain.

***

NATURALISME menjadi paham yang gampang diterima dan mudah lanjut, pertama-tama karena paham itu membuat orang merasa terbebas dari tanggung jawab, karena tanggung jawab itu seakan-akan diserahkan kepada proses alamiah. Mencemaskan bahwa cukup banyak aksi politik dewasa ini yang dijalankan dengan berpegang pada asumsi naturalisme, baik di kalangan pemimpin politik maupun kalangan aktivis politik.

Reformasi adalah contoh soal yang baik. Semula gerakan untuk menggulingkan kekuasaan Soeharto merupakan fokus yang mempersatukan berbagai barisan. Tidak ada banyak persiapan mengenai apa saja yang harus dilakukan seandainya Soeharto tidak berkuasa lagi. Asumsinya, setelah kekuasaan otoriter disingkirkan, proses demokratisasi akan perlahan-lahan muncul kembali, dan keadaan menjadi lebih baik secara alamiah. Hal yang sama ini dapat muncul kembali sekarang. Ada banyak persoalan yang timbul dalam masa kepresidenan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Masalah-masalah itu rupanya tidak cukup kuat memotivasi berbagai partai politik untuk melakukan concerted effort untuk menanganinya satu-persatu. Yang lebih menyibukkan pemikiran politik sebagian politisi kita kini ialah mempertahankan atau mendesak presiden untuk berhenti di tengah masa pemerintahannya. Di sini, asumsi yang sama terlihat lagi, seakan-akan dengan turunnya Gus Dur dari kursi kepresidenan, berbagai masalah yang sedang kita hadapi sekarang, akan selesai dengan sendirinya.

***

ASUMSI-asumsi seperti ini sering tidak disadari, atau, lebih tepat, disengaja untuk tidak disadari. Studi-studi kritik ideologi sudah mengungkapkan berulangkali bahwa penipuan diri sering terjadi dalam politik melalui pemalsuan kesadaran oleh ideologi. Istilah "ideologi" dalam pemakaian ini tidak digunakan dalam pengertian seperti "Pancasila merupakan ideologi terbuka", melainkan mempunyai pengertian khusus dalam konsepsi mashab kritis dari Frankfurt.

Dalam pengertian mashab kritis, ideologi adalah proses di mana sekelompok orang menipu diri untuk tidak harus menyelesaikan suatu masalah sosial yang sedang dihadapi, kemudian tidak sadar lagi bahwa mereka sedang menipu dirinya atau orang lain, atau bahkan merasa berbuat jasa selagi melakukan penipuan itu. Dengan istilah-istilah antropologi, ketidak-mampuan mengatasi masalah sosial, telah membuat seseorang mengubah sistem simbolik dalam pikirannya, sehingga sistem simbolik itu dapat mengakomodasi suatu masalah sosial tanpa menimbulkan kontradiksi dan konflik dalam diri orang bersangkutan, sekalipun masalah yang dihadapi tidak diselesaikan. Menyebut korupsi dengan istilah pembocoran adalah penipuan ideologis.

Naturalisme ini pula yang menyebabkan pemborosan besar selama pemerintahan Soeharto dengan kursus-kursus P4. Diandaikan, bila orang mengikuti sekian jam pelajaran kursus, maka birokrasi akan menjadi lebih baik, pemerintahan dapat berjalan bersih dan efektif. Seakan-akan pengetahuan tentang doktrin negara secara alamiah akan mengubah tingkah laku peserta kursus itu, tanpa yang bersangkutan memaksa diri menerapkannya dengan sadar, meski hal itu meminta social cost yang tinggi.

Biaya sosial ini muncul karena sikap jujur, misalnya, praktis dianggap sesuatu yang aneh dan berlebihan dalam kalangan birokrasi Indonesia pada masa Orde Baru. Tidak disadari, pengalihan nilai-nilai itu harus didukung penciptaan proses-proses sosial-politik yang mendukung. Penerapan nilai-nilai P4 hanya dapat dilaksanakan dengan te-kad politis dan tekad moral yang kuat disertai dukungan perangkat kelembagaan yang memadai, bukan sesuatu yang secara alamiah dapat mengubah seluruh tingkah laku politik dengan cara yang gaib.

***

KEBERHASILAN gerakan reformasi, dan khususnya gerakan mahasiswa, dalam menjatuhkan kekuasaan otoriter Presiden Soeharto, rupa-rupanya telah menimbulkan sikap naturalistis baru dalam politik Indonesia, seakan masalah-masalah ekonomi dan politik Indonesia dapat diselesaikan bila pemimpin pemerintahan dan kepala negara, yang sedang berkuasa saat munculnya masalah-masalah itu, dapat dijatuhkan. Menjatuhkan seorang presiden melalui jalan konstitusional adalah hal yang sah. Namun, persoalannya bukanlah dasar hukum dari usaha untuk menjatuhkannya, tetapi efektivitas politik dari kejatuhan seorang presiden, dan persediaan politik mengenai apa yang harus dilakukan bila presiden telah dijatuhkan.

Berbagai masalah kini seakan ditimpakan kepada tanggung jawab Presiden Gus Dur, dan penyelesaiannya seakan mengandaikan mundurnya Gus Dur dari kepresidenan. Anggapan ini patut dipersoalkan secara serius, karena kalaulah presiden atau presidium yang berikut ternyata tidak sanggup pula menyelesaikan krisis ekonomi dan masalah kestabilan politik, maka akan muncul anggapan baru, pimpinan nasional itu, sekali lagi, harus dijatuhkan.

Naturalisme ini akan membawa kita kepada keguncangan politik yang luar biasa, yang tidak mustahil akan mengundang dan membenarkan kembalinya rezim otoriter yang dengan tangan besi menciptakan kembali kestabilan politik, dan kita akhirnya percaya, demokrasi bukanlah sesuatu yang sesuai dengan kebudayaan dan psikologi orang Indonesia.

Anehnya, partai-partai politik besar seperti PDI Perjuangan dan Golkar, sibuk mengurusi tingkah laku Presiden Gus Dur, dan dapat bersatu dengan baik dalam hal itu, tetapi mereka tidak dapat bersatu-padu dalam tekad dan usaha menyelesaikan masalah korupsi, masalah kelangkaan bahan bakar dan minyak tanah, masalah ganti rugi untuk penduduk yang dirugikan selama pemerintahan Soeharto dan selama berkuasanya Golkar, masalah kekerasan horisontal yang mengancam kehidupan sosial, masalah lumpuhnya hukum (baik karena instrumentalisasi hukum oleh penguasa untuk kekuasaan politik, maupun komersialisasi hukum oleh petugas hukum dan ahli hukum untuk kepentingan pribadi yang bersifat pragmatis semata-mata).

Belum lagi bila kita berbicara tentang kesulitan lapangan kerja akibat krisis ekonomi, disertai meningkatnya kriminalitas karena desakan kemiskinan, dan masalah menumpulnya sensitivitas terhadap martabat dan kehidupan manusia dan warga. Berita tentang pembakaran manusia hidup di Indonesia sudah diterima seperti berita seekor kucing dilindas bus kota. Dalam bidang keamanan terlihat menguatnya kecenderungan kepada paramiliterisme di kalangan sipil (dengan munculnya berbagai laskar), sementara dalam pendidikan kita tetap meremehkan masalah gaji guru yang demikian memprihatinkan, padahal kegagalan dalam menyelesaikan soal ini dapat merobohkan mutu pendidikan di Indonesia ini. Maka, numpang tanya, apakah semua soal ini kurang penting dibanding dengan sikap nyleneh presiden kita yang diributkan itu?

***

YANG amat menakutkan ialah dugaan, jangan-jangan para politisi kita dengan sengaja menghindar dan berbuat seolah tidak menyadari masalah-masalah ekonomi-politik dan sosial-politik yang beberapa daripadanya baru disebutkan itu, kemudian benar-benar tidak menyadarinya lagi. Psikologi ini mudah diterangkan, karena soal-soal itu menuntut keahlian dan komitmen jauh lebih tinggi sementara pekerjaan itu kurang spektakuler dibanding kasak-kusuk tentang tidak memadainya jawaban presiden terhadap interpelasi. Lambat-laun kita sendiri bisa percaya, masalah nasional yang terpenting adalah menaikkan atau menurunkan presiden, bukan mendorong penyelesaian masalah-masalah nasional, yang tidak akan dapat diselesaikan oleh presiden mana pun, kalau tidak mendapat dukungan politik secukupnya.

Dukungan politik di sini tidak hanya berarti keputusan untuk menerima atau menolak seorang tokoh pemimpin, tetapi menerima atau menolak suatu kebijakan politik, dan bila perlu mendesakkan dan memaksakan suatu kebijaksanaan untuk dilaksanakan eksekutif demi penyelesaian suatu persoalan menyangkut hak hidup orang banyak.

***

DALAM sejarah RI, hubungan DPR-eksekutif, khususnya dengan presiden, cenderung merupakan hubungan yang bersifat mutually exclusive. Bila presiden lemah dan tidak punya kekuasaan efektif, DPR akan menjadi sangat kuat, sementara kekuasaan politik yang ada pada mereka lebih berfungsi sebagai alat kompetisi politik antarpartai guna mendapatkan kekuasaan terbesar, bukan menjadi kekuasaan efektif yang digunakan untuk mendesakkan penyelesaian suatu persoalan politik.

Sebaliknya, bila eksekutif, khususnya presiden menjadi kuat, maka DPR akan menjadi pihak yang hanya membenarkan dan mengesahkan kebijakan politik yang diambil pihak eksekutif. Keadaan pertama telah terjadi selama periode parlementer tahun 1950-an hingga Juli 1959. Keadaan kedua dimulai pada dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959, diteruskan selama seluruh Orde Baru.

Yang selalu terlihat ialah, bila DPR lemah dia menjadi alat pembenar kebijakan pemerintah. Sebaliknya, bila DPR kuat, dia lebih tergoda untuk menjadi pembela partainya sendiri. Patut dicatat, DPR adalah singkatan untuk Dewan Perwakilan Rakyat, bukan Dewan Perwakilan Partai. Seorang anggota partai yang dipilih menjadi anggota DPR sudah "dikontrak" oleh negara agar menjadi wakil rakyat dan bukan sekadar wakil partainya. Karena itu dia dibayar oleh negara dan bukan oleh partainya. Dengan demikian, kecenderungan untuk lebih membela partai daripada membela rakyat, merupakan suatu kecenderungan yang bertentangan dengan jabatan seorang anggota DPR.

Memang, perimbangan kekuasaan adalah sesuatu yang harus diusahakan dalam politik. Namun, perimbangan kekuasaan itu bukan tujuan terakhir dan terpenting, tetapi hanya sarana untuk perimbangan kepentingan. Semua orang tahu, perimbangan kepentingan itu bukan sekadar antara satu partai dengan partai lain, namun antara berbagai kelompok yang dapat dibagi menurut berbagai kriteria sosiologis. Yaitu perimbangan antara yang terpelajar dan tidak terpelajar, antara yang mempunyai rumah dan tidak mempunyai rumah, antara yang mempunyai pekerjaan dan tidak mempunyai pekerjaan , antara yang mempunyai modal dan tidak mempunyai modal, antara mereka yang dapat menyalurkan cita-cita politiknya dan yang diharuskan bungkam, antara mereka yang mempunyai partai dan tidak mempunyai partai politik, bahkan perimbangan antara lelaki dan perempuan.

***

PERIMBANGAN kepentingan itu baru dapat tercapai bila sekurang-kurangnya dua syarat terpenuhi.

Pertama, berdasarkan asas trias politica, maka ketiga bidang dalam kekuasaan negara harus mempunyai kekuatan berimbang yang dimungkinkan oleh otonomi masing-masing. Legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sangat diharapkan saling mengimbangi, baik dengan respek maupun dengan kritik, bukannya dengan saling mengecilkan maupun saling menafikan. Menggabungkan kritik dengan respek adalah pertanda martabat lembaga yang mempunyai otonomi.

Otonomi suatu lembaga memungkinkannya melakukan kritik kepada lembaga lain, tetapi otonomi lembaga lainnya mengharuskan adanya respek pihak yang memberikan kritiknya. Tanpa otonomi kelembagaan seperti ini akan muncul subordinasi lembaga yang satu terhadap lembaga lainnya, atau sebaliknya, arogansi dan bahkan dominasi lembaga yang satu terhadap lembaga lainnya.

Kedua, kompetisi di antara ketiga lembaga itu perlu diimbangi dengan koordinasi dan integrasi di antara ketiganya dalam memerangi masalah yang merugikan masyarakat banyak. Bila pemerintahan Presiden Gus Dur bertekad memberantas korupsi, dan bila hal ini dilaksanakan sungguh-sungguh oleh yudikatif (kejaksaan dan pengadilan), sambil didukung tekanan politik dalam DPR, maka hal ini akan berhasil dalam waktu tidak terlalu lama. Hal ini juga dapat dikatakan tentang masalah-masalah nasional lainnya.

Proses disintegrasi politik memang mencemaskan, tetapi integrasi itu harus dimulai dalam kalangan elite politik sendiri. Bila DPR dan eksekutif tetap berada dalam friksi dan kompetisi yang bersifat mutually exclusive, sementara DPR lebih melihat dirinya sebagai perwakilan partai dan bukannya wakil rakyat, sedangkan yudikatif masih harus berjuang keras untuk mengembalikan integritas maupun otonominya sendiri, maka sulit bagi siapa pun untuk mencegah bahwa disintegrasi di tingkat atas politik itu akan segera menyebar ke bawah dengan cepat.

Tak perlu diuraikan lagi, dalam watak sosialnya manusia secara alamiah cenderung bersama, tetapi dalam watak politiknya terbukti berulangkali manusia yang sama secara alamiah lebih cenderung mengabdi kepada dirinya dan memutlakkan urusan kelompoknya daripada mengabdi kepada kepentingan umum dan membela kesejahteraan bersama.

* Ignas Kleden, sosiolog, Direktur The Go-East Institute/ Lembaga Lintas Timur, Jakarta .


No comments: