Skripsi, Teks, Menulis dan Meneliti
Oleh Ignas Kleden
Dengan demikian, menulis menunjukkan kepada suatu kebiasaan secara budaya, teks menunjukkan suatu kemahiran mempergunakan bahasa tulisan, sedangkan skripsi menunjukkan suatu kebiasaan secara sekolahan atau konvensi secara akademis. Skripsi hanyalah tahap formal dari kemahiran mempergunakan bahasa tulisan, sedangkan kemahiran ini tak akan lahir dalam suatu lingkungan yang tidak mengutamakan tulisan sebagai sumber informasi atau sebagai jalan untuk berkomunikasi.
Sekalipun dalam berbagai kebudayaan lokal di Indonesia sudah terdapat aksara, namun masih menjadi pertanyaan apakah aksara di sana hanyalah bagian dari suatu kehidupan seremonial dan ritual, atau bagian dari lingkungan religius atau estetis, atau sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari dalam fungsinya sebagai sejenis teknologi? Karena sangat mungkin bahwa aksara dalam kebudayaan lokal adalah suatu harta kebudayaan yang diawasi oleh kalangan sangat terbatas, yang dalam peranan mereka sebagai literati, bertugas menjaga warisan keagamaan, pengetahuan tentang adat-istiadat, atau informasi tentang genealogi dan mitologi, yang tidak merupakan pengetahuan umum masyarakatnya. Kalau hal itu yang terjadi maka akibatnya adalah bahwa kehidupan sehari-hari lebih banyak dikuasai oleh bahasa lisan.
SALAH satu ciri kebudayaan modern yang ditandai oleh ilmu pengetahuan ialah bahwa tulisan-tulisan yang tadinya dikuasai oleh kalangan yang berhubungan dengan seremoni dan ritual, kemudian di-desakralisasi-kan sebagai hal profan dan umum yang bisa dikuasai oleh siapa saja yang sanggup dan mau mempergunakannya sebagai alat, sebagai teknologi. Atau dengan lain perkataan, tulisan sebagai teks yang terbatas dalam lingkungan eksklusif, di-demokratisasi-kan sebagai tulis-menulis berupa kepandaian umum yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja.
Skripsi sebagai suatu tulisan formal, seakan-akan mengembalikan kebiasaan dan kepandaian menulis yang umum menjadi suatu kemahiran khusus dalam kalangan akademis. Terjadi lagi formalisasi dan bersamaan dengan itu juga peng-eksklusif-an teks. Sebabnya, dalam menulis skripsi ada berbagai syarat formal yang harus dipatuhi oleh mereka yang menuliskannya, tetapi tidak perlu dipatuhi oleh kalangan yang mempergunakannya tulisan dalam kebutuhannya sehari-hari. Formalisasi dapat menimbulkan kerugian, karena penggunaan bahasa juga menjadi sangat eksklusif, sehingga orang-orang yang berada di luar lingkungan tersebut tidak dapat memahami lagi bahasa yang digunakan. Ini tentu kelemahan, seakan-akan formalisme sama dengan keilmiahan. Sebagai contoh, bahasa Jerman yang dipergunakan oleh para sosiolog Jerman sekarang bersifat sedemikian formalnya (mungkin sama dengan bahasa Jerman yang pernah dipergunakan oleh filsuf Jerman sebelumnya), sehingga masyarakat biasa di Jerman tidak menyebutnya lagi sebagai bahasa Jerman tetapi meledeknya sebagai Soziologensprache (bahasa kaum sosiolog).
Kalau kita membaca berbagai reaksi yang timbul terhadap keputusan rektor UI, Prof MK Tadjudin, untuk menghapuskan wajib-skripsi bagi strata 1 di UI, maka pada hemat saya tanggapan-tanggapan tersebut sedikit banyaknya berhubungan dengan ketiga segi tulis-menulis tersebut di atas.
Pertama, skripsi dapat dipandang sebagai suatu latihan, kegiatan, atau kewajiban menulis. Terhadap aspek ini muncul keberatan bahwa tidak semua orang diberi bakat untuk menulis dengan baik, dan tidak semua lulusan S-1 memerlukan keterampilan menulis dalam pekerjaan mereka. Keberatan ini berasal dari kalangan pengajar IKIP sebagaimana misalnya dikemukakan oleh Prof Samsuri dan Dr Nuril Huda dari IKIP Malang (Kompas, 6/4/1996). Menurut pendapat mereka, yang dituntut dari lulusan IKIP terutama adalah kemampuan mengajar dan bukanlah kemampuan menulis. Dengan demikian, tidaklah mengherankan bahwa IKIP Jakarta, IKIP Malang, dan FKIP Universitas Sriwijaya, telah menghapuskan wajib-skripsi bagi S-1 semenjak sepuluh tahun terakhir.
Pendapat sebaliknya ternyata mempunyai alasan yang juga patut dicatat di sini. Menulis, seperti halnya berbicara lisan, dapat digunakan sebagai sarana untuk menyusun dan menyatakan pikiran secara terstruktur. Dari segi itu hubungan antara bahasa (tulisan maupun lisan) dengan pikiran (baik dengan buah-pikiran maupun dengan jalan-pikiran) mendapat tekanan utama dalam argumentasi ini. Menulis, dan khususnya menulis skripsi S-1, perlu dipertahankan karena hal itu menjadi wahana untuk mengembangkan kemampuan berpikir secara terstruktur dalam tulisan, dan sekaligus menjadi wahana untuk mengukur seberapa jauh kemampuan berpikir secara terstruktur tersebut sudah atau belum terwujud dalam diri peserta-didik. Inilah rupanya alasan pokok mengapa ilmuwan senior Prof Dr Slamet Iman Santoso dan rektor Universitas Sanata Dharma, Dr M. Sastrapratedja SJ, berpendapat bahwa wajib-skripsi S-1 perlu dipertahankan (Kompas, 8/4/ 1996).
Kedua, sebuah skripsi dapat juga dipandang sebagai teks. Teks adalah rekaman pikiran dan perasaan manusia tidak dalam kaset atau gambar fotografis tetapi dalam aksara. Pada titik ini penulisan teks ilmu pengetahuan menjadi penting, karena dengan cara itu pikiran ilmiah tentang sebuah soal dapat dibaca, dipelajari, dipertimbangkan, disetujui, dan ditolak oleh orang lain.
Pada zaman ini ilmu pengetahuan dikerjakan dan dikembangkan dengan bantuan berbagai peralatan yang amat canggih, yang dimungkinkan oleh perkembangan teknologi. Sekalipun demikian, suatu alat pertama yang tak tergantikan kedudukannya adalah teks ilmu pengetahuan. Dari segi itu semakin banyak dihasilkan teks-teks ilmu pengetahuan, akan semakin maju pula ilmu pengetahuan dan sebaliknya.
Jelas dengan sendirinya bahwa ada demikian banyak tingkatan dalam hierarki kewibawaan teks ilmiah. Sebuah teks Albert Einstein tentulah lain kedudukannya dengan skripsi S-1 fisika Universitas Gadjah Mada misalnya, atau sebuah teks Wittgenstein tentulah lain kedudukannya dengan skripsi S-1 jurusan linguistik Universitas Atma Jaya Jakarta. Namun demikian, semua jenis teks dengan tingkat kewibawaan yang berbeda tersebut, dalam keseluruhannya akan membentuk khazanah ilmu pengetahuan, karena semua teks tersebut tunduk kepada satu syarat yang sama yaitu bahwa semuanya terbuka kepada kritik, pengujian, dan perbaikan lebih lanjut.
MENURUT pengamatan saya, kedudukan skripsi sebagai teks ilmu pengetahuan ini mendapat sorotan yang tidak begitu banyak dan tidak pula setajam sorotan terhadap segi-segi lainnya dari skripsi. Tajuk harian Kompas misalnya melihat peranan skripsi sebagai ajang latihan untuk mengembangkan kepandaian menulis menghadapi situasi makro di mana produksi buku di Indonesia sangat ketinggalan dan terkebelakang dibandingkan dengan negara-negara lain (Kompas, 9/4/1996).
Betapa pun pentingnya pertimbangan ini, rupanya kita perlu membedakan produksi buku ilmiah dari produksi buku-buku lainnya (buku petunjuk, buku hiburan, buku sastra, buku bimbingan, buku agama, buku kumpulan karangan, pamflet, atau catatan harian dan riwayat hidup). Sebuah buku ilmu pengetahuan adalah buku yang mengajukan satu atau beberapa pertanyaan ilmiah dan mencoba menjawabnya dengan menggunakan metode tertentu. Tidak mustahil bahwa sebuah tempat yang belum banyak menghasilkan buku ilmu pengetahuan, mungkin sudah sangat banyak menghasilkan buku sastra yang bagus. Pembedaan ini perlu dilakukan karena dalam menulis skripsi S-1 seseorang tidak berlatih menulis novel atau puisi melainkan menulis sebuah teks ilmu pengetahuan.
Dengan menyinggung masalah tersebut, pembicaraan ini akan memasuki segi ketiga, yaitu skripsi sebagai suatu jenis tulisan yang harus memenuhi syarat-syarat penulisan formal yang diharuskan oleh konvensi akademis. Formalitas ini amat perlu karena dalam sebuah teks seperti ini harus jelas, bagian mana yang menjadi pemikiran penulis, bagian mana yang menjadi pikiran orang lain, apa yang merupakan temuan penulis, dan apa pula yang merupakan temuan orang lain yang digunakan penulis sebagai bahan untuk membangun suatu argumentasi. Penulisan catatan kaki, daftar kepustakaan, cara membuat kutipan atau cara membuat rujukan dan berbagai konvensi lain, perlu ditaati untuk menghindari kerancauan mengenai informasi atau pengetahuan yang sekadar digunakan dan dimanfaatkan penulis dari informasi dan pengetahuan yang dihasilkan dan disumbangkannya. Kalau konvensi ini tidak diketahui atau tidak dipatuhi maka sebuah karya ilmiah dapat menjadi karya jiplakan, sekalipun barangkali tidak disengaja.
Sumbangan seseorang berupa informasi baru atau pengetahuan baru dapat berupa penggabungan pengetahuan lama dalam bentuk baru, penolakan pengetahuan lama, atau produksi informasi dan pengetahuan baru berdasarkan suatu penelitian yang dilakukan sendiri. Pada titik inilah kedudukan skripsi S-1 menghadapi soal: apakah skripsi seperti itu harus merupakan suatu research paper berdasarkan penelitian yang dilakukan sendiri (sebagaimana yang dikehendaki oleh rektor IPB misalnya), atau cukup merupakan suatu sintesa dari berbagai karya yang ditulis sebelumnya untuk memperjelas suatu pokok masalah yang justru baru akan diselidiki dalam penelitian. Prof Dr Andi Hakim Nasoetion dari IPB Bogor dengan amat simpatik menceritakan kembali kenangannya bahwa skripsinya sebagai mahasiswa tingkat insinyur yang amat dipujikan oleh profesor Belandanya, bukanlah suatu karya penelitian tetapi lebih merupakan tinjauan kepustakaan tentang masalah yang akan ditelitinya (Kompas, 9/4/1996). Di sini skripsi bukanlah laporan tertulis tentang prosedur dan hasil penelitian, tetapi uraian yang menunjukkan tingkat pemahaman seseorang terhadap soal.
Dengan mempertimbangkan semua segi di atas dan alasan-alasan yang menyertainya, maka pertanyaan tentang apakah skripsi S-1 perlu dipertahankan atau tidak belum dapat dijawab memuaskan. Pada hemat saya, pertanyaan itu baru dapat dijawab kalau kita sudah dapat menjawab sebuah pertanyaan lain yang sampai sekarang belum dibahas yaitu: apakah skripsi S-1 adalah ajang latihan menulis, suatu teks ilmu pengetahuan, suatu tulisan yang memenuhi formalitas penulisan ilmiah atau suatu laporan penelitian?
* Ignas Kleden, sosiolog, bekerja pada Yayasan SPES Jakarta.
No comments:
Post a Comment